“Percayalah, kau tidak akan mendapatkan ujian diluar batas kemampuanmu.”
Aku ingin mempercayai kata-kata itu, dan meyakini diriku sendiri bahwa aku bisa melaluinya, meski dengan hati tercabik, dan jiwa yang patah.
“Tolong, Mi, tolong jangan bercerai dengan Abrar, Ibu mohon, demi Ibu.”
Ibu mertuaku menangis tersedu-sedu di hadapanku, memohon sambil menggenggam jemariku dengan sangat erat. Seakan ia baru saja melakukan kesalahan yang sangat besar.
“Ibu minta maaf. Ibu minta maaf atas nama Abrar, Ibu minta maaf karena nggak bisa mendidik dia dengan baik sampai dia begini sama kamu. Ibu minta maaf, Mi. Tapi tolong jangan bercerai. Ibu akan menegur Abrar dan meminta dia meninggalkan perempuan itu. Ibu janji. Tapi tolong jangan bercerai.”
Orang yang melihat adegan itu akan beranggapan betapa aku adalah menantu jahat yang dingin. Wanita tua itu hampir bersimpuh di kakiku, tapi tak ada emosi yang tertinggal di wajahku.
Mengapa mereka terus memintaku bertahan?
“Ibu mohon, Mi, ibu mohon sama kamu, tolong pikirkan lagi. Abrar cinta banget sama kamu, dan kamu juga masih sayang dia kan?”
Itu adalah pernyataan dan pertanyaan terkejam yang bisa kudengar. Aku tau apa yang akan menjadi jawabanku. Namun jelas penyataannya tentang cinta pria itu tentu hanya bualan belaka bukan? Ia bahkan tidak akan mengingat namaku saat mendesah bersama wanita itu.
Aku bergeming. Mataku menatap kosong rak buku berdebu di hadapanku. Apa yang tersisa di sana? Apa rak itu pernah tersentuh? Mengapa ada banyak sekali debu yang mendekam? Padahal dulu, ketika rak itu pertama kali diletakkan di sana, mereka sangat membanggakannya, seakan ia adalah hal yang paling sempurna yang mereka miliki.
Sekarang, ia hanya membeku, terlihat tapi tak tersentuh, tak berarti, dan terlupakan begitu saja.
Seperti hatiku.
“Ibu mohon, Mi. Ibu tau Abrar sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Wajar kalau kamu semarah itu. Tapi kalau kalian bercerai kasihan Andra. Dia nggak tau apa-apa tapi akhirnya dia yang menjadi korban. Tolong dipikirkan lagi, Mi.”
“Terus gimana dengan perempuan yang hamil itu, Bu?” tanyaku tanpa melihat matanya.
“Ibu akan meminta Abrar buat tinggalin dia. Bahkan kalau perlu ibu akan minta perempuan itu mengugurkan kandungannya!”
Itu hal yang jahat.
Namun, percayalah, kata-kata itu sedikit menghiburku.
Aku tau ini terdengar kejam, tapi aku sudah lelah menjadi satu-satunya orang yang bersikap baik ketika semua orang berlomba-lomba untuk mematahkan jiwaku.
Setidaknya, kupikir aku akhirnya memiliki satu dahan untuk bertahan. Untuk menopang tubuhku yang sudah berada di tepi jurang.
Namun, ketika aku melihat wanita itu menangis di dalam pelukan Ibu beberapa hari kemudian, aku sadar, bahwa dahan itu hanyalah sebuah fatamorgana.
***
“Tolong izinkan dia menikahi suamimu.”
Ada kalanya kupikir semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang suatu saat akan menghilang saat aku terbangun. Namun, entah bagaimana malam bergerak begitu lambat, hingga mimpi buruk ini tak pernah bermuara ke mana pun, kecuali rasa nyeri.
Pagi itu, Lina menghadangku. Ia memintaku ikut bersamanya, tapi aku menolak. Jadi, di trotoar yang sepi, di depan sekolah anak-anak kami, di depan restoran tempat kami biasa menghabiskan waktu, ia mengutarakan permintaannya kepadaku.
