Chapter: Bab 17 - UndanganSudah beberapa minggu Kinan mencoba kembali menata hidupnya. Dira, yang sejak malam lamaran Isaac dan Monika memilih keluar dari rumah besar itu, kini tinggal bersamanya di apartemen sederhana yang dulunya pernah terasa bagai kuburan. Berbeda dari malam-malam suram sebelumnya, kali ini apartemen itu perlahan dipenuhi suara-suara kecil: Dira yang mengomel karena Kinan jarang makan, suara musik lembut dari laptop, bahkan aroma masakan sederhana yang Dira paksakan untuk mereka berdua.Kinan tidak sepenuhnya pulih. Tubuhnya masih lemah, matanya sering kosong, tetapi setidaknya ia sudah mulai membuka gorden, sudah mulai duduk di ruang tamu sambil membaca, atau sekadar memandangi jalanan dari balik kaca.Hari itu, ia memberanikan diri membuka ponselnya. Sudah berbulan-bulan layar itu ia abaikan. Deretan notifikasi membanjiri, pesan-pesan belum terbaca menumpuk. Dengan napas yang sedikit gemetar, ia membuka media sosial.Dan seketika dadanya serasa dihantam benda tumpul.Timeline penuh denga
Last Updated: 2025-10-03
Chapter: Bab 16: Lamaran MonikaRuang aula hotel sore itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang berkilau, memantulkan warna keemasan ke segala arah. Tamu undangan yang terdiri dari kerabat dekat keluarga besar Isaac sudah memenuhi kursi-kursi yang disusun rapi. Di meja depan, tersaji aneka hidangan mewah, lengkap dengan rangkaian bunga mawar putih dan lilin tinggi yang menyala tenang.Dari luar, semuanya tampak sempurna. Senyum, tawa, bisikan kagum—sebuah acara lamaran yang sederhana namun elegan.Namun, di tengah gegap gempita itu, Isaac duduk dengan wajah datar. Jas hitamnya jatuh sempurna, dasinya terikat rapi, tubuhnya tegap. Tetapi matanya kosong, bibirnya tertutup rapat, seolah ia hadir di sana hanya sebagai patung hidup yang sedang dipamerkan.Monika, calon pengantinnya, duduk di sampingnya. Wajahnya sedikit merona karena gugup, jemarinya bergetar saat memegang lipatan gaunnya. Dalam hati ia masih memikirkan satu hal: Isaac belum benar-benar bercerai dari Kinan. Bayangan itu menghantui, menimbulkan resah. Namun,
Last Updated: 2025-10-02
Chapter: Bab 15: Malam Sebelum LamaranKamar Isaac malam itu sunyi, hanya ditemani cahaya lampu meja yang temaram. Di atas nakas, segelas air sudah setengah basi karena tidak pernah disentuh. Isaac duduk di tepi ranjangnya, bahunya luruh, wajahnya menunduk menatap lantai seolah di sana ada jawaban yang ia cari. Besok adalah hari lamaran yang diatur ibunya. Besok ia akan duduk berdampingan dengan Monika, perempuan yang bahkan tidak pernah ia cintai.Namun, malam itu, sebelum segala sesuatu yang dipaksakan benar-benar terjadi, pintu kamarnya terbuka. Dira berdiri di ambang pintu dengan wajah merah karena emosi. Ia tidak peduli lagi bahwa semua orang di rumah bisa mendengarnya.“Mas...” suara Dira serak, tertahan amarah. “Apa kamu benar-benar akan melakukannya besok? Apa kamu benar-benar akan mengkhianati Kinan dengan cara sekeji ini?”Isaac mengangkat kepalanya, matanya kosong. Tidak ada amarah, tidak ada senyum, hanya kehampaan yang membuat Dira semakin panas.“Kamu tahu, Mas, Kinan masuk rumah sakit minggu lalu!” suara Dir
Last Updated: 2025-10-02
Chapter: Bab 14 – Saat Tubuh Itu MenyerahApartemen itu gelap dan pengap ketika Dira mendorong pintu masuk dengan kunci cadangan yang ia simpan. Bau lembap dan debu menyambutnya, bercampur dengan aroma basi dari makanan yang tidak disentuh di meja makan. Tirai jendela tetap tertutup rapat, menahan cahaya matahari yang seharusnya menyingkirkan kelam. Dira melangkah dengan hati berdebar, panggilan teleponnya pada Kinan sudah berhari-hari tidak dijawab, dan instingnya berteriak bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.“Kinan?” panggilnya pelan, suaranya menggema di ruang tamu yang kosong. Tidak ada jawaban.Dira menyingkirkan beberapa pakaian yang berserakan di lantai, melangkah cepat ke arah kamar. Pintu itu terbuka sedikit, menampakkan bayangan di dalam. Saat ia mendorongnya lebih lebar, jantungnya seakan berhenti.Kinan terbaring meringkuk di ranjang, tubuhnya tampak kecil, wajahnya pucat, bibirnya kering. Napasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipis, dan selimut kusut menutupi sebagian tubuhnya. Mata Kinan tertutup,
