Share

Setelah Perceraian
Setelah Perceraian
Author: Novica Ayu

Bab 1. Penggerebekan!

Sepi, sunyi, yang terdengar hanya suara jam berdetak. Lampu kamar masih menyala. Entah siapa yang kutunggu. Di luar sana, mulai terdengar suara ayam jantan berkokok bersahutan. Biasanya, di jam seperti sekarang, aku sudah sibuk mempersiapkan diri, mandi, memasak nasi, lalu berjalan ke jalan raya untuk menunggu angkot yang biasa mengantar jemput ke pabrik rokok tempatku bekerja. Kini, aku sudah pensiun dan tengah menikmati hari sebagai seorang ibu rumah tangga. 

Tok … tok … tok ….

Tok … tok … tok ….

Terdengar bunyi ketukan dari arah pintu dapur

“As-salaamu’alaikum."


"As-salaamu’alaikum.”

Ketukan dan salam yang terlihat penting pada jam seperti ini, ada rasa penasaran dalam hati. Siapa? apa yang terjadi?

Aku menggeliat, menyibakkan selimut hangat yang memeluk tubuh. Perlahan, mengucek-ngucek mata. Mata memicing ke arah jarum jam di dinding kamar, tampak masih pukul tiga lebih lima belas. Siapa yang sepagi ini ingin bertamu? 


Sambil merapikan rambut dan membenahi daster, aku berjalan menuju pintu. Kuputar gagang kunci pada lubangnya dan membuka pintu perlahan. 

“As-salaamu’alaikum. Apa benar ini rumahnya Mbak Hening, istrinya Pak Harto?” tanya lelaki berjaket itu. 

“Wa’alaikum-salam, iya benar, Pak. Ada apa ya?” jawabku.

“Pak Harto kena grebek di rumah Siti, di desa sebelah. Sekarang kehadirannya Mbak Hening ditunggu di balai desa.”

Selesai memberikan kabar, lelaki berjaket itu pergi. Kakiku terasa lemas dan mukaku terasa panas. Terkejutkah? Marahkah? Entahlah. Semua rasa bercampur aduk dalam hati. Setitik air bening telah jatuh di pipi. 

Kutatap lekat-lekat sebuah cermin tua yang tergantung di dalam kamar. Cermin itu tampak usang, banyak goresan di sana. Mungkin tergores sesuatu yang tajam, seperti kepercayaan. Atau sesuatu yang runcing dan menyayat, yaitu kejujuran.

Ah, mungkin kebiasaan Mas Harto yang suka mabuk itu telah melangkahkan kakinya bertamu ke sana sepagi ini. Biarlah, ini juga bukan kali pertama suamiku telat pulang. Hatiku mencoba membelanya. 

Tapi, apa yang dilakukannya sepagi ini? Pukul tiga pagi di rumah si Siti itu. Siapa Siti? Kenapa? Sedang apa? Pergi ... tidak ... pergi ... tidak? Ah, sepagi ini. Ada banyak tanya di kepala bermunculan. 

Di usia yang hampir setengah abad, ingin rasanya aku hidup tenang, tanpa masalah, berkumpul, dan bercanda dengan anak cucu. Namun, apalah daya. 

Kedua anakku sudah berkeluarga. Anton—si sulung—dan anak laki-lakinya tinggal di desa lain, di rumah keluarga sang istri. Sementara si bungsu, Nur Laila yang baru melahirkan, ikut suaminya yang seorang abdi negara tinggal di rumah dinas Bogor. Aku sendirian. Motor matic merah satu-satunya pun dibawa Mas Harto. 


Biarlah, besok saja. Mau naik apa aku ke sana? 

💔💔💔

Keesokan paginya, aku berangkat ke balai desa ditemani Anton. Kebetulan ini hari minggu, Anton dan cucuku biasa datang untuk menginap. 


Suasana di balai desa sedikit tegang, terlihat beberapa perangkat desa duduk berbicara dengan Mas Harto. 

Seorang laki-laki paruh baya berbaju koko mempersilakanku dan Anton untuk duduk di kursi yang telah disediakan, berhadapan dengan suamiku. 

Betapa kagetnya aku, saat Pak RT dari desa sebelah bercerita bahwa Mas Harto sudah diintai warga di sana untuk waktu yang lama karena sering bertamu pada malam hari dengan durasi yang lumayan lama. Sedangkan Siti, masih berstatus istri orang dengan satu anak laki-laki berumur sekitar lima atau enam tahun. 

Lelaki berbaju koko maju beberapa langkah, ia memperkenalkan diri sebagai Pak Modin di desa, tempat Siti tinggal.

“Bagaimana Pak Harto? Anda sanggup membayar denda sebesar satu juta atau menikahi saudari, Siti?” tanya Pak Modin. 

Mas Harto terlihat diam, matanya menerawang. Mungkin ia berpikir atau mempertimbangkan apa yang harus ia lakukan. Tak berapa lama, ia menoleh ke arahku.

“Saya pilih denda saja, Pak,”  jawab suamiku. 

Aku lega karena artinya ia masih merasa berat dan memilih keluarganya sendiri. Tak mungkin, ia tega memilih Siti yang masih berstatus istri orang dan menelantarkan istri dan anak-anaknya sendiri. 

Penasaran, kuamati wajah perempuan yang duduk agak jauh di barisan Mas Harto. Ada seorang anak laki-laki kecil yang terus menempel padanya. Perempuan itu memiliki perawakan tubuh berisi, lumayan tinggi, rambut lurus sebahu, dan bulu matanya terlihat lentik. 

Ah, si bodi aduhai yang jarang ditemani suaminya. Tentu saja butuh kehangatan, batinku. Kuperkirakan usianya masih jauh di bawahku. Mungkin, masih sekitar dua puluh tahunan. Ia duduk dengan didampingi beberapa orang. Mungkin, keluarga yang datang untuk membawanya pulang sepertiku. 

Lama, kuamati perempuan itu dari jauh. Tanpa sengaja, tatapan kami bertemu ketika ia mencuri pandang ke arah Mas Harto. Beberapa detik kemudian, ia malah menatapku tajam. Tak ada senyum di wajahnya, ia pun menundukkan pandangannya. 

Pak Lurah yang mencoba menengahi, memberi penjelasan bahwa masalah ini sebenarnya akan dibawa kepada pihak yang berwajib. Namun, demi kerukunan antar warga yang harus terjaga, Pak Lurah mencoba mengambil jalan damai dengan cara kekeluargaan seperti ini. Berunding dengan keluarga kedua belah pihak.

Matahari mulai meninggi. Beberapa orang yang ikut menggerebek dan menonton suamiku mulai meninggalkan balai desa, kembali pada aktivitasnya masing masing. 

“Gimana, Pak ... Bapak mau berubah gak?” Anton bertanya pada bapaknya dengan disaksikan para perangkat desa dan beberapa orang yang masih tertinggal di balai desa.

"Udah dinikahin aja!" seru seorang warga yang masih mengikuti jalannya sidang.


“Iya, Nak. Bapak, mau berubah. Bapak, tidak akan mengulanginya,” jawab laki-laki tampan, bertubuh athletis itu, badannya tinggi dan kekar. Garis urat diwajah, dan otot-otot tangan, yang terbentuk sempurna. Bukti nyata hasil tempaan Sang Ayah. Saat anak-anak seusianya bermain layangan atau sibuk mengerjakan PR dari sekolah ia telah pandai mengaduk campuran semen.

“Bu, maafin Bapak, ya. Bapak, janji akan berubah dan tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi. Apa Ibu, tega kalau Bapak, dimasukan penjara?” tanyanya dengan muka memelas, memohon ibaku. Namun, sorot matanya tajam seperti memberi perintah. 

Aku hanya diam, bukan mengiyakan. Aku terlalu lelah untuk berkata. Siapa yang tidak akan marah jika dikhianati seperti ini. Nyatanya, kepercayaan yang kuberikan telah disalahgunakan.

Akhirnya, kami pulang. Aku berdamai dengan kemarahanku, berusaha memberi kesempatan baginya untuk kesekian kalinya. Aku mau menerima Mas Harto kembali, dengan syarat ia tidak akan mengulangi kesalahannya dan tidak menemui perempuan itu. Aku berusaha untuk menata kembali puing-puing reruntuhan kepercayaan padanya. Ibarat sebuah cermin, sekali ia retak tak dapat disatukan lagi. Sekalipun dapat disatukan lagi, gambar yang terpantul tak akan sama. Begitu pula dengan rumah tangga kami yang sudah retak.

***

"Buk, masak apa hari ini?"


"Sayur asem, sama goreng ikan pindang. Sambalnya udah siap itu di meja."


Pagi itu kehidupan kami berjalan seperti biasanya. Aku tak mengungkit kehadian di balai desa. Melayani suamiku makan seperti biasa.


Mas Harto tak banyak keluar rumah. Kebetulan proyek sedang sepi. Jadi, ia melanjutkan renovasi rumah kami yang sudah hampir selesai. Uang pensiun yang kudapat dari bekerja selama dua puluh lima tahun di sebuah pabrik rokok terkenal di kotaku, cukup membuat rumah kami terlihat pantas dilihat mata. Ada dua pilar marmer tegak berdiri menyangga teras. 

Mas Harto bekerja sebagai tukang. Uang yang diberikan padaku hanya sekadarnya. Aku bisa memaklumi karena ia jarang bekerja. Jadi, tidak setiap hari ia punya uang. Namun, setelah ia kena grebek, aku baru menyadari ke mana perginya uang yang ia dapat dari bekerja selama ini. Padahal untuk menyokong perekonomian kami, aku mengalah dengan tetap bekerja semenjak kami menikah. 

Apa kurangnya aku? Aku tak pernah menuntut. Semua kesalahannya, kumaafkan. Dulu, saat ia tepergok jalan berdua dengan Maemunah—si Janda Kembang yang sok cantik, aku masih memaafkan dan menerima ia kembali. Aku tahu, semakin hari aku semakin tua dan tak cantik lagi. Aku bekerja dari pagi hingga sore hari, jarang memberi perhatian dan waktu padanya. Namun, jika aku tak bekerja, kedua anakku yang masih sekolah saat itu mau makan apa? Bagaimana aku membayar tunggakan uang sekolah mereka karena saat itu Mas Harto sering tak bekerja. 

Alhamdulillah, kini anak-anakku sudah berkeluarga. Tanggung jawabku sedikit berkurang. 


Sejak dua tahun yang lalu, peraturan di pabrik makin ketat. Target dalam sehari dinaikkan, sementara kecepatan tanganku ikut menurun karena termakan usia. 

Akhirnya, aku mengajukan permohonan pensiun. Aku sudah lelah melakukan rutinitas yang sama, bekerja dari pagi hingga sore hari. Aku ingin menikmati sisa usia dengan secangkir teh sembari duduk berdua dengan suami tercinta di depan televisi, saling bercerita dan bernostalgia tentang bagaimana kami dulu bertemu. Sungguh, itu impian sederhana seorang wanita.

Bersambung ...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
De Edward
Cerita yang sangat menarik ❤️
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status