
Terjebak Cinta Bos Sadis
Rania Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya karena diterima bekerja di perusahaan ternama milik Arsen Dirgantara — seorang CEO muda yang terkenal dingin, perfeksionis, dan tanpa belas kasihan.
Di mata semua orang, Arsen adalah mimpi buruk dalam balutan jas mahal. Tatapannya tajam, tutur katanya menusuk, dan setiap perintahnya adalah hukum. Namun, di balik sikap kejamnya, tersimpan luka masa lalu yang tak pernah disembuhkan siapa pun.
Rania hanya ingin bekerja dengan tenang dan membuktikan kemampuannya. Tapi sejak hari pertama, ia justru menjadi sasaran amarah sang bos. Setiap kesalahan kecil berujung pada teguran, setiap tatapan pria itu membuatnya gugup—dan anehnya, hatinya mulai bergetar tanpa alasan.
Hubungan mereka semakin rumit saat Arsen mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya: perhatian yang terselubung di balik kemarahan, dan tatapan yang seolah ingin melindunginya, bukan menyakitinya.
Ketika rahasia besar masa lalu Arsen terungkap, Rania harus memilih—melarikan diri dari cinta yang menyakitkan, atau tetap tinggal dan mencoba menyembuhkan hati seorang pria yang bahkan tak percaya pada cinta.
Dalam dunia di mana kekuasaan dan perasaan saling bertabrakan, mampukah cinta mereka bertahan? Atau justru hancur di tangan sang bos yang tak pernah mengenal kata “maaf”?
Read
Chapter: Bab 19 – Yang Mulai RetakAku tidak langsung tidur malam itu. Aku hanya berbaring, menatap langit-langit, mendengarkan suara rumah yang sesekali berderak seperti sedang bernapas. Ada rasa asing yang sulit dijelaskan—bukan takut, bukan sedih, tapi seperti kehilangan pegangan pada sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya kupahami.Sekitar tengah malam, aku bangkit dan keluar kamar. Lampu ruang kerja Arsen masih menyala. Ia duduk membelakangi pintu, bahunya sedikit membungkuk, seolah beban di kepalanya terlalu berat untuk ditopang sendirian.“Kau belum tidur,” kataku.Ia menoleh. Wajahnya terlihat lebih pucat di bawah cahaya lampu. “Kau juga.”Aku masuk dan duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Kami tidak langsung bicara. Arsen kembali menatap layar laptopnya, tapi aku tahu pikirannya tidak benar-benar di sana.“Apa kau tahu sejak awal?” tanyaku akhirnya.Ia menutup laptop. “Tidak semuanya.”“Tapi cukup banyak,” kataku.“Iya.”Jawaban jujur itu terasa seperti tamparan pelan. Tidak keras, tapi tepat sasaran.“Apa yang
Last Updated: 2025-12-16
Chapter: Bab 18 – Pagi yang Terlalu SunyiAku terbangun tanpa alarm. Cahaya pagi masuk lembut melalui jendela, membuat kamar terlihat pucat dan bersih. Untuk sesaat, aku berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi panjang. Tapi rasa berat di dadaku berkata sebaliknya.Rumah ini terlalu sunyi.Aku bangun dan keluar kamar. Dapur kosong. Tidak ada aroma kopi, tidak ada suara langkah. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sedikit. Biasanya Arsen sudah sibuk sejak subuh.Ada secarik kertas di meja.Aku keluar sebentar. Tidak jauh. Sarapan sudah kusiapkan. Jangan buka pintu untuk siapa pun.Tulisannya rapi, tegas, seperti dirinya. Tapi aku menangkap sesuatu di sana—kekhawatiran yang tidak diucapkan.Aku duduk, menatap sarapan yang sudah dingin. Telur, roti, segelas jus. Perhatian kecil yang tidak pernah kuminta, tapi entah kenapa terasa penting.Setelah makan, aku mencoba mengisi waktu. Membaca berita, menulis beberapa baris yang tidak selesai, lalu menyerah. Pikiranku terus kembali pada potongan ingatan itu. Bau obat. Ruang sempit. S
Last Updated: 2025-12-15
Chapter: Bab 17 Hal-Hal yang Tidak TerucapMalam datang tanpa permisi. Tidak ada hujan, tidak ada angin kencang—hanya gelap yang turun perlahan, seolah memberi waktu pada siapa pun untuk bersiap. Tapi aku tidak merasa siap. Aku duduk di tepi ranjang, menatap dinding kosong. Bayangan siang tadi masih tertinggal di kepalaku. Ruangan sempit. Bau obat. Tangan terikat. Rasanya seperti kenangan itu bukan milikku, tapi tubuhku mengingatnya dengan sangat baik. Ketukan pelan terdengar di pintu. “Masuk,” kataku. Arsen membuka pintu dan berdiri di ambang. Ia tidak langsung bicara, hanya mengamati wajahku, seperti mencoba memastikan aku benar-benar ada di sini. “Kau mau teh?” tanyanya akhirnya. Aku mengangguk. Kami duduk di ruang tamu. Televisi mati. Lampu tidak terlalu terang. Ada rasa canggung yang aneh—bukan karena kami asing, tapi karena terlalu banyak yang belum selesai. “Aku memikirkan sesuatu,” kataku sambil memegang cangkir. “Kalau ingatanku kembali sepenuhnya… bagaimana kalau aku tidak menyukai diriku yang dulu?”
Last Updated: 2025-12-15
Chapter: Bab 16 – Retakan yang Perlahan TerbukaAku terbangun karena suara pintu yang ditutup pelan. Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul lima pagi. Langit masih gelap, tapi ada cahaya samar dari lampu teras yang menembus tirai.Aku tahu itu Arsen.Entah kenapa, aku bangkit dan keluar kamar tanpa berpikir panjang. Langkahku pelan, hampir ragu. Dari arah dapur terdengar suara gelas diletakkan, lalu keheningan lagi.Ia berdiri di sana, bersandar pada meja, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Jas sudah dikenakan, rambutnya rapi—versi Arsen yang siap menghadapi dunia.“Kau tidak tidur lagi?” tanyanya saat menyadari kehadiranku.“Aku terbangun.” Aku mendekat, lalu berhenti beberapa langkah darinya. “Kau mau pergi?”“Sebentar.” Ia menyimpan ponsel. “Ada hal yang harus kuurus sebelum semuanya bergerak lebih jauh.”“Kau selalu bicara seperti itu,” kataku pelan. “Seolah semuanya hanya soal strategi.”Arsen menatapku, lalu menghela napas panjang. Untuk sesaat, bahunya terlihat turun—lelah.“Karena kalau aku berhen
Last Updated: 2025-12-14
Chapter: Bab 15 – Pagi yang Tidak Lagi SamaAku terbangun saat cahaya pagi menyelinap pelan melalui celah tirai. Untuk beberapa detik, aku lupa di mana aku berada. Ruangan ini terasa asing—terlalu rapi, terlalu sunyi. Lalu ingatan itu datang perlahan, seperti air yang merembes masuk ke celah pikiran: Dirgantara Tower, lorong gelap, foto-fotoku, dan suara Arsen yang mengatakan aku pernah hilang.Aku duduk, memeluk lututku sendiri.Pagi ini tidak membawa rasa lega seperti biasanya. Tidak ada rutinitas, tidak ada kepastian. Hanya kesadaran bahwa hidupku telah bergeser, dan aku belum tahu ke arah mana.Ketika aku keluar kamar, aroma kopi menyambutku. Arsen sudah di dapur, mengenakan kemeja abu-abu sederhana dengan lengan digulung. Penampilannya jauh berbeda dari sosok CEO yang biasa kulihat—lebih manusiawi, lebih lelah.“Kau sudah bangun,” katanya tanpa menoleh.“Iya.”Ia menuangkan kopi ke dua cangkir dan mendorong salah satunya ke arahku. Aku menerimanya, jari kami sempat bersentuhan singkat. Sentuhan kecil itu cukup untuk membua
Last Updated: 2025-12-13
Chapter: Bab 14 – Rumah yang Tidak Pernah KupilihMobil melaju tanpa suara berlebihan, hanya desiran ban menyentuh aspal basah. Lampu kota Ardan City memantul di kaca jendela, menciptakan bayangan yang bergerak pelan—seperti pikiranku yang belum juga tenang. Aku duduk diam, memeluk mantelku sendiri, mencoba merapikan kepingan hidup yang terasa tercerai.Arsen tidak bicara.Tangannya mantap di kemudi, pandangannya lurus ke depan. Tapi aku tahu, dari cara rahangnya mengeras, dari napasnya yang sedikit lebih dalam dari biasanya—ia sedang berpikir keras.Aku ingin bertanya banyak hal.Tentang Dharma.Tentang diriku.Tentang masa lalu yang katanya pernah kurasakan, tapi kini kosong.Namun kata-kata terasa berat.“Aku tidak akan membawamu ke apartemenmu,” Arsen akhirnya bersuara, memecah keheningan.Aku menoleh. “Kenapa?”“Sudah tidak aman.”Jawabannya singkat, tapi jelas. “Jika mereka bisa masuk ke gedung seketat Dirgantara Tower, tempat tinggalmu terlalu mudah diakses.”Perutku mengencang. “Lalu… ke mana kita pergi?”“Ke rumahku.”Jawaba
Last Updated: 2025-12-13