Last Updated: 2025-10-02
Chapter: Bab 13 – Diam yang MembunuhDua bulan telah berlalu sejak malam itu—malam di mana koper merah tua menjadi saksi bisu perpisahan mereka. Dua bulan sejak Kinan melangkah keluar dari rumah yang pernah ia sebut rumahnya, meninggalkan semua kenangan, doa, dan cinta yang ia tabung selama lima tahun. Dua bulan sejak ia menutup pintu dengan air mata, berharap itu bukan penutup melainkan jeda.Kini ia duduk di tepi ranjang apartemen lamanya, tubuhnya kurus, bahunya ringkih, wajahnya pucat. Tirai jendela tetap tertutup rapat, cahaya matahari hanya menembus samar-samar, menciptakan bayangan kelabu yang menempel pada dinding kamar. Waktu baginya kehilangan makna. Pagi dan malam hanyalah pergantian warna di langit yang tak lagi ia hiraukan.Ia masih menunggu.Setiap bunyi notifikasi di telepon genggamnya membuat jantungnya berdegup. Ia berharap nama Isaac muncul di layar—sekadar sebuah pesan singkat, “Kinan, pulanglah.” Atau sebuah panggilan, suara yang dulu menjadi penenang malam-malamnya. Namun setiap kali layar menyala, y
Last Updated: 2025-10-02
Chapter: Bab 12 - Tuntutan KeduaRuang tamu rumah ibu Isaac malam itu dipenuhi aroma teh melati yang baru saja diseduh. Cangkir-cangkir porselen berderet rapi di meja rendah, dan piring kecil berisi kue-kue basah sudah setengah kosong. Pertemuan dengan keluarga Monika baru saja usai. Wanita muda itu pulang bersama orang tuanya dengan wajah manis penuh harapan, meninggalkan kesan yang bagi banyak orang pasti menyenangkan. Namun bagi Isaac, pertemuan itu terasa seperti jerat yang semakin menutup lehernya.Ia duduk bersandar di sofa, tubuhnya kaku, wajahnya letih. Jarinya mengetuk pelan pada sandaran kursi, menahan gejolak yang sejak tadi mendesak dari dalam. Pandangannya kosong, seolah tidak benar-benar hadir di ruangan itu.Ibunya duduk di seberang, tegap dengan kebaya sederhana, wajahnya penuh wibawa. Senyum tipis masih bertahan di bibirnya, senyum yang bagi orang lain tampak lembut, tetapi bagi Isaac terasa seperti belati. Suaranya terdengar pelan, penuh kesabaran, namun setiap katanya menusuk.“Isaac,” ucap ibunya,
Last Updated: 2025-10-02
Chapter: Bab 15Senin pagi di Orama Group tidak pernah damai. Tapi pagi ini… terasa lebih gila dari biasanya.Jeanicka nyaris menabrak resepsionis karena berlari sambil menenteng map, laptop, dan dua cangkir kopi yang hampir tumpah. Telepon di meja depan berdering tanpa jeda, printer meraung, dan suara langkah sepatu tumit bergema di koridor panjang yang didominasi kaca. Semua orang sibuk. Semua wajah tegang.Sementara itu, di ujung lorong, ruang kerja Nicholas Wiratama berdiri bagai zona waktu tersendiri — senyap tapi mengancam.Jeanicka mengetuk pintu dua kali, mengatur napasnya yang sudah ngos-ngosan. “Pak, ini laporan revisi tender dari divisi procurement.” Tanpa menoleh, Nicholas hanya menggumam, “Taruh di meja saya.”Suaranya rendah, berat, tapi tanpa emosi. Ya Tuhan, pikir Jeanicka.Ia menatap punggung Nicholas yang tegak di balik kaca besar. Pria itu tampak sedang menatap layar, satu tangan menyelip di saku celana, satu lagi memegang pulpen. Gerakannya presisi, nyaris seperti mesin.Tidak ad
Last Updated: 2025-10-20
Chapter: Bab 14Jeanicka berdiri kaku di ruang tamu yang terasa asing meski dulu tempat itu pernah jadi dunianya. Debu tipis menempel di pigura kecil yang ia ambil dari meja sudut, pigura berbingkai kayu tua yang warnanya mulai memudar. Di dalamnya ada foto lama: ia yang masih berusia delapan tahun, tersenyum lebar diapit ayahnya dan ibunya. Sang ibu merangkul erat bahunya, wajahnya bercahaya penuh kasih. Sedangkan ayahnya—yang kini hanya menyisakan dingin dan jarak—masih tampak hangat dalam foto itu.Tangannya bergetar saat menyentuh kaca pigura. Ada gumpalan sesak yang tak bisa ia telan. Foto itu bagai bukti kecil bahwa dulu ia punya rumah. Bahwa sebelum Juwita masuk, sebelum semua kata-kata tajam dan penghukuman datang, ia pernah punya keluarga.Tapi kenangan manis itu cepat berubah getir. Seolah foto itu adalah portal, membawanya kembali pada malam-malam penuh luka.*** (Flashback) Jeanicka remaja duduk di meja belajar. Matanya bengkak karena habis menangis, di depannya rapor terbuka, angka-ang
Last Updated: 2025-10-20
Chapter: Bab 13“Lihat siapa yang datang,” Helena menyeringai, menyandarkan tubuhnya di kusen pintu. “Anak tersesat akhirnya pulang.” Nada suaranya manis, tapi setiap kata berlumur racun.Jeanicka menelan ludah. “Gue diundang Ayah.” “Oh, tentu.” Helena mengedikkan bahu, lalu menambahkan dengan suara lebih keras, cukup untuk terdengar ke dalam. “Mah, Pah, tahu nggak? Jean ternyata punya pacar loh sekarang.”Jeanicka menegang. Lidahnya kelu, sama seperti malam reuni itu. Bagian terburuknya adalah—dia tahu Helena sengaja memancing. Dan ia benci karena sekali lagi, dirinya tidak punya kekuatan untuk melawan.Tak lama, Juwita muncul dari ruang tengah. Wanita itu masih sama: anggun dengan cara yang membuat orang lain merasa kecil, senyumnya samar, matanya dingin. “Jean.” Hanya satu kata, tapi sarat dengan penilaian. “Kamu datang juga akhirnya. Ayahmu sudah menunggu.”Jeanicka mengangguk pelan. Hatinya merosot. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada ucapan “senang kamu pulang.” Hanya tatapan meneliti, seperti
Last Updated: 2025-10-20
Chapter: Bab 12Hari Minggu itu seharusnya damai. Tidak ada notifikasi email dari kantor, tidak ada suara berat Nicholas yang menuntut laporan, tidak ada tumpukan berkas yang menggunung di meja. Untuk sekali ini, Jeanicka bisa bernapas lebih lega—setidaknya ia pikir begitu. Ia duduk di sofa apartemen sambil memeluk bantal, menonton drama yang tidak terlalu ia ikuti alurnya, sekadar mencari pengalih pikiran.Udara sore masuk dari jendela yang setengah terbuka, membawa aroma hujan tipis yang baru saja reda. Rasanya seperti dunia sedang memberi jeda: berhenti sejenak, mengizinkannya merasakan sedikit kehangatan yang jarang ia miliki. Jeanicka menutup mata, mencoba menikmati ketenangan itu, seolah hari ini hanyalah miliknya seorang.Namun ketenangan itu buyar ketika ponselnya bergetar di atas bantal. Nama yang muncul di sana membuat darahnya seketika surut ke ujung kaki: Wiraguna. Nama yang sudah lama ia kubur bersama dengan luka-luka masa lalunya. Tangannya refleks ingin menekan tombol merah, mengakhiri
Last Updated: 2025-10-20
Chapter: Bab 11Jeanicka langsung menyendok nasi, padahal mulutnya kering kerontang. Ia mencoba mengunyah perlahan, tapi setiap suapan justru makin terasa berat. Suara sendok beradu dengan piring jadi terlalu nyaring di telinganya, menandakan betapa tegangnya suasana di antara mereka berdua.Sementara itu, bisik-bisik di kantin kembali ramai, meski lebih pelan dari sebelumnya. Seolah seluruh karyawan mencoba pura-pura tidak peduli, padahal jelas-jelas semua mata menyorot ke arah mereka. Dari pantulan kaca dinding, Jeanicka bisa melihat beberapa kepala condong ke arah mereka, pura-pura sibuk dengan ponsel, tapi jelas ingin tahu.Ia menunduk makin dalam, makan dengan hati yang tidak enak. Rasanya seperti menyantap makanan terakhir sebelum vonis hukuman pancung. Setiap kunyahan nasi seakan berubah jadi butiran pasir yang kering. Di luar, hujan gerimis mulai turun, suaranya samar tapi cukup untuk menambah kekacauan di dalam dadanya.Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Jeanicka kaget hampir tersed
Last Updated: 2025-10-20
Chapter: Bab 10Jeanicka menelan ludah. Ia buru-buru mengembalikan tumpukan berkas yang baru saja disortir ke meja bosnya, jari-jarinya sedikit gemetar karena masih malu akibat drama perutnya yang bersuara. Nicholas tidak menoleh sama sekali, hanya bangkit dari kursinya, lalu merapikan kemeja dengan mengancingkan jas kerjanya. Gerakannya rapi, efisien, nyaris seperti robot yang diprogram tanpa cela.Jeanicka hanya bisa refleks mengikutinya. Batinnya menjerit. Ia berjalan terburu-buru di belakang Nicholas, seakan sedang jadi asisten pribadi yang tak punya hak bicara.Mereka masuk ke lift. Jeanicka berdiri di belakang, tak berani bersuara. Nicholas menatap angka-angka panel lift dengan wajah datar. Tidak ada penjelasan, tidak ada clue. Jeanicka makin resah. Perutnya mulas lagi.Begitu lift berbunyi dan pintu terbuka, mereka sampai di lantai dasar. Jeanicka semakin bingung. Namun, Nicholas tetap berjalan lurus, langkