Peacemaking Adalah Pendekatan Seperti Apa Dalam Mediasi Keluarga?

Intinya, peacemaking dalam mediasi keluarga menekankan pemulihan hubungan, tanggung jawab bersama, dan solusi yang dibuat bersama-sama. Aku biasanya menjelaskan ini dengan empat poin cepat: dengarkan dengan tujuan memahami, fokus pada kebutuhan bukan posisi, ciptakan ruang aman untuk cerita masing-masing, lalu susun komitmen konkret yang dapat diuji waktu.

Dalam praktik singkat, aku sering menggunakan pertanyaan restoratif: siapa yang dirugikan, bagaimana perasaan mereka, apa yang diperlukan untuk memperbaiki, dan apa yang bisa dilakukan pelaku untuk menambal hubungan. Prosesnya fleksibel—bisa berupa circle discussion, family group conferencing, atau sesi gabungan dengan sesi terpisah jika ada ketidakseimbangan kekuatan. Penting diingat bahwa peacemaking bukan solusi tepat untuk situasi berbahaya; keselamatan harus jadi prioritas utama.

Kalau aku menyarankan satu hal praktis untuk keluarga yang mencoba jalan ini: tetapkan aturan dasar dan jangka waktu untuk kesepakatan, lalu lakukan evaluasi berkala. Dengan begitu, komitmen bukan sekadar kata-kata tetapi jadi kebiasaan yang bisa memperbaiki hubungan sedikit demi sedikit.

Gaya peacemaking membuatku membayangkan ruang mediasi yang hangat, bukan arena pertarungan. Prinsip dasarnya sederhana: utamakan hubungan, dengarkan kebutuhan, dan bangun solusi bersama. Aku sering menekankan bahwa mediator di pendekatan ini bekerja untuk mengembalikan kapasitas pihak-pihak dalam keluarga untuk berkomunikasi—bukan sekadar menyusun dokumen hukum. Ini terasa sangat personal karena melibatkan emosi, sejarah keluarga, dan kadang tradisi budaya yang harus dihormati.

Secara teknis, aku kerap menggunakan rangkaian langkah yang cukup terstruktur: cek keamanan dan persetujuan awal, penentuan aturan dasar, sesi berbagi cerita dengan giliran berbicara, latihan empati singkat, lalu brainstorming opsi solusi yang bisa dipraktikkan. Teknik seperti reframing—mengubah tuduhan menjadi kebutuhan—sering kali membuka jalan. Aku juga menaruh perhatian pada bagaimana membuat kesepakatan yang konkret: siapa melakukan apa, kapan, dan bagaimana pihak lain akan menilai pemenuhan komitmen itu. Follow-up tertulis dan sesi evaluasi beberapa minggu kemudian sangat membantu menjaga akuntabilitas.

Dari sisi hasil, peacemaking biasanya efektif untuk konflik yang akar masalahnya adalah miskomunikasi, luka emosional, atau kebutuhan tak terpenuhi. Tapi aku selalu ingat untuk berhati-hati jika ada ketidakseimbangan kekuasaan atau risiko keselamatan; dalam kasus seperti itu, proses harus diubah atau dipakai pendekatan lain. Rasanya menyenangkan melihat keluarga yang tadinya dingin perlahan menemukan bahasa bersama lagi, dan itu memberi aku harapan setiap kali aku memfasilitasi proses seperti ini.

Aku suka memikirkan peacemaking sebagai seni menghubungkan kembali keluarga yang retak: pendekatan ini lebih menekankan hubungan dan pemulihan daripada 'memenangkan' argumen. Dalam praktiknya, peacemaking berakar dari ide restorative practices—fokus pada siapa yang terluka, apa yang dibutuhkan, dan bagaimana semua pihak bisa bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan. Mediator di sini bukan wasit yang membagi skor; dia lebih mirip fasilitator percakapan yang membantu masing-masing suara didengar dan makna bersama dibangun.

Dalam sesi, aku melihat banyak teknik yang sering dipakai: lingkaran dialog untuk memberi ruang yang setara, pertanyaan restoratif (misal 'siapa yang terdampak?' atau 'apa yang dibutuhkan agar bisa pulih?'), serta penggunaan cerita pribadi untuk menurunkan ketegangan. Ada juga tahapan praktis seperti pra-meditasi untuk cek keamanan emosional, sesi terpisah jika perlu untuk menyeimbangkan kekuatan, lalu pertemuan bersama untuk merumuskan solusi konkret. Kontrak atau kesepakatan yang dihasilkan biasanya sifatnya kolaboratif dan berfokus pada langkah-langkah pemulihan—misal jadwal kunjungan, tanggung jawab rumah tangga, atau komitmen komunikasi.

Aku menghargai kelebihan metode ini: komitmen yang lahir dari kesepakatan bersama cenderung lebih bertahan lama karena orang merasa dihargai dan didengar. Namun, aku juga waspada bahwa peacemaking tidak cocok untuk semua situasi—dalam kasus kekerasan domestik, ancaman, atau manipulasi berat, prioritas harus pada keselamatan dan proses yang berbeda mungkin diperlukan. Pada akhirnya, peacemaking adalah tentang membangun kembali kepercayaan sedikit demi sedikit, dan jika dijalankan dengan sensitif, hasilnya bisa jauh lebih manusiawi daripada solusi paksaan.