
Sang Pewaris Yang Terlupakan
Alina Larasati kehilangan segalanya dalam semalam. Keluarganya bangkrut, ayahnya meninggal secara misterius, dan ia dipaksa hidup dalam kemiskinan, jauh dari kemewahan yang pernah ia kenal. Satu-satunya tujuannya kini adalah balas dendam kepada keluarga Adhitama, korporasi raksasa yang ia yakini telah menghancurkan keluarganya.
Kesempatan emas datang dalam bentuk tawaran yang mustahil ditolak. Damian Adhitama CEO muda, tampan, dan terkenal dingin membutuhkan seorang istri kontrak untuk mengamankan posisi dan warisannya. Damian memandang Alina tak lebih dari seorang gadis biasa yang mudah dikendalikan, bidak sempurna dalam permainannya.
Damian tidak tahu, gadis yang ia anggap polos ini adalah seorang pemangsa yang menyamar. Alina menerima pernikahan itu, menjadikannya jalan masuk sempurna ke jantung pertahanan musuh. Di siang hari, ia adalah istri patuh yang memesona; di malam hari, ia adalah peretas ulung yang mengumpulkan bukti untuk menjatuhkan Damian dan kerajaannya.
Namun, di antara sandiwara dan tatapan dingin, percikan tak terduga mulai menyala. Hati Alina yang beku oleh dendam mulai mencair oleh perhatian Damian yang tak terucap. Damian pun menemukan dirinya tertarik pada wanita yang penuh teka-teki ini.
Basahin
Chapter: 31. Retakan di Fondasi JiwaKeheningan di dalam ruang lihat yang dingin dan steril itu lebih memekakkan daripada ledakan mana pun. Waktu seakan berhenti. Di atas meja baja, buku catatan hitam yang telah menjadi tujuan akhir dari perburuan mereka selama ini, kini tergeletak begitu saja, terlupakan. Seluruh energi di ruangan itu tersedot ke dalam sebuah map tipis berwarna krem yang terikat pita merah sebuah arsip dari masa lalu yang kini mengancam untuk meruntuhkan masa kini.Alina hanya bisa menatap nanar saat Damian, dengan jari-jari yang tampak kaku dan asing, membuka map itu. Wajah pria itu adalah sebuah topeng pualam yang kosong, namun matanya yang terpaku pada dokumen-dokumen di dalamnya memancarkan badai emosi yang sunyi: ketidakpercayaan, kebingungan, dan rasa sakit yang mulai merayap.Alina merasa dunianya ikut terbalik. Ayahnya, Hendra Larasati, adalah pilar integritas dalam ingatannya. Ibunya, wanita yang ia puja, adalah satu-satunya cinta dalam hidup ayahnya. Namun, di hadapannya ki
Huling Na-update: 2025-07-22
Chapter: 30. Warisan di Dalam BajaPerjalanan kembali ke Jakarta keesokan paginya terasa seperti sebuah misi infiltrasi yang sunyi. Langit yang cerah dan pemandangan Puncak yang hijau berlalu di luar jendela mobil, namun di dalam, Alina dan Damian terbungkus dalam atmosfer yang tegang dan penuh fokus. Tidak ada lagi obrolan ringan atau kenangan melankolis. Setiap kilometer yang mereka tempuh terasa seperti satu langkah lebih dekat ke jantung pertarungan. Harapan kini memiliki wujud fisik: sebuah nomor brankas di sebuah bank.Setibanya di mansion, mereka tidak beristirahat. Damian langsung masuk ke ruang kerjanya, menutup pintu, dan melakukan satu panggilan telepon yang paling penting. Alina menunggu di ruang keluarga, mondar-mandir di depan lukisan "Gadis di Tengah Badai", jantungnya berdebar-debar seirama dengan jarum jam di dinding.Setelah sekitar lima belas menit, Damian keluar. Wajahnya tenang, namun matanya berkilat dengan energi seorang predator yang telah mengunci targetnya. "Sudah diatur,"
Huling Na-update: 2025-07-22
Chapter: 29. Membongkar Sandi Sang AyahPerjalanan kembali dari perpustakaan kecil di Puncak terasa sangat berbeda dari perjalanan berangkat. Jika sebelumnya udara di dalam mobil dipenuhi oleh gema melankolis dari masa lalu, kini udara itu berderak dengan energi antisipasi yang tajam. Mereka tidak lagi mencari kenangan; mereka sedang dalam perburuan aktif. Kode yang tertera di foto ponsel Damian SDB.J07.C11.H28 terasa seperti detak jantung dari misi mereka, sebuah teka-teki yang menuntut untuk dipecahkan.Damian tidak langsung membawa mereka kembali ke Jakarta. Prediktabilitas adalah kemewahan yang tidak mereka miliki, terutama dengan asumsi bahwa Karta mungkin mengawasi pergerakan mereka. Atas perintahnya, Rendra telah memesan sebuah vila privat yang terpencil di kawasan Gadog, sebuah benteng sementara yang mewah dengan keamanan tingkat tinggi. Di sanalah, jauh dari potensi mata-mata di mansion Jakarta, mereka akan mencoba membongkar pesan terakhir Hendra Larasati.Vila itu modern dan terisolasi, dikeli
Huling Na-update: 2025-07-21
Chapter: 28. Perjalanan ke Harta Karun TerakhirKabar tentang perpustakaan kecil di Puncak mengubah seluruh energi di dalam mansion Adhitama. Keheningan yang berat dan fokus strategis yang dingin kini digantikan oleh sebuah urgensi yang berderak, sebuah antisipasi yang nyaris tak tertahankan. Mereka telah menemukan sebuah titik di peta harta karun ayah Alina."Kita berangkat sekarang," kata Damian pagi itu, bahkan sebelum Alina sempat menanyakan rencananya. Tidak ada keraguan dalam suaranya. Ia tidak akan mengirim Rendra atau timnya. Ini adalah sebuah misi yang terlalu personal, terlalu penting untuk didelegasikan.Mereka meninggalkan rumah bukan dengan Mercedes hitam yang biasa, melainkan dengan sebuah SUV mewah yang tidak terlalu mencolok. Damian sendiri yang mengemudi. Ia telah menanggalkan setelan CEO-nya, menggantinya dengan kemeja polo dan celana kasual. Alina pun melakukan hal yang sama, memilih blus sederhana dan celana panjang. Mereka tidak lagi terlihat seperti Tuan dan Nyonya Adhitama yang akan mengha
Huling Na-update: 2025-07-21
Chapter: 27. Mencari Gema Sang AyahMalam setelah pengakuan Santoso yang menghancurkan, tidur tidak memberikan istirahat, hanya jeda singkat sebelum badai berikutnya. Fajar menyingsing di Jakarta, namun di dalam ruang kerja Damian, suasana terasa seperti tengah malam yang paling kelam. Papan strategi digital mereka kini terasa lebih hidup dan lebih menakutkan, dengan nama Karta Adhitama yang seolah melayang di puncaknya seperti dewa kematian.Konfirmasi atas dalang utama tidak membawa kelegaan, melainkan beban yang lebih berat. Pertanyaan yang kini menggantung di udara di antara Alina dan Damian bukan lagi "siapa", melainkan "bagaimana". Bagaimana cara melawan seorang tiran yang telah membangun kerajaannya di atas fondasi rasa takut dan kerahasiaan selama lima puluh tahun?"Bukti dari Santoso saja tidak cukup," kata Damian pagi itu, suaranya serak karena kurang tidur. Mereka berdua sama-sama tidak kembali ke kamar tidur, melainkan menghabiskan sisa malam di ruang kerja, menganalisis kembali setiap de
Huling Na-update: 2025-07-20
Chapter: 26. Pengakuan di Ruang RemangRuang konferensi di hotel butik itu terasa dingin dan kedap udara, sebuah vakum yang dengan cepat terisi oleh ketegangan yang pekat. Tuan Santoso duduk membungkuk di seberang meja panjang, keringat dingin membasahi pelipisnya di bawah cahaya lampu yang temaram. Di sampingnya, Tuan Wibowo, pengacara Damian, duduk dengan ketenangan seorang profesional yang sudah terbiasa berurusan dengan orang-orang yang terpojok.Alina duduk di sisi Damian, posturnya tegak, tangannya terkepal di pangkuannya. Anting di telinganya terasa berat, sebuah pengingat akan perannya malam ini: sebagai saksi, sebagai hakim, dan sebagai perekam rahasia.Damian memulai interogasi, bukan dengan gertakan atau ancaman, melainkan dengan ketenangan yang jauh lebih menakutkan. "Santoso," sapanya, suaranya datar. "Kau meminta pertemuan ini. Artinya kau punya sesuatu untuk dijual. Dan aku di sini sebagai pembeli. Jadi, mulailah bicara. Semakin berharga informasimu, semakin tinggi harga yang akan kubayar
Huling Na-update: 2025-07-20
Chapter: 25. Garis Darah dan Benang TakdirKeheningan yang menyelimuti ruang meditasi setelah penyelaman kedua Kian terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang tegang dan penuh antisipasi, melainkan keheningan yang lembut dan rapuh, seperti ketenangan setelah badai dahsyat berlalu. Kian duduk bersandar di dinding, tubuhnya masih lelah, tetapi gejolak panik di matanya telah digantikan oleh sebuah ketenangan yang kosong dan introspektif. Air mata telah mengering di pipinya, meninggalkan jejak kerapuhan yang belum pernah ada sebelumnya. Elara duduk tidak jauh darinya, memberinya ruang, namun kehadirannya terasa seperti sebuah jangkar yang kokoh. Ia menyiapkan secangkir teh hangat—kali ini teh melati biasa tanpa ramuan apa pun—dan meletakkannya di meja rendah di antara mereka. Sebuah gestur normal di tengah situasi yang sama sekali tidak normal. Pintu ruangan terbuka tanpa suara. Rama masuk, ekspresinya yang biasanya tenang kini diwarnai oleh sebersit rasa hormat saat ia menatap Kian.
Huling Na-update: 2025-07-22
Chapter: 24. Jembatan EmpatiKeheningan di dalam ruang meditasi terasa sakral. Waktu seolah melambat, setiap detik berdenyut dengan bobot dari apa yang akan terjadi. Kian Alvaro, pria yang membangun hidupnya di atas pondasi kontrol dan logika, kini duduk bersila, bersiap untuk melakukan tindakan penyerahan diri yang paling mutlak. Di hadapannya, Elara duduk dengan punggung lurus, menjadi perwujudan dari ketenangan dan kekuatan, meskipun jantungnya sendiri berdebar kencang seperti genderang perang. Ia telah meminum ramuan penenang, tubuhnya sedikit lebih rileks dari hari sebelumnya. Ia menatap Elara untuk terakhir kalinya, sebuah tatapan yang mengandung segalanya: rasa takut, keraguan, dan sebersit kepercayaan yang baru tumbuh. Elara hanya mengangguk pelan, sebuah janji tanpa kata bahwa ia akan berada di sana untuk menariknya kembali. Kian memejamkan mata. Penyelaman kali ini terasa berbeda. Jika sebelumnya ia seperti jatuh ke dalam jurang, kali ini ia melangkahinya d
Huling Na-update: 2025-07-22
Chapter: 23. Membongkar Ruang TerkunciSatu hari. Dua puluh empat jam. Waktu yang biasanya terasa begitu singkat bagi seorang Kian Alvaro yang jadwalnya dipadatkan dalam interval lima belas menitan, kini terasa membentang seperti sebuah gurun tak bertepi. Tugasnya hari ini tidak tertera di tablet mana pun. Tidak ada rapat, tidak ada laporan, tidak ada data untuk dianalisis. Tugasnya adalah sesuatu yang jauh lebih sulit: menelusuri kembali koridor-koridor berdebu di dalam ingatannya sendiri dan memilih satu kepingan jiwa yang paling rapuh untuk dipersembahkan pada sebuah entitas yang selama ini ia anggap sebagai monster. Pagi itu, suasana di Perpustakaan Senja terasa berat. Rama telah memberi mereka ruang, menghilang di antara rak-rak buku yang tak berujung, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang sarat makna. Kian tidak bisa diam. Ia mondar-mandir di ruang duduk mereka, energi kegelisahannya begitu kuat hingga seolah membuat udara bergetar. Ia mencoba melakukan hal yang biasa ia lakukan saat meras
Huling Na-update: 2025-07-21
Chapter: 22. Rencana MusuhPerjalanan kembali dari Palung Jiwa tidaklah instan. Meskipun tubuh Kian telah kembali ke ruang meditasi, kesadarannya terasa seperti pecahan kaca yang berserakan, butuh waktu untuk menyatu kembali. Elara dengan sabar mendampinginya, membantunya bangkit dengan gestur yang kini terasa alami, seolah merawat kerapuhan pria itu telah menjadi bagian dari ritme hidupnya. Ia menuntun Kian yang masih gemetar menuju ruang duduk yang lebih nyaman di perpustakaan, di mana Rama telah menunggu dengan tiga cangkir teh herbal hangat yang aromanya menenangkan. Kian duduk tersungkur di sofa empuk, jubah kebesarannya sebagai CEO yang tak terkalahkan kini terasa seperti kostum yang kebesaran. Ia menatap kosong ke cangkir tehnya, bayangan dari badai zamrud dan inti cahaya yang terbelenggu itu masih menari-nari di balik matanya. Untuk waktu yang lama, ia hanya diam, mencoba menjembatani antara realitas mengerikan yang baru saja ia saksikan dengan realitas aman di perpustakaan kuno ini.
Huling Na-update: 2025-07-21
Chapter: 21. Gema di Dalam TopengRuang meditasi di Perpustakaan Senja terasa sunyi, namun keheningan itu bergetar dengan antisipasi yang begitu tebal hingga terasa seperti tekanan fisik. Waktu seolah berhenti, menanti keputusan dua orang yang duduk berhadapan di atas bantal anyaman. Di satu sisi, Kian Alvaro, pria yang terbiasa mengendalikan kerajaan bisnis bernilai triliunan, kini harus belajar mengendalikan gemuruh di dalam jiwanya. Di sisi lain, Elara, gadis yang beberapa minggu lalu hanya tahu cara membuat latte art, kini memegang nasib pria itu di tangannya. Kian duduk bersila, punggungnya lurus seperti baja, tetapi buku-buku jarinya yang terkepal di atas lutut memutih, mengkhianati ketegangan luar biasa yang ia rasakan. Matanya terpejam, tetapi Elara bisa melihat kelopak matanya bergetar. "Tarik napas, Tuan," bisik Elara, suaranya yang lembut dan tenang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. "Seperti yang diajarkan Rama. Tarik napas melalui hidung, rasakan udaranya mengisi pa
Huling Na-update: 2025-07-20
Chapter: 20. Peta Menuju Palung JiwaKata "baiklah" yang diucapkan Kian menggantung di udara perpustakaan yang hening, terasa rapuh namun memiliki bobot yang luar biasa. Itu adalah suara dari sebuah benteng yang telah menyerah, sebuah pengakuan kalah dari seorang pejuang yang telah berperang seumur hidupnya. Untuk pertama kalinya, Kian Alvaro tidak punya rencana, tidak punya strategi, dan tidak punya kendali. Ia hanya punya secercah harapan yang menakutkan, yang disodorkan oleh seorang gadis yang seharusnya menjadi bawahannya. Rama, sang penjaga buku, mengangguk dengan khidmat, seolah menghormati keberanian yang dibutuhkan untuk mengucapkan satu kata itu. "Keputusan yang bijaksana, Tahanan Giok," katanya. "Sekarang, pekerjaan yang sesungguhnya dimulai." Ia memimpin mereka menjauh dari anjungan utama yang megah, menuju sebuah ruangan samping yang lebih kecil dan lebih intim. Tidak ada rak buku yang menjulang di sini. Dindingnya terbuat dari kayu gelap yang hangat, lantainya ditutupi oleh ti
Huling Na-update: 2025-07-20