Psikolog Menjelaskan Arti Dari Canggung Dan Penyebabnya

Di grup kecil atau kencan pertama, canggung sering muncul tanpa undangan — aku cenderung menganggapnya sebagai alarm sosial yang terlalu sensitif.

Secara singkat, ahli bilang canggung muncul karena gap antara ekspektasi sosial dan kenyataan, plus dorongan untuk dinilai baik oleh orang lain. Otak kita suka pola; ketika pola itu terganggu, reaksi fisiologis dan mental ikut naik: jantung, napas, pikiran mengulang momen-momen yang dianggap memalukan. Dari pengalaman, penyebabnya bisa sepele — lelucon yang nggak nyambung, jeda panjang, atau salah baca bahasa tubuh — tapi di kepala bisa membesar jadi cerita negatif.

Trik praktisku adalah: terima dulu perasaan itu (tanpa menghakimi), tahan godaan untuk overexplain, dan gunakan humor ringan atau pertanyaan sederhana untuk memecah kebekuan. Kadang aku juga sengaja memegang secangkir minuman untuk memberi waktu jantung dan pikiran kembali normal. Dengan latihan kecil, momen-momen itu makin sering berlalu tanpa drama besar — dan malah jadi bahan cerita lucu nantinya.

Pernah kulewati momen ketika semua kata terasa tercekat dan tubuh ikut salah timing — itu sebenarnya jejak emosional yang cukup bisa dijelaskan secara psikologis.

Psikolog biasanya melihat canggung sebagai gabungan dari evaluative concern (kekhawatiran dinilai orang lain) dan social uncertainty (ketidakpastian sosial). Evaluative concern memicu overthinking: aku mikir, ‘Apakah aku terlihat aneh?’ lalu energi mental tersedot untuk memantau ekspresi sendiri, sehingga kemampuan membaca situasi jadi menurun. Social uncertainty muncul kalau konteksnya ambigu — misalnya grup baru, atau topik sensitif — sehingga otak nggak punya pedoman bagaimana bereaksi. Saat keduanya hadir, muncul perasaan hangat di tenggorokan, kecepatan bicara berubah, dan sering kali kita menghindari kontak mata.

Untuk meredamnya, aku belajar teknik sederhana: atur napas, fokus pada detail lawan bicara (entah warna baju atau mimik), dan ubah tujuan jadi ‘pahami’ bukan ‘terlihat keren’. Pendekatan kecil ini mengalihkan perhatian dari penilaian diri ke proses nyata interaksi, dan perlahan membuat momen-momen canggung kurang mengancam. Rasanya lebih lega ketika kubayangkan semua orang juga pernah berantakan dalam obrolan — itu membuat tekanan hilang dan obrolan berjalan lebih alami.

Aku sering berpikir canggung itu seperti lampu neon yang tiba-tiba berkedip saat aku lagi asik ngobrol — bikin semuanya terasa aneh dan perhatian terasa tertuju ke titik kosong di antara kata-kata.

Menurut penjelasan psikolog yang pernah kubaca, canggung itu pada dasarnya sinyal sosial: ada mismatch antara apa yang kita harapkan terjadi dalam interaksi dan apa yang sebenarnya terjadi. Otak kita punya ‘skrip’ percakapan — aturan implisit tentang kapan bercanda, kapan diam, bagaimana bereaksi. Kalau skrip itu gagal (misal lawan bicara nggak tertawa saat kita bercanda), kita jadi sadar diri, jantung berdebar, dan pikiran mulai nge-judge sendiri. Ditambah lagi, fokus berlebihan pada diri sendiri memperbesar setiap jeda atau kegagalan kecil menjadi bencana besar di kepala.

Dari pengalaman pribadi, penyebabnya bisa macem-macem: kecemasan sosial, kekurangan latihan percakapan, kultur yang nggak cocok, atau bahkan perbedaan humor dan bahasa tubuh. Ada juga faktor fisiologis — stres bikin mulut kering, suara serak, otot tegang — yang bikin kita keliatan atau merasa canggung. Cara ngatasinnya? Aku mulai belajar menerima awkward moment tanpa panik, mengalihkan fokus ke lawan bicara dengan tanya hal spesifik, dan latihan improvisasi ringan buat nambah fleksibilitas sosial. Kadang yang paling membantu adalah bilang hal yang sederhana dan jujur, seperti ‘Maaf, aku baru gugup,’ karena itu meredakan ketegangan dan bikin suasana lebih manusiawi. Intinya, canggung itu normal dan seringkali justru bikin kenangan obrolan jadi lucu belakangan — aku sendiri sekarang malah kadang tersenyum kalau ingat adegan canggung yang dulu bikin aku panik.