Share

07. Janji

"Disini saja, silahkan duduk Mas." Sarah buru-buru beralih ketika pandangan mata mereka bertemu. Senyum simpul terbit di bibir laki-laki tampan itu ketika melihat calon istrinya yang masih malu-malu karena belum kenal.

Sejujurnya Rafi juga merasa gugup. Ia sudah terbiasa berdiskusi dengan klien yang tidak ia kenali sebelumnya, dari yang penting hingga biasa saja, tapi dengan Sarah tetap saja gugup apalagi ini adalah pertemuan pertama mereka.

“Kamu juga duduk, masa berdiri.”

“Oh iya!” seru Sarah tiba-tiba kaget sendiri. Ia sontak duduk di satu kursi kosong sebelah Rafi namun dibatasi dengan meja bundar kecil di sisinya.

Laki-laki itu pun tidak bisa menahan senyum gelinya atas tingkah Sarah. Ia berdehem agar mengurangi kecanggungan yang ada.

Suasana di teras rumah tampak segar dengan angin sepoi. Apalagi rumah Sarah banyak tertanam bunga dan pohon yang terawat. Walaupun sederhana, Rafi terkesan dengan rumah yang baru ia datangi itu. Ia juga merasa nyaman berada di desa. Jarang sekali ia pergi ke tempat yang masih asri, dengan penduduk yang masih alami dan suasana yang tidak sumpek akan keramaian.

Rafi menghirup udara dalam-dalam dan merasakan perbedaannya. Segar, tidak seperti udara yang ia hirup di Jakarta.

“Saya pertama kali datang ke desa, ternyata nyaman juga,” ucap Rafi mengawali pembicaraan. Ia menoleh ke gadis ayu disampingnya. Benar-benar cantik, berbeda dengan cantiknya perempuan kota, pikir Rafi.

“Enak ya Sarah, tinggal di desa?” tanyanya membuat Sarah menoleh sekilas saja. Gadis itu kembali memandang depan sembari meremas-reman jemarinya sendiri. Sarah pun menghela nafas, ia harus menghilangkan kegugupannya.

“Ya nggak juga,” sahut Sarah memberanikan diri. “Bagi orang seperti Mas Rafi yang tinggal di kota pasti selalu menganggap di desa enak, tapi bagi kami sebaliknya menganggap hidup di  kota juga enak.”

“Oh iya ya, berarti kamu ingin hidup di kota?”

Sarah tidak ragu untuk mengangguk. “Ingin merasakan hidup di kota,” katanya.

“Saya tinggal di Jakarta,” ucap Rafi. “Nanti kamu bisa merasakan hidup di Jakarta.”

Sarah tidak lagi menyahut. Ia tiba-tiba merasa canggung lagi, teringat dengan statusnya yang akan datang. Karena Sarah selalu memimpikan Jakarta untuk mencari pengalaman bekerja, merintis karir dan juga beradaptasi hidup di kota. Namun  jika Sarah datang kesana dengan status baru yang ia sandang, pasti tidak ada harapan lagi impian itu bisa dirasakan.

“Sarah,” panggil Rafi yang membuyarkan lamunan gadis disampingnya. “Kalau boleh tau, kenapa seminggu ini saya nggak bisa menghubungi kamu?”

Pertanyaan itu terlontar dengan hati-hati. Takut jika menyinggung dan terkesan sangat ingin tau. Namun nyatanya Rafi memang ingin tau mengapa ia tidak bisa menghubungi Sarah seminggu yang lalu. Sebab melihat sorot mata melamun tadi, membuat sesuatu dalam diri Rafi merasa simpati. Ia merasa tidak bisa menahannya untuk langsung bertanya.

“Maaf Mas, ponselnya saya matikan, belum saya hidupkan.”

“Kenapa?” tanya Rafi yang kini menyoroti penuh gadis disampingnya. “Kenapa dimatikan?” tanyanya sekali lagi.

Sarah tidak langsung menjawab. Sebab ia terhipnotis sesaat dengan sorot mata itu. Penuh simpati dan lembut.

“Karena waktu itu lowbat, terus saya lupa cas,” jawabnya dan langsung mengalihkan mata.

Rafi sendiri tau jika gadis itu berbohong dengan kata-katanya. Sarah terlalu menutup diri, bahkan dengan orang tua pun dia menutup perasaannya yang seungguhnya. Laki-laki itu bisa tau karena melihat sorot mata kebingungan dan kesedihan yang terpancar dibalik mata pasrah dan menurut milik Sarah. Karena mata tidak pernah bisa berbohong walau bibir sedang tersenyum.

Rafi pun hanya bisa menghela nafas. Ia tidak bisa memaksa agar Sarah mau membuka sedikit perasaannya yang sesungguhnya. Bisa-bisa, Sarah akan mencapnya sebagai orang yang terlalu kepo dengan privasi orang lain.

“Padahal saya waktu itu mau diskusi banyak hal karena juga melibatkan kamu,” sahut Rafi pada akhirnya.

“Maaf,” ucap Sarah yang tidak bisa berkata lain.

“Saya ambil cuti sepuluh hari dan sudah mendiskusikan sama orang tua saya, bahwa seminggu kedepan langsung acara pernikahan, supaya nggak bolak-balik Jakarta Palembang.” Rafi menerka ekspresi wajah gadis disampingnya. Kaget, sesuai ekspetasinya.

“Maaf Sarah, saya nggak bermaksud untuk semena-mena, karena sebetulnya saya bisa bantu kamu untuk menolak kalau kamu ingin menolak, tapi Mama bilang kalau kamu sudah setuju dan terlebih saya nggak bisa menghubungi kamu. Jadi, yang bisa saya lakukan ya melangkah maju dan membuat rencana untuk kedepan.” Rafi membuang nafasnya sejenak kemudian kembali berkata. “Saya termasuk orang yang perhitungan, apalagi masalah waktu dan pekerjaan, jadi saya pikir kalau bisa cepat maka akan lebih baik.”

Sarah hanya diam, mencerna segala ucapan laki-laki disampingnya. Otaknya sekarang sedang lambat bekerja untuk memahami perkataan orang lain. Bahkan ia seketika linglung dan rasa pusing mulai menjalari kepalanya. Sampai-sampai Sarah memejamkan matanya karena siapa tau ia sedang bermimpi seperti waktu itu saat akan bertemu dengan Rafi. Dan siapa tau kejadian sekarang hanya lanjutan mimpi kemarin yang tak nyata. Siapa tau juga ini hanya halusinasi Sarah saja yang sedang banyak pikiran. Siapa tau—

“Sarah,” panggil Rafi yang kembali membuyarkan lamunan perempuan disampingnya itu.

Sarah seketika menoleh. Dengan sangat jelas dan nyata Rafi melihat bola mata yang berair dan sedikit memerah.

“Pegang janji saya kalau saya nggak akan menuntut banyak hal sama kamu. Hidup lah dengan nyaman bersama saya, dan anggap saja saya teman kamu atau sahabat kamu, jangan terbebani dengan simbol penikahan.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status