Beranda / Romansa / Teman Tapi Suami Istri / 08. Hari pernikahan

Share

08. Hari pernikahan

Penulis: Apri April
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-19 13:42:50

Karakteristik kampung yang mana gosip akan cepat menyebar luas memang benar adanya. Satu orang berbicara dengan satu orang lainnya. Kemudian satu orang lainnya kembali berbicara dengan geng ibu-ibu gosip dan kemudian menyebar luas lagi hingga seluruh kampung tau. Sehingga yang sedang dibicarakan itu menjadi hot news dan viral.

Dan Sarah seminggu yang lalu dari acara pertunangan hingga sekarang acara pernikahan akan digelar menjadi headline mulut ke mulut orang-orang di kampungnya.

“Anak bungsunya Pak Zaelani dijodohkan lagi, apa nggak memaksa kehendak anak kalau begitu?”

“Eh Bu Tiya nggak tau aja sih, calon lakinya itu kaya loh, kayak Hanum waktu dulu, suaminya kan kaya raya, sekarang pasti hidupnya tentram dan betah-betah aja, nggak kayak awal sampai menghebohkan kampung nolak perjodohan.”

“Maksudnya kok dijodoh-jodohkan segala, kalo memang berjodoh kan ketemu juga.”

“Duh Bu, aku kalo dijodohkan sama laki-laki kaya pasti mau-mau aja kok, nggak masalah awalnya di jodohkan.”

“Ngarep Wi Wi, harus sarjana dulu biar dapat laki kaya.”

Sarah sendiri tau dan sadar bahwa ia menjadi bahan gosipan tetangga-tetangga di kampungnya. Semenjak pertunangan berlangsung ia jarang keluar rumah. Segala persiapan pernikahan sudah diatur, ia hanya duduk manis dan memilih dari dua pilihan Umi, Mama dan Rafi. Seperti tentang kebaya, make up, undangan hingga dekorasi pelaminan. Sarah hanya ikut andil memilih dua pilihan yang sudah dipilih baik dari Umi, Mama dan calon suaminya sendiri.

Selebihnya Sarah hanya duduk, menerima teman-temannya yang datang ke rumah. Karena semenjak berita ia akan menikah, beberapa teman menghubunginya hanya untuk mempertanyakan bahwa berita itu benar atau tidak.

Seperti halnya Dilla, sahabat baiknya yang sedang bekerja di Jakarta itu langsung menghubungi Sarah begitu ia tau Sarah akan menikah.

“Gila sih Sar, mau nikah nggak bilang-bilang,” suara Dilla beberapa waktu lalu langsung memprotes lewat telepon.

“Aku tau dari Ibu, coba kalo Ibu ku nggak bilang, paling sampe sekarang aku nggak tau, parah bener.”

“Iya maaf Dil, ini juga mendadak.”

“Ya ngapain mendadak mendadak sih, kan aku jadi nggak bisa dateng.”

Sarah tidak bilang bahwa ia dijodohkan. Pasti Dilla sudah tau dari Ibunya yang merupakan tetangga kampung juga. Sarah hanya meminta do’a agar acaranya lancar.

Namun di lubuk hatinya, Sarah sangat gugup, hari demi hari berlalu untuk menuju hari acara berlangsung. Dan kegugupan itu tidak pernah hilang bahkan malah semakin menjadi. Seperti saat ini, ketika Sarah memperhatikan sosok dirinya di depan cermin, degupan jantungnya semakin menggila.

“Masyaallah.. Mbak Sarah semakin cantik nih,” ucap salah satu perias yang tadi bertugas memakaikan hijab untuk Sarah.

Sarah sendiri masih tertegun dengan penampilannya. Ia sekali lagi memperhatikan dengan seksama. Seorang gadis muda yang tak lain adalah dirinya memakai dress kebaya berwarna putih sedikit keabuan. Hijabnya juga berwarna putih menutupi dada, memakai riasan make up tidak begitu tebal sesuai keinginan Sarah sendiri. Ia juga memakai hiasan di kepalanya menjuntai hingga dahi. Cantik, puji Sarah sendiri.

“Sudah siap?”

Pertanyan yang terlontar dari arah belakang membuat Sarah menoleh. Kak Hanum dan Bang Rizam masuk dibarengi dengan tiga orang perias yang izin untuk keluar sebentar.

“Cantik banget adek aku,” ucap Kak Hanum menghampiri adik bungsunya itu. Bang Rizam merangkul pundak adiknya. Ia telah tiba tiga hari yang lalu sedangkan Kak Hanum baru kemarin ia sampai, bersama kedua anaknya dan suaminya.

“Dek, ikhlas kan?” tanya Rizam. Ia sudah khatam dengan karakter adiknya yang kepala batu, jadi ia agak kaget saat Sarah tidak melawan untuk di jodohkan.

“Ikhlas.. karena insyaallah Rafi lah jodoh kamu, walaupun cara pertemuan kalian seperti ini tapi Allah Maha tau segalanya, karena jalan yang bukan kamu mau bisa jadi yang terbaik untuk kamu Sar,” kata Hanum menasihati. Ia mengusap puncak kepala adik bungsunya sembari tersenyum menenangkan.

“Sekarang kita foto bertiga ya?” ucapnya sembari mengeluarkan ponsel. “Kakak sama Bang Rizam akan dampingi kamu sampai acara akad selesai,  kamu tenang ya Sar.” Kak Hanum kembali menenangkan.

Sedangkan Bang Rizam mencium puncak kepala adik bungsunya sembari berkata. “Adek Abang sekarang sudah dewasa, mau jadi istri orang.”

“Adudu jadi terharu.. hayuk foto dulu.”

Kak Hanum sudah siap dengan ponselnya. Mereka bertiga akhirnya foto bersama. Sarah sangat menyayangi kedua saudara kandungnya itu. Bang Rizam dan Kak Hanum tidak akan terganti dengan siapapun.

Dan setelah berfoto ria, Kak Hanum dan Bang Rizam mengajak Sarah untuk keluar karena mempelai pria dan keluarganya sudah datang. Mereka mengapit adik bungsunya menuju tempat terkumpulnya saksi dan calon suami yang sudah menunggu.

“Masyaallah, cantiknya..”

“Cantik.”

“Cantik sekali..”

Sarah berusaha menulikan bisik-bisik yang terdengar. Berusaha mengenyahkan malu karena menjadi pusat perhatian. Ia juga berusaha untuk tenang walaupun jantungnya keras berdetak.

“Sampai.”

Ucapan Hanum seketika menyadarkan Sarah yang sedari tadi fokus dengan usahanya. Hanum kemudian menuntun adiknya itu untuk duduk di sebuah bangku, tepat di samping laki-laki yang sedari tadi tidak melepaskan pandangan ke arah Sarah.

Rafi terpesona. Cantik, pikirnya.

“Kakak, Bang Rizam sama Umi ada di belakang, coba tarik nafas hembuskan, yang tenang jangan khawatir.”

Hanum berkata pada Sarah kemudian undur diri untuk duduk di sebelah suaminya. Sedangkan Rizam sebelum ikut undur diri, ia mengusap sayang kepala adiknya dan menepuk bahu calon iparnya memberikan semangat.

Telapak tangan Sarah berkeringat dingin, ia meremasnya dan semakin gugup saat merasakan ada yang memasangkan kain diatas kepalanya.

“Bismillah, Sarah.”

Ternyata Umi. Sarah pun mengikuti intruksi dan mengucapkan bismillah didalam hatinya. Ia berhadapan dengan Pak Samin yang mana merupakan penghulu di kampung. Sedangkan Rafi berhadapan dengan Abi. Sarah tidak menoleh ke samping, ia tidak menoleh pada calon suaminya. Bahkan ketika kata SAH berkumandang, Sarah tetap tidak menoleh pada Rafi. Ia menumpahkan segala rasa dengan meremas jarinya, haru, sedih, lega, bingung, khawatir semua menjadi satu di hari pernikahannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Teman Tapi Suami Istri   37. Karena cinta

    "Rafi belum bangun?" suara Mama Vanya menegur begitu Sarah mendekat untuk membantu kegiatan di dapur. Jam di dinding masih menunjuk pukul lima pagi, sedangkan Mama sedang sibuk membuat sarapan serta Bik Inah sedang mencuci piring kotor yang menumpuk banyak akibat acara syukuran tadi malam."Masih sholat Mah, tadi dibangunin susah.""Nggak biasanya dia bangun susah, apa di rumah memang seperti itu Sar?"Sarah semakin mendekat mengambil alih penggorengan. "Di rumah Mas Rafi selalu bangun pagi, mungkin karena kangen suasana rumah lama jadi kebawa susah bangun."Mama Vanya mengangguk sembari memotong-motong sayuran di talenan kayu. Namun ia seketika tersenyum ketika sadar sesuatu. "Oh ya, Rafi sholat, Sar?" tanyanya yang membuat Sarah keheranan sendiri."Iya," jawab perempuan berhijab itu."Ya ampun, kamu memang perempuan baik Sarah, Mamah jadi merasa berhutang budi."Sarah semakin tidak mengerti. Ia mengernyitkan dahinya mencoba mencerna

  • Teman Tapi Suami Istri   36. Tidur

    "Naraya agak pendiam ya, Mas? maksudnya waktu kumpul dia banyak diam, tapi pas aku sama dia, malah kelihat cerewet." Sarah sudah melepaskan hijabnya, dia juga sudah berganti dengan celana training panjang serta kaos panjang. Sebelumnya keluarga yang lain sudah pamit pulang ke rumah masing-masing. Acara syukuran wisuda Bella sudah selesai dengan meninggalkan kesan kehangatan di malam yang semakin larut. "Dia memang seperti itu," balas Rafi yang berbaring menatap langit-langit kamar tepat di samping Sarah. Tidak ada pembatas diantara mereka. Setelah melawan kegugupan dengan dibantu kalimat menenangkan Rafi, akhirnya Sarah mampu berbagi satu ranjang dengan suaminya. Jika dipikir hal tersebut harusnya menjadi wajar. Namun berhubung baik Rafi maupun Sarah selama hidup bersama belum pernah tidur di kamar yang sama membuat mereka agak canggung. "Sarah," panggil Rafi menolehkan kepala ke samping. Panggilan nama dengan suara maskulin yang agak rendah itu mulai

  • Teman Tapi Suami Istri   35. Gugup

    Rafi dan Sarah akhirnya tiba di kediaman orang tua Rafi saat adzan isya berkumandang. Gadis itu keluar dari mobil dan kemudian diikuti dengan Rafi. Mereka dengan kompak masuk ke dalam rumah yang belum terlalu ramai, sebab acara syukuran akan dilaksanakan sehabis isya. Lagipula syukuran wisuda Bella hanya akan dihadiri oleh kerabat dekat. Kata Rafi, keluarganya itu memang sering berkumpul bersama di acara-acara tertentu. "Jangan gugup, Sarah, mereka baik-baik," ucap laki-laki yang kini sudah berpakaian rapih dan bersih. Setelah sampai, mereka langsung izin ke kamar karena Rafi sendiri ingin membersihkan diri sehabis bekerja. Sarah melirik suami didepannya. Genggaman tangan di pangkuan perempuan itu memanglah menandakan bahwa ia sangat gugup. Terlebih memang dasarnya Sarah tipe orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan atau orang baru. Sehingga ia merasa gugup untuk keluar kamar dan menyambut keluarga lain yang sepertinya mulai berdatangan. "Kamu gug

  • Teman Tapi Suami Istri   34. Percaya sama kamu

    Jakarta dan kemacetan adalah sesuatu yang tidak bisa terlepas begitu saja. Ada Jakarta ada macet, itu adalah hal wajar dan sudah lumrah. Sarah yang duduk di kursi penumpang hanya menatap kendaraan-kendaraan di depan yang sedang mengantri. Sedangkan banyak motor melaju lebih leluasa dan bisa mencari celah untuk terus berlanjut. Namun kendaraan mobil yang ia tumpangi hanya bisa diam dan menunggu mobil di depan bergerak. Sesekali perempuan berpenampilan muslimah itu menatap ke sekeliling gedung yang nampak dari jalanan. Gedung-gedung pencakar langit yang tidak ia temui di kota kelahirannya. Sebab lebih modern dan lebih banyak. Walau Sarah sudah tinggal hampir tiga bulanan di Jakarta. Ia masih kagum dan tetap ingin menjelajah pada setiap sudut ibu kota. Karena Rafi belum bisa menepati janji sebelumnya bahwa akan mengajak Sarah jalan-jalan berkeliling kota. Kesibukannya bekerja dan sekaligus sedang menggarap sebuah usaha baru, membuat laki-laki itu mengurungkan niat untuk

  • Teman Tapi Suami Istri   33. Tidur sekamar

    Pagi kembali menjelang, di luar masih dingin dan gelap. Jam dinding yang terletak di tembok dapur menunjuk angka lima pada jarum yang pendek dan jarum yang panjang menunjuk angka enam. Sedangkan seorang perempuan berambut panjang sebahu dan lurus itu sedang sibuk menyiapkan makanan untuk sarapan. Sarah hanya sendiri, sebab Bik Arni melakukan pekerjaan lain di luar. Perempuan itu tidak pernah keberatan untuk masak, sebab ia memang suka memasak sehingga Sarah sering kali menyuruh Bik Arni untuk melakukan pekerjaan lain dan cukup ia saja yang memasak. Tetapi tetap saja terkadang mereka bisa memasak bersama juga. Lalu suara acara televisi yang berasal dari ruang keluarga adalah tanda bahwa Rafi sudah bangun. Laki-laki itu mempunyai kebiasaan sehabis bangun pagi langsung menyalakan televisi, biasanya sembari mengemil. Lapar adalah kebiasaan setelah bangun tidur Rafi dan juga Sarah. "Sarah," panggil suara tak asing dari arah belakang. Tanpa menoleh pun perempuan ya

  • Teman Tapi Suami Istri   32. Karma

    Hari semakin siang, jam di dinding pun berdetak hingga menunjuk angka satu. Namun gadis pirang yang penampilan modis itu hanya menatap sahabatnya yang sedang makan dengan lahap nasi sayur yang ia beli di depan rumah sakit. Adilla pada akhirnya meminta ganti shift dengan temannya hanya demi menjaga Bayu. Kata perawat, Bayu bisa pulang setelah menghabiskan satu kantong cairan infus guna menyuntikkan nutrisi yang kurang dalam tubuhnya itu. Adilla duduk di kursi samping keranjang, melipat kedua tangannya sembari terus menatap Bayu dengan seksama. Gadis itu sedang mencari-cari sesuatu yang disembunyikan, siapa tau ia dapat mengetahui hanya dengan melihat gurat wajah Bayu. Tetapi laki-laki itu terlalu lahap memakan makanannya seperti orang kelaparan, sehingga Adilla tidak bisa menangkap sesuatu yang mencurigakan. "Aaaaa ..." Bayu menyodorkan sesendok nasi beserta sayur di depan mulut Adilla. Siapa yang tidak risih ditatap intens seperti sedang menangkap basah malin

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status