Jakarta dan kemacetan adalah sesuatu yang tidak bisa terlepas begitu saja. Ada Jakarta ada macet, itu adalah hal wajar dan sudah lumrah. Sarah yang duduk di kursi penumpang hanya menatap kendaraan-kendaraan di depan yang sedang mengantri. Sedangkan banyak motor melaju lebih leluasa dan bisa mencari celah untuk terus berlanjut. Namun kendaraan mobil yang ia tumpangi hanya bisa diam dan menunggu mobil di depan bergerak.
Sesekali perempuan berpenampilan muslimah itu menatap ke sekeliling gedung yang nampak dari jalanan. Gedung-gedung pencakar langit yang tidak ia temui di kota kelahirannya. Sebab lebih modern dan lebih banyak.
Walau Sarah sudah tinggal hampir tiga bulanan di Jakarta. Ia masih kagum dan tetap ingin menjelajah pada setiap sudut ibu kota. Karena Rafi belum bisa menepati janji sebelumnya bahwa akan mengajak Sarah jalan-jalan berkeliling kota. Kesibukannya bekerja dan sekaligus sedang menggarap sebuah usaha baru, membuat laki-laki itu mengurungkan niat untuk
Rafi dan Sarah akhirnya tiba di kediaman orang tua Rafi saat adzan isya berkumandang. Gadis itu keluar dari mobil dan kemudian diikuti dengan Rafi. Mereka dengan kompak masuk ke dalam rumah yang belum terlalu ramai, sebab acara syukuran akan dilaksanakan sehabis isya. Lagipula syukuran wisuda Bella hanya akan dihadiri oleh kerabat dekat. Kata Rafi, keluarganya itu memang sering berkumpul bersama di acara-acara tertentu. "Jangan gugup, Sarah, mereka baik-baik," ucap laki-laki yang kini sudah berpakaian rapih dan bersih. Setelah sampai, mereka langsung izin ke kamar karena Rafi sendiri ingin membersihkan diri sehabis bekerja. Sarah melirik suami didepannya. Genggaman tangan di pangkuan perempuan itu memanglah menandakan bahwa ia sangat gugup. Terlebih memang dasarnya Sarah tipe orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan atau orang baru. Sehingga ia merasa gugup untuk keluar kamar dan menyambut keluarga lain yang sepertinya mulai berdatangan. "Kamu gug
"Naraya agak pendiam ya, Mas? maksudnya waktu kumpul dia banyak diam, tapi pas aku sama dia, malah kelihat cerewet." Sarah sudah melepaskan hijabnya, dia juga sudah berganti dengan celana training panjang serta kaos panjang. Sebelumnya keluarga yang lain sudah pamit pulang ke rumah masing-masing. Acara syukuran wisuda Bella sudah selesai dengan meninggalkan kesan kehangatan di malam yang semakin larut. "Dia memang seperti itu," balas Rafi yang berbaring menatap langit-langit kamar tepat di samping Sarah. Tidak ada pembatas diantara mereka. Setelah melawan kegugupan dengan dibantu kalimat menenangkan Rafi, akhirnya Sarah mampu berbagi satu ranjang dengan suaminya. Jika dipikir hal tersebut harusnya menjadi wajar. Namun berhubung baik Rafi maupun Sarah selama hidup bersama belum pernah tidur di kamar yang sama membuat mereka agak canggung. "Sarah," panggil Rafi menolehkan kepala ke samping. Panggilan nama dengan suara maskulin yang agak rendah itu mulai
"Rafi belum bangun?" suara Mama Vanya menegur begitu Sarah mendekat untuk membantu kegiatan di dapur. Jam di dinding masih menunjuk pukul lima pagi, sedangkan Mama sedang sibuk membuat sarapan serta Bik Inah sedang mencuci piring kotor yang menumpuk banyak akibat acara syukuran tadi malam."Masih sholat Mah, tadi dibangunin susah.""Nggak biasanya dia bangun susah, apa di rumah memang seperti itu Sar?"Sarah semakin mendekat mengambil alih penggorengan. "Di rumah Mas Rafi selalu bangun pagi, mungkin karena kangen suasana rumah lama jadi kebawa susah bangun."Mama Vanya mengangguk sembari memotong-motong sayuran di talenan kayu. Namun ia seketika tersenyum ketika sadar sesuatu. "Oh ya, Rafi sholat, Sar?" tanyanya yang membuat Sarah keheranan sendiri."Iya," jawab perempuan berhijab itu."Ya ampun, kamu memang perempuan baik Sarah, Mamah jadi merasa berhutang budi."Sarah semakin tidak mengerti. Ia mengernyitkan dahinya mencoba mencerna
