Setelah diselingkuhi oleh kekasihnya, tiba-tiba Nara mendapat kabar bahwa sahabatnya yang sudah meninggal memberinya wasiat berupa surat yang berisi permintaan pada Nara agar mau menggantikan dirinya sebagai Nyonya Hutomo. Haruskah Nara menerimanya ...?
view more"Aku sama Kalina cuma khilaf, Nara. Dia gak berarti apa-apa, aku sayangnya cuma sama kamu."
Salah satu sudut bibirku tertarik ke atas, mendengus sinis mendengar nada iba dari pria berwajah tampan itu. "Kita sudahi aja hubungan ini, Mas. Bagiku nggak ada kata maaf untuk perselingkuhan. Bodohnya aku ngira kamu udah berubah." Aku segera menepis tangannya yang tadi memegang pergelangan tanganku lalu melangkah pergi meninggalkan pria yang sudah menemani hari-hariku selama setahun ini. Namanya Fathan Abimanyu. Dulunya dia adalah tetangga baru di kompleks perumahanku. Dia tampan dan juga mapan. Di usianya yang baru menginjak kepala tiga, dia sudah berhasil mengelola restoran hingga memiliki banyak cabang di Solo dan Jogja. Namun di balik kelebihan itu, aku pernah mendengar kalau Mas Fathan adalah pria playboy, tukang selingkuh. Entah kenapa saat dia menyatakan suka dan ingin jadi pacarku, aku iya-iya saja. Mungkin karena aku sudah lama menjomblo, jadi aku menerimanya begitu saja. Selama setahun hubungan kami baik-baik saja, sampai kejadian tadi sore terjadi. Aku tak sengaja melihatnya bergulat di atas sofa dengan seorang wanita yang katanya dia kenal lewat aplikasi game. Hatiku memanas kala mengingat adegan dewasa yang dilakukannya secara langsung sore tadi. Mas Fathan bilang dia hanya tergoda karena selama pacaran denganku dia tidak pernah melakukannya. Sebelum pacaran denganku, kehidupan ranjangnya memang aktif. Dia terus memohon agar aku memaafkannya, tapi aku sama sekali tidak sudi. Bagiku kalau selingkuh, hubungan itu harus selesai. Aku, Jenara Sasi Kirana. Patah hati kesekian kalinya, namun tidak sampai membuatku hancur berkeping-keping. Suatu saat nanti, aku pasti akan menemukan pria yang akan menjadi cinta sejatiku. Yang pasti pria itu bukan Mas Fathan. Langkahku semakin mantap, meninggalkan Mas Fathan tanpa menoleh lagi. *** "Makanya kalau udah dengar soal berita dia yang tukang selingkuh itu jangan di terima, Nduk. Selingkuh itu penyakit yang bisa kambuh kapan saja, sulit untuk sembuhnya." Itu adalah suara ibuku. Ibu sedang membalur minyak kayu putih di punggungku karena aku mengeluh capek dan tidak enak badan. Jadi beliau berinisiatif untuk memijitku. Aku mendengus keras. "Kata wanita yang mempertahankan rumah tangganya meski sudah diselingkuhi berkali-kali oleh suaminya." Ibu tertawa seolah ejekanku tadi tidak berarti untuknya. Mungkin karena kejadian itu sudah terjadi cukup lama dan Bapak juga sudah tiada. Jadi Ibu terlihat biasa saja tanpa tersinggung oleh ucapanku tadi. "Itu hal yang beda, Nduk. Ibuk kan udah nikah, kalau kamu kan masih pacaran sama Fathan." "Apa bedanya? Ibuk kan bisa minta cerai sama Bapak dulu." "Banyak hal yang Ibuk pertimbangkan dulu, Nduk. Salah satunya ya demi kamu dan ketiga masmu, anak-anak Ibuk." Ibu selalu berkata begitu saat aku menanyakan alasan Ibu yang masih mempertahankan rumah tangga, padahal Bapak sudah sering selingkuh. Aku tidak mengerti kenapa Ibu melakukannya. Padahal Bapak tidak pernah ada peran dalam hidup kami sebagai anak-anaknya alias fatherless. "Tapi Ibu tahu enggak... karena Bapak sering selingkuh, karmanya jadi jatuh ke aku sebagai anak perempuannya. Aku sering diselingkuhi sama pacar-pacarku, Bu." "Hush! Bapak sudah meninggal, gak baik bicara kayak gitu," sembur Ibu marah. "Kamu sering diselingkuhi juga karena kamu lalai nyari info soal calon pacarmu. Dari pada kamu bicara kayak gitu, sebaiknya kamu terus berdoa supaya gak dapat suami yang tukang selingkuh seperti Bapakmu." Aku memutar kedua bola mataku dengan malas. Berbicara hal seperti ini pasti tidak akan ada ujungnya. Ibu tidak mau aku menyalahkan Bapak yang tukang selingkuh itu. Entah sebesar apa kesabaran hati yang dimiliki Ibu sampai Ibu tidak pernah menjelekkan Bapak di depan kami, anak-anaknya. "Oh iya, tadi Irna datang ke sini nyariin kamu," ucap Ibu setelah keheningan terjadi cukup lama. "Tante Irna? Kapan nyariin aku?" "Tadi sore waktu kamu gak di rumah. Irna bilang mau ngajak kamu ke Jakarta buat takziyah bareng ke makamnya Anindya. Memperingati kepergiannya yang ke-seratus hari katanya." Aku baru teringat soal kepergian sahabatku, Anindya Safitri. Tak terasa kepergiannya sudah tiga bulan lebih berlalu. Hubungan kami dari kecil sangat dekat meski saat kuliah, kami harus berpisah karena dia lebih memilih untuk meneruskan pendidikannya di Jakarta. Rupanya selain kuliah, dia juga menikah dan menetap di Jakarta sampai akhir hayatnya. Tiga bulan sebelum Anindya meninggal, Anindya meneleponku dan berkata, "Datanglah kesini, Nara. Habiskan cutimu di sini aja. Aku kesepian, tidak ada teman." Akhirnya aku menyetujui permintaannya untuk datang ke Jakarta. Aku menginap di rumahnya selama kurang lebih seminggu. Selama di sana, aku banyak mendengar keluh kesahnya soal suaminya yang bernama Edgar Hutomo-seorang pebisnis real estate ternama yang memiliki sifat bossy dan otoriter. Namun selama itu pula, Anindya tidak pernah menceritakan sedikitpun soal penyakit yang dideritanya, yaitu kanker darah. Sampai saat kurang lebih dua bulan setelah aku pulang dari sana, aku mendengar kabar dari Mas Edgar kalau Anindya sedang kritis dan ingin bertemu kembali denganku. Mendapat kabar itu, aku langsung kembali terbang ke Jakarta untuk menemaninya hingga akhir hayatnya. Sedih rasanya mengingat Anindya baru bisa merasakan kasih sayang dari suaminya sendiri di detik-detik terakhir sebelum kematiannya, itupun terjadi karena aku terus memaksa Mas Edgar untuk melakukannya. "Nduk?" Suara Ibu memecah lamunanku. "Ya?" "Kok diam saja? Lusa kamu bisa gak menemani Irna?" "Lusa ya?" "Iya. Mending kamu ke Jakarta daripada nanti ketemu terus sama Fathan. Bisa-bisa kamu jadi galau terus nantinya." Hmm... apa yang dikatakan Ibu ada benarnya juga. Rumah Mas Fathan masih satu kompleks denganku. Kalau aku tidak pergi, bisa jadi aku akan terus bertemu dengannya setiap hari. "Baiklah, lusa aku akan minta izin ke atasan untuk work from home supaya bisa pergi ke Jakarta lagi."Dua hari kemudian. Matahari sudah mulai nampak, udara dingin berulang kali menerpa. Sambil mengusap perut, aku menunggu Ibu duduk di kursi teras. Pandanganku tertuju pada dua buah koper berukuran besar yang sudah tersedia di depan teras.Aku sudah memutuskan untuk ikut Ibu pergi ke Surabaya demi menuntaskan rasa keingintahuanku atas aktivitas Mas Edgar di Surabaya sana.Meski sebenarnya dua hari kemarin Mas Edgar sudah menghubungiku, tetap saja hati ini masih ada rasa penasaran dan was-was. Malam itu aku langsung menanyakan padanya soal alasan dia yang tidak bisa ku hubungi."Maaf ya, Sayang, ponsel tiba-tiba hilang dan baru ketemu sore tadi. Ternyata ponselnya ketinggalan di hotel tempat aku meeting sama klien kemarin pagi," katanya waktu itu. Alasan darinya bisa ku terima, aku juga tidak memberitahu padanya soal kiriman foto. Lebih baik membuktikan langsung dari pada hanya terus berspekulasi."Mbak." Suara yang memanggilku pelan membuat lamunank
Lagi-lagi dari nomor yang sama sebelumnya, yang pernah mengirimiku foto Mas Edgar berciuman dengan Naomi. Tanganku menggenggam erat ponsel hingga bergetar. Apa maksud dari si pengirim hingga berani mengirimiku foto lagi? Hanya saja, kali ini si pengirim mengirimkan foto yang berbeda.Foto itu menampilkan Mas Edgar yang sedang berjalan dengan seorang wanita kantoran yang tentu saja aku kenal. Wanita itu namanya Tiara, dia adalah sekretaris baru Mas Edgar di kantor. Dia menggantikan sekretaris sebelumnya yang telah mengundurkan diri.Darimana aku tahu? Mas Edgar sendiri yang menceritakannya padaku. Meski suamiku itu jarang bercerita soal pekerjaan, tapi terkadang dia bercerita soal apa yang terjadi di kantor-- termasuk soal pergantian sekretaris."Aku gak mau kamu salah paham nantinya. Tiara itu masih muda, baru saja lulus kuliah. Takutnya kamu nanti mengira aku punya selingkuhan," kata Mas Edgar kala itu saat aku bertanya alasan dia menceritakan soal pergantian sekre
"Mau ibuk jodohin sama sepupumu yang ada di Surabaya. Besok lusa Ibuk mau kesana sebelum nginap ke rumah masmu.""Kok nginap di sini cuma tiga hari? Aku kan masih kepengen kangen-kangenan sama ibuk dulu di sini." Aku segera memeluk Ibu dengan sikap manja."Makanya Ibuk tadi nanya, Nak Edgar berapa hari di Surabayanya. Soalnya Ibuk gak bisa lama-lama di sini. Masmu di Surabaya lagi butuh bantuan untuk kendala restorannya."Ibu pun bercerita soal masalah restoran yang dikelola oleh Mas Baskara-- kakakku yang kedua di Surabaya. Ada salah seorang karyawan yang mencuri uang restoran hingga puluhan juta. Mas Baskara menyuruh Ibu datang karena ingin membantunya menangani restoran sedang Mas Baskara hendak fokus menyelesaikan masalah tersebut di pengadilan."Makanya mau gak mau Ibuk harus cepat datang ke sana, Nduk," ujar Ibu kemudian."Terus yang mengurus rumah dan restoran di rumah siapa, Buk?" "Di rumah ada Mbok Ijah yang mengurus, sedang restorannya... sudah Ibu
"Memangnya Mas Edgar sering marah-marah sama kalian?" tanyaku. "Jarang sih, Bu. Tapi saya pernah melihat Pak Edgar marah besar sama salah seorang pembantu baru yang akhirnya dipecat."Keningku mengerut dalam. "Pembantu baru?""Dulu saat Pak Edgar baru dua bulan menikah dengan Bu Anindya, ada seorang pembantu baru yang pernah bersikap lancang. Namanya Lusi. Dia berasal kampung yang sama dengan Mbok Sum dan mereka masih ada hubungan saudara meski terbilang jauh. Awalnya sikapnya biasa saja tidak ada yang aneh. Kinerjanya bagus dan orangnya cekatan. Tapi lambat laun sikapnya berubah. Tepatnya sebulan setelah dia bekerja di sini, dia sering buat masalah. Seperti salah menaruh garam di kopinya Pak Edgar atau menumpahkan teh susu ke kemeja yang hendak digunakan Pak Edgar berangkat kerja dan masih banyak kesalahan kecil lainnya." Nuning menarik napasnya sejenak sebelum melanjutkan, "Respon Pak Edgar saat itu hanya menegur, tidak sampai marah-marah. Sebenarnya sudah berula
"Gak ah, Mas. Kalau sama-sama ditinggal, lebih baik aku di sini aja. Lagipula Ibuk udah hubungin aku, bilangnya akan datang ke sini dua hari lagi," jawabku setelah berpikir sejenak.Awalnya Ibu dan Nadya berencana akan mengunjungiku ke Jakarta. Tapi karena waktu itu aku sedang hamil dan Mas Edgar mengambil cuti, maka rencana Ibu ditunda.Sekarang aku sudah ada di Jakarta, Nadya juga sudah mengurus kepindahan kantornya ke Jakarta. Jadi mereka akan datang dua hari lagi."Hmm, baiklah. Kalau ada apa-apa nanti bisa hubungi aku. Nanti bilang ke Nuning untuk mempersiapkan kamar yang akan digunakan Ibuk sama Nadya."Selepas berkata seperti itu, Mas Edgar mengulurkan tangannya untuk mengelus perutku. "Nak, selama Papa gak di rumah, jadi anak yang baik dan anteng di dalam perut Mama ya... jangan bikin Mamamu kesulitan."Aku tersenyum senang, merasakan sikap hangat yang dilakukan Mas Edgar. Tak sia-sia aku mengajarinya selama ini."Mas, kapan kita mau USG lagi?" tanyak
Tiga minggu kemudian. Suasana bulan madu yang kami rasakan masih terasa membahagiakan. Menjelang pulang ke Jakarta, aku memeriksakan diri lagi ke dokter spesialis kandungan yang menanganiku di UGD waktu itu. Aku dan Mas Edgar merasa lega saat dokter berkata kalau kandunganku sudah sehat dan janinnya masih terus tumbuh dan berkembang di dalam rahimku. Karena perjalanan Solo-Jakarta tak sampai satu jam lamanya, dokter memberi izin untuk aku naik pesawat.Sekarang aku telah kembali pulang ke Jakarta dengan pria yang mencintaiku dan yang sangat kucintai. Saat kami berdua turun dari mobil, kulihat ketiga pembantu rumah tangga kami sudah siap membantu mengangkat barang-barang kami. Untungnya di dalam koper baru ada oleh-oleh untuk mereka. Kebanyakan isinya ada makanan khas Solo dan blus batik dengan macam-macam model.Aku sempat melihat pandangan terheran-heran dari ketiga pembantu kami saat melihat Mas Edgar langsung mengangkatku begitu kami turun dari mobil. Tak heran,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments