Ketuk palu hakim terdengar nyaring, sebagai tanda tali pernikahan yang selama ini mengikat Desti dan Tomi telah putus, mereka sudah bukan lagi suami istri. Desti menunduk, jari-jarinya mencengkeram erat kain rok sederhananya. Tapi, tak ada lagi tangis, air mata pun sudah kering.
Di sebelahnya, Tomi kini lebih tampan dan menawan dengan penampilan barunya. Dari potongan rambut, kemeja yang bermerek dan jam tangan mewah menunjukkan jika lelaki yang kini sudah menjadi mantan suaminya telah naik kelas. Saat Tomi akan menghampiri Desti, Kanza yang sejak tadi berada di belakanganya segera menghampiri. Seolah tidak memberi kesempatan kepada Tomi untuk mendekati mantan istrinya lagi. Perutnya yang sudah membuncit, tersamarkan gaun mahal yang dia kenakan. “Akhirnya,” ucap Kanza penuh kelegaan sambil menyambar lengan Tomi. “Sebentar lagi kita akan menikah, Sayang.” Tak ingin menyaksikan drama pasangan selingkuhan yang sedang kasmaran, Desti segera bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang sidang. Samar-samar telinganya masih menangkap pembicaraan penuh antusias antara Kanza dan Tomi yang sedang merencanakan pesta pernikahan mereka. “Aku sudah pesan ballroom di Royal Heritage, untuk dekorasi aku sudah pesan yang dipakai pasangan artis yang baru menikah kemarin. Bagus, kan?” tanya Kanza dengan nada manja. “Bagus.” Ya, tentu semuanya bagus bagi Tomi. Meski menghabiskan budget yang melimpah, tetapi dia tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Desti melangkah dengan tegap, meskipun hatinya terasa hancur. Ia tidak langsung pulang. Di balik pintu gedung pengadilan, seorang petugas wanita dengan wajah ramah menunggunya sambil menggendong Bayu, bayi mungil yang masih terlelap dalam selimut biru. “Terima kasih, Bu. Maaf merepotkan,” ucap Desti pelan sambil mengambil Bayu dengan hati-hati. “Tidak apa-apa, Bu Desti. Semoga diberikan kekuatan,” balas petugas itu dengan senyum simpati. Desti mengangguk kecil, lalu membalut tubuh Bayu dengan kain jarik bermotif floral yang sudah usang namun tetap bersih. Dengan satu tangan memeluk bayi itu dan tangan lainnya memegang tas sederhana berisi perlengkapan bayu, dia berjalan di bawah terik matahari yang menyengat. Tidak jauh dari sana, di balik kaca mobil mewahnya, Kenzo memandangi Desti dengan raut wajah yang sulit terbaca. Matanya mengikuti langkah mantan istri Tomi itu, yang sesekali merapikan kain jarik untuk melindungi Bayu dari teriknya sinar matahari. Kenzo yang sebelumnya ingin segera kembali ke kantor setelah memastikan proses perceraian Tomi berjalan lancar, memutuskan diam sejenak menatap Desti yang sedang berdiri di tepi jalan. “Kenapa tidak menunggu di tempat teduh?" pikir Kenzo, jemarinya mengetuk-ngetuk setir tanpa sadar. Hingga akhirya dia melihat Desti memasuki mobil angkutan."Kenapa tidak naik taksi yang lebih nyaman? Kasihan anaknya.” Tiba-tiba ada sesuatu yang mengusik hati Kenzo. Sejak awal, dia tahu hubungan Kanza dengan Tomi dibangun di atas pengkhianatan. Tetapi, bagi Kenzo kehormatan keluarganya lebih penting. Reputasi yang sudah dibangun sejak lama, jangan sampai tercoreng oleh skandal Kanza yang hamil di luar nikah. Semua aib itu harus segera Kenzo tutup rapat. *** Kenzo duduk di kursi kepala saat rapat berlangsung, tangannya mengepal di atas dokumen laporan keuangan. Suasana ruangan yang awalnya tenang tiba-tiba berubah tegang ketika salah satu pemegang saham, mengeluarkan pernyataan mengejutkan. "Saya ingin mengusulkan untuk dilakukan revisi tentang syarat kepemimpinan di perusahaan kita. Sebaiknya pemimpin haruslah seseorang yang sudah menikah, memiliki stabilitas dalam kehidupan pribadi. Ini semua kita lakukan demi citra perusahaan." Beberapa kepala mengangguk setuju. Kenzo mengerutkan kening, matanya berpindah ke Rayhan, pamannya yang duduk di seberang dengan senyum tipis. "Apa-apaan ini?” Kenzo menahan nada kesalnya. “Apa hubungannya status pernikahan dengan kinerja perusahaan?" "Opini publik penting, Kenzo," sela Rayhan dengan halus, tapi terlihat penuh perhitungan. "Belakangan ini... ada rumor yang kurang sedap tentangmu. Kamu yang sudah di usia matang tapi belum juga memiliki pasangan membuat publik menduga-duga.” Kenzo mengetukkan pena ke meja, "Kalau ingin jadi pemimpin, tunjukkan prestasi kalian, bukan bergosip kotor seperti ini. Kita di sini untuk membahas strategi bisnis." Tapi Rayhan tak berhenti. "Sayangnya, pasar tidak memisahkan antara kinerja dan citra pribadi. Jika investor ragu karena isu ini, saham kita bisa terjun bebas." Seorang peserta rapat lainnya tiba-tiba bersuara, "Saya setuju dengan Pak Rayhan. Kalau bicara prestasi, saya rasa Pak Rayhan pun tidak perlu diragukan lagi. Beliau juga punya kontribusi besar pada perusahaan. Jika Pak Kenzo belum siap, mungkin memang lebih baik…." "Lebih baik apa?" sergah Kenzo dengan suara dingin dan tatap mata penuh amarah. "Kalian mau menggulingkan saya hanya berdasarkan rumor tanpa bukti?" Rayhan menghela napas panjang, terlihat sedih. "Ini bukan soal pribadi, Kenzo. Tapi tentang kelangsungan perusahaan keluarga kita." Brak. Terdengar suara meja digebrak dengan keras. Kenzo menatap wajah peserta rapat satu per satu. “Jangan gunakan gossip murahan itu untuk menutupi masalah besar yang sedang kita hadapi.” Kenzo menatap satu per satu wajah dewan direksi yang turut hadir dalam rapat. “Saya sudah berhasil meyakinkan investor dan membuat saham kita rebound. Dan kita tahu penyebab utama turunnya harga saham kita karena adanya kebocoran informasi finansial kita ke kompetitor bulan lalu. Itu yang harusnya kita selidiki. Bukan urusan pribadiku.” Kenzo meluapkan amarahnya. “Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan investigasi masalah kebocoran informasi?” tanya Rayhan seolah menantang. "Satu bulan," jawab Kenzo dengan mantap sambil menatap Rayhan dengan dingin. “Kita harus menemukan pelakunya, dan menyingkirkan dari perusahaan ini.” "Baik." Senyum tipisnya mengembang di bibir Rayhan. "Satu bulan juga waktu yang kau punya untuk membuktikan rumor itu salah. Kau harus sudah menikah sebelum tenggat itu habis." "Lelucon macam apa ini, Om?" Kenzo terlihat geram. "Ini bukan lelucon, Ken. Keluarga butuh kepastian, dan perusahaan butuh stabilitas. Jika kau bisa membersihkan namamu dalam satu bulan, maka tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan." “Jangan halangi investigasi dengan kesepakatan konyol seperti ini. Mengurus pernikahan itu tidak mudah.” “Dengan uang segalanya akan mudah. Kau bisa membayar wedding organizer untuk mengatur pernikahan impianmu.” Kenzo terdiam, tatap mata Kenzo memindai seisi ruangan. Wajah-wajah itu, beberapa menunduk, beberapa mengangguk, semua setuju. Mereka sudah memutuskan. Ini bukan lagi rapat, tapi penghakiman. “Baik,” ucap Kenzo akhirnya, meskipun berat. “Satu bulan. Tapi ingat, siapa pun yang terbukti terlibat dalam pembocoran rahasia perusahaan, harus menerima konsekuensinya dan meninggalkan perusahaan ini.” Rayhan tersenyum, dan sorot matanya terlihat penuh binar kemenangan. "Sepakat." Rayhan mengulurkan tangannya. Kenzo menerima uluran tangan pamannya. Jabat tangan antara paman dan ponakan itu adalah pertanda persaingan di antara keduanya dimulai. Kenzo berdiri, jas hitamnya jatuh sempurna di bahunya yang tegap. Dia tidak menunggu diskusi berakhir. Dia berjalan keluar dengan langkah mantap dan dipenuhi amarah. Baru saja masalah Kanza yang hamil di luar nikah bisa diatasi. Adiknya itu telah menikah dan sedang berbulan madu ke Maldives. Kini timbul masalah baru yang harus dia hadapi sendiri, sang paman tampaknya sengaja membuat masalah untuk menyingkirkannya. Kenzo sadar, Rayhan adalah dalang atas semua kekacauan yang terjadi. Tapi dia butuh bukti kuat untuk menyingkirkannya. Setelah Kenzo berhasil memulihkan kondisi perusahaan yang sempat tertekan, Rayhan kembali melempar rumor dirinya gay. Kenzo yakin itu semua dilakukan sang paman untuk menghalangi langkahnya yang akan melakukan audit dan investigasi. Kenzo sudah menyusun tim audit dan investigasi. Tapi yang menjadi masalah besar saat ini adalah, bagaimana caranya dia bisa mendapatkan seorang istri hanya dalam waktu satu bulan?"Baik, kita mulai dari hal sederhana," ucap Anita sambil memperbaiki posisi duduk Desti. "Cara duduk yang anggun, bagaimana memegang cangkir teh dengan benar, bagaimana berjalan dengan postur yang percaya diri. Ini bukan soal menjadi orang lain, tapi bagaimana kamu tampil dengan percaya diri di mana pun kamu berada."Anita mengajarkan Desti cara duduk tegak, cara mengatur posisi kaki, bahkan cara tersenyum yang tepat di hadapan orang banyak. Desti beberapa kali salah, bahkan canggung memegang cangkir teh."Aduh, Bu, saya nggak bisa. Saya takut nanti jadi bahan tertawaan orang."Anita menatap Desti dengan mata hangat. "Tahu nggak, Desti? Kepercayaan diri itu bukan tentang tidak pernah salah. Tapi tentang bagaimana kamu tetap berdiri dengan anggun meski kamu salah."Desti terdiam. Kata-kata itu perlahan menembus dinding rasa mindernya.Anita melanjutkan, "Kamu punya modal besar. Kepribadian kamu yang baik, dan … tentunya dukungan dari suami. Yang kamu butuhkan sekarang cuma belajar untu
Kenzo menghela napas panjang. Perlahan, dia menarik tubuh Desti ke dalam pelukannya. Desti menatap wajah Kenzo yang begitu dekat, menunggu jawaban. Berharap sesuai harapan.Sorot mata Kenzo menatap tajam namun lembut kepada Desti, memberikan kehangatan sekaligus tekanan yang membuat dadanya terasa sesak."Aku tidak akan mengizinkan kamu bekerja sekarang," bisik Kenzo, suaranya terdengar tegas tapi tetap lembut.Ada kecewa di mata Desti. Dia ingin membantah tapi hatinya sudah lelah dan tidak siap berdebat dengan Kenzo.Desti segera mengubah posisinya untuk segera bersiap tidur. Amarah yang coba dia tahan membuatnya enggan untuk menatap suaminya, hingga dia memiringkan tubuh membelakangi Kenzo."Bayu masih terlalu kecil. Dia butuh kamu sepenuhnya di masa tumbuh kembang."Desti menghembuskan napas panjang, mencoba menelan segala rasa kecewanya. Dia tahu Kenzo tidak sepenuhnya salah, tapi perasaan tidak berdaya itu tetap menghantuinya."Tapi… aku melakukan ini semua untuk masa depan Bayu.
Sore itu, langit tampak kelabu seakan mencerminkan hati Desti yang diliputi kegundahan. Di kamar yang hangat dan nyaman, Desti duduk di sisi tempat tidur sambil menatap Bayu yang sudah terlelap dalam tidurnya. Nafas bayi kecil itu naik turun dengan damai, sesekali mengerucutkan bibir mungilnya seolah masih menyusu dalam mimpi.Hati Desti terasa perih, bukan karena apa yang kurang, tapi karena kekhawatiran yang perlahan mencengkeram."Bagaimana jika suatu hari Kenzo bosan? Bagaimana jika dia menyesal telah menikahi janda sepertiku?" pikir Desti, menggigit bibirnya sendiri.Meski kini hidupnya serba berkecukupan, bayang-bayang masa lalu saat dia harus mengais harapan dengan Bayu di pelukannya, masih membekas kuat.Desti tidak ingin kembali ke titik itu. Dia sadar, sepenuhnya bergantung pada Kenzo bukanlah pilihan yang bijak. Dia ingin bisa berdiri sendiri, memiliki simpanan, dan tetap punya harga diri.Ketika malam menjelang, suara mobil Kenzo terdengar di halaman. Desti buru-buru merap
Di ruang kerjanya yang sunyi, Kenzo duduk termenung di kursi kulit hitam favoritnya. Tangannya menyusuri permukaan meja kerja, menyentuh bingkai foto pernikahannya dengan Desti yang biasanya menenangkan, namun kini tak sanggup menyingkirkan kabut pikiran yang menyesaki benaknya.Dennis berdiri tak jauh darinya, diam seribu bahasa, menunggu aba-aba dari atasannya. Di hadapan mereka terhampar dokumen hasil audit yang baru diterima pagi tadi, disertai lampiran-lampiran transfer dana dan tanda tangan Kanza.“Rasanya tidak mungkin,” ucap Kenzo lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Kanza memang manja… tapi dia bukan penipu.”Dennis mengangguk kecil, ragu-ragu sebelum akhirnya memberanikan diri bersuara, “Saya juga merasakannya, Bos. Ada yang tidak beres. Tapi Pak Wahyu dan timnya sudah memverifikasi semua bukti dengan teliti. Beliau bukan tipe auditor yang gampang salah, apalagi selama ini reputasinya bersih.”Kenzo memijat pelipisnya, frustrasi. “Tapi Kanza terlalu ceroboh
Pagi itu langit tampak mendung, tapi langkah Kenzo memasuki ruang rapat utama Arsyad Group begitu tegap dan penuh percaya diri. Di belakangnya, Dennis membawa map tebal berisi salinan laporan investigasi lengkap.Para direksi sudah duduk di tempat masing-masing. Rayhan duduk di ujung kanan meja oval besar, wajahnya tetap tenang seperti biasa, seolah tahu bahwa dia tidak akan tersentuh.Kenzo duduk di kursinya sebagai Direktur Utama, lalu memberi anggukan pada pihak auditor eksternal, seorang pria paruh baya bernama Pak Wahyu dari firma audit kenamaan.“Silakan dimulai, Pak Wahyu,” ujar Kenzo.Pak Wahyu berdiri dengan tenang, membuka presentasinya lewat layar besar di hadapan para direksi. Slide demi slide mulai tampil, memaparkan hasil audit investigatif selama satu bulan terakhir.“Pertama,” ucap Pak Wahyu, “kami menelusuri dugaan penyimpangan dana pada beberapa proyek investasi Arsymond Luxury dan Arsynova Tech. Hasil audit menunjukkan indikasi kuat adanya penggelembungan anggaran d
Malam semakin larut. Hujan rintik-rintik menyentuh jendela kamar, menghadirkan suara lembut yang menyatu dengan cahaya redup lampu tidur. Desti dan Kenzo terbaring berdampingan di atas ranjang. Bayu sudah terlelap di boxnya, sementara Desti menyender di dada Kenzo, jari-jarinya bermain pelan di dada bidang suaminya.“Maaf…” ucap Desti pelan.Kenzo membuka mata, menoleh sedikit, menatap wajah istrinya yang nampak bersalah.“Untuk apa?” tanya Kenzo suaranya berat tapi tenang.“Untuk kepergian Kanza… Bagaimanapun, dia adikmu. Aku merasa… aku penyebabnya.”Kenzo menghela napas dalam. Tangannya terulur dan membelai rambut Desti dengan lembut.“Itu bukan salahmu. Sudah saatnya Kanza belajar mandiri dan bersikap dewasa. Dia sudah menikah. Sekarang tanggung jawabnya ada di tangan suaminya, bukan aku.”Desti diam. Hatinya sedikit lega, tapi masih ada yang mengganjal.Namun ada yang mengagetkannya, saat dengan gerakan tiba-tiba Kenzo memutar tubuhnya sedikit, agar bisa menatap wajah Desti denga