Share

09. Pisah kamar

Author: Apri April
last update Last Updated: 2021-09-21 17:52:31

[Keesokan hari setelah acara pernikahan berlangsung]

“Abi, Umi, izin untuk bawa Sarah ke Jakarta, tinggal bersama saya. Saya akan perlakukan dengan baik anak bungsu Umi dan Abi.”

Perkataan Rafi mengundang perhatian Sarah yang tadi hanya menunduk. Ia sendiri duduk berdampingan dengan Rafi di ruang tamu. Di hadapan  mereka Umi dan Abi juga duduk bersebelahan. Sedangkan di sudut lainnya Bang Rizam bersama istrinya Mbak Anya, serta Kak Hanum dengan suaminya Kak Fajar. Keponakan-keponakan Sarah yaitu Attamimi, Bilqis dan Deva sedang bermain di teras.

Rafi berkata tegas dan bersungguh-sunggu dengan ucapannya. Bang Rizam selaku Abang yang sangat menyayangi adik bungsunya itu merasa bersyukur dan semakin rela melepaskan sang adik. Sebab ia walaupun terlihat tidak begitu ikut campur dengan perjodohan Sarah, namun nyatanya sebelum acara pertunangan sang adik, Rizam lebih dulu menghubungi Rafi, berbincang-bincang untuk menilai calon dari adiknya itu.

“Memang sepantasnya istri mengikuti suami,” jawab Abi. Yang lain tampak diam, menunggu ucapan Abi selanjutnya. “Kalian berdua hiduplah dengan saling melengkapi, saling menerima baik buruknya, saling belajar jangan mementingkan ego masing-masing. Kalian juga sudah dewasa sudah tau tanggung jawab masing-masing.”

Abi mengambil nafas. “Sarah harus nurut apa kata suami, yang baik dilakukan, yang buruk diomongkan. Sedangkan Rafi perlakukan baik istri mu, tapi bukan berarti memanjakannya, sekiranya ada yang salah ya ditegur Sarahnya.”

“Iya baik Bi,” ucap Sarah dan Rafi bebarengan.

Umi pun tersenyum melihat anak dan menantunya. Tidak menyangka bahwa anak-anaknya telah tumbuh dewasa dan memiliki keluarga masing-masing. “Sarah, sini,” kata Umi sedikit bergetar.

Sarah pun mendekat, lalu seketika Umi memeluk anak bungsunya itu dengan erat. Ada keberatan dalam hati Umi untuk melepas anak satu-satunya yang masih tinggal. Namun begitulah tugas orang tua, merawat anak hingga dewasa kemudian melepaskannya setelah berkeluarga.

Sarah hanya bisa berucap kata maaf, maaf jika belum bisa menjadi anak yang baik dan belum bisa membanggakan. Pada Abi, Sarah semakin emosional. Ia menangis tersedu dipelukan Abi. Setelah bisa sedikit menenangkan diri, ia memeluk Hanum, mencium tangan Fajar, Memeluk Rizam juga Anya untuk berpamitan. Yang kemudian diikuti Rafi untuk berpamitan.

“Jagain adek ku Raf,” bisik Bang Rizam ketika Rafi menjabat tangannya.

“Pasti,” jawab Rafi mantap.

Lalu sepasang pengantin baru itu pun keluar dari pelataran rumah masa kecil Sarah. Banyak sekali kenangan disana, saat Sarah, Hanum dan Rizam bermain di halaman depan, kejar-kejaran. Saat Sarah melambaikan tangan perpisahan kepada Hanum yang akan ikut suaminya atau ketika Sarah menangis ditinggal merantau Rizam. Sarah tak menyangka jika ia juga akan pergi meninggalkan Abi dan Uminya.

“Sarah,” panggil Rafi menghentikan rasa haru yang melingkupi Sarah saat itu. “Mana kopernya, saya masukkan ke bagasi.”

Sarah terburu mengusap lelehan air mata di pipinya. Kemudian segera menyerahkan satu koper di tangannya ke Rafi.

Ia lebih dulu masuk kedalam mobil setelah melambaikan tangan yang terakhir kearah keluarganya di teras. Kemudian tak lama Rafi pun mengikuti masuk kedalam mobil.

“Sudah? Nggak ada yang tertinggal?”

“Enggak,” ucap Sarah bergetar.

Rafi tertegun sesaat, ia jelas melihat lelehan air mata itu. Namun seketika Sarah memalingkan wajahnya, sehingga Rafi pun segera meminta sopir untuk jalan.

Tetapi semakin mobil berjalan menjauh semakin pula Sarah sesenggukan. Hatinya terasa tak enak, dadanya sesak seolah berat untuk bernafas. Dan rasanya berat sekali untuk meninggalkan Umi dan Abi.

***

“Sarah. ayo masuk,” perkataan Rafi berhasil mengalihkan pandangan Sarah yang tadi sempat melihat-lihat sekitar. Ia pun mengangguk sembari membawa satu kopernya untuk masuk, sedangkan satu koper milik Sarah yang lain sudah diambil alih oleh Rafi.

“Ini rumah saya, dan sekarang jadi rumah kamu juga,” kata Rafi yang semakin membuat Sarah berani untuk melihat-lihat halaman rumah yang akan ia tinggali.

Setelah beberapa jam perjalanan dari kampung menuju bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II. Kemudian dari bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II menuju bandara Internasional Soekarno–Hatta. Dan dari bandara Internasional Soekarno–Hatta menuju perumahan elit yang terletak di Pondok Indah Jakarta Selatan. Akhirnya Sarah bisa sedikit bernafas lega untuk bisa beristirahat setelah perjalanan yang sangat melelahkan.

Ia pun masih memperhatikan halaman rumah Rafi yang tidak begitu besar, namun Sarah tetap takjub jika rumah yang akan ia tinggali bertingkat dan terlihat luas.

Sebesar ini, apakah Mas Rafi tinggal sendiri?

“Selama ini saya tinggal di daerah Jakarta Timur tempat Mama, rumah ini saya beli satu tahun yang lalu belum pernah ditinggali, hanya beberapa kali sempat datang buat bersih-bersih saja, jadi jangan kaget kalau di dalam masih berantakan,” kata Rafi selaras dengan apa yang sedang dipikirkan oleh Sarah.

“Nah, ayo silahkan masuk.” Rafi kembali menyilahkan wanita yang kini berstatus istrinya itu. Sedangkan Sarah yang masih merasa sungkan dan canggung pun hanya menurut untuk masuk kedalam setelah pintu utama terbuka. Seketika warna abu-abu yang dominan langsung menyapa penglihatan Sarah. Ia memperhatikan dengan seksama dari sofa, jam dinding, guci hingga tiga lukisan yang tersusun meningkat di dinding samping.

“Tiga lukisan itu saya beli dari seniman jalanan,” kembali Rafi berkata ketika melihat Sarah memusatkan matanya ke tiga lukisan di dinding ruang tamu. Sebenarnya lukisan itu tidak telihat bermakna, hanya kombinasi warna acak namun Rafi sangat suka melihatnya jadi ia putuskan membeli.

“Sarah,” panggil Rafi untuk mendapat perhatian wanita disampingnya. “Kamu mau istirahat dulu atau mau mengenal sudut-sudut rumah ini? Kalau mau istirahat, saya langsung antar kan ke kamar kamu di lantai dua, tepat di depan kamar saya.”

Mendapat tatapan bingung dari wanita disampingnya membuat Rafi kembali berkata. “Kita pisah kamar itu demi kenyamanan kamu juga. Karena waktu itu saya pernah bilang nggak akan menuntut banyak hal, jadi dengan pisah kamar saya harap kamu bisa nyaman tinggal disini.”

“Karena bagi ku kenyamanan mu adalah yang terpenting,” ungkap Rafi melanjutkan kalimatnya namun didalam hati.

“Iya Mas, terimakasih banyak,” sahut Sarah tidak bisa berkata-kata lagi. Karena kenyataannya, ia merasa senang dengan keputusan Rafi.