“Dia mengancam akan bunuh diri kalau tidak dinikahi suamimu.”
Lalu?
“Tapi aku nggak mau kamu bercerai dari suamimu, Mi.”
Betapa kejamnya, betapa serakahnya ia demi bisa membuat perasaannya sendiri menjadi jauh lebih baik.
“Aku tau selama ini kamu bergantung hidup sama Abrar. Aku nggak mau kalian bercerai dan akhirnya hidupmu dan Andra akan terlunta-lunta. Itu lah kenapa, tolong izinkan dia jadi istri kedua suamimu, Mi.”
Sebuah mobil box pengangkut barang berjalan melewati kami. Untuk sesaat aku menimbang, bagian manakah yang paling menyakitkan, mendorongnya ke arah truk itu, atau mendorong tubuhku sendiri.
“Sejak kapan?” tanyaku, tanpa melihat wajahnya.
“Apanya?”
“Sejak kapan kamu memutuskan buat sembunyiin perselingkuhan suamiku dan adikmu.”
“Mereka khilaf, Mi.”
“Berapa kali mereka tidur bersama, Na?”
“MIA!”
“Sekali? Dua kali? Atau terlalu sering sampai kamu nggak bisa menghitungnya lagi?”
Wanita itu terdiam. Dan aku harap ia merasa sedikit saja perasaan bersalah. Namun, saat aku mendengar isak tangis dari wanita itu lagi-lagi aku merasa terkhianati.
Aku yang terluka, dan ia yang menangis. Betapa lucunya.
“Lemme ask you one question, Na. Kalau perempuan ini bukan adikmu, apa kamu akan tetap memintaku melakukannya?”
Lina terdiam, dan aku sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaanku.
***
Beberapa saat yang lalu. “Jadi itu orangnya?” tanya Lily pelan. “Jadi, aku benar-benar terlambat sekarang?” Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka. Hening yang membungkam setiap aksara, tapi tetap menyisakan serpihan rasa sakit. Lily mengerjap perlahan. Napasnya mendadak lebih berat oleh sesal. Andai ia lebih cepat kembali, apakah tempat di hati pria itu masih miliknya seorang? “Aku minta maaf.” Pria itu menatap pilu. Namun Lily sama sekali tidak mengerti apa maksud dari kata maaf itu. Apakah ia baru saja meminta maaf karena sudah menempatkan sosok lain di hatinya? Jika memang ia menyesal, bukankah artinya mereka masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu? Bukankah artinya mereka bisa memulai dari awal lagi? Lily meremas jemari di atas pangkuannya. Jutaan pemikiran itu membuat dadanya semakin sesak. “Apa kita nggak bisa mulai dari awal lagi?” tanya Lily, menggantungkan seluruh harapny
Kinan tau, ia seharusnya tidak pernah membiarkan rasa ingin tahu menguasai dirinya. Karena saat itu terjadi, tidak ada apa pun yang ia dapatkan kecuali luka yang begitu dalam.Susah payah Kinan menahan isakkannya sampai ke toilet. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan seorang wanita kepada Andra. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata selama ini Andra bukannya tidak pernah bisa mencintai seorang wanita. Tapi, jauh di dalam lubuk hati pria itu, memang sudah tidak ada celah lain yang bisa dimasuki siapa pun.Karena seseorang dari masa lalunya, sudah mengambil tempat itu secara utuh.Kinan menangis pelan di dalam toilet, berharap tidak ada satu pun yang datang dan mendengar seluruh tangisnya. Ia mengutuki dirinya yang mencintai pria itu terlalu dalam.Sekarang, ia bahkan tidak yakin apakah ia bisa melupakan rasa cintanya kepada pria itu.Saat ponselnya bergetar, Kinan membuka pesan yang masuk sambil menyeka air matanya.Sebua