“Gimana Nel, rasanya menikah? Enak toh?” seorang ibu-ibu berseragam batik bertanya begitu seorang guru muda masuk ke kantor dengan membawa tumpukan buku didekapannya. Ia meletakkan buku-buku tersebut di meja tepat disamping Sarah yang sedang berkutat dengan laptop. Sarah pun melirik sekilas pada Nela yang belum menjawab pertanyaan dari Bu Wati. Ia sedari tadi diam saja, fokus dengan pekerjaan dan hanya menimpali sesekali obrolan gosip dua ibu guru yang sedang menunggu giliran untuk masuk ke dalam kelas setelah istirahat. “Enak bu, enak banget,” jawab Nela santai. Ia kemudian menyeret kursi kayu ke depan meja Sarah setelah mengambil sobekan kardus untuk mengipasi dirinya. Pagi menjelang siang ini memang terasa panas. Apalagi ruangan kantor yang kecil dan pengap. Kipas angin di dinding yang sudah menyala itu pun tidak bisa menghalau hawa panas di kantor. “Nah kan enak, gimana gimana malam pertamanya? Sarah pingin denger tuh.” “Loh, kok aku bu? D
Sarah Diba Alaesya merupakan anak bungsu Kyai H. Zaelani dan Hj. Aisyah. Seorang gadis yang dikenal polos, pendiam dan alim karena pakaian kebesaran yang ia kenakan. Namun bagi Sarah sendiri ia bukan orang yang seperti orang lain gambarkan. Ia belum alim seperti dugaan orang lain hanya karena pakaian kebesaran dan reputasi keluarga yang religius. Ia hanyalah gadis biasa seperti teman-temannya tidak terlalu polos dan juga tidak terlalu pendiam. Bahkan menurut Sarah sendiri, ia termasuk pembangkang dibanding kakak dan abangnya. Ia merupakan anak bungsu yang berkemauan keras, egois dan keras kepala. Tidak segan-segan membantah jika ada keputusan yang kurang pas menurutnya. Seperti sekarang, suasana menyenangkan yang tadi melingkupi ruang makan kini menjadi tidak mengenakkan. Bukan menegangkan tetapi tidak mengenakan bagi Sarah. Hasrat makannya pun telah pudar beberapa menit yang lalu, ia menatap pada semangkok sayur asam tidak lagi berminat seperti sebelumnya.
Menikah adalah impian semua orang termasuk juga Sarah. Namun jika ditanya perihal bagaimana penikahan yang ia impikan. Sarah pasti akan menjawab dengan tegas, pernikahan yang sederhana, saling mencintai satu sama lain, saling menerima dan sama-sama mengharai.Sarah walaupun dari keluarga religius, ia tidak memiliki tipe pria spesifik seperti kakaknya Hanum. Dulu Hanum memiliki tipe pria yang sholeh, rajin beribadah, perangai yang baik, bertanggung jawab dan ditambah memiliki wajah yang tampan supaya paket komplit katanya. Tapi bagi Sarah itu terlalu berlebihan.Ia menyederhanakan tipe pria nya sendiri yaitu bertanggung jawab, berpikiran terbuka dan bisa menghargai orang lain.Bertanggung jawab tandanya mampu mempertanggung jawabkan komitmen-komitmen hidup berumah tangga. Berpikir terbuka artinya mau sama-sama belajar dan beradaptasi. Sedangkan menghargai orang lain supaya bisa menghargai keberadaan satu sama lainnya.Namun itu semua bisa dilihat dengan ca
“Loh kok sudah pulang Sar?” Pertanyaan Umi menyambut Sarah yang baru saja masuk ke dalam rumah. Ia kemudian menyalimi tangan Uminya yang sedang duduk membaca buku di sofa ruang tamu. “Sudah Mi, izin sama Pak Harun soalnya mendadak pusing,” jawab Sarah dengan apa adanya. Ia tidak bohong saat mengatakan pusing. Umi pun meneliti raut wajah anak bungsunya yang sedikit pucat dan lesu. Padahal saat berangkat Sarah tampak segar dan baik-baik saja. “Kamu sakit?” “Nggak tau Mi cuma sedikit pusing aja, Sarah pamit istirahat dulu ya Mi?” Umi mengangguk. “Yasudah, kalau belum baikan makan dan langsung minum obat.” Sarah hanya mengangguk. Ia kemudian berjalan lesu menuju kamarnya. Rasanya ia benar-benar ingin istirahat. Lelah sekali, padahal Sarah tidak banyak tugas hari ini. Ia hanya mendengarkan cerita Bu Yanti saja. Sesampainya di kamar, Sarah langsung menutup pintu kamarnya, kemudian meletakkan tas selempang ke sembarang tempat
“Oh iya halo,” suara lembut seorang wanita menyapa ramah gendang telinganya. Laki-laki itu pun berdiri meninggalkan kursi kebesarannya untuk menuju sofa di ruang kerjanya. Tubuhnya tinggi, tegap, berbalut jas formal yang pas di badan sehingga menambah kesan karismatik sesuai dengan tampangnya yang bersih dan enak dipandang. Di satu-satunya meja kerja terdapat name tag stand yang menampilkan namanya beserta jabatan yang disandang. Yaitu Rafi Anggara Jaya dengan jabatan marketing manager. “Maaf Sarah, apa saya ganggu? Kamu lagi sibuk?” pertanyaan itu terlontar akibat tidak ada respon setelah beberapa kali ia menghubungi wanita itu. “Nggak terlalu sibuk, ini baru pulang kerja, maaf Mas tadi belum sempat respon chatnya.” Mas? Entah bagaimana panggilan umum itu membuat Rafi berdebar sejenak. Ia selalu dipanggil Mas di rumah karena memiliki adik, namun saat Sarah yang faktanya merupakan wanita yang akan dijodohkan dengannya