“Sekarang rumah ini jadi rumah kamu juga, karena itu jadilah diri sendiri di rumah ini, senyamannya kamu saja, jangan sungkan dengan saya ya?”

Rafi berkata sembali menampilkan senyuman tulusnya. Ia sebenarnya tidak tau mau dibawa kemana hubungannya dengan Sarah dengan status suami istri yang mereka sandang. Lelaki itu masih berfokus supaya Sarah merasa nyaman tinggal serumah dengannya.

“Iya Mas.” Sarah mengangguk dan membalas senyuman Rafi. Gurat wajah lelahnya seketika sirna saat mendapatkan kebaikan luar biasa dari laki-laki yang kini menjadi suaminya itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Teman Tapi Suami Istri   37. Karena cinta

    "Rafi belum bangun?" suara Mama Vanya menegur begitu Sarah mendekat untuk membantu kegiatan di dapur. Jam di dinding masih menunjuk pukul lima pagi, sedangkan Mama sedang sibuk membuat sarapan serta Bik Inah sedang mencuci piring kotor yang menumpuk banyak akibat acara syukuran tadi malam."Masih sholat Mah, tadi dibangunin susah.""Nggak biasanya dia bangun susah, apa di rumah memang seperti itu Sar?"Sarah semakin mendekat mengambil alih penggorengan. "Di rumah Mas Rafi selalu bangun pagi, mungkin karena kangen suasana rumah lama jadi kebawa susah bangun."Mama Vanya mengangguk sembari memotong-motong sayuran di talenan kayu. Namun ia seketika tersenyum ketika sadar sesuatu. "Oh ya, Rafi sholat, Sar?" tanyanya yang membuat Sarah keheranan sendiri."Iya," jawab perempuan berhijab itu."Ya ampun, kamu memang perempuan baik Sarah, Mamah jadi merasa berhutang budi."Sarah semakin tidak mengerti. Ia mengernyitkan dahinya mencoba mencerna

  • Teman Tapi Suami Istri   36. Tidur

    "Naraya agak pendiam ya, Mas? maksudnya waktu kumpul dia banyak diam, tapi pas aku sama dia, malah kelihat cerewet." Sarah sudah melepaskan hijabnya, dia juga sudah berganti dengan celana training panjang serta kaos panjang. Sebelumnya keluarga yang lain sudah pamit pulang ke rumah masing-masing. Acara syukuran wisuda Bella sudah selesai dengan meninggalkan kesan kehangatan di malam yang semakin larut. "Dia memang seperti itu," balas Rafi yang berbaring menatap langit-langit kamar tepat di samping Sarah. Tidak ada pembatas diantara mereka. Setelah melawan kegugupan dengan dibantu kalimat menenangkan Rafi, akhirnya Sarah mampu berbagi satu ranjang dengan suaminya. Jika dipikir hal tersebut harusnya menjadi wajar. Namun berhubung baik Rafi maupun Sarah selama hidup bersama belum pernah tidur di kamar yang sama membuat mereka agak canggung. "Sarah," panggil Rafi menolehkan kepala ke samping. Panggilan nama dengan suara maskulin yang agak rendah itu mulai

  • Teman Tapi Suami Istri   35. Gugup

    Rafi dan Sarah akhirnya tiba di kediaman orang tua Rafi saat adzan isya berkumandang. Gadis itu keluar dari mobil dan kemudian diikuti dengan Rafi. Mereka dengan kompak masuk ke dalam rumah yang belum terlalu ramai, sebab acara syukuran akan dilaksanakan sehabis isya. Lagipula syukuran wisuda Bella hanya akan dihadiri oleh kerabat dekat. Kata Rafi, keluarganya itu memang sering berkumpul bersama di acara-acara tertentu. "Jangan gugup, Sarah, mereka baik-baik," ucap laki-laki yang kini sudah berpakaian rapih dan bersih. Setelah sampai, mereka langsung izin ke kamar karena Rafi sendiri ingin membersihkan diri sehabis bekerja. Sarah melirik suami didepannya. Genggaman tangan di pangkuan perempuan itu memanglah menandakan bahwa ia sangat gugup. Terlebih memang dasarnya Sarah tipe orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan atau orang baru. Sehingga ia merasa gugup untuk keluar kamar dan menyambut keluarga lain yang sepertinya mulai berdatangan. "Kamu gug

  • Teman Tapi Suami Istri   34. Percaya sama kamu

    Jakarta dan kemacetan adalah sesuatu yang tidak bisa terlepas begitu saja. Ada Jakarta ada macet, itu adalah hal wajar dan sudah lumrah. Sarah yang duduk di kursi penumpang hanya menatap kendaraan-kendaraan di depan yang sedang mengantri. Sedangkan banyak motor melaju lebih leluasa dan bisa mencari celah untuk terus berlanjut. Namun kendaraan mobil yang ia tumpangi hanya bisa diam dan menunggu mobil di depan bergerak. Sesekali perempuan berpenampilan muslimah itu menatap ke sekeliling gedung yang nampak dari jalanan. Gedung-gedung pencakar langit yang tidak ia temui di kota kelahirannya. Sebab lebih modern dan lebih banyak. Walau Sarah sudah tinggal hampir tiga bulanan di Jakarta. Ia masih kagum dan tetap ingin menjelajah pada setiap sudut ibu kota. Karena Rafi belum bisa menepati janji sebelumnya bahwa akan mengajak Sarah jalan-jalan berkeliling kota. Kesibukannya bekerja dan sekaligus sedang menggarap sebuah usaha baru, membuat laki-laki itu mengurungkan niat untuk

  • Teman Tapi Suami Istri   33. Tidur sekamar

    Pagi kembali menjelang, di luar masih dingin dan gelap. Jam dinding yang terletak di tembok dapur menunjuk angka lima pada jarum yang pendek dan jarum yang panjang menunjuk angka enam. Sedangkan seorang perempuan berambut panjang sebahu dan lurus itu sedang sibuk menyiapkan makanan untuk sarapan. Sarah hanya sendiri, sebab Bik Arni melakukan pekerjaan lain di luar. Perempuan itu tidak pernah keberatan untuk masak, sebab ia memang suka memasak sehingga Sarah sering kali menyuruh Bik Arni untuk melakukan pekerjaan lain dan cukup ia saja yang memasak. Tetapi tetap saja terkadang mereka bisa memasak bersama juga. Lalu suara acara televisi yang berasal dari ruang keluarga adalah tanda bahwa Rafi sudah bangun. Laki-laki itu mempunyai kebiasaan sehabis bangun pagi langsung menyalakan televisi, biasanya sembari mengemil. Lapar adalah kebiasaan setelah bangun tidur Rafi dan juga Sarah. "Sarah," panggil suara tak asing dari arah belakang. Tanpa menoleh pun perempuan ya

  • Teman Tapi Suami Istri   32. Karma

    Hari semakin siang, jam di dinding pun berdetak hingga menunjuk angka satu. Namun gadis pirang yang penampilan modis itu hanya menatap sahabatnya yang sedang makan dengan lahap nasi sayur yang ia beli di depan rumah sakit. Adilla pada akhirnya meminta ganti shift dengan temannya hanya demi menjaga Bayu. Kata perawat, Bayu bisa pulang setelah menghabiskan satu kantong cairan infus guna menyuntikkan nutrisi yang kurang dalam tubuhnya itu. Adilla duduk di kursi samping keranjang, melipat kedua tangannya sembari terus menatap Bayu dengan seksama. Gadis itu sedang mencari-cari sesuatu yang disembunyikan, siapa tau ia dapat mengetahui hanya dengan melihat gurat wajah Bayu. Tetapi laki-laki itu terlalu lahap memakan makanannya seperti orang kelaparan, sehingga Adilla tidak bisa menangkap sesuatu yang mencurigakan. "Aaaaa ..." Bayu menyodorkan sesendok nasi beserta sayur di depan mulut Adilla. Siapa yang tidak risih ditatap intens seperti sedang menangkap basah malin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status