Chapter: Chapter 35Lobi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mahardika tidak pernah benar-benar sunyi, apalagi di waktu pergantian kelas seperti sekarang. Para mahasiswa bercengkrama di lorong, duduk-duduk di lobi sambil mengerjakan tugas yang sudah mepet deadline, dan sisanya berjalan terburu-buru mengejar kelas selanjutnya. Karina yang baru keluar dari kelas Garda, melangkahkan kakinya dengan malas ke arah pintu keluar gedung. Namun belum setengah perjalanan, Bu Vivian yang baru keluar dari ruangan, menghadangnya. “Karina,” ujar wanita itu. “Tunggu, ada yang mau saya bicarakan.” “Ada apa, Bu?” Karina gugup. Jika ada dosen yang ingin bicara dengannya, biasanya hal itu menyangkut masalah akademik atau apa pun hal yang buruk. Rahang Karina hampir jatuh saat Vivian mengatakan sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya. “Saya sudah selesai baca laporan penelitian kelompokmu, cukup bagus. Kalian submit penelitian itu ke simposium nasional ya? Kalau nanti lolos seleksi dan terbit, biar biaya
Last Updated: 2025-12-16
Chapter: Chapter 34Karina menyadari ada yang salah bahkan sebelum kelas benar-benar dimulai. Bukan karena materi. Bukan karena suasana kelas. Melainkan karena cara Garda berdiri di depan kelas hari itu. Tidak, pria itu tidak berbeda. Ia tetap tegak seperti biasa. Nada suaranya sama—tenang, jelas, terukur. Slide presentasi berjalan rapi, setiap poin dijelaskan tanpa cela. Namun Karina merasa ada sesuatu yang hilang. Karina duduk di barisan tengah, iPad di depannya menyala, ia memutar-mutar pensil otomatisnya tanpa sadar. Matanya fokus menatap layar, kemudian ke arah papan tulis, lalu tanpa sadar, menatap Garda. Jauh dalam dirinya, Karina mendesah kecewa. Setiap kelas, tatapan mereka biasanya selalu bertemu meski itu hanya sepersekian detik. Hal itu seakan menjadi rahasia kecil di antara mereka. Di antara banyaknya manusia, mereka seolah berkomunikasi lewat kerlingan mata yang hanya sekelebat. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya sejak ia bisa mengingat, tatapan itu tidak pernah dibalas. Biasanya, me
Last Updated: 2025-12-16
Chapter: Chapter 33Keesokan paginya, matahari muncul malu-malu dari balik kabut pegunungan. Udara masih segar, rumput basah oleh embun. Di lapang, berkumpul beberapa warga dan mahasiswa. Warga mengajak rombongan kampus untuk bermain permainan tradisional yang membutuhkan kerja sama dan menimbulkan banyak tawa.Karina sudah ikut lebih dulu, duduk bersama beberapa warga dan mahasiswa, ikut bermain bakiak panjang.“Ayo, ayo! Satu-dua-tiga! Langkahnya harus kompak!” seru warga yang memimpin permainan.Karina tertawa pelan, kakinya bergetar karena kesulitan mengikuti ritme. Tapi ia mencoba.Sampai akhirnya sebuah suara terdengar dari belakang.“Pak Garda! Ikut sini! Kekurangan satu orang!”Karina menegang seketika. Ia tahu suara itu. Ia tahu nama itu.Saat menoleh… Garda sudah berjalan mendekat.“Maaf, saya cuma lewat—”“Tapi Pak, satu orang lagi biar genap! Ayo, sekalian menghangatkan badan,” mahasiswa yang lain bersikeras saling bersahutan.Mahasiswa lain bersorak. Garda tidak bisa menolak. Dan tiba-tiba i
Last Updated: 2025-12-15
Chapter: Chapter 32Malam turun dengan perlahan, seperti kabut tipis yang menyelimuti desa kecil di Puncak Bogor. Lampu-lampu kuning digantung di sepanjang lapangan, bergetar pelan diterpa angin gunung yang sejuk. Warga sudah berkumpul, beberapa anak kecil berlari-larian sambil memegang jagung bakar dan balon. Musik tradisional dari speaker tua mengalun rendah, menciptakan suasana hangat.Namun di tengah kehangatan itu, ruang ketegangan masih menggelayuti, sejak tadi tidak mau pergi dari dada Karina maupun Garda.Karina berdiri di antara mahasiswa lain, mengenakan sweater rajut tipis yang menghadangnya dari dingin udara pegunungan. Pipinya memerah bukan karena dingin, tapi karena ia terus memikirkan pria yang berdiri beberapa meter darinya.Garda.Pria itu sedang duduk bersama para dosen lain. Wajahnya tampak sangat… tenang. Terlalu tenang. Berbahaya-tenang. Seolah ia datang ke acara penutupan hanya sebagai pengamat, padahal tatapannya sesekali melesat ke arah Karina seperti refleks yang tidak bisa ia ke
Last Updated: 2025-12-14
Chapter: Chapter 31Angin sore di desa itu dinginnya bukan main, sebagaimana dinginnya sesuatu yang belum selesai antara dua orang yang pura-pura baik-baik saja. Langit baru saja kehilangan cahaya terakhirnya, menyisakan warna tembaga di balik gunung yang jauh. Selepas kegiatan pengabdian hari itu, semua mahasiswa sibuk merapikan alat dan materi. Beberapa masih berdiskusi di depan aula, tertawa kecil meski wajah mereka terlihat lelah.Sementara itu, Karina melangkah keluar dari aula dengan kedua tangan penuh. Tripod, box alat tulis, map data, dan kotak peraga materi kesehatan mental, semuanya ia bawa kembali ke posko. Pundaknya nyeri, dan kakinya pegal di sana-sini karena seharian ini sering berjalan dan bolak-balik posko–aula desa untuk menyiapkan kegiatan.Ia hanya ingin ke posko, membersihkan diri dan beristirahat. Ketika ia melewati jalan kecil berkerikil menuju posko yang berupa rumah panggung sederhana yang disiapkan untuk tim tiga hari ini, siluet seseorang muncul dari tikungan.Seseorang dengan b
Last Updated: 2025-12-14
Chapter: Chapter 30Di sebuah ruangan privat salah satu restoran ternama ibukota, Renata melangkahkan kakinya didampingi oleh seorang pelayan. Ia sudah duduk di kursi ujung ruang privat restoran itu ketika Garda masuk. Punggungnya tegak, tangan terlipat rapi di atas meja, wajahnya tenang, terlalu tenang untuk sebuah pertemuan yang seharusnya tidak perlu terjadi.Begitu pintu ditutup, Renata tidak membuang waktu.“Apa yang kamu lakukan, Garda?” Nada suaranya rendah. Tidak tinggi, tidak meledak. Justru itu yang membuatnya berbahaya.Garda tidak langsung duduk. Ia berdiri sebentar, menarik kursi dengan gerakan tenang, lalu duduk berhadapan. Tatapannya lurus, bahunya rileks, seolah ini bukan konfrontasi, melainkan laporan kerja semata. “Saya menjalankan kesepakatan kita,” jawabnya datar. “Melindungi Karina.”Renata tertawa kecil. Singkat, kering, namun penuh makna tersembunyi. “Melindungi?” Ia memiringkan kepala. “Kamu menyebut itu perlindungan, ketika seluruh kampus membicarakan namanya?”Garda tidak bereak
Last Updated: 2025-12-13
Chapter: 102. Rumah yang DamaiKetika Aruna membuka matanya, dunia terasa lembut dan asing. Cahaya matahari menyelinap melalui tirai rumah sakit yang putih, menimbulkan bias hangat di sekujur wajahnya. Bau antiseptik yang biasanya membuatnya mual kini terasa menenangkan. Ia sempat berpikir mungkin ini hanya mimpi, sampai suara itu terdengar.“Aruna…” Nada itu serak, namun familiar.Ia menoleh perlahan. Di sisi ranjang, duduk seseorang dengan wajah letih, mata merah, dan senyum yang berusaha bertahan di antara luka yang belum benar-benar sembuh.Baskara.“Hey,” sapanya pelan, nyaris berbisik.Aruna tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap pria itu, mencoba memahami betapa banyak hal yang sudah mereka lalui—pengkhianatan, kehilangan, amarah, darah, tangis. Lalu keheningan.Baskara menunduk, menatap jemari Aruna yang terkulai di atas selimut. Ia menggenggamnya perlahan, seolah takut sentuhannya bisa menghancurkan perempuan itu lagi. “Aku… minta maaf,” katanya, suaranya pecah di tengah ruang sunyi. “Aku gagal menjagamu
Last Updated: 2025-11-20
Chapter: 101. Secercah Cahaya itu Kembali“Operasinya berjalan lancar. Namun pasien belum sadarkan diri. Semoga saja secepatnya pasien sadar dan pemulihannya berjalan baik.” seorang dokter memberitahu Baskara setelah penantian berjam-jam di depan ruang operasi. “Syukurlah,” desah Baskara yang menahan napasnya entah sejak kapan. Anindya di sampingnya juga ikut lega. Ia bahkan sampai kembali menangis. “Terima kasih banyak dokter,” ucapnya penuh syukur. “Kalau begitu, saya permisi,” pamit sang dokter meninggalkan tempatnya. Baskara bisa bernapas sedikit lega meski ia belum sepenuhnya tenang setelah semua kejadi
Last Updated: 2025-11-19
Chapter: 100. Padamnya CahayaUdara di ruangan itu tiba-tiba berubah berat, bukan lagi hanya karena kabut hujan dan bau kayu lembap, tapi karena logam dingin yang bersinar di bawah lampu. Arga mengangkat senjata dengan gerakan yang tenang dan pasti, matanya tak lagi menerangi ruangan; mereka memancarkan sesuatu yang hanya bisa disebut keheningan sebelum badai.“Aku tidak main-main Baskara,” ujar Arga dengan suara dingin.Anindya menjerit kecil dan meringkuk di belakang kakaknya. Aruna melangkah satu langkah maju, mencoba menjadi perisai antara adiknya dan pistol yang menodong mereka. Adrenalin menyalak dalam tubuhnya, bukan ketakutan kosong, tetapi sesuatu yang tajam dan terfokus. Ia harus melindungi adiknya.Baskara melangkah maju, rahang mengeras. “Arga, jangan lakukan ini,” katanya. “Kita bisa bicara —&rdqu
Last Updated: 2025-11-18
Chapter: 99. Pencari KebenaranUdara di dalam rumah tua itu terasa menebal, pekat seperti kabut yang menempel pada kulit. Hujan di luar semakin deras, menabuh ritmenya di atap seng, membuat setiap langkah terasa bergema seribu kali. Lampu minyak di sudut ruang menyorot wajah-wajah yang terkunci dalam lingkaran. Arga satu sisi, berdiri dengan tenang tapi matanya berkobar, Baskara di depan pintu, otot-otot rahangnya tegang, lalu Aruna menggenggam Anindya, tubuh adiknya masih bergetar.Arga mengangkat dagu, memberi jarak dramatis, seolah ingin memberi mereka kesempatan menyerap apa yang akan ia ucapkan. Suaranya ketika akhirnya keluar, halus tapi menusuk, seperti air yang menetes di ruang kosong sampai nada gemanya memaksa.“Kalian tahu betapa senangnya aku ada di tempat ini sekarang. Akhirnya aku bisa menunjukkan siapa diriku sebenarnya setelah bertahun-tahun hidup dalam dusta, menjadi p
Last Updated: 2025-11-17
Chapter: 98. Berakhirnya Kepura-puraanLangit malam tampak kelabu, seolah ikut menahan napas bersama seluruh ketegangan di rumah itu. Aruna duduk di tepi ranjang, tubuhnya condong ke depan, menatap layar ponsel Baskara yang dari tadi tak berhenti bergetar. Di luar kamar, suara langkah-langkah tim Baskara terdengar sibuk, mereka baru saja kembali membawa kabar baru.Aruna kembali keluar dan bergabung bersama Baskara.“Kami menemukan lokasi ponsel itu, tapi lokasinya agak janggal,” lapor Rafi.Aruna menegakkan tubuh, jantungnya langsung berdegup cepat. “Di mana?”“Daerah pinggiran, sekitar dua jam dari sini.” Rafi lanjut menjelaskan. Ia menunjukkan tab dengan peta dengan tanda merah. &ld
Last Updated: 2025-11-16
Chapter: 97. Kecurigaan Besar“Nomornya nggak aktif, Mas.” Suara Aruna terdengar serak, hampir putus di ujung. Ia baru menurunkan ponselnya setelah panggilan kesekian kali berujung nada sambung mati.Baskara berdiri di depan jendela besar ruang tamu rumah peninggalan Oma, menatap halaman yang basah karena hujan sore tadi. Lengannya terlipat di dada, tapi rahangnya tegang. “Coba lagi,” katanya datar.“Aku udah coba. Nomornya nggak aktif, pesannya juga nggak dibalas.”Aruna memandangi layar ponselnya, jari-jarinya bergetar. “Dia nggak mungkin tiba-tiba ngilang gini. Biasanya Arga selalu menjawab teleponku.”Baskara menarik napas panjang, lalu berbalik. “Justru itu masalahnya.”Ia meraih ponselnya s
Last Updated: 2025-11-16