Kapan Novel Pertama Menampilkan Pelangi Tanpa Warna?

Ada satu kali aku merasa seperti menemukan teka-teki ketika membaca cerita fiksi spekulatif yang menolak warna pada pelangi.

Gaya bacaanku lebih ke fiksi modern dan fantasi gelap, jadi aku sering ketemu penulisan yang sengaja membalik simbol-simbol alam. Dalam konteks itu, pelangi tanpa warna biasanya dipakai untuk menciptakan suasana aneh—seolah realitas sudah melucuti keajaiban dari alam. Aku curiga contoh-contoh awal kebanyakan datang dari penulis-penulis abad ke-20 yang menyukai absurditas: mereka sengaja menyajikan elemen familiar tapi tanpa sifat esensialnya untuk membuat pembaca meraba-raba makna.

Kalau ditanya kapan tepatnya motif itu pertama muncul, jawabannya rumit. Penggunaan metaforis bisa lebih tua dari publikasi novel modern; cerita rakyat dan mitos kadang menyimpan versi yang "dilucuti" dari fenomena alam. Namun untuk novel yang terdokumentasi, kemungkinan besar muncul di era ketika eksperimen naratif dan simbolisme mulai leluasa—jadi mudahnya, lihatlah arus modernisme dan fiksi spekulatif abad ke-20. Di luar itu, aku selalu merasa asyik melacak contoh-contoh kecil ini; menemukan pelangi tanpa warna di sebuah halaman kadang lebih menyentap daripada ledakan efek visual dalam film, karena teks membiarkan imajinasimu mengisi kekosongan itu.

Tidak mudah menunjuk satu novel sebagai yang pertama menampilkan pelangi tanpa warna karena gagasan itu sering muncul sebagai perlambang, bukan deskripsi literal.

Dari pengamatan pribadi, motif ini lebih sering muncul di karya-karya yang ingin menegaskan kehampaan, kehilangan makna, atau perubahan kosmik—jadi ia tersebar di banyak cerita modern, khususnya yang bereksperimen dengan simbolisme. Kalau kamu mencari contoh, fokuskan pada fiksi abad ke-20 yang menonjolkan absurditas atau suasana uncanny; di sana kemungkinan besar kamu akan menemukan pelangi yang sengaja dibuat tak berwarna untuk efek emosional.

Buatku, momen menemukan metafora semacam itu selalu terasa seperti membuka kunci kecil: penulis tidak sekadar menggambarkan alam, mereka mengundang pembaca merasakan ketidakwajaran dunia. Dan itu yang membuat literatur tetap hidup buatku—setiap pelangi, berwarna atau tidak, punya cerita yang siap dibongkar.

Sulit untuk tidak terpesona saat membayangkan 'pelangi tanpa warna' muncul di halaman sebuah novel tua.

Saya pernah mengulik motif-motif alam dalam karya-karya klasik dan modern, dan yang menarik: hampir semua tradisi sastra memakai pelangi sebagai simbol warna-warni harapan, janji, atau jembatan antara dua dunia. Jadi ketika sebuah teks menggambarkan pelangi tanpa warna, itu biasanya bukan soal fenomena meteorologi, melainkan manuver metaforis—pelangi yang kehilangan warnanya untuk menandai patahnya harapan, kematian magis, atau dunia yang kehilangan makna. Dari sudut pandang sejarah literatur, tidak ada catatan baku yang menunjukkan satu novel pertama yang mem-populerkan bayangan ini; gambar seperti itu cenderung muncul tersebar di karya-karya abad ke-20 ketika penulis bereksperimen dengan simbolisme modern dan absurd.

Secara pribadi, saya menemukan daya tarik besar pada baris-baris yang membuat alam terasa asing: pelangi yang tak berwarna mampu memberi efek uncanny yang kuat. Jika kamu ingin melacak akar gagasan ini, cara yang paling praktis adalah menelusuri korpora teks digital atau database buku—kata kunci seperti "colourless rainbow" atau padanan bahasa lain dalam naskah terjemahan sering mengungkap penggunaan metaforis dari era modernism dan seterusnya. Intinya, bukan soal satu novel yang memulai semuanya, melainkan gelombang penulisan yang mereinterpretasi simbol klasik menjadi sesuatu yang sunyi dan hampa.

Itu yang selalu membuatku betah membaca: bagaimana satu perubahan kecil pada gambaran alam bisa membuka lautan makna baru, dan pelangi tanpa warna jelas salah satu trik emosional paling elegan yang pernah kulewati di buku-buku favoritku.