"Memangnya kau hamil?"
Rose diam saja, enggan menjawab pertanyaan Ezar dan justru menghela napas. Hal itu membuat Ezar yang semula tak acuh, menjadi tegang.
"Kau ... benar-benar hamil?"
"Aku tidak hamil! Aku hanya ingin kita segera menikah," ucap Rose menahan kesal.
Ezar menghela napas lega meski gurat-gurat cemas masih terpancar di wajahnya.
"Dan kau tahu dengan jelas bahwa aku masih harus menyelesaikan pendidikanku. Rose, kita sudah membahas soal ini berulang-ulang kali kalau kau lupa."
Rose mengesah lantas menyandarkan punggungnya di kursi. "Aku tahu, tapi Mama dan Papa mulai bertanya-tanya kapan kau akan melamarku, kapan kita akan menikah, apakah kau serius atau hanya main-main. Mereka terus mendesakku soal itu."
Ezar menghentikan kegiatan makannya dan memusatkan seluruh atensi pada Rose. "Tidak bisakah kau menunggu sebentar lagi, Rose? Aku benar-benar akan melamarmu setelah pendidikanku selesai, aku berjanji," ucapnya sungguh-sungguh.
"Aku tidak punya banyak waktu. Kau tahu, aku akan menikah dengan orang lain kalau kau ...."
"Kau bisa menolaknya!" Ezar menyela cepat. "Apa-apaan, Rose? Aku hanya memintamu bersabar sedikit lagi."
"Aku tidak punya pilihan lain," ujar Rose.
"Punya, kau punya pilihan itu. Kau bisa menolaknya, kau bisa mengatakan pada orang tuamu untuk menunggu sebentar lagi, kau bisa mengatakan pada media kalau kita akan menikah, kau bisa ...."
"Kapan?" Giliran Rose yang menyela. "Kalau kau tidak segera melamarku, aku tetap akan menerima perjodohan itu tidak peduli kau senang atau tidak," putusnya.
"Sebentar lagi saja, ya? Beri aku waktu sebentar lagi. Aku janji kita akan menikah, jadi tolong, jaga jari manismu tetap kosong untukku. Kau mencintaiku, kan? Tunggu aku sebentar lagi, ya?"
Rose mengusap wajahnya gusar. "Pernikahan kami dilangsungkan bulan depan. Apa menurutmu aku masih punya waktu untuk menunggumu selesai dengan semua urusan yang kau bilang sebentar itu?"
"Rose, kau bisa menolaknya, aku percaya padamu."
Ezar hendak meraih tangan Rose yang berada di atas meja tetapi perempuan itu lebih dulu menariknya dan berdiri. Gerakan itu menimbulkan bunyi decit antara kursi dengan lantai kafe.
"Kali ini biarkan aku melihat keseriusanmu, Zar. Hanya ada waktu satu bulan, pilihan ada di tanganmu. Pertahankan aku, atau biarkan aku menikah dengan orang lain."
***
Ketika kakinya menapak pada lantai marmer di mansionnya, Rose disambut dengan presensi Chris dan juga Tyna yang sedang duduk di ruang keluarga. Sebelum Rose sempat membuka mulutnya untuk menyapa, Tyna lebih dulu menarik tangan Rose untuk duduk di antara ia dan suaminya.
"Papa, apa perjodohan itu benar-benar tidak bisa dibatalkan?" Rose bertanya sesaat setelah ia mendudukkan diri di sofa. "Aku sudah punya kekasih, Pa. Aku ingin menikah dengannya, bukan dengan orang yang bahkan tidak kukenal sama sekali."
"Kapan, Rose?" Chris meletakkan ponsel yang sedari tadi digenggamnya. "Kapan memangnya dia mau menikahimu dan tidak terus menunda untuk melamarmu?"
"Pa, memangnya perjodohan masih berlaku di era modern seperti ini? Kami memang belum siap untuk menikah dalam waktu dekat," bantah Rose.
"Sayang, dengar." Chris menghela napas. "Papa dan Mama, juga orang tua Reega, sudah membicarakan ini sejak jauh-jauh hari. Kami akan menjodohkanmu dengan Reega, dan mereka setuju. Jadi ...."
Sebelum Chris sempat menyelesaikan ucapannya, Rose terlebih dahulu menyela. "Tanpa peduli apakah aku setuju atau tidak, begitu?"
Chris menghela napas dalam. Ini adalah salah satu kebiasaan buruk putrinya yang sangat menyebalkan, yaitu senang sekali menyela pembicaraan orang.
"Karena Papa tahu kau pasti akan menolaknya. Lagipula kau dan Reega akan tetap menikah karena kau satu-satunya harapan di keluarga ini demi kelangsungan perusahaan," papar Chris. "Dan lagi, Reega itu laki-laki yang baik."
"Ezar juga laki-laki yang baik, Pa."
"Kau tidak akan tahu kekhawatiran kami sebagai orang tua." Tyna berujar sembari mengusap pelan punggung Rose. "Selain kau, tidak ada lagi yang bisa kami harapkan."
Rose membuang pandangannya ke arah lain. Kenapa selalu dia yang harus mengerti? Kenapa bukan orang tuanya yang mencoba mengerti kalau dia juga punya jalan hidup sendiri? Bagaimana bisa mereka menyuruhnya menikah begitu saja ketika Rose sedang membayangkan masa depannya bersama Ezar?
"Rose, lakukan semua ini demi papamu, juga demi jutaan orang yang menggantungkan hidupnya di perusahaan." Tyna kembali berusaha meyakinkan Rose.
Rose menggeleng. "Tetap saja, Ma. Membuka hati untuk orang lain itu bukan perkara mudah. Aku hanya perlu menunggu Ezar sebentar lagi."
"Sampai kapan? Apa lima tahun bagimu belum cukup untuk menunggu Ezar? Tanda-tanda dia akan melamarmu saja tidak ada."
"Aku akan memintanya melamar dalam waktu dekat."
"Silakan." Chris menganggukkan kepalanya. "Kalau kau berhasil, Papa tidak akan memaksamu menikah dengan Reega. Tapi kalau gagal, perjodohanmu tetap dilanjutkan dan kalian menikah satu bulan lagi," putus Chris final sebelum beranjak meninggalkan Rose dan Tyna.
"Mama yakin kau tidak akan menyesal menikah dengan Reega, Nak."
"Kalau begitu, aku yang tidak yakin." Rose memijat pangkal hidungnya. "Kenapa kalian selalu melakukan segala hal semaunya? Apa kalian pikir aku ini barang? Kenapa kalian tidak memikirkan perasaanku?"
"Ini hanya untuk kebaikanmu."
"Bukan." Rose terkekeh pelan. "Ini bukan tentangku, bukan tentang Papa, bukan juga tentang orang-orang yang bergantung di perusahaan."
Perempuan itu menarik napasnya sebelum berdiri. "Ini hanya soal uang, kan, Ma?"
***
Aroma khas roti yang dipanggang menguar ke seluruh penjuru ruangan. Rose mengedarkan pandang ke sekeliling, memperhatikan dari balik counter bagaimana karyawannya berlalu-lalang mengantarkan pesanan atau memasukkan adonan ke dalam oven. Dia selalu datang kemari setiap kali rumah terasa begitu sesak untuknya. Setidaknya, aroma lelehan mentega dan biji kopi yang melebur jadi satu bisa sedikit meringankan beban di kepalanya.
"Mungkin toko ini perlu dekorasi ulang." Rose menggumam. "Aku menginginkan toko ini punya nuansa semi-retro. Bagaimana menurutmu, Arka?"
Yang dipanggil Arka menoleh, kemudian ikut mengedarkan pandangan ke sekeliling toko. "Itu artinya kita harus merombak toko ini secara keseluruhan."
"Bukan masalah besar." Rose mengedikkan bahu dan menyesap teh kamomil yang sejak tadi ada di hadapannya. "I want it, I get it."
Ia kembali menghidu aroma manis adonan roti yang menguar dari proses pemanggangan di balik tirai yang menjadi sekat. Rose baru saja berpikir tentang mengubah dinding ruangan berwarna merah muda itu dengan warna krem, kemudian menggantung lampu kandelir di tengah ruangan sebagai rencana perombakan dekor ketika lonceng di atas pintu berdenting pelan.
Sedikit mengejutkan mengetahui bahwa seseorang yang baru saja memasuki toko dan berjalan ke arahnya merupakan sosok yang belakangan menjadi perbincangan publik dengan berita pernikahannya yang mendadak.
"Reega." Rose menggumam, meletakkan cangkir teh yang sejak tadi dipegangnya.
"Aku tidak mau basa-basi. Aku sengaja datang kemari untuk menemuimu, Rose." Reega berdiri tepat di depan Rose. Matanya menelisik seisi toko untuk mencari tempat yang sekiranya tidak terlalu menyita perhatian. "Aku perlu bicara berdua denganmu."
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Perjodohan, tentu saja. Sekaligus rencanamu dan orang tuamu yang dengan seenaknya melibatkan media.”
"Reega, apa maksudnya kau akan menikah?" tanya seorang perempuan cantik begitu terduduk di kursi penumpang samping kemudi mobil. Dia menatap tajam Reega, lantas mendapati raut wajah lelaki itu menegang."Aku akan menjelaskannya nanti." Reega kembali membawa mobilnya bersama dengan perempuan yang dicintainya itu ke suatu tempat.Tak jauh dari tempat perempuan itu menunggu tadi, Reega memarkirkan mobilnya di sebuah restoran. Dia mengajak kekasihnya masuk ke dalam, tepatnya di ruang VIP yang sudah dipesan sebelumnya."Jadi, bisa kau jelaskan perihal berita pernikahanmu?" Perempuan itu sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi. "Aku tidak percaya kau akan menikah dengan perempuan lain."Reega melempar senyuman walau terkesan memaksa. Dia berusaha menciptakan suasana yang hangat walaupun ada gelisah yang tertanam dalam dirinya."Kita makan siang dulu," ucap Reega sembari mengambil sendok dan garpu di meja. Makan siang mere
"Ezar, aku melepaskanmu."Kalimat pertama yang keluar dari bibir Rose sejak kedatangannya lima belas menit lalu ke kafe tempat Ezar bekerja paruh waktu, nyatanya mampu melunturkan senyum laki-laki itu dalam sekejap."Rose," panggil Ezar. Ditatapnya lekat-lekat manik mata Rose. "Kenapa begini?""Kenapa apanya? Aku akan menikah, tentu saja kita harus berpisah," ujar Rose."Sudah kukatakan, aku akan mencari jalan keluarnya. Kau hanya perlu menunggu dan bersabar. Apa sesulit itu untukmu?""Sampai kapan? Ezar, kalau kau mau, kita bisa melakukannya bersamaan. Kita bisa menikah dan kau tetap melanjutkan pendidikanmu."Ezar menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak bisa, itu tidak semudah yang kau bayangkan. Aku tidak mau membawamu dalam kesusahan hidup bersamaku.""Aku tidak peduli. Aku sudah mengatakannya berulang kali bahwa aku mencintaimu apa ada
Reega mempersilakan Rose duduk di sofa panjang ketika sekretarisnya memberitahukan sebelumnya, jika perempuan itu sudah datang. Sekilas dia mengamati penampilan Rose yang dia akui hari ini terlihat cantik."Ga?" panggil Rose seraya melambaikan tangan di depan wajah Reega.Yang dipanggil, lamunannya langsung buyar, dan mulai salah tingkah. Reega mengusap tengkuknya yang tidak gatal, lantas irisnya beralih pada dokumen di tangan.Reega berdeham. "Kita langsung saja. Beberapa hari lalu kita belum sempat membahas perjanjian ini." Lelaki itu menyodorkan dokumen itu pada Rose.Ini pertemuan kedua mereka secara privasi untuk membahas perjanjian pernikahan. Sebab saat itu, Ezar tiba-tiba datang dan membawa Rose pergi tanpa permisi. Dan hari inilah waktu yang di rasa tepat untuk membahasnya.Lagi, Reega mengamati wajah Rose yang sedang membaca dokumen. Perempuan itu tampak serius, sesekali manggut-manggut. Beberapa detik setela
Rose berdiri menghadap cermin besar di kamarnya, memandangi pantulan dirinya dengan gaun pengantin berwarna putih tulang, rancangan kelas atas dengan harga fantastis."Kau terlihat lebih cantik dari yang kubayangkan." Reega bersuara. Laki-laki yang sudah berstatus sebagai suaminya sejak pagi tadi itu duduk di tepian tempat tidur, memandangi Rose yang sedari tadi berputar-putar di depan cermin."Aku memang cantik. Kau ini ke mana saja?"Rose resmi menjadi Nyonya Auriga Kafi Meidiawan usai para saksi mengatakan sah. Dirinya cukup terkejut sebab tak menyangka bahwa Reega dapat menyelesaikan ijab kabul dalam satu tarikan napas.Mungkin, Rose pernah memimpikan pernikahan impiannya dulu bersama Ezar. Dengan wedding organizer terpercaya, make up artist profesional, bahkan mungkin mengundang penyanyi papan atas. Tapi sekarang, dia justru menikah dengan orang yang sama sekali tidak dicintain
"Kenapa bisa terjadi kebakaran?" tanya Damian disela-sela kepanikannya. "Apa semuanya sudah keluar?""Rose ... Di mana Rose? Di mana putriku?" Tyna mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat. "Reega, di mana Rose?!""Aku tidak tahu, Ma. Aku tidak bersamanya tadi." Reega juga panik, perempuan yang baru saja menyandang gelar istri di hidupnya belum ditemukan. "Jangan-jangan Rose masih di dalam?"Sambil menangis, Tyna terus berteriak. "Rose! Siapa pun tolong putriku, dia terjebak di dalam. Kenapa kalian diam saja!""Ma, tenang. Papa yakin Rose baik-baik saja." Chris, suaminya berusaha menenangkan Tyna."Aku akan ke dalam," ucap Reega namun sebelum masuk sudah ditahan lebih dulu oleh kedua orang tuanya. "Rose masih di dalam. Jangan halangi aku, dia bisa mati, Ma, Pa!""Papa mengerti, tapi lihat! Api sudah membesar. Kami juga tidak ingin kau kenapa-kenapa." Damian
Rose menatap jalanan dari balik kaca mobil. Selepas insiden tak menyenangkan yang menimpanya tadi malam, Reega memutuskan untuk membawanya pulang sebab dirasa rumah sakit tak lagi aman."Kau membawaku ke mana?" Rose mengernyit, merasa bahwa jalan yang mereka lalui bukanlah jalan ke rumahnya, bukan pula jalan ke rumah Reega."Ke rumahku," jawab Reega sambil memainkan ponselnya."Rumahmu? Tapi ini bukan jalan ke rumahmu, kan?""Aku sudah membeli rumah sendiri sejak jauh-jauh hari. Rumah yang rencananya akan kutinggali dengan Padma setelah kami menikah," jelas Reega. Ia memasukkan ponselnya ke saku jaket."Kalau begitu kenapa kau membawaku ke sana?""Memangnya kau mau tinggal bersama orang tuaku kalau aku tidak membawamu ke sana?" Reega balik bertanya, membuat Rose menggelengkan kepalanya kuat-kuat."Tapi barang-barangku masih ada di rumah,"
"Aku tidak menyangka kalau kau punya waktu luang untuk hal sepele seperti ini." Rose berucap seraya membuka bungkus kado."Aku mengambil cuti beberapa hari. Lagi pula, aku harus memastikan sendiri kalau semua kado ini aman.""Yang benar saja. Kita sudah membuka sebanyak ini, lihatlah! Tidak ada yang aneh ataupun mencurigakan. Mana mungkin mereka mencelakakan kita." Rose tidak percaya selagi belum mendapatkan keanehan apa pun. "Kecurigaanmu berlebihan."Reega membuang napas berat. "Siapa yang akan menjamin kalau kau benar-benar aman?"Bahu Rose merosot. "Ya, terserah kau saja. Lakukan apapun yang kau mau." Diambilnya kotak kado lain yang masih terbungkus rapi.Entah perasaan Rose mendadak tidak enak saat membuka kado yang dipegangnya. Benar saja, ada sesuatu yang aneh dari kado tersebut. Rose tidak berani membuka kado itu sebab aroma menyengat dan tidak sedap tertangkap hidungnya meski samar."Aaaaaaaa ...." Rose t
Hari-hari bagi Rose berjalan seperti yang sudah-sudah. Sudah satu minggu berlalu sejak pernikahannya dilangsungkan, dan selama itu pula kehidupan rumah tangganya berjalan tanpa ada halangan yang berarti. Kecuali teror boneka berdarah di awal pernikahan mereka. Selebihnya, tidak ada teror-teror lain setelah hari itu.Rose mengesah pelan, memilih untuk mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang bercokol di kepala. Kaki jenjangnya ia bawa melangkah memasuki toko kue kebanggaannya dengan tangan kanan menenteng tas dan tangan satunya membawa rantang makanan."Sudah sampai mana perombakannya?" Rose mendekati Arka, meletakkan rantang makanannya di meja.Arka menoleh, kemudian melipat kedua tangannya sambil bersandar pada pilar. "Sudah hampir selesai semuanya. Siang nanti aku akan pergi ke pusat kota untuk mencari beberapa lampu kandelir dan kepala rusa imitasi seperti permintaanmu kemarin," jelasnya. "Ngomong-ngomong, apa yang kau bawa itu?"