“Gimana kabarmu sekarang?” tanya Lily, memecah kesunyian yang tercipta di antara mereka. Ia menarik napas panjang berkali-kali, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. “Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi,” tambahnya dengan senyuman penuh haru.Rasanya masih seperti mimpi.Setelah lusinan hari berlalu dalam perasaan rindu yang menyesakkan, akhirnya mereka bisa kembali bertemu.Di dalam ruangannya yang sunyi, Andra duduk berhadapan dengan sosok yang selalu muncul dalam mimpinya. Berkali-kali ia berusaha mencari wanita itu, tapi berkali-kali pula Andra menemukan kegagalan.4 tahun yang lalu, Andra hampir saja menemukannya. Ia berhasil melacak keberadaan Lily yang bekerja di Singapura. Namun saat Andra pergi mengejar keberadaannya, wanita itu sudah pergi, ikut bersama kekasihnya kembali ke Indonesia. Dan hanya meninggalkan selembar foto yang Andra dapatkan dari perusahaan lamanya.Andra kembali ke Indonesia dengan be
“Eciieeeee!!!!!!!” pekik Willia kencang. Wajah marahnya melebur seketika, tergantikan senyuman yang sangat teramat lebar. Ia melompat kegirangan bersama Wisnu. Bahkan sekarang ia lupa tentang rasa sukanya kepada dokter muda itu. “Cieeeee cieeee!!! Gimana dokter Kinan? Dokter keberatan nggak jadi istri Om-ku?” tanya Willia tanpa basa-basi.Wajah cantik Kinan semakin bersemu merah. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Padahal beberapa saat yang lalu, ia hampir saja putus asa karena penolakan Andra. Namun, ternyata pria itu membalikan suasana hatinya sekedipan mata.Mata Kinan berkabut oleh air mata haru yang tak bisa ditahannya lagi. Apakah itu artinya cinta bertepuk sebelah tangannya selama 7 tahun sudah terjawab?“Gimana, gimana, Dok? Dokter keberatan nggak??” tuntut Willia tidak sabar.“Mm, mungkin kalau anaknya nggak kaya Willia, saya juga nggak keberatan,” gumam Kinan malu-malu.
“Pagi, Dokter An,” sapa beberapa perawat yang berpapasan dengan mereka di koridor. Andra mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.“Dokter Andra? Bukannya Dokter libur hari ini?” sapa seorang dokter muda dengan snelli di balik batiknya. Ia baru saja keluar pintu IGD dengan beberapa berkas di tangannya.“Dokter Wisnu.” Andra menghentikan langkahnya, membalas sapaan dokter umum itu.Melihat Andra berhenti, Willia ikut berhenti, meski berada jauh di depan.“Iya, hari ini saya lagi jadi keluarga pasien,” senyum Andra.“Eh, siapa yang sakit, Dok?”“Tante saya lahiran.”“Wah, punya sepupu baru dong?”Andra mengangguk.“Adiknya Willia?”“Iya. Tuh anaknya.” Andra menunjuk gadis kecil yang tengah bersembunyi di balik tiang rumah sakit. Ia tersenyum puas melihat kelakuan malu-malu Willia. Gadis itu memang sangat lemah
“Jadi itu yang namanya Dokter Kinan?” bisik Syila di telinga kakak iparnya. Saat ini, ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah operasi Caesar. Bayinya juga sudah berada di ruangan yang sama, dan baru saja selesai menyusu. Sekarang bayi itu sedang dikerumuni ayah, kakak, sepupu, dan gadis yang dipanggil Dokter Kinan.Miranda mengangguk pelan.“Ya ampun, cantik banget. Mbak yakin dia bukan artis?” desis Syila tidak percaya. Kinan adalah gambaran wanita cantik yang sempurna. Rambut hitam yang sehat, kulit seputih pualam, dan senyum secantik mawar. Ia pasti akan langsung melejit jika menjadi artis.“Hus. Dia dokter gigi.”“Tapi dia cantik banget, Mbak.”Miranda tidak membantah. Gadis itu memang menawan dan anggun.“Bisa-bisanya dewi secantik itu naksir Andra. Padahal dia anak yang punya rumah sakit kan?”Lagi-lagi Miranda hanya terdiam.“Pokoknya kalau sampai