Silvi membenci Julian, begitu membencinya lebih dari apapun sejak SMA. Baginya, Julian adalah pria rendahan yang kerap membenarkan niat buruk dengan dalih cinta. Siapa sangka sembilan tahun setelah Silvi merasa bebas darinya, ia akan bertemu kembali dengan Julian sebagai bawahan pria itu! Lebih parahnya lagi, Julian masih sama buruknya dengan dulu dan Silvi tahu ia tak akan bisa kabur lagi dari pria itu.
Lihat lebih banyak“Kamu nggak mendengarkan kata sambutanku sampai akhir.” Suara itu tenang dan ramah, terlalu ramah hingga membuat Silvi terlalu takut untuk mengangkat wajahnya.
Sambutan, arti dari kata itu sudah melebur jika dia yang menyebutkannya. Itu bukan lagi omong kosong atau kata yang sebenarnya tak berarti yang diucapkan di atas panggung. Kata sambutan dari pria itu tidak pernah berarti ucapan selamat datang atau perkenalan. Tapi pengingat yang terus mengatakan bahwa ia tidak akan bisa lari dari dirinya. Sama seperti hari ini, ketika ia kira sekarang masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Hari-hari di mana ia bisa lepas dari kendali pria itu. Tapi dia kembali, naik ke atas panggung lengkap dengan sambutan kepadanya, sebagai anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dan semua orang bertepuk tangan, seolah mereka saling bekerja sama, mengejek ilusi kebebasan yang telah Silvi bangun selama ini. Tidak ada yang berubah, semua masih sama dengan saat itu, saat Silvi hanya seorang siswa yang terus mempertahankan harga diri yang bukan lagi miliknya dengan kebohongan. Dan dia di sana, tertawa mengejek sambil bertepuk tangan memuji pentas yang Silvi mainkan. Lalu, tanpa sedikitpun rasa bersalah, Julian si pria brengsek itu membisikkan kalimat di telinga Silvi yang untuk pertama kalinya membuat ia menangis. Sambil memeluknya erat seolah itu pengakuan cinta. “Aku melakukannya karena aku tidak mau kamu melupakanku, Silvi. Terus ingat siapa aku.” Dan sama seperti harapannya, Silvi tidak pernah melupakan nama itu lagi, nama yang terus muncul di mimpi buruknya: Julian. Bahkan ketika dia tidak ada di hadapan SIlvi selama bertahun-tahun lamanya hingga akhirnya mereka bertemu lagi sekarang. “Aku... perlu ke toilet.” “Supaya kamu nggak perlu melihat wajahku?” Silvi tidak menjawab. Ia terlalu lelah untuk berbohong, tapi juga terlalu takut untuk menjawab jujur. Ia tahu Julian dengan baik dan pria itu tidak suka sesuatu yang tidak berjalan sesuai keinginannya. Julian mengangkat dagu Silvi dengan jari telunjuknya, memaksa agar mata mereka bertemu. “Kamu cantik. Sama seperti dulu.” Dan kamu sama mengerikannya seperti dulu. Matanya bergerak ke sekeliling, ke karpet merah yang seolah sengaja dibentang untuk mengejeknya, ke dinding-dinding yang polos tanpa gambar yang mulai terlihat seperti penjara. Apa pun... asal bukan Julian. Lalu matanya jatuh ke arah beberapa pegawai hotel yang mencuri pandang ke arah mereka sambil berpura-pura fokus pada barang yang mereka bawa. Silvi bisa merasakan tatapan mereka, seolah seluruh dunia menyaksikan setiap detik ketidakberdayaannya. Sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. “Ah...” Julian yang tadi hanya menyentuh dengan telunjuknya kini menggenggam wajah Silvi erat. Membuat gadis itu meringis. “Kenapa kamu terus melihat ke arah lain, padahal aku sedang bicara denganmu?” Silvi menatap Julian. Senyum lebar Julian kini hilang, digantikan dengan tatapan marah yang membuatnya merasa tercekik. “Jangan melewati batas, Silvi. Aku tidak suka.” Tidak suka? Dia bicara seolah aku ingin berada di situasi seperti ini. Ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Bertahun lalu, Julian juga pernah memaksa wajah Silvi menghadapnya, menuntut perhatian dengan cara yang menyiksa. Dan mengatasnamakan perasaan sebagai dasar dari perilakunya yang tidak masuk akal. Jari Julian berpindah dari dagunya ke rambut, menyusuri helaiannya pelan, dengan kasih sayang palsu yang justru mengintimidasi. Ia membungkuk, mencium helaian rambut yang berada di tangannya. “Masih wangi. Seperti yang kuingat.” Sial. Dia masih sesakit itu. Silvi menepis tangannya, ekspresinya berubah jijik. “Katakan sejak awal kalau anda hanya berniat untuk membuat saya tidak nyaman.” Julian hanya tertawa kecil. Bukannya marah, senyumnya justru semakin lebar. Silvi membuang muka. Sadar bahwa dia sudah menunjukkan emosinya, sesuatu yang paling Julian inginkan. “Benar. Nada sinis dan arogan itu lebih cocok denganmu. Persis seperti Silvi yang kuingat, begitu tidak tahu diri.” Wajah Silvi memerah, matanya mulai memanas karena emosi yang mendidih dalam dirinya. Tangan Julian kembali mendekat, tapi Silvi memalingkan wajah. Hanya beberapa helaian rambut yang sempat menyentuh kulit dingin pria itu. “Saya tidak akan bersikap arogan kalau anda tidak bersikap seperti ini.” “Oh, ya? Maksudmu seperti apa?” Silvi ragu, tapi akhirnya menjawab lirih, “Anda bertingkah seperti orang mesum.” Julian tertawa lepas. Beberapa pegawai hotel melirik ke arah mereka. Silvi menunduk, malu dan tak nyaman. Ia tidak lagi menyukai tatapan orang-orang yang melihat ke arahnya dengan penasaran. Tidak, karena itu hanya mengingatkannya pada luka masa lalu yang coba dikorek oleh Julian. "Aku cuma memperlakukanmu seperti seseorang yang penting bagiku. Apakah itu salah, Silvi?" Silvi tersenyum, sinis. Tapi berusaha menyembunyikan ekspresinya dibalik juntaian rambut di wajahnya. “Bukan seperti cara memperlakukan orang yang penting bagi anda.” “Kenapa? Karena aku cuma boleh menyentuh wanita yang satu level denganku?” Wajah Silvi memucat. Perkataan itu... dia masih ingat. “Saya... nggak bermaksud seperti itu…” bisiknya. Ia memeluk tubuhnya sendiri. “Saya salah bicara. Saya minta maaf.” Julian membuka tangan, seolah memamerkan dirinya. “Aku juga belajar banyak, Silvi. Tidakkah kamu melihatnya? Sekarang jawab pertanyaanku.” Dengan nafas tercekat, Silvi berbisik, “Pertanyaan apa?” Silvi hampir tidak berani mengangkat kepala. Ia tahu apapun jawaban yang diberikan hanya akan membawanya semakin dalam ke permainan Julian. Tapi Julian menunggu, dengan tatapan menusuk yang seolah dapat menembus pikirannya. “Apakah sekarang aku sudah berada di level yang bisa jadi kekasihmu?” Silvi membeku. Pria ini gila. Jauh lebih gila dari siapapun yang ia kenal. Tapi jika ia melawan, Julian bisa menjungkirbalikkan hidupnya dengan mudah. “Saya hanya karyawan di perusahaan keluarga Anda,” ucapnya pelan. “Kalau begitu, siapa yang sekarang berada di level lebih tinggi?” Senyum mengejek muncul di bibir Julian. Silvi menatapnya, nyaris tak percaya. Ia menggigit bibir dan menjawab lirih, “Anda.” “Aku nggak dengar.” “Anda, Pak Julian!” Kali ini Silvi berteriak. Tapi tangannya bergetar, menahan emosi yang hampir meledak. Dia sedang mempermainkanku, pikir Silvi. Dan aku... tidak punya pilihan selain bermain dalam permainannya. Julian menyentuh bahunya, senyum puas merekah di wajahnya. Selalu seperti ini, ia akan membuat Silvi tidak mampu melawan dan kemudian ia akan tersenyum. Seolah semua yang ia lakukan adalah bentuk kasih sayang. “Berbahagialah, Silvi. Karena aku tidak keberatan menurunkan levelku... hanya untuk kamu.”Satu minggu berlalu dan Julian masih belum menyadari bahwa ada cincin yang menghilang dari lemarinya. Pria itu benar-benar hanya membeli tanpa memperhatikannya lagi. Uang di dompetnya juga sama, Julian tidak mencurigai ada yang hilang dari dalamnya.Silvi mengambilnya sebagai pertanda bahwa sejauh ini yang ia lakukan masih aman. Jika dia bisa mengambil satu saja perhiasan yang bernilai tinggi, itu bisa cukup sebagai dana daruratnya jika Silvi akhirnya memutuskan untuk pergi.Silvi menatap kembali lemari itu dengan dada yang berdebar keras. Apa yang harus ia ambil hari ini? Apa yang kemarin hanya beruntung? Bagaimana jika yang dia ambil kali ini sesuatu yang punya nilai di mata Julian?Atau haruskah ia mengambil salah satu tas desainer yang dipajang rapi di dalam lemari itu? Kalau dia bisa mengambilnya, benda itu punya nilai yang cukup tinggi. Tapi Silvi tidak mungkin bisa menyembunyikannya tanpa ketahuan.Silvi membuka lemari perhiasan dengan tangan gemetar. Ia menarik napas dalam-dal
“Aku mau sarapan di bawah.” Julian yang berdiri di ambang pintu untuk mengambil sarapan mereka ke lantai satumembalikkan badannya dan menatap Silvi yang berdiri di belakangnya.“Ya?”“Akau udah lama ga keluar kamar Julian.” Silvi berbicara dengan ragu-ragu, kedua tangannya ia sembunyikan di punggung, meremas satu sama lain. “Aku bosan…”Julian menatap Silvi ragu. Ia membuka mulutnya sesaat lalu menutupnya lagi. Julian belum mengatakan apapun, tapiSilvi mulai merasa cemas.. Apa pria itu berhasil mencium niatnya yang sebenarnya??“...Tunggu sebentar.” Ucap Julian akhirnya setelah berpikir beberapa saat, “Aku ke bawah dulu.”Silvi menganggukkan kepalanya pelan dan mendengarkan pintu kembali dikunci. Ia menghela nafas, tidak menyadari bahwa ia telah manahannya sejak tadi. Pria itu curiga. Silvi tahu Julian terlalu pintar untuk dibodohi seperti ini, tapi bagaimanapun juga dia tetap harus mencoba. Julian memastikan satu per satu pintu dan jendela telah terkunci begitu dia sampai di lant
Positif.Ada dua garis di sana dan Silvi sudah membaca petunjuk serta melihat hasilnya ratusan kali. Berkali-kali ia membolak balik kertas petunjuk itu seolah isinya bisa berubah jika Silvi berusaha lebih keras untuk membacanya.Isakan yang sejak tadi ia tahan mulai keluar dari bibirnya, air mata Silvi mulai membasahi ponselnya yang ia pegang, yang lagi-lagi mencoba mencari tahu, karena siapa tahu, hasilnya bisa berbeda. Siapa tahu dua garis di sana tidak menyatakan positif.Tapi tidak ada, semua mengatakan sama, dua garis berarti positif. Dan Silvi tidak sanggup membohongi dirinya lagi. Ia berjongkok di lantai kamar mandi, menampung wajahnya sendiri di kedua telapak tangannya dan menangis keras.Harusnya ia tidak bertingkah bodoh, harusnya ia tidak pernah membiarkan Julian menyentuhnya. Sekarang pria itu punya alasan baru untuk menahannya dan semua adalah hasil dan kebodohan Silvi sendiri.“Bodoh… bodoh…” Silvi merutuk, membisikkan kalimat penghinaan pada dirinya sendiri di antara is
Pagi itu, Silvi terbangun dengan tubuh lemas dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Mual datang tanpa aba-aba, menghantam perutnya begitu kuat hingga ia bergegas menuju kamar mandi. Suara muntah menggema di dalam kamar mandi dan tubuhnya gemetar hebat saat ia akhirnya terduduk di lantai kamar mandi.Pandangan Silvi kabur. Napasnya memburu. Dunia di sekelilingnya mendadak sunyi, kecuali suara detak jantungnya yang berdegup terlalu keras di telinga. Saat ia mencoba mengatur napas dan menyeka sisa muntah di bibirnya, pikirannya mulai memutar kemungkinan yang tidak ingin ia akui.Tidak mungkin, kan?Tapi… sudah berapa lama dia tidak datang bulan? Silvi memang sering kali terlambat datang bulan karena rasa stress. Tapi…Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dengan suara cepat, “Bu Silvi?!”Lina berdiri di ambang pintu, wajahnya panik saat melihat Silvi terduduk di lantai dengan tangan yang gemetar hebat. Tanpa menunggu aba-aba, Lina berlari mendekat, berlutut di sampingnya, dan meraih t
Silvi memperhatikan Lina yang masuk ke kamar dengan gerakan canggung. Tangannya membawa beberapa bungkusan dan Silvi sudah bisa menebak apa isinya. Tas, pakaian, heels semua merupakan merek desainer terkenal.“Dari Pak Julian, Bu.” tentu saja itu semua dari Julian, siapa lagi yang bisa memberikannya hadiah di rumah ini selain pria itu. Silvi yang tengah duduk di sofa di dekat jendela, hanya menatap Lina dan hadiah itu sebentar dengan kaki menyilang dan membuang mukanya. Lina yang sesaat berdiri canggung memutuskan untuk membawa semua barang-barang itu ke closet seperti biasa.Julian terus membanjirinya hadiah sejak hari itu, hari dimana Silvi berusaha lari dan justru kembali merangkak padanya karena tidak punya tujuan. Tidak ada kata maaf, tidak ada kata ‘aku bersalah’. Hanya ada hadiah. Hadiah yang bahkan Silvi tidak tahu apa fungsinya karena Julian bahkan tidak mengizinkannya melewati ambang pintu.Julian masih muncul sesekali, mengecek apa yang Silvi lakukan bagai seorang sipir p
Celine tidak pernah menyangka akan kembali ke kantor Julian. Tapi di sanalah ia sekarang, duduk diam di balik kemudi, mobilnya berhenti di parkiran di seberang lobi dengan tembok kaca yang megah. Ia parkir di sana dengan sengaja, berharap keberanian akan datang lebih mudah jika ia berada sedekat ini.Tapi kenyataan justru sebaliknya. Setiap detik berlalu terasa seperti hukuman. Turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam gedung itu akan terasa seperti pengakuan dosa, dan Celine, betapapun berat rasa bersalah yang ia pendam, baru sadar bahwa ia belum cukup berani untuk mengakuinya.Celine menatap jam di dashboard. Sudah hampir satu jam. Ia hampir menangis frustasi karena kesal pada dirinya sendiri yang terlalu pengecut. Celine kembali menatap ke arah lobi dan di sanalah ia melihatnya.Seorang pria tinggi keluar dari pintu depan gedung dengan langkah cepat. Di tangannya ada sebuah kotak besar. Celine tidak tahu siapa namanya, tapi wajah itu terasa tidak asing. Mungkin dari kantor J
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen