Please be awise. Mature Content!! Disaat melarikan diri, Maureen malah bertabrakan dengan seseorang yang tidak pernah diduga. MAx, pengusaha bertangan dingin yang tidak mudah disentuh. Namun, dia malah luluh saat melihat wajahnya. Membuat gadis itu terikat dengan pria arogan yang mencintai dengan caranya dan mengubah seluruh hidupnya.
View MoreBrukk! Dia didorong dengan kasar hingga jatuh ke sofa.
"To-tolong, tolong aku, Kak, ... aku mohon tolong aku!" Tubuh gadis itu bergetar hebat. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya. Dia, kini berada dalam satu ruangan remang dengan suara musik yang cukup keras, hingga membuat telinganya tidak dapat mendengar dengan baik. Beberapa orang laki-laki memandangi dengan tatapan yang sulit diartikan. Mereka semua tertawa dan terlihat sangat menantikan sesuatu yang akan membuat mereka senang. Gadis itu seperti masuk ke dalam sarang serigala kelaparan. "Adikku sayang tenanglah sedikit. Sebentar lagi kau akan merasakan enak!" ucap gadis berambut keriting dan pirang. Dengan make-up yang terlihat tebal, baju yang dikenakannya terlihat kekurangan bahan. Dia mencengkram kasar wajah gadis itu yang terlihat ketakutan. Air matanya sudah membasahi pipinya yang chubby. "Ka-kakak? Kak Shasa ada disini juga, tolong aku kak! Aku tidak mengenal mereka!" pekiknya. Dia menggenggam erat tangannya penuh harap. Berharap dia mendapatkan pertolongan dari kakaknya. "Menolongmu, tentu saja aku akan menolongmu. Tapi, sebelum itu kau harus membantu kakakmu ini. Oke?" ucapnya dengan seringai licik yang tak dimengerti oleh gadis itu. "Membantu apa Kak? Asalkan bisa keluar dari tempat ini, aku akan membantumu!" ucapnya dengan air mata yang masih berlinang. Segenap harapan yang tersisa. Dia hanya bisa menggantungkan keselamatannya kali ini dengan memohon kepada sang kakak. "Kau memang gadis yang penurut dan baik hati, Maureen! Kakak tak salah memilihmu!" Shasa mengusap kepala adiknya dengan sangat lembut. Membantu adiknya tenang dari kondisi yang membuatnya seperti orang gila. Beberapa saat Shasa tampak menenangkan hati adiknya. Dia memberikan minuman untuk adiknya. Maureen menolaknya, karena dia tidak tahu minuman apa yang kakaknya berikan. Namun, ancaman dari kakaknya membuatnya terpaksa meminum. Kakaknya, mengancam akan menghentikan semua perawatan yang sedang dijalankan oleh ibunya. Mana tega seorang anak membiarkan ibunya tersakiti begitu saja didepan matanya. "Anak pintar, kau memang anak yang berbakti. Tunggu disini sebentar. Aku keluar mencari camilan!" Seringai licik memberikan kode pada beberapa laki-laki yang sudah tak sabar menunggu dari tadi. Mereka langsung bersemangat saat mendapatkan kode dari Shasa. "Aku ikut saja kak. Aku tidak mau ditinggal sendiri. Disini sangat menakutkan!" Maureen memegangi lengan kakaknya dengan sangat erat. Dia tak ingin melepaskan. Apalagi dia melihat sorot mata-mata yang seperti akan menelannya hidup-hidup. "Apa yang harus ditakutkan? Mereka semua teman-teman kakak, Maureen sayang. Tenang saja, mereka pasti akan memperlakukan dirimu dengan sangat baik." Sasha kembali berkata sesuatu yang tak dimengerti olehnya. Kenapa kakaknya terus saja ngotot meninggalkan dia bersama laki-laki yang tak dikenalnya. Dia pun berpikir, pasti ada sesuatu yang tak beres. "Pokoknya aku ikut Kakak, Aku tidak mau ditinggalkan sendiri disini!" cetusnya. Tetap menggenggam erat lengan kakaknya. Sasha sedikit geram, dia merasa adiknya sudah dapat membaca rencananya. Jadi, dia putuskan, "Kakak, akan berbicara dengan mereka. Kamu tidak usah khawatir. Jika mereka macam-macam denganmu. Mereka semua, kakak sendiri yang akan menghajarnya!" Sasha berkelit, memberikan keyakinan pada Maureen agar dia bisa pergi darinya. "Be-benar, Kak? Janji, Kakak jangan lama-lama!" "Uhm!" Sasha tersenyum penuh kemenangan. Perlahan melepaskan pegangan adiknya tadi. Kemudian dia berjalan menghampiri mereka dan berkata, "Dia masih eksklusif dan tersegel. Aku jamin kalian akan puas malam ini. Transfer sekarang juga!" ucapnya. Namun, matanya melirik Maureen dengan senyuman yang berbinar yang memperhatikannya dari di sudut sofa. “Kemana kakak pergi? Kenapa dia lama sekali. Apa yang sebenarnya sedang terjadi kenapa dia meninggalkanku disini?” Batin Maureen melihat sekitar ruangan yang sudah dipenuhi dengan kepulan asap rokok dan beberapa orang laki-laki yang bahkan Maureen tak mengenalnya. Maureen mencoba merogoh tas mencari ponsel dan mencoba menghubungi Sasha. Tapi, meskipun sudah beberapa kali dia coba. Telepon Shasa tidak bisa dihubungi. Nomornya mendadak tidak aktif. “Maureen?” seorang laki-laki bertubuh gendut dengan kepedean tingkat tinggi menghampiri lalu menyerobot duduk di sebelahnya. Dia terlihat tak sabaran. Sejak kepergian Sasha dia terus saja mengincarnya. Seperti kucing garong ketemu tulang ikan. Siap menerkamnya kapan saja. “I-i-ya, kau siapa?” Maureen bergeser duduk memberikan jarak. Dia jenggak dengan lelaki tadi yang langsung menaruh tangan pada pinggangnya. “Aku, Roland. Apa Shasa tidak berbicara padamu tadi? Uhm, kalau malam ini kita ada kencan!” ucapnya tanpa basa basi meraih dan menciumi rambut Maureen, menatapnya penuh nafsu. “Kencan? Kakak nggak membahas apapun tadi soal kencan ini. Dia hanya bilang akan keluar sebentar membeli camilan.” Batin Maureen bergemuruh kembali. Semakin merasa tidak beres. “Ma-af mungkin kau salah mengenali orang dan aku bukan Maureen yang kau maksud!” tegas Maureen berusaha menguatkan hati yang tak bisa dijabarkan. Rasanya seperti gado-gado, bercampur aduk. "Kau, Maureen Angelia kan? Dan, Sasha Angelica tadi kakakmu kan? Dia sudah bilang padaku, kalau kau bersedia kencan denganku malam ini," ucapnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa kakaknya menjebak sang adik untuk melakukan kencan buta seperti ini. Dia bahkan tak meminta persetujuan darinya untuk melakukan ini semua. Ponselnya bergetar. Maureen melirik ponselnya. Akhirnya orang yang dia tunggu menelpon, “Ha-hallo, kak Shasa, kau ada dimana? Kenapa belum juga datang aku sudah menunggumu sejak tadi.” Maureen berbicara setengah berteriak karena suaranya hampir benar-benar tidak terdengar oleh dirinya sendiri. Suara musik dalam ruangan bergema semakin sangat keras. Orang bernama Roland terus menatap Maureen dengan intens. Menatapnya dari ujung rambut hingga kaki. Memperhatikan setiap detail lekuk tubuh gadis itu. Walaupun penampilannya biasa saja, bagi laki-laki hidung belang seperti itu tidak akan dipermasalahkan. Apalagi, dia sudah dijanjikan oleh Sasha bahwa Maureen masih tersegel dengan sangat rapi. “Maureen, maaf kakak tidak bisa datang kesana. Kakak ada urusan mendadak dan disana sudah ada Roland kan? Dia akan menggantikan kakak untuk menemanimu!” ucapnya terdengar sangat enteng. Dia bahkan tega meninggalkan adiknya bersama kumpulan para lelaki yang tak dikenal. “Roland? Siapa dia kak? Aku bahkan tidak mengenalnya? Bisakah kakak datang sekarang? Aku tidak kenal siapapun disini, kak!” Maureen setengah merengek agar dituruti oleh kakaknya. “Ayolah, Maureen bantu kakak dan keluarga kita kali ini. Temani, Roland ya. Jadilah anak yang baik dan berbakti. Kau kan masih sangat menginginkan biaya perawatan untuk ibumu? Kau harus bisa menemani dan membuatnya puas malam ini!” perkataan yang membuat tubuhnya bergetar. Bagaimana bisa kakaknya menyuruh adiknya untuk menemani seorang laki-laki. Ah … tidak bukan seorang melainkan ada empat orang disana. Sepertinya untuk kakaknya itu hal yang biasa dan lumrah. “Menemani? Maksudnya apa kak? Aku tidak mengerti. Aku mohon kak, kembalilah kesini. Aku benar-benar takut sendirian disini!” sambil berbicara Maureen terus melirik kearah Roland. Dia sudah terlihat semakin tidak sabar dan bangkit dari duduknya. Menghampirinya. “Bagaimana?” ucapnya. Belum selesai dia berbicara dengan kakaknya. Tangan Roland langsung melingkar di pinggang dengan bebas. Maureen terus bergerak dan menghempaskan tangan nakal laki-laki itu. Sasha sudah memutuskan telepon. “A-aku, tidak bisa!” tegasnya. Dia menolak laki-laki gendut menyebalkan yang akan menariknya duduk kembali bersama dengan para lelaki lainnya. “Ayolah, jangan pura-pura sok polos. Masa yang seperti ini saja kau tidak mengerti! Aku dan yang lain sudah bayar mahal dirimu! Jadi, jangan buat kami kecewa malam ini!” dia terus memaksanya untuk ikut. Menarik paksa hingga tubuh gadis itu terhuyung. Jatuh ke beberapa pangkuan laki-laki yang tak dikenal. Mereka tertawa dengan sangat puas. Mempermainkan Maureen seperti boneka yang baru dibelinya. Menyentuh rambut, mencubit pipinya yang chubby dan sesekali menggerayangi tubuhnya dengan bebas. “Arrgghh!!” pekiknya. Dia terus berusaha melepaskan diri dari sergapan orang yang menantikannya terus berteriak. Sekali Maureen berteriak membuat mereka yang sudah panas terbakar oleh minuman semakin bergelora. Mereka siap menyantap Maureen seperti ayam tanpa tulang. Mereka tinggal melumat Maureen pelan-pelan secara bergantian. “Roland, siapa dulu nih? Aku sudah tak kuat lagi menahannya!” salah satu dari mereka berkata dengan sangat menjijikan. Terdengar di telinga Maureen sungguh memekakan. Dia bahkan tak mengira hal buruk seperti ini akan terjadi pada dirinya.Perjalanan pulang kali ini mereka tidak memakai heli. Max tidak ingin istrinya kembali muntah akibat mabuk perjalanan.Dia memilih pesawat pribadi yang lebih nyaman dan bisa beristirahat.Max menariknya ke ranjang yang disediakannya dalam pesawat pribadi itu.“Kemarilah!” Max sudah melepaskan ikat pinggang dan mengeluarkan benda bersarang miliknya.Benda itu terlihat sudah mengeras dan tegak sepertinya sudah sangat ingin dimanjakan oleh istrinya.“Max kau yakin ingin melakukannya disini?” Maureen sedikit menoleh kanan dan kiri.Dia hanya takut suaranya nanti terdengar oleh Martin, ada satu pramugari dan dua pilot khusus.“Tenanglah, jika memang Martin mendengar dan menginginkan nya, disana masih ada satu pramugari!” jawabnya tidak peduli, menarik istrinya duduk di pangkuan, sebelum itu Max menurunkan kain penghalang milik istrinya.“Max, apa kau tidak punya malu sama sekali?” meskipun berkata seperti itu, kedua tangan istrinya bertumpu pada bahu dan mulai mengangkat bokongnya.Max sud
“Benarkah, kau tidak sedang membohongiku kan? Aku benar-benar berharap mama bisa selamat. Setelah aku tahu mama begitu menderita saat bercerita tadi, aku sudah memutuskan jangan sampai dia menderita lagi.”“Selama ini aku selalu menerima dan sabar ketika papa, ibu dan kakak tiriku berbuat semaunya. Karena semua alasanku tetap bersabar adalah mamaku.”“Aku terus bertahan dan akhirnya sampai hari ini tiba, aku benar-benar tidak ingin mama ikut menderita lagi. Aku akan melindunginya dengan sangat baik.“Max menatap wajahnya , dia geram mendengar curahan hati istrinya. “Apakah Kau perlu aku membalaskan dendam pada mereka?”Andaikan Max mendapatkan izin, dia tidak akan ragu untuk menghancurkan semua. “Selama mereka tidak menyakiti mama lagi dan mengusikku, aku anggap tidak pernah ada kejadian apapun.”“Apa yang sudah aku alami dulu, Aku akan anggap sebagai suatu pelatihan pertahanan diriku. Kalau bukan mereka melakukan ini semua padaku, mungkin aku yang sekarang tidak ada.”Maureen m
“Baiklah Max, Aku mempercayakan sepenuhnya putriku padamu. Tolong jaga dan jangan buat dia menangis!” pesannya sambil mengusap tangan Max.Perasaan hangat yang tidak pernah Max dapatkan. Dia juga kehilangan kasih sayang orang tua akibat kecelakaan.Dia tumbuh besar dalam pengawasan kakeknya. Lalu kakek nya pun meninggalkan dirinya.Jadi, pesan ini sangatlah berarti.“Ayo, kita makan malam dulu, Tante!” ucap Max mencoba menjadi menantu yang berbakti.“Uhm, sebaiknya Kau juga mulai membiasakan diri untuk mengubah cara memanggilku,” ucap ibu Maureen beranjak dari duduk dan Maureen menggandeng tangannya.Kali ini Max tidak boleh cemburu. Itu adalah ikatan kasih sayang orang tua.Max mengangkat wajahnya, dia tidak menyangka kalau restu itu langsung dia dapatkan.“Ayo, sayang, Aku sudah lapar!” ucap Maureen berbalik, memanggil suaminya yang masih tertegun.“Dia benar-benar jadi bodoh setelah menjadi seorang suami. Dasar laki-laki tidak berguna!” ejek Adolf di hatinya.“Rupanya kalau benar-b
Di depan pintu dua pengawal memberi hormat dan membuka pintu tersebut perlahan.Itu adalah sinar matahari terbenam berwarna oranye saat pintu itu terbuka.Maureen melihat seseorang sedang duduk di kursi memandangi pantai dari beranda kamarnya.Pemandangan asing yang membuat jantungnya tiba-tiba bergetar.Dia perlahan melangkah masuk dan langkah kakinya yang semakin mendekat membuat detak jantungnya kian berdebar.“Apa ini yang Max siapkan? Kejutan? Apa yang sedang direncanakan?”Saat hatinya masih bertanya-tanya, seseorang itu berbalik.Mata kami berhenti sejenak.Ada gelombang yang tidak bisa aku lukiskan.Air mataku tiba-tiba saja mengalir keluar.“Mama ….”Maureen berlari ke pelukan dan menangis dengan kuat.Rasa rindunya, selama bertahun-tahun ini terwujud. Dia masih bisa melihat ibunya berdiri menyambut nya datang.“Mama … Kau sudah sembuh, Ma …”Tangan lembut gadis itu menyapu wajahnya yang tetap cantik meskipun sudah bertambah dengan usia.Air matanya juga tidak bisa dibendung.
"Martin, buang dan bakar rongsokan itu. Benar-benar benda merepotkan. Berani sekali benda itu membuat istriku seperti ini!" Alhasil dari pada dia memarahi istrinya. Dia Lebih baik melimpahkan kesalahan pada heli yang di tumpangi.Melihat wajahnya istrinya sudah pucat, lemas karena muntah terus dia menjadi tidak tega."Hei, Kau gila. Mana ada orang gila sepertimu. Membicarakan membuang heli seperti benar-benar membuang sampah!" Walaupun senang menahan perutnya yang mual akibat perjalanan. Irene tidak ingin juga karena kesalahannya muntah, Max membuang dan membakar heli yang menurut kasat mata nilainya cukup tinggi."Aku tidak peduli. Kita kembali akan menggunakan transportasi lain. Martin akan membakar benda itu setelah kita pergi!" Mata Irene semakin mendelik."Kau gila. Benar-benar kingkong jelek. Dengarkan Aku, sampai Kau berani membakarnya. Aku berani menjamin 100% ... belut listrik-mu itu tidak akan bisa berfungsi dengan baik.”“Aku akan memotong-motongnya dengan gunting lalu
"Astaga, Max. Aku ada disini. Tidak kemana-mana. Masih saja Kau protes kalau Aku menjauhimu! Memangnya Aku bisa pergi lagi? Cih … seandainya saja itu memang masih bisa!” sahut Irene ketus. Dia mencoba bergerak dan melepaskan tangan Max yang sudah melingkar di pinggangnya."Apa kau bilang?” delik Max tidak suka mendengar ucapan terakhirnya, “Lalu kalau Kau tidak menjauhiku, itu apa?" Max tidak mau kalah memberikan tekanan padanya gorila kecilnya."Aku tidak nyaman, Max. Habis makan. Perutku terisi penuh!" Irene tetap berkelit saking tidak inginnya dia di peluk oleh Max."Wah rupanya sekarang Kau semakin pintar mencari alasan. Apa Kau sudah melupakan hukuman yang akan ku berikan kalau Kau menjauhiku!" Max berbisik penuh penekan."Hukuman saja yang Kau pikirkan. Memang ada hal lainnya? Bosan Aku. Mendengar Kau mengatakan hal serupa!" Mungkin otak Irene sedang konslet hingga punya keberanian seperti itu."Kau, memang benar-benar gorila kecil nakal. Terlalu aku memanjakanmu!”Dan tubuhny
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments