[Keesokan hari setelah acara pernikahan berlangsung]
“Abi, Umi, izin untuk bawa Sarah ke Jakarta, tinggal bersama saya. Saya akan perlakukan dengan baik anak bungsu Umi dan Abi.”
Perkataan Rafi mengundang perhatian Sarah yang tadi hanya menunduk. Ia sendiri duduk berdampingan dengan Rafi di ruang tamu. Di hadapan mereka Umi dan Abi juga duduk bersebelahan. Sedangkan di sudut lainnya Bang Rizam bersama istrinya Mbak Anya, serta Kak Hanum dengan suaminya Kak Fajar. Keponakan-keponakan Sarah yaitu Attamimi, Bilqis dan Deva sedang bermain di teras.
Rafi berkata tegas dan bersungguh-sunggu dengan ucapannya. Bang Rizam selaku Abang yang sangat menyayangi adik bungsunya itu merasa bersyukur dan semakin rela melepaskan sang adik. Sebab ia walaupun terlihat tidak begitu ikut campur dengan perjodohan Sarah, namun nyatanya sebelum acara pertunangan sang adik, Rizam lebih dulu menghubungi Rafi, berbincang-bincang untuk menilai calon dari adiknya itu.
“Memang sepantasnya istri mengikuti suami,” jawab Abi. Yang lain tampak diam, menunggu ucapan Abi selanjutnya. “Kalian berdua hiduplah dengan saling melengkapi, saling menerima baik buruknya, saling belajar jangan mementingkan ego masing-masing. Kalian juga sudah dewasa sudah tau tanggung jawab masing-masing.”
Abi mengambil nafas. “Sarah harus nurut apa kata suami, yang baik dilakukan, yang buruk diomongkan. Sedangkan Rafi perlakukan baik istri mu, tapi bukan berarti memanjakannya, sekiranya ada yang salah ya ditegur Sarahnya.”
“Iya baik Bi,” ucap Sarah dan Rafi bebarengan.
Umi pun tersenyum melihat anak dan menantunya. Tidak menyangka bahwa anak-anaknya telah tumbuh dewasa dan memiliki keluarga masing-masing. “Sarah, sini,” kata Umi sedikit bergetar.
Sarah pun mendekat, lalu seketika Umi memeluk anak bungsunya itu dengan erat. Ada keberatan dalam hati Umi untuk melepas anak satu-satunya yang masih tinggal. Namun begitulah tugas orang tua, merawat anak hingga dewasa kemudian melepaskannya setelah berkeluarga.
Sarah hanya bisa berucap kata maaf, maaf jika belum bisa menjadi anak yang baik dan belum bisa membanggakan. Pada Abi, Sarah semakin emosional. Ia menangis tersedu dipelukan Abi. Setelah bisa sedikit menenangkan diri, ia memeluk Hanum, mencium tangan Fajar, Memeluk Rizam juga Anya untuk berpamitan. Yang kemudian diikuti Rafi untuk berpamitan.
“Jagain adek ku Raf,” bisik Bang Rizam ketika Rafi menjabat tangannya.
“Pasti,” jawab Rafi mantap.
Lalu sepasang pengantin baru itu pun keluar dari pelataran rumah masa kecil Sarah. Banyak sekali kenangan disana, saat Sarah, Hanum dan Rizam bermain di halaman depan, kejar-kejaran. Saat Sarah melambaikan tangan perpisahan kepada Hanum yang akan ikut suaminya atau ketika Sarah menangis ditinggal merantau Rizam. Sarah tak menyangka jika ia juga akan pergi meninggalkan Abi dan Uminya.
“Sarah,” panggil Rafi menghentikan rasa haru yang melingkupi Sarah saat itu. “Mana kopernya, saya masukkan ke bagasi.”
Sarah terburu mengusap lelehan air mata di pipinya. Kemudian segera menyerahkan satu koper di tangannya ke Rafi.
Ia lebih dulu masuk kedalam mobil setelah melambaikan tangan yang terakhir kearah keluarganya di teras. Kemudian tak lama Rafi pun mengikuti masuk kedalam mobil.
“Sudah? Nggak ada yang tertinggal?”
“Enggak,” ucap Sarah bergetar.
Rafi tertegun sesaat, ia jelas melihat lelehan air mata itu. Namun seketika Sarah memalingkan wajahnya, sehingga Rafi pun segera meminta sopir untuk jalan.
Tetapi semakin mobil berjalan menjauh semakin pula Sarah sesenggukan. Hatinya terasa tak enak, dadanya sesak seolah berat untuk bernafas. Dan rasanya berat sekali untuk meninggalkan Umi dan Abi.
***
“Sarah. ayo masuk,” perkataan Rafi berhasil mengalihkan pandangan Sarah yang tadi sempat melihat-lihat sekitar. Ia pun mengangguk sembari membawa satu kopernya untuk masuk, sedangkan satu koper milik Sarah yang lain sudah diambil alih oleh Rafi.
“Ini rumah saya, dan sekarang jadi rumah kamu juga,” kata Rafi yang semakin membuat Sarah berani untuk melihat-lihat halaman rumah yang akan ia tinggali.
Setelah beberapa jam perjalanan dari kampung menuju bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II. Kemudian dari bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II menuju bandara Internasional Soekarno–Hatta. Dan dari bandara Internasional Soekarno–Hatta menuju perumahan elit yang terletak di Pondok Indah Jakarta Selatan. Akhirnya Sarah bisa sedikit bernafas lega untuk bisa beristirahat setelah perjalanan yang sangat melelahkan.
Ia pun masih memperhatikan halaman rumah Rafi yang tidak begitu besar, namun Sarah tetap takjub jika rumah yang akan ia tinggali bertingkat dan terlihat luas.
Sebesar ini, apakah Mas Rafi tinggal sendiri?
“Selama ini saya tinggal di daerah Jakarta Timur tempat Mama, rumah ini saya beli satu tahun yang lalu belum pernah ditinggali, hanya beberapa kali sempat datang buat bersih-bersih saja, jadi jangan kaget kalau di dalam masih berantakan,” kata Rafi selaras dengan apa yang sedang dipikirkan oleh Sarah.
“Nah, ayo silahkan masuk.” Rafi kembali menyilahkan wanita yang kini berstatus istrinya itu. Sedangkan Sarah yang masih merasa sungkan dan canggung pun hanya menurut untuk masuk kedalam setelah pintu utama terbuka. Seketika warna abu-abu yang dominan langsung menyapa penglihatan Sarah. Ia memperhatikan dengan seksama dari sofa, jam dinding, guci hingga tiga lukisan yang tersusun meningkat di dinding samping.
“Tiga lukisan itu saya beli dari seniman jalanan,” kembali Rafi berkata ketika melihat Sarah memusatkan matanya ke tiga lukisan di dinding ruang tamu. Sebenarnya lukisan itu tidak telihat bermakna, hanya kombinasi warna acak namun Rafi sangat suka melihatnya jadi ia putuskan membeli.
“Sarah,” panggil Rafi untuk mendapat perhatian wanita disampingnya. “Kamu mau istirahat dulu atau mau mengenal sudut-sudut rumah ini? Kalau mau istirahat, saya langsung antar kan ke kamar kamu di lantai dua, tepat di depan kamar saya.”
Mendapat tatapan bingung dari wanita disampingnya membuat Rafi kembali berkata. “Kita pisah kamar itu demi kenyamanan kamu juga. Karena waktu itu saya pernah bilang nggak akan menuntut banyak hal, jadi dengan pisah kamar saya harap kamu bisa nyaman tinggal disini.”
“Karena bagi ku kenyamanan mu adalah yang terpenting,” ungkap Rafi melanjutkan kalimatnya namun didalam hati.
“Iya Mas, terimakasih banyak,” sahut Sarah tidak bisa berkata-kata lagi. Karena kenyataannya, ia merasa senang dengan keputusan Rafi.
“Sekarang rumah ini jadi rumah kamu juga, karena itu jadilah diri sendiri di rumah ini, senyamannya kamu saja, jangan sungkan dengan saya ya?”
Rafi berkata sembali menampilkan senyuman tulusnya. Ia sebenarnya tidak tau mau dibawa kemana hubungannya dengan Sarah dengan status suami istri yang mereka sandang. Lelaki itu masih berfokus supaya Sarah merasa nyaman tinggal serumah dengannya.
“Iya Mas.” Sarah mengangguk dan membalas senyuman Rafi. Gurat wajah lelahnya seketika sirna saat mendapatkan kebaikan luar biasa dari laki-laki yang kini menjadi suaminya itu.
Pagi sudah menjelang, tidak ada suara ayam yang berkokok, namun sempat ada suara deru mobil di luar. Sarah yang baru saja menyelesaikan ibadah subuh pun segera melipat sajadah dan mukenanya. Lalu meletakkannya kembali ke dalam lemari geser menempel dinding. Awalnya Sarah tertegun dengan kamar tidur yang akan ia tempati. Saat pertama kali Rafi membuka pintu kamarnya dengan lebar-lebar, wanita itu hanya bisa terpesona. “Sebenarnya ini kamar cadangan, kalau ada tamu bisa tidur di kamar ini, tapi sekarang sudah jadi kamar kamu, sudah saya rapihkan sedikit juga, tapi maaf kalau nggak sesuai sama kamu.”
“Kamu bisa memilih apapun buat stok bahan masakan,” kata Rafi sembari mendorong trolly disamping Sarah. Laki-laki itu berpakaian santai, kaos oblong dan celana bahan. Sedangkan Sarah memakai pakaian kebesarannya, rok dengan kemeja oversize dan hijab pashmina menutupi dada. “Karena saya nggak tau soal dapur, jadi saya menyerahkan dan percaya ke kamu,” ucap laki-laki itu sekali lagi karena melihat kesungkanan wanita disampingnya. Kini mereka sudah berada di rak bumbu-bumbu dapur dan sayuran di sebuah supermarket daerah Mampang Jakarta Selatan. Sarah mengamati secara seksama, namun yang paling ia amati tentu adalah harganya yang cukup mahal menurutnya. Dengan harga seperti itu Sarah semakin sungkan untuk mengambil banyak bahan masakan. “Sarah,” panggil Rafi. “Ambil-ambil aja,” katanya lagi. Sarah menghela nafas, ia pun kemudian mengangguk dan mulai mengambil bahan masakan yang sangat diperlukan seperti cabai, bawang putih, bawang merah, tomat, sa
Pada layar ponsel, jam analog menunjukkan angka 4. Kesunyian melanda sebab di luar masih petang, hanya beberapa kali terdengar suara kendaraan dengan samar. Sedangkan waktu subuh juga masih lama sekitaran tiga puluh menitan lagi.Sarah yang belum lama bangun pun segera mencuci muka dan gosok gigi di kamar mandi. Ia akan ke dapur lebih dulu, memasak untuk sarapan karena Mas Rafi akan berangkat kerja jam tujuh pagi.Namun sebelum keluar, Sarah memakai kerudung bergo miliknya dan barulan keluar menuju dapur. Kesunyian menyambutnya ketika ia baru membuka pintu kamar. Sempat wanita itu melihat pintu di depan kamarnya. Masih tertutup dan tidak ada tanda-tanda terbuka.Maka Sarah pun kembali berjalan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang terlalu nyaring dan mengganggu.Namun semakin ia berjalan dan menuruni tangga, semakin terdengar jelas pula suara televisi di ruang keluarga. Wanita itu pun sedikit mempercepat langkahnya.Apa, Mas Rafi s
Perkara menjadi diri sendiri, Sarah pernah merasakannya sewaktu kost di kota sembari kuliah. Di sana ia tinggal bersama dua teman satu jurusan. Banyak sekali kenangan yang tak terlupakan. Sebab saat itu Sarah benar-benar merasa plong, seperti tidak ada yang ditutup-tutupi. Karakternya yang sebenarnya penyuka kebebasan pun tereksplor semasa kuliah dan semasa menjadi anak kost.Sarah sering berjalan malam menjelajah jalanan hanya semata ingin terkena sepoi angin malam, supaya menghilangkan stres akibat tugas menumpuk. Lalu tak lupa pulangnya membeli es krim. Teman-temannya juga sering mengajak traveling ramai-ramai dengan motor selepas ujian. Saat satu kost gabut ditanggal tua, Sarah dan kedua temannya itu akan berjalan sore hingga malam menjelajah jalanan tanpa tujuan dan kemudian balik setelah lelah. Kurang kerjaan, tetangga lain berpikiran seperti itu. Namun bagi Sarah dan kedua temannya itu menganggap apa yang mereka lakukan adalah bentuk untuk menggenggam kebahagi
Sabtu pagi tampak kabut awan menutupi sinar matahari yang terpancar. Tidak mendung, hanya saja langit yang biasanya cerah kini tertutup gumpalan awan putih tebal. Sehingga lebih redup dari biasanya. Cocok sekali untuk menikmati weekend, pikir Rafi. Laki-laki itu pun sudah siap dengan perlengkapan olahraganya. Sudah memakai sepatu dan menyampirkan handuk kecil ke lehernya. Ia juga menyempatkan untuk merenggangkan otot-ototnya dengan gerakan kecil di teras sembari menunggu seseorang. “Bik Arni, Sarah mana?” tanya Rafi setelah melihat wanita gempal usia lima puluh tahun keluar dengan membawa ember dan gayung. “Mbak Sarah lagi diatas Mas, lagi c
“Maaf ...” ucap Rafi dengan tulus.Laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu memapah Sarah di punggungnya. Setelah membalut pergelangan kaki Sarah yang terkilir dengan handuk, Rafi memutuskan langsung pulang dengan cara menggendong istrinya.Namun bukan hal mudah membujuk Sarah untuk bersedia digendong. Sebab wanita itu benar-benar kepala batu, alhasil Rafi harus membujuk bak membujuk anak kecil, dengan pelan dan berdebat terlebih dahulu.“Bagaimanapun tadi gara-gara saya, minta maaf ya, Sarah.”Rafi menolehkan kepalanya untuk melih
Tok ... tok ... tok ...Ketukan pintu nyaring terdengar memenuhi ruangan bercat putih. Ketika Sarah baru saja menyelesaikan ibadah shalat magrib. Gadis itu tampak kesulitan untuk bangun padahal kakinya masih sakit saat ditekuk. Maka ia bertopang erat pada pinggiran ranjang tempat tidurnya. Namun belum juga ia bangun, pintu kembali terketuk.“Masuk aja!” seru Sarah tidak tau siapa yang mengetuk pintunya. Jika bukan Bik Arni maka Rafi. Sebab Sarah tidak bisa membuka pintu dengan segera.Seorang langsung terlihat begitu pintu dibuka dari luar. Sarah masih memakai mukena lengkap. Gadis itu masih kesulitan untuk berdiri
Rafi Anggara Jaya, seorang laki-laki perfeksionis, memiliki ambisi juang serta pemikiran yang dewasa. Semasa remaja dan masih lebih muda, ia tidak banyak dekat dengan wanita, namun pernah beberapa kali berkencan hingga hilang akal. Laki-laki itu tidak pernah mengakui dirinya sosok pria yang baik-baik. Sebab pergaulan modern dengan hingar bingar kota Jakarta, sudah ia cicipi. Namun semua keburukan yang dulu pernah ia lakukan, nampaknya Tuhan masih berbaik hati padanya. Terbukti dengan mendatangkan sosok wanita baik-baik seperti Sarah. Kini dalam keadaan malam yang semakin larut dan angin dingin yang semakin terasa, Rafi menolehkan kepala ke samping. Tepatnya pada Sarah yang menyenderkan kepala sudah terpejam. Wanita cantik itu te