Share

Sengketa Pernikahan Kontrak
Sengketa Pernikahan Kontrak
Penulis: Akaraiza

Rose Hamil?

"Memangnya kau hamil?"

Rose diam saja, enggan menjawab pertanyaan Ezar dan justru menghela napas. Hal itu membuat Ezar yang semula tak acuh, menjadi tegang.

"Kau ... benar-benar hamil?"

"Aku tidak hamil! Aku hanya ingin kita segera menikah," ucap Rose menahan kesal.

Ezar menghela napas lega meski gurat-gurat cemas masih terpancar di wajahnya.

"Dan kau tahu dengan jelas bahwa aku masih harus menyelesaikan pendidikanku. Rose, kita sudah membahas soal ini berulang-ulang kali kalau kau lupa."

Rose mengesah lantas menyandarkan punggungnya di kursi. "Aku tahu, tapi Mama dan Papa mulai bertanya-tanya kapan kau akan melamarku, kapan kita akan menikah, apakah kau serius atau hanya main-main. Mereka terus mendesakku soal itu."

Ezar menghentikan kegiatan makannya dan memusatkan seluruh atensi pada Rose. "Tidak bisakah kau menunggu sebentar lagi, Rose? Aku benar-benar akan melamarmu setelah pendidikanku selesai, aku berjanji," ucapnya sungguh-sungguh.

"Aku tidak punya banyak waktu. Kau tahu, aku akan menikah dengan orang lain kalau kau ...."

"Kau bisa menolaknya!" Ezar menyela cepat. "Apa-apaan, Rose? Aku hanya memintamu bersabar sedikit lagi."

"Aku tidak punya pilihan lain," ujar Rose.

"Punya, kau punya pilihan itu. Kau bisa menolaknya, kau bisa mengatakan pada orang tuamu untuk menunggu sebentar lagi, kau bisa mengatakan pada media kalau kita akan menikah, kau bisa ...."

"Kapan?" Giliran Rose yang menyela. "Kalau kau tidak segera melamarku, aku tetap akan menerima perjodohan itu tidak peduli kau senang atau tidak," putusnya.

"Sebentar lagi saja, ya? Beri aku waktu sebentar lagi. Aku janji kita akan menikah, jadi tolong, jaga jari manismu tetap kosong untukku. Kau mencintaiku, kan? Tunggu aku sebentar lagi, ya?"

Rose mengusap wajahnya gusar. "Pernikahan kami dilangsungkan bulan depan. Apa menurutmu aku masih punya waktu untuk menunggumu selesai dengan semua urusan yang kau bilang sebentar itu?"

"Rose, kau bisa menolaknya, aku percaya padamu."

Ezar hendak meraih tangan Rose yang berada di atas meja tetapi perempuan itu lebih dulu menariknya dan berdiri. Gerakan itu menimbulkan bunyi decit antara kursi dengan lantai kafe.

"Kali ini biarkan aku melihat keseriusanmu, Zar. Hanya ada waktu satu bulan, pilihan ada di tanganmu. Pertahankan aku, atau biarkan aku menikah dengan orang lain."

***

Ketika kakinya menapak pada lantai marmer di mansionnya, Rose disambut dengan presensi Chris dan juga Tyna yang sedang duduk di ruang keluarga. Sebelum Rose sempat membuka mulutnya untuk menyapa, Tyna lebih dulu menarik tangan Rose untuk duduk di antara ia dan suaminya.

"Papa, apa perjodohan itu benar-benar tidak bisa dibatalkan?" Rose bertanya sesaat setelah ia mendudukkan diri di sofa. "Aku sudah punya kekasih, Pa. Aku ingin menikah dengannya, bukan dengan orang yang bahkan tidak kukenal sama sekali."

"Kapan, Rose?" Chris meletakkan ponsel yang sedari tadi digenggamnya. "Kapan memangnya dia mau menikahimu dan tidak terus menunda untuk melamarmu?"

"Pa, memangnya perjodohan masih berlaku di era modern seperti ini? Kami memang belum siap untuk menikah dalam waktu dekat," bantah Rose.

"Sayang, dengar." Chris menghela napas. "Papa dan Mama, juga orang tua Reega, sudah membicarakan ini sejak jauh-jauh hari. Kami akan menjodohkanmu dengan Reega, dan mereka setuju. Jadi ...."

Sebelum Chris sempat menyelesaikan ucapannya, Rose terlebih dahulu menyela. "Tanpa peduli apakah aku setuju atau tidak, begitu?"

Chris menghela napas dalam. Ini adalah salah satu kebiasaan buruk putrinya yang sangat menyebalkan, yaitu senang sekali menyela pembicaraan orang.

"Karena Papa tahu kau pasti akan menolaknya. Lagipula kau dan Reega akan tetap menikah karena kau satu-satunya harapan di keluarga ini demi kelangsungan perusahaan," papar Chris. "Dan lagi, Reega itu laki-laki yang baik."

"Ezar juga laki-laki yang baik, Pa."

"Kau tidak akan tahu kekhawatiran kami sebagai orang tua." Tyna berujar sembari mengusap pelan punggung Rose. "Selain kau, tidak ada lagi yang bisa kami harapkan."

Rose membuang pandangannya ke arah lain. Kenapa selalu dia yang harus mengerti? Kenapa bukan orang tuanya yang mencoba mengerti kalau dia juga punya jalan hidup sendiri? Bagaimana bisa mereka menyuruhnya menikah begitu saja ketika Rose sedang membayangkan masa depannya bersama Ezar?

"Rose, lakukan semua ini demi papamu, juga demi jutaan orang yang menggantungkan hidupnya di perusahaan." Tyna kembali berusaha meyakinkan Rose.

Rose menggeleng. "Tetap saja, Ma. Membuka hati untuk orang lain itu bukan perkara mudah. Aku hanya perlu menunggu Ezar sebentar lagi."

"Sampai kapan? Apa lima tahun bagimu belum cukup untuk menunggu Ezar? Tanda-tanda dia akan melamarmu saja tidak ada."

"Aku akan memintanya melamar dalam waktu dekat."

"Silakan." Chris menganggukkan kepalanya. "Kalau kau berhasil, Papa tidak akan memaksamu menikah dengan Reega. Tapi kalau gagal, perjodohanmu tetap dilanjutkan dan kalian menikah satu bulan lagi," putus Chris final sebelum beranjak meninggalkan Rose dan Tyna.

"Mama yakin kau tidak akan menyesal menikah dengan Reega, Nak."

"Kalau begitu, aku yang tidak yakin." Rose memijat pangkal hidungnya. "Kenapa kalian selalu melakukan segala hal semaunya? Apa kalian pikir aku ini barang? Kenapa kalian tidak memikirkan perasaanku?"

"Ini hanya untuk kebaikanmu."

"Bukan." Rose terkekeh pelan. "Ini bukan tentangku, bukan tentang Papa, bukan juga tentang orang-orang yang bergantung di perusahaan."

Perempuan itu menarik napasnya sebelum berdiri. "Ini hanya soal uang, kan, Ma?"

***

Aroma khas roti yang dipanggang menguar ke seluruh penjuru ruangan. Rose mengedarkan pandang ke sekeliling, memperhatikan dari balik counter bagaimana karyawannya berlalu-lalang mengantarkan pesanan atau memasukkan adonan ke dalam oven. Dia selalu datang kemari setiap kali rumah terasa begitu sesak untuknya. Setidaknya, aroma lelehan mentega dan biji kopi yang melebur jadi satu bisa sedikit meringankan beban di kepalanya.

"Mungkin toko ini perlu dekorasi ulang." Rose menggumam. "Aku menginginkan toko ini punya nuansa semi-retro. Bagaimana menurutmu, Arka?"

Yang dipanggil Arka menoleh, kemudian ikut mengedarkan pandangan ke sekeliling toko. "Itu artinya kita harus merombak toko ini secara keseluruhan."

"Bukan masalah besar." Rose mengedikkan bahu dan menyesap teh kamomil yang sejak tadi ada di hadapannya. "I want it, I get it."

Ia kembali menghidu aroma manis adonan roti yang menguar dari proses pemanggangan di balik tirai yang menjadi sekat. Rose baru saja berpikir tentang mengubah dinding ruangan berwarna merah muda itu dengan warna krem, kemudian menggantung lampu kandelir di tengah ruangan sebagai rencana perombakan dekor ketika lonceng di atas pintu berdenting pelan.

Sedikit mengejutkan mengetahui bahwa seseorang yang baru saja memasuki toko dan berjalan ke arahnya merupakan sosok yang belakangan menjadi perbincangan publik dengan berita pernikahannya yang mendadak.

"Reega." Rose menggumam, meletakkan cangkir teh yang sejak tadi dipegangnya.

"Aku tidak mau basa-basi. Aku sengaja datang kemari untuk menemuimu, Rose." Reega berdiri tepat di depan Rose. Matanya menelisik seisi toko untuk mencari tempat yang sekiranya tidak terlalu menyita perhatian. "Aku perlu bicara berdua denganmu."

"Apa yang ingin kau bicarakan?"

"Perjodohan, tentu saja. Sekaligus rencanamu dan orang tuamu yang dengan seenaknya melibatkan media.” 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nrlatifah
Menjadi perempuan memang berat. Segala tuntutan dan ketakutan diletakkan secara bersamaan. Menerima perjodohan dan menikah dengan pria yang tak pernah terbersit di dalam benak kita memang tidak mudah. semangat Rose...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status