Raffael melirik Ibunya sekilas. “Ibu sudah memaksakan pernikahan ini kepadaku. Ibu dan siapapun juga tidak ada yang bisa mengatur perasaanku! Selamanya saya hanya akan mencintai Natasya!”
Terdengar suara dengusan dari kursi bagian depan, di mana Ayahnya sedang duduk di samping sopir. “Mencintai, tetapi selingkuh! Sungguh konsep yang membingungkan,” timpal Ayah Raffael.
Raffael mengepalkan kedua tangan, bibirnya mengetat menahan marah, tetapi ia tidak melampiaskan amarahnya saat ini, karena ia menghargai Ibunya.
Setelah beberapa menit dalam perjalanan mobil yang ditumpangi Raffael pun berhenti di depan rumah Marsya. Terlihat sudah ada beberapa mobil dan kendaraan yang terparkir di depan rumah tersebut.
Raffael dan kedua orang tuanya turun dari mobil. Dirinya yang tidak memperhatikan hal lain, tidak mengetahui, kalau di belakang mobil mereka juga ada mobil dari beberapa orang saudara dekat orang tuanya, dengan membawa beberapa bingkisan.
“Ibu memang hebat! Bisa menyiapkan semua ini dalam waktu yang singkat.” Bisik Raffael kepada Ibunya.
“Karena Ibu tahu, kalau mengandalkanmu yang ada pernikahan kalian tidak akan terjadi. Dan anakmu akan lahir di luar pernikahan,” sahut Ibu Raffael.
Kedatangan mereka disambut oleh Marsya dan kedua orang tuanya, juga beberapa orang tetangga. Mereka semua duduk di kursi ruang tamu yang tidak terlalu luas.
Acara lamaran pun dimulai dan dicapai kesepakatan antara orang tua Marsya dan orang tua Raffael, kalau pernikahan akan dilangsungkan dalam waktu satu minggu lagi. Lebih cepat dari rencana awal.
Sontak saja Raffael menjadi terkejut, ia tidak mengira dirinya akan cepat menikah. Ia menatap Marsya dengan dingin, ia masih merasa dirinya sama sekali tidak menyentuh wanita itu, tetapi sekarang dirinya harus terjebak dalam pernikahan dengan wanita yang tidak dicintainya.
***
Natasya menatap layar ponselnya dengan perasaan bingung. Ia tidak habis pikir mengapa tunangannya menutup telepon begitu saja.
‘Apa yang terjadi? Mengapa sekarang Raffael juga memblokir kontakku?’ batin Natasya.
Ia sudah tidak berkonsenterasi lagi untuk belajar, setelah mendapat telepon singkat dari Raffael. Ia berdiri dari kursi yang didudukinya berjalan menuju jendela apartemennya dan berdiri di sana.
Jalanan terasa lengang, karena sekarang memang tengah malam, di Berlin. Hanya lampu jalanan saja yang menerangi. Natasya memutar cincin pertunangan yang ada di jarinya.
Hatinya merasa, kalau hubungannya dengan Raffael tidak baik-baik saja. Dan tunangannya itu menyembunyikan sesuatu yang besar darinya.
Natasya tertidur di kursi yang didudukinya. Ia terbangun, karena bunyi alaramnya yang terdengar nyaring.
Dirinya bangun dari tempat duduknya berjalan menuju kamar mandi. Ia mengisi bathub dengan air hangat, yang ia masukkan sabun mandi cair. Kemudian Natasya menceburkan dirinya ke dalam bathub tersebut.
Natasya mandi berendam, sambil membayangkan wajah tampan Raffael. ‘Saya merindukanmu, Raffa! Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?’ Tanya hati Natasya.
Diakhirnya mandi berendam, setelah air menjadi dingin. Ia keluar kamar mandi, dengan memakai jubah mandi. Ia berjalan menuju lemari pakaian diambilnya sebuah gaun lengan pendek, dengan panjang di atas lutut.
Selesai berpakaian Natasya keluar kamar menuju dapur, lalu duduk di depan meja bar. Diambilnya selembar roti tawar, kemudian ia olesi dengan selai kacang. Ia memakan rotinya dengan nikmat, sambil mengecek ponsel berharap Raffael menghubunginya.
Natasya harus menelan kekecewaan, karena sama sekali tidak ada pesan, atau panggilan dari Raffael. ‘Kau sudah tidak sayang kepadaku lagi, Raff,’ gumam Natasya.
Nafsu makan Natasya menjadi hilang, ia pun meletakkan sisa roti bakarnya di atas piring. Namun, ketika ia hendak beranjak dari duduk ponselnya berbunyi nyaring. Mata Natasya berseri senang, ia mengira yang meneleponnya adalah Raffael. Namun, ternyata Papinya.
‘Halo, Ca! Maafkan, Papi harus memberikan kabar kepadamu. Kamu harus segera pulang ke Indonesia, Ca,’ ucap Ayah Natasya, melalui sambungan telepon.
‘Ha-lo, Papi! Apa yang terjadi? Tolong katakan kepada Caca sekarang juga!’ ucap Natasya dengan suara bergetar, karena gugup.
‘Papi tidak bisa mengatakannya, kamu segera saja pulang ke Indonesia dan kamu tidak akan kembali lagi ke Jerman.’ Papi Natasya mematikan sambungan telepon begitu saja.
Natasya menarik napas dengan berat. Ia menjadi gugup, karena belum pernah Papinya berlaku, seperti tadi di telepon.
Diletakkannya telepon di atas meja ia, kemudian mengeluarkan pakaiannya dari dalam lemari dan memasukkannya ke koper besar. Berikut dengan barang-barang pribadi miliknya, setelah selesai, ia memesan taksi online untuk ke bandara.
Setelah, melalui penerbangan yang panjang dan melelahkan Natasya tiba juga dengan selamat di bandara Internasional Seokarno-Hatta. Ia menyeret kopernya keluar dari bandara di mana, sebuah taksi sudah menunggunya.
Semakin dekat dengan rumahnya jantung Natasya semakin berdebar kencang. Kedua tangannya terasa dingin, karena ia tidak tahu apa yang akan ia temui, ketika sampai di rumah nanti.
Sesampai di depan rumahnya Natasya berdiri terdiam memandangi rumahnya, yang terlihat sepi. Natasya melangkah dengan pelan menaiki undakan tangga menuju teras rumah.
‘Kenapa pintu rumah tidak dikunci?’ batin Natasya, ketika ia dengan mudahnya membuka pintu tersebut.
Diletakkannya begitu saja kopernya, ia memanggil kedua orang tunya dengan suara nyaring. “Mami! Papi! Saya sudah pulang!”
Didengarnya suara langkah menuruni tangga. Melihat kedua orang tuanya dalam keadaan baik-baik saja membuat perasaan Natasya menjadi lega. Ia berlari menaiki tangga untuk memeluk Mami dan Papinya secara bergantian.
“Kenapa Papi begitu misterius, ketika di telepon?” Tanya Natasya, sambil mengusap air mata yang membasahi wajahnya.
“Duduklah! Nanti akan kami katakan kepadamu.” Mami Natasya merangkul pundaknya mengajak putrinya itu menuruni tangga menuju ruang keluarga.
Mereka semua duduk di sofa yang berbentuk huruf L. Natasya duduk di antara Papi dan Maminya. Namun, sebelum Papinya mulai bercerita Natasya dipersilakan untuk minum dahulu.
Tidak sabar menunggu apa yang akan dikatakan oleh Papinya, Natasya menghabiskan es jeruk minuman favoritnya sampai habis. “Sekarang Papi sudah bisa menceritakannya kepadaku.”
Papi Natasya menarik napas dalam-dalam terlihat ia berat untuk mengatakannya kepada putrinya itu.
“Perusahaan kita bangkrut! Papi kena tipu rekan bisnis papi. Rumah ini, bahkan sekarang bukan milik kita lagi. Kita harus segera berkemas, sebelum diusir dari rumah ini,” ucap Papi Natasya.
Badan Natasya menjadi bergetar, air matanya jatuh meleleh membasahi pipinya, karena ia tidak percaya mendengar apa yang terjadi.
“Kamu tidak marah dengan Mami dan Papi, ‘kan Ca? Kita sekarang bukan lagi orang kaya dan kita harus berjuang dari nol lagi.” Mami Natasya bertanya kepada Natsaya dengan suara bergetar, karena ia juga sedang menangis.
Natasya berbalik untuk memberikan pelukan kepada Maminya. Dengan suara yang tersendat ia berkata, “Caca tidak marah kepada Mami dan Papi, kita akan membangun usaha kita kembali.”
Beberapa jam, kemudian setelah Natasya cukup beristirahat. Ia dan kedua orang tuanya memasukkan barang-barang yang bisa mereka bawa ke dalam kardus.
Natasya berdiri di dalam kamar air matanya mengalir dengan deras, karena ia harus meninggalkan kamar yang telah ditempatinya sejak ia masih kecil. Begitu juga dengan rumah besar ini.
Tidak ingin berlama-lama merenungi kamar yang harus ditinggalkannya. Natasya dengan cepat keluar dari kamar tersebut dan bergabung dengan kedua orang tuanya, yang sudah berdiri di teras rumah.
Sebuah truk sudah disewa Papi Natasya untuk mengangkut barang-barang mereka. Sementara mereka bertiga menumpang taksi yang sudah dipesan, karena beberapa mobil milik keluarga mereka pun sekarang sudah berpindah tangan.
Sepanjang perjalanan Natasya berusaha untuk tidak menangis, agar kedua orang tuanya tidak merasa bersedih.
Taksi berhenti di depan sebuah rumah yang mungil dan hanya memiliki dua kamar saja, serta satu kamar mandi.
“Apa kamu kecewa, Ca? Karena sekarang kita harus tinggal di rumah yang begitu kecil, seperti ini?” Tanya Papi Natasya.
Dengan cepat Natasya menggelengkan kepala, karena ia tidak mau Papinya merasa bersalah. Ia mengatakan, kalau dirinya tidak masalah di mana sekarang harus tinggal.
***
Beberapa hari, setelah kepindahan mereka Natasya meminta ijin kepada kedua orang tuanya, kalau ia akan pergi untuk mencari pekerjaan.
Dengan menaiki bis kota, sesuatu yang belum pernah Natasya lakukan. Ia nekat datang ke perusahaan milik Raffael berharap tunangannya itu akan membantu.
Wajah Natasya berseri dengan harapan sedikit masalah keluarganya akan terpecahkan. Dengan langkah yang percaya diri Natasya berjalan memasuki gedung perusahaan Raffael.
“Apa kamu percaya, kalau Pak Raffael akan menikah dengan Marsya, wanita yang bekerja di bagian administrasi itu,” ucap sebuah suara.
Langkah Natasya langsung terhenti, senyum di bibirnya hilang, dengan jantung yang berdebar kencang. ‘Tidak mungkin Raffael akan menikah dengan Marysa! Mereka pasti membicarakan orang lain,’ batin Natasya.
“Iya, padahal Pak Raffael sudah mempunyai tunangan. Dan kabarnya tunangan Pak Raffael itu merupakan sahabat dari Marsya. Tega sekali Marsya itu merebut tunganya sahabat sendiri,” timpal temannya.
Natasya menguatkan diri untuk berjalan mendekati dua orang wanita yang sedang mengggosip tersebut. Ia tahu, kalau mereka tidak mengenalinya, karena tidak pernah bertemu dengannya.
“Maaf, dapatkah kalian memberitahukan kepada saya kapan dan di mana pernikahan dari Pak Raffael dengan Bu Marsya akan diadakan?” Tanya Natasya dengan suara bergetar.
Sontak saja Ades menjadi kalap, ia meraih gelas yang ada di depannya kemudian ia lempar ke arah Raffael. Yang dengan cepat dapat menghindar. “Kamu brengsek! Mengapa kamu melakukan hal itu kepadaku? Apakah karena pengasuh itu? Dirimu berubah setelah melihat ia berada di rumah ini. Ada hubungan apa kalian sebenarnya?”Raffael diam ia menatap pecahan gelas yang berhamburan di lantai. Dirinya tidak menduga kalau Ades akan bersikap kalap seperti itu.“Sepertinya kamu tidak bisa dengan mudah menerima keputusan dariku. Natasya adalah mantan tunanganku dan aku masih mencintainya. Maaf, kalau kau merasa kupermainkan, tetapi aku tidak bisa membohongi diriku lagi dan sekarang aku akan berusaha mendapatkan maaf, serta cintanya lagi,” ungkap Raffael.Ades terduduk kembali di kursinya dengan kasar. Air mata jatuh semakin deras membasahi wajahnya. Hatinya hancur karena dianggap hanya sebagai wanita cadangan saja. Setelah pria itu bertemu kembali dengan mantan kekasihnya, ia dicampakan bak barang yan
Natasya hanya bisa pasrah saja, satu sisi dirinya ingin menolak apa yang dilakukan Raffael. Namun, bagian dirinya yang lain ingin merasakan sekali saja bercinta dengan pria yang masih ia cintai.“Tolong! Perlahan, aku masih perawan.” Bisik Natasya.Raffael terdiam, ia memandang tidak percaya Natasya. Disela tawanya ia berkata, “Kau bermaksud membodohiku! Kau pikir aku ini anak kecil yang akan percaya begitu saja.”Beberapa menit berselang Rafael menjadi terkejut tidak percaya. Karena apa yang dikatakan Natasya memang benar adanya. Diciumnya pelipis wanita itu dengan lembut. “Terima kasih, sudah menjadikan diriku yang pertama.”Digulingkannya badan berbaring di samping Natasya. Dengan satu tangan memeluk wanita itu. Seakan ia takut kalau Natasya akan pergi darinya.Natasya melirik Raffael yang sudah terlelap di sampingnya. Air mata jatuh membasahi pipinya. Ia tahu sudah melakukan dosa dengan membiarkan Raffael menyentuhnya. Namun, ia tidak menyesali apa yang sudah terjadi.Diusapnya ai
Sontak saja Natasya menjadi terkejut, ia membalikan badan. Dilayangkannya senyum tipis kepada Ades. “Yang kulakukan sama sekali bukanlah urusanmu! Aku juga tidak peduli dengan apa yang kau tuduhkan.”Setelah mengatakan hal itu Sasha membalikan badan hendak berlalu pergi dari sana. Karena ia tidak mau berada lebih lama lagi di tempat yang sama dengan kekasih Raffael.Langkah Natasya terhenti ketika ia mendengar nada suara Ades yang terdengar mencemooh, “Tentu saja aku tidak akan mengatakan kepada Raffael kalau bertemu denganmu. Aku bahkan lebih suka kalau kau tidak menampakan dirimu di rumah itu lagi.”Wanita itu kemudian berlalu pergi dari hadapan Natasya. Membuat Natasya memandangi punggungnya dengan kesal.‘Mengapa wanita itu terus saja membuatku marah? Mereka berdua memang pasangan yang serasi,’ batin Natasya.Ia masuk mobil lalu duduk di balik kemudi. Dikemudikannya mobil menuju rumah sakit. Sesampainya di sana ia langsung membereskan administrasi untuk operasi papinya.Keesokan h
Tidak mau terjadi keributan Natasya bangkit dari duduknya. “Maaf, saya akan makan di dapur.”Dengan anggukan kepala ia berjalan keluar dari ruang makan. Saat melewatii Raffael dan kekasihnya, ia mengangkat kepala. Menatap pasangan itu dengan raut datar. “Akhirnya kau sadar diri juga! Semoga kau tidak berpura-pura amnesia dan kembali makan di ruangan ini,” sindir Ades.Natasya menghentikan langkah, ia menatap wanita itu dengan tajam. “Saya memang pengasuh di rumah ini. Sementara Anda adalah kekasih pemilik rumah ini. Akan tetapi, apakah kau yakin Raffael akan menikahimu? Karena kudengar ia pernah bertunangan lama, tetapi ia justru menikahi sahabat tunangannya.”Raffael menggeram marah. ia memberikan pelototan pada Natasya. Dicekalnya lengan wanita itu setengah menyeret ia membawa wanita itu keluar. Didorongnya dengan kasar, hingga punggung Natasya menempel pada dinding.Tangan Raffael berpindah memegang dagu Natasya dengan kasar. Sampai kuku-kuku jarinya terasa menusuk daging, tetapi
“Kau pengecut! Selalu memilih untuk pergi.” Raffael menatap tajam punggung Natasya.Langkah Natasya terhenti, tetapi ia tidak membalikkan badan untuk melihat Raffael. “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Tuan! Anda sudah mengatakannya dengan begitu jelas.”Dilanjutkannya kembali berjalan memasuki rumah. Sesampai di depan pintu kamar Tiara, ia membukanya pelan. Diliatnya kalau gadis cilik itu tidur dengan nyenyaknya.‘Akh, sebaiknya aku pergi keluar saja untuk mencari makan,’ batin Natasya.Ditutupnya kembali pintu kamar Tiara dan berjalan memasuki kamarnya sendiri. Diambilnya tas tangan berisikan dompet, serta ponsel. Setelahnya, ia keluar kamar menuruni tangga. Di bawah anak tangga ia berpapasan dengan Raffael yang akan naik. Sambil menundukkan kepala ia berjalan melewati pria itu.Tiba-tiba saja lengannya ditarik dengan kasar, hingga ia membentur dada Raffael. Suara kesiap karena terkejut lolos dari bibirnya.“Mau pergi kemana kau?” desis Raffael dengan suara tertahan.“Maaf, Tu
Nadi Natasya berdenyut cepat, ia menundukkan kepala tidak sanggup menatap mata Raffael. Agar pria itu tidak melihat kalau kata-katanya kembali melukai Natasya. “Terima kasih, untuk kesekian kali diingatkan. Maaf, saya yang sudah besar kepala.”Natasya berenang mengabaikan Raffael, ia berenang menuju Tiara yang berada dalam pelampungnya. “Apakah kamu mau turun dari tempatmu itu bermain air dengan Nanny?”Senyum cerah terbit di wajah Tiara, ia tidak mengetahui kalau nannynya sedang sedih. Gadis cilik itu merentangkan kedua tangan meminta diangkat dari pelampungnya.Dengan sigap Natasya melakukannya. Ia sengaja membawa Tiara berenang ke bagian yang terjauh dari Raffael. Suara tawa senang gadis cilik itu mampu menghibur Natasya membuatnya melupakan sejenak kata-kata kasar dari majikannya.“Apakah kau sudah lelah berenang? Kita naik ke atas ya karena hari sudah mulai gelap.” Ajak Natasya kepada Tiara.Anggukkan kepala Tiara berikan kepada Natasya. Selain sudah lelah, ia juga merasa mengant