Nayla Azzahra adalah dokter anak yang cerdas, sabar, dan penuh kasih—terutama pada pasien-pasien kecilnya. Tapi hidupnya berubah total saat bertemu Rey, bocah lima tahun yang superaktif dan Papanya, Alvaro Arsenio Juhar —seorang CEO dingin, perfeksionis, dan nyaris tanpa ekspresi. Pertemuan mereka seharusnya hanya sebatas dokter dan wali pasien. Tapi satu insiden tak terduga, satu malam penuh kesalahpahaman, dan satu keputusan dadakan—mengubah segalanya. Tiba-tiba, Nayla harus menjadi "istri" dari pria yang tak dikenalnya. Alvaro tidak percaya pada cinta. Pernikahan baginya hanyalah kontrak sosial—dan Nayla hanyalah solusi sementara demi reputasi perusahaan dan stabilitas Rey. Tapi semakin hari, cara Nayla menyentuh hidupnya—dan hatinya—tidak bisa lagi dianggap biasa. Mampukah dua orang yang tidak saling mengenal, dan menikah karena keadaan, berubah menjadi dua orang yang tidak bisa hidup tanpa satu sama lain? Atau justru… cinta itu hanya akan jadi salah satu kontrak jangka pendek yang berakhir ketika semuanya tenang?
Lihat lebih banyakHari ini, aku hanya ingin datang ke pernikahan sahabatku. Itu saja.
Tapi entah mengapa, semesta seperti sedang iseng—atau mungkin terlampau bosan—hingga memutuskan menjadikanku tokoh utama dalam drama yang bahkan tidak kutulis sendiri. Aku berdiri di depan ballroom mewah Hotel Virelle Grand, menyibak sedikit gaun satin warna biru gelap yang menggantung rapi di tubuhku. High heels lima senti sudah mulai menyiksa, tapi aku tahan. Demi Mira, sahabatku, yang akan melepas masa lajang hari ini. “Pernikahan Mira di ballroom L,” bisikku, membaca ulang pesan dari grup bridesmaid. Aku melihat ke arah kiri, lalu kanan. Dua ballroom besar di lantai yang sama. Satu bertuliskan huruf emas: L. Satu lagi: R. Tapi di pintu ballroom R, seorang wanita dari event organizer melambai-lambai ke arahku dengan ekspresi lega. “Dokter Nayla, ya? Cepat masuk, acara hampir mulai!” katanya sambil menarik lenganku. Aku refleks mengikuti. Mungkin ini bagian dari kejutan sahabatku? Aku tahu Mira suka drama. Lima detik kemudian, aku sudah berdiri di belakang panggung kecil dengan bunga-bunga putih berjejer di kanan-kiri. Musik romantis mulai mengalun. Seorang pria tinggi bersetelan jas abu-abu berdiri membelakangiku, tampak tenang dan gagah. "Silakan naik, Nona. Selamat bertunangan," bisik seorang panitia sambil menyerahkan buket bunga ke tanganku. TUNANGAN? Aku hampir menjatuhkan buket. Tapi sebelum sempat bicara, MC sudah mulai berbicara ke mikrofon. "Hari ini, kita akan menyaksikan pertunangan dua insan luar biasa—Tuan Muda Alvaro Arsenio dan calon istrinya, dokter Nayla Azzahra!" Aku merasa seperti akan pingsan. Apa yang barusan dia katakan?! Orang-orang bertepuk tangan. Blitz kamera mulai menyala. Dan pria yang berdiri di sebelahku—ternyata Alvaro Arsenio Juhar, CEO super terkenal yang wajahnya sering muncul di majalah bisnis—menoleh perlahan. Aku tidak tahu apa yang lebih gila dari ini semua. Berdiri di panggung megah, dikelilingi kilau lampu kristal dan denting musik klasik, dengan tangan menggenggam buket bunga, dan seorang pria asing berdiri di sampingku seperti memang sudah ditakdirkan menjadi pasangan hidupku. Padahal satu jam lalu aku masih sibuk mencari lipstik di dompet kecilku, berharap sempat ke kamar kecil sebelum acara resepsi pernikahan Mira dimulai. Dan kini? “Apa yang barusan MC katakan?” bisikku lagi, berharap semua ini cuma ilusi. Tapi Alvaro Arsenio Juhar tidak tampak seperti bagian dari halusinasi. Sorot matanya tajam, nyaris dingin, namun penuh kontrol. “Kamu bukan tunanganku,” katanya pelan, tapi tegas. “Dan kamu bukan pria yang aku inginkan,” balasku dengan suara yang sama pelannya. Seketika itu juga, seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan mendekat. Kalung mutiara berkilau di lehernya, dan senyumnya begitu lebar saat memelukku tiba-tiba. “Cantik sekali kamu, Nak. Terima kasih sudah mau menerima Alvaro.” Aku membeku. Beliau adalah Zura Juhar, Ibunda Alvaro. Sebelum sempat menjawab, cincin dikeluarkan dalam kotak beludru hitam. MC dengan sigap menuntun kami untuk saling menyematkan. Aku bahkan belum sadar sepenuhnya ketika cincin mengkilap itu sudah melingkar di jari manisku. Dan seakan itu belum cukup, Bunda Zura kemudian menggantungkan kalung berlian putih ke leherku. “Simpel tapi anggun, seperti kamu,” katanya, sambari tersenyum lebar. Aku menoleh ke arah Alvaro, memohon dengan mata. Berhenti. Tolong. Aku bahkan belum tahu golongan darahmu! Tapi dia hanya menatap ke depan, bibirnya bergerak nyaris tak terdengar. "Tolong mainkan peranmu. Hanya malam ini. Harga diri keluarga dipertaruhkan." Harga diri siapa?! Aku bahkan belum kenal keluargamu! Namun sebelum kesadaranku kembali, pria yang dikenalkan sebagai Zain Juhar—ayah Alvaro—naik ke panggung pertunangan dan memberikan sambutan hangat tentang “generasi baru keluarga Juhar yang akan memimpin masa depan.” Aku seperti sedang berada di dunia yang bukan milikku. Satu-satunya hal yang masuk akal bagiku hanyalah— kenyataan bahwa high heels-ku cukup tajam untuk menusuk kaki sendiri jika aku butuh alasan jatuh. Acara pertunangan mewah itu berjalan lancar. Bahkan terlalu lancar. Dan ketika semua orang mulai sibuk menikmati hidangan dan menghampiri Alvaro, aku menepi, berniat mencari pintu darurat untuk melarikan diri. Namun seseorang menarik ujung gaunku. Aku menunduk. Anak kecil. Laki-laki. Umurnya sekitar lima tahun. Rambut ikal dan mata bulat seperti kelereng madu. “Mama?” katanya pelan. Aku terpaku. “Eh?” Dia mengerjap. “Mama, ayo kita pulang sekarang.” Aku panik. Beberapa tamu di sekitar mulai menoleh. Salah satu wanita dengan kebaya brokat mencubit lengan temannya dan berbisik, “Anaknya lucu banget! Persis Mamanya.” Apa? Anak? Mama? “Eh, maaf, Nak, kamu mungkin salah orang—” Aku mencoba tersenyum, menunduk ke arah si bocah. Tapi dia malah menggenggam tanganku erat. “Papa Al bilang kamu mama baruku.” Papa?! Aku menoleh. Dan saat mataku bertemu dengan manik kelam milik Alvaro dari kejauhan, aku tahu. Hari ini aku tak hanya salah masuk ballroom. Tapi, aku juga baru saja salah masuk di kehidupan seseorang.“Mas, jangan kayak gini!” seruku panik, saat Alvaro terus menciumi tengkukku tanpa jeda.Namun dia tak berhenti. Malah tertawa pelan di dekat telingaku, nafasnya hangat menyapu kulitku. “Kenapa? Kamu geli, ya?” godanya, suaranya berat tapi dibungkus tawa nakal yang khas Alvaro.“Mas Al!” seruku lagi, mencoba mendorong tubuhnya pelan. Tapi tentu saja, dia lebih kuat.“Bukankah aku sudah minta maaf?” gumamnya sambil tetap memelukku erat.Aku mendelik. “Itu minta maaf untuk apa?!”Dia mengangkat wajah, masih dengan senyum jahil yang bikin deg-degan. “Ya, siapa tahu aku bakal bikin kamu marah. Jadi mending minta maaf duluan.”Aku memukul dadanya pelan. “Mas, itu namanya licik.”“Lho, bukankah lebih baik minta maaf dulu, daripada menyesal nanti?” ujarnya enteng, lalu mencuri satu kecupan lagi di ujung bahuku.Aku menjerit pelan. “Mas!”Alvaro tertawa geli, lalu berkata dengan nada penuh pembelaan, “Mana aku tahu kalau mencium istri sendiri bisa dikategorikan sebagai ‘pelanggaran berat’.”“
"Mas—kok belum tidur?" tanyaku sambil berdiri di ambang pintu balkon, dengan segelas air putih di tangan.Alvaro menoleh, terlihat agak terkejut. Ponsel masih tergenggam di tangannya, meski layarnya sudah mati. Raut wajahnya tegang, tapi langsung melunak begitu melihatku.“Belum ngantuk,” jawabnya, berusaha terdengar santai. “Kamu ngapain bangun?”“Aku haus,” kataku sambil mendekat. “Tapi sepertinya kamu baru saja menelpon seseorang. Ada masalah?”Bukannya menjawab, Alvaro malah melambaikan tangan pelan, menyuruhku mendekat. Tanpa pikir panjang, aku melangkah mendekatinya, dan begitu cukup dekat, dia langsung menarikku ke dalam pelukannya.“Yang nelpon barusan El,” jawabnya, dagunya bertumpu di atas kepalaku.“El?” tanyaku sambil sedikit mendongak, mencoba menatap wajahnya. “Kenapa malam-malam gini?”“Katanya dia juga nggak bisa tidur. Jadi ya, ujung-ujungnya ngajak bahas kerjaan,” balasnya.Aku mengangkat alis. “Serius? Solusi insomnia di keluarga Juhar itu ngobrolin kerjaan?”Dia te
Keesokan harinya, suasana rumah sakit terasa berbeda. Ada ketegangan samar yang sulit kujelaskan. Senyum para perawat yang biasanya ramah kini tampak kaku, dan beberapa staf medis terlihat terburu-buru saat bertemu denganku—seolah sengaja menghindariku.Saat makan siang bersama Mira di kantin, aku akhirnya tak bisa menahan diri untuk bertanya.“Kok orang-orang di rumah sakit kelihatan aneh, ya?” bisikku sambil menyeruput jus semangka. “Apa cuma perasaanku saja?”Mira mengangkat alis, lalu menoleh ke sekeliling. Setelah memastikan tak ada yang terlalu dekat, dia membalas dengan suara pelan.“Bukan cuma kamu yang ngerasa. Aku juga,” ucapnya sambil meletakkan sumpit. “Tapi keanehan ini bukan dimulai dari pagi. Semuanya mulai terasa ganjil sejak aku jemput kamu di ruang praktek tadi.”“Apa ini ada kaitannya sama kabar pertunanganku dengan Alvaro?” tanyaku pelan, nyaris berbisik.Mira menatapku sejenak, lalu mengangguk. “Mungkin iya,” jawabnya akhirnya. “Soalnya aku denger-denger, sekarang
Sesampainya di apartemen, aku langsung menggendong Rey ke kamarnya. Pelan-pelan aku membaringkannya di ranjang, menarik selimut sampai ke dagunya. Dia hanya bergumam sebentar dan membalikkan badan, lalu kembali tidur. Aku duduk sebentar di tepi ranjang, memandangi wajah kecilnya yang tenang, sebelum akhirnya berdiri dan keluar, menutup pintu dengan pelan.Aku berjalan menuju balkon. Alvaro ada di sana, berdiri membelakangi pintu, bersandar di pagar balkon. Tangannya memegang rokok yang belum dinyalakan. Dia menoleh saat mendengar suara pintu. “Rey udah tidur?”Aku mengangguk. “Hmmm.”Dia kembali menatap ke arah jalanan kota. Lampu-lampu dan kendaraan yang lalu-lalang memantul di matanya. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya dia bicara, menjawab pertanyaan yang tadi sempat menggantung.“Nggak pernah,” ucapnya pelan. “Aku nggak pernah bilang hal kayak gitu ke siapa pun. Nggak ada juga yang pernah nanya. Mereka datang, lalu pergi, dan aku nggak pernah coba untuk menahan siapa pun.”A
Sepanjang makan malam, Rey tampak sangat lengket dengan Opa Barra. Bahkan untuk makan pun, dia minta disuapi—padahal di rumah, dia biasanya makan sendiri tanpa bantuan siapa pun. Aku sengaja membiarkannya, sekalian memberi kesempatan agar hubungan Rey dengan keluarga Juhar semakin dekat. Lagi pula, melihat kedekatan Opa dan cucunya itu membuat hatiku ikut hangat.Sementara itu, papanya— masih saja bersikap manja padaku. Belum juga sempat menyentuh makananku, Alvaro sudah merengek minta diambilkan lauk ini dan itu. Bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali, sampai piringnya penuh sesak dengan berbagai macam makanan."Nay, boleh minta tolong ambilin ikan bakarnya juga? Sama sambalnya sekalian," ucapnya sambil menyodorkan piring—lagi.Aku menghela napas, mencoba tersenyum meski dalam hati sudah ingin menjitak kepala pria satu ini. “Mas, tanganku cuma dua. Mau sekalian minta disuapin?”Dia malah mengangguk cepat. “Kalau boleh sih, iya.”Sebelum aku sempat merespons, suara Oma Narumi terden
Aku dibuat pusing dengan kelakuan Alvaro. Sejak kami masuk rumah, dia terus saja bergelayut manja padaku, seperti anak kecil yang takut ditinggal. Padahal saat ini aku sedang sibuk membantu Oma Narumi memasak makan malam di dapur.“Mas, serius deh, sana temenin Rey main,” bisikku sambil berusaha mengaduk sup di panci besar.“Tapi aku lebih suka nemenin kamu,” jawabnya santai, dagunya bersandar di pundakku.Aku meliriknya tajam. “Mas Alvaro.”“Hmm?” sahutnya pura-pura polos.Aku menghela napas. Sudah tiga kali kusuruh dia pergi dari dapur, tapi tetap saja kembali dan menempel seperti lem. Bahkan Ila yang baru saja lewat sampai geleng-geleng kepala dan menegurnya.“Al, kamu tuh ganggu Nayla masak. Lagian Rey dari tadi manggil-manggil kamu. Jangan manja banget, deh. Geli tau,” semprot Ila dengan nada setengah kesal.Alvaro hanya melirik sepupunya sekilas, lalu menoleh padaku. “Liat, bahkan Ila cemburu karena aku nggak nempel sama dia.”Ila mendengkus, lalu berlalu begitu saja tanpa menan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen