Adriano berdiri memandang Clarabelle yang tampak begitu cantik dan anggun. Balutan gaun putih tulang yang membungkus tubuh mungil Clarabelle, membuatnya makin menarik dan mempesona. Mahkota bunga yang menghiasi kepalanya menambah dia makin tampak rupawan.
“Sayang, kamu siap?” Adriano mengulurkan tangan pada Clarabelle. Ada senyum tipis muncul di bibirnya.
Dengan hati berdebar tak karuan, Clarabelle mengangguk. Dia menyambut tangan kanan ayahnya, berjalan di sisinya, bersiap menuju tempat dia akan menemui mempelai pria yang telah menanti. Clarabelle sedikit gemetar. Jantungnya tak bisa berdetak dengan normal. Tubuh terasa panas dingin. Perut terasa mual seolah diaduk-aduk.
Clarabelle tidak tahu akan jadi bagaimana hidupnya setelah ini. Pria seperti apa yang akan dia temui? Apakah dia baik? Apakah dia tampan? Seorang pekerja keras dan penyayang atau … Semua pertanyaan beruntun berkejaran di kepalanya, sementara selangkah demi selangkah Clarabelle memasuki area yang telah disiapkan dan didekorasi begitu cantik untuk menyambut hari istimewa dalam hidupnya itu.
Tamu-tamu sudah datang duduk di tempatnya. Tidak banyak yang hadir. Beberapa teman, termasuk dua sahabatnya Susan dan Jack, yang masih saja kurang lega dengan keputusan Clarabelle. Mereka masih kuatir jika pria yang datang dengan cara ajaib ini nantinya akan menorehkan luka pada Clarabelle seperti kekasih-kekasihnya yang terdahulu.
“Tersenyum, Sayang. Dengan begitu kamu akan sedikit lebih tenang. Ini hari bahagiamu. Siapapun pria itu, yakinlah dia pasti pria yang baik.” Adriano berbisik sementara mereka berjalan di atas karpet merah, di antara deretan bangku tamu yang hadir.
Clarabelle menarik nafas panjang, memaksa dirinya melihat seperti bagaimana Adriano melihat. Ini hari bahagianya. Pria itu, yang menantinya di sana, pasti pria yang baik. Sebenarnya, Adriano sedang menenangkan dirinya sendiri. Dia tidak mau memikirkan yang buruk. Dia ingin putrinya bahagia di momen paling penting dalam hidupnya.
“Yes, Papa. I will.” Carabelle menjawab dengan tegas, meskipun suaranya pun bergetar karena dia begitu gugup.
Suara gemerisik mulai terdengar. Khususnya di deretan keluarga mempelai pria. Bisik-bisik memuji Clarabelle yang cantik, gadis yang sederhana, atau sebaliknya, bukan seperti wanita yang biasanya ada di sisi Jordan.
Di altar, bukan altar sungguhan - sebab acara pernikahan itu digelar di ruang terbuka, taman cantik di salah satu restoran paling mewah di kota itu - Jordan menatap tak berkedip pada Clarabelle yang berjalan perlahan di sisi sang ayah menuju ke arahnya. Semakin dekat semakin jelas.
Jordan memandangnya lekat-lekat. Cantik, sangat cantik. Wajahnya lembut dan enak dilihat. Tapi wanita ini tidak begitu tinggi, juga tidak berambut merah. Rambutnya coklat gelap hampir hitam. Jordan bisa memastikan wanita yang akan menjadi pendampingnya ini bukan murni berkulit putih. Jelas sekali, sebab ayahnya terlihat sangat Asia.
Namun begitu, ada sesuatu yang menarik dari wajahnya. Jordan tidak kecewa, karena ini kali pertama dia akan bersama wanita yang punya darah Asia. Sepertinya akan menarik perjalanan kisahnya di reality show ini.
Ketika berjalan di sisi ayahnya, Clarabelle tidak benar-benar mengarahkan pandangan pada mempelai pria. Ada rasa ragu dan takut, jika yang dia hadapi tidak seperti yang dia pikirkan.
Begitu dekat dan memandang Jordan, ternyata dia pria yang sangat tampan dan gagah. Matanya coklat terang, dengan rambut juga kecoklatan, sangat pas dengan dirinya. Secara fisik dia lebih oke dari mantan kekasihnya. Dan melihat tatapan matanya, tampak dia pria yang baik dan ramah.“Oh, my God …” Clarabelle berucap dalam hati. Rasa gugup semakin besar memenuhi hatinya.
“Hai … Apa kabar?” Jordan menyapa Clarabelle. Suaranya renyah, tidak berat, dan enak didengar.
“Hai … baik, aku baik.” Gugup, Clarabelle membalas sapaan itu.
Semua yang hadir tertawa melihat sikap kaku kedua mempelai. Terlebih Clarabelle yang terkesan malu-malu.
“Ya, silakan berkenalan lebih dulu. Supaya tidak salah menyebut nama saat upacara berlangsung.” Pemimpin acara menggoda keduanya. Tawa kembali meledak di antara yang hadir.
“Aku Jordan. Jordan Gerald Hayden.” Jordan mengulurkan tangannya.
Clarabelle menyambut tangan Jordan. Dia semakin gugup. “Aku … aku Lala … ups, Clarabelle Aimee Johan.”
“You look great. Lala?” Jordan tersenyum.
“Yeah, Lala is my nick name. Thank you. You too, are great.” Dengan wajah merona Clarabelle membalas memuji Jordan.
“Wow, tanganmu dingin sekali. Nervous?” Jordan belum melepas jabat tangan mereka.
“Yeah, sure. I don’t know you, but …”
“I will be your husband,” sahut Jordan dengan mata mencermati wajah cantik Clarabelle.
Clarabelle mengurai senyum dan senyum itu cukup menawan. Jordan makin lega. Para ahli ternyata pintar memiilihkan istri buatnya.
“Well, it is the time. Are you ready?” Pemimpin upacara mengambil alih memandang pada kedua mempelai.
“Yes, I am.” Dengan cepat Jordan menyahut.
Tawa kembali terdengar dari deretan tamu yang datang. Semua tidak sabar menunggu pernikahan itu segera dilangsungkan.
Berhadapan dan bergandeng tangan. Clarabelle memandang Jordan dengan kepala sedikit mendongak. Clarabelle terpesona. Di mana para ahli menemukan pria sekeren ini? Ah, bakal suaminya tampak begitu mempesona dan menawan.
Jordan melihat Clarabelle dengan kepala sedikit menunduk. Meskipun dengan high heels, Clarabelle masih terlihat mungil. Walau begitu postur tubuhnya cukup sintal dan bagus. Jordan ingin segera memeluknya, memeluk istrinya.
“Sebelum kalian disahkan menjadi suami istri, silakan ucapkan janji setia kalian.” Pemimpin upacara memandu kembali. “Silakan mempelai pria lebih dulu disusul mempelai wanita.”
Jordan melepas genggaman tangannya, mengeluarkan kertas putih dari saku tuxedo hitam yang dia kenakan. Di atas kertas itu Jordan menorehkan sebuah janji yang dia tidak pernah berpikir satu kali akan mengucapkannya. Apalagi dia ucapkan pada wanita asing yang beberapa menit lagi akan menjadi istrinya.
“Aku Jordan Gerald Hayden, menerima engkau menjadi istriku, Lala …” Jordan berpikir, dia belum ingat nama Clarabelle dengan benar. Tapi panggilan Lala, lucu juga. “Well, Clarabelle, right?”
Clarabelle tersenyum, mengangguk dengan wajah merona. Semua yang hadir tertawa. Lucu sekali pernikahan di antara dua orang yang belum saling mengenal itu.
“I know … Clarabelle Aimee Johan. Yes, I can do it.” Jordan tersenyum lebar. “Aku berjanji, akan mengasihi engkau seumur hidupku dalam semua situasi yang akan kita hadapi. Aku akan belajar mengenalmu dari hari ke hari, dan akan mengijinkan diriku menjadi pendamping setia yang akan bertanggung jawab untuk hidupmu.
“Aku akan menjadikanmu terang hidupku, membawamu menuju kebahagiaan meskipun sangat mungkin banyak hal yang tidak terduga kita alami. Aku berjanji, tidak akan melepasmu, namun akan semakin erat memelukmu dengan kasih yang aku, dengan sadar, akan memberikannya untukmu.” Jordan memandang Clarabelle. Dia tatap bola mata bening, yang tidak terlalu lebar, namun lentik indah alami. Kedua mat aitu juga menarik.
Teman-teman Jordan berusaha menahan diri tidak tertawa. Rasanya buat mereka Jordan sedang shooting sebuah film. Aneh sekali melihat playboy itu mengucapkan janji seolah dia pria yang bisa diandalkan dalam hal kesetiaan.
Sedang Clarabelle, mendengar ucapan itu, merasa ada kesejukan mengaliri rongga dadanya. Dia tidak dapat mengingat semua yang Jordan ucapkan sebagai janji, tetapi yang dia tangkap pria itu akan mau berjuang untuk mengasihinya seumur hidup. Manis sekali.
Giliran Clarabelle tiba. Dengan tangan sedikit gemetar, Clarabelle membacakan tulisan di atas kertas yang sudah dia siapkan.
“Aku Clarabelle Aimee Johan, menerima engkau …” Clarabelle memandang Jordan. Tampan sekali. Namun ada rasa takut juga menyusup di hati Clarabelle. Sungguhkah pria ini benar-benar pria yang tepat untuknya? Dia akan mengucapkan janji ini hingga akhir hidupnya. Dia akan hidup dengan pria ini yang tidak dia kenal, seumur hidupn! Sungguhkah?
Jordan menunggu. Pemimpin acara juga menunggu. Semua yang hadir menunggu.
“Miss Johan?” ucap pemimpin acara seraya memandang Clarabelle.
"Mana cucuku? Aku sudah tidak sabar mau memeluknya!" Suara ceria itu, terdengar renyah. Clarabelle sangat merindukannya. Dengan cepat Clarabelle menemui Crystal yang baru melangkah masuk ke dalam rumah. "Oh, my God!" Crystal terbelalak begitu melihat Clarabelle. "Lihat, Sayang. Bayimu sudah tumbuh sebesar ini?" Crystal memegang perut Clarabelle dan mengusapnya dengan rasa gembira yang meluap. Clarabelle tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Sambutan hangat itu rasanya membalut semua hal yang dulu ingin dia lupakan. Keluarga Hayden. Keluarga itu akan terus menjadi bagian hidupnya. "Apa kabar, Lala?" Ann-Mary ganti memeluk Clarabelle. Suara manisnya yang elegan, Clarabelle juga rindu. "Aku sangat baik." Clarabelle tersenyum. Ada rasa tidak nyaman juga mengumpul di hatinya. "Aku minta maaf, karena pergi diam-diam. Sungguh, aku tidak ingin mengecewakan siapapun. Aku minta maaf." "Anakku yang tidak tahu menjaga istrinya. Kenapa kamu minta maaf? Jordan yang harus minta maaf. Dulu dia berj
Matahari cerah. Salju mulai mencair perlahan-lahan. Musim dingin kian bergeser, musim semi akan datang beberapa minggu lagi.Clarabelle duduk di pinggir jendela. Dia memandang ke jalanan dan pemandangan di depan rumah tempat dia tinggal. Tenang, hening, dan meneduhkan. Dari arah belakangnya, aroma harum kopi panas terasa masuk ke penciuman.Clarabelle menoleh, Jordan berdiri dengan dua cangkir di tangannya. Wajah tampan itu tidak tersenyum, tetapi tatapan ceria muncul dari sorot matanya."Minuman hangat buat jantung hatiku. Susu saja. Kopi buat aku." Jordan memberikan satu cangkir kepada Clarabelle."Ah, aku sudah membayangkan meneguk kopi panas dan harum. Kenapa susu lagi?" Clarabelle cemberut tetapi dia terima juga cangkir dari Jordan."Biar sehat. Nanti saja kalau sudah lahir kesayangan kita, kamu minum kopi." Jordan duduk di sebelah Clarabelle. Dia menghirup harum kopi di cangkirnya, lalu meneguk beberapa kali."Hm, ibu hamil ga masalah
Salju baru beberapa menit lalu berhenti. Mobil hitam James berhenti dan terparkir di garasi rumah besar itu. James turun dari mobil dan dengan cepat berputar, membuka pintu mobil dari sisi lainnya. "We are here. Come on, Babe." James mengulurkan tangannya. Nerry menyambut tangan James dan keluar dari mobil. Dia melihat ke sekeliling. Tempat parkir saja begitu luas. Ada beberapa mobil ada di dalam garasi. Semua jelas mobil berkelas, mobil tidak terlalu sering tampak di jalanan. "They are waiting." James tersenyum. Dia menggandeng Nerry dan mengajak masuk ke rumah dari pintu samping, langsung ke ruang keluarga. "Tuan, aku sangat gugup." Nerry memperhatikan James. Wajah gadis itu merah merona. Sedangkan James tersenyum lebar penuh keceriaan. "Tenang saja. Kamu tidak akan dihukum karena jatuh cinta pada Hayden. Dan jangan panggil aku Tuan," kata James. "Iya, Tuan. Oh, James? Aneh." Nerry tersenyum
Jordan menghentikan langkah mendengar pertanyaan itu. Apa yang baru dia dengar? Dia berbalik. Matanya bertemu mata indah yang membuatnya jatuh hati. Mata bulat dan bening Clarabelle. "Are you sure, you wanna leave me? And our baby?" Clarabelle memandang Jordan. Tangannya menyentuh bagian perutnya. Jordan masih mencerna apa yang terjadi. Tatapan matanya makin menghujam. "Setelah semua yang kamu lakukan, toko coklat Lala Joy, meninggalkan rumah mewah di Sydney, tidak peduli kantor Hayden, dan melepas semua wanita itu ... kamu akan pergi dariku?" Clarabelle bicara dengan tenang. Kedua matanya tampak teduh. Perlahan bibirnya tersenyum. "Lala ...." Jordan tak percaya yang dia lihat. Clarabelle mengucapkan sesuatu yang jauh dari bayangannya. "I miss you too, Jordan Gerald Hayden. Deep ini my heart, I always wanna hug you." Bibir tipis Clarabelle kembali menguntai senyum. Jordan segera kembali mendekat dan memegang tangan Clarabelle. "What do
James keluar kamarnya. Dia menelpon Susan dan terpaksa membuat Susan bangun. Kabar yang James berikan tentang Clarabelle mengejutkan Susan. Dia cepat-cepat bersiap dan menemui James di tempat parkir."Susan, kamu bantu aku. Ini situasi buruk. James bertingkah bodoh lagi dan membuat Clarabelle kembali terluka." James mulai melajukan mobil keluar hotel.Hari mulai terang, tetapi matahari tidak mau menunjukkan dirinya."Apa yang Tuan harapkan dariku?" tanya Susan."Aku akan tenangkan Jordan. Dia kembali merasa bodoh dan menyesal. Kurasa dia lebih kacau karena bayi mereka dalam bahaya." James terdengar resah dan cemas. "Kamu, aku minta kamu tenangkan Clarabelle. Aku tidak tahu apa yang dia rasa tentang Jordan setelah kejadian ini. Aku hampir yakin, dia akan meminta bercerai."Deg. Susan menatap James. Apakah seburuk itu? Susan tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu apa yang bisa dia katakan nanti pada Clarabelle."Aku rencana h
Jordan panik. Dia gemetar melihat Clarabelle bahkan kesulitan duduk."Lala ... Lala ...." Jordan tidak tahu harus bicara apa.Sementara darah terus mengalir dan melebar di atas salju."Jordan, sakit ...." ucap Clarabelle sambil memegang perutnya."Dokter ... kita ke dokter. Tunggu, aku ambil mobil. Bertahanlah," ujar Jordan di antara rasa bingung dan ketakutan.Dia berdiri dan berjalan kembali ke tokonya. Dia harus segera mengambil mobil dan membawa Clarabelle ke rumah sakit. Clarabelle makin pucat. Rasa dingin yang menusuk, disertai rasa sakit yang mendera perut, kaki, pinggang, dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia hampir tidak bisa bergerak lagi.Beberapa menit berikutnya, Jordan datang. Dia membantu Clarabelle masuk ke dalam mobil. Clarabelle lunglai, tetapi tubuhnya juga kaku karena kedinginan. Dengan hati tidka karuan, Jordan mulai melajukan kendaraannya. Hari tidak lagi bersalju, tetapi jalanan cukup sulit ditempuh, Jordan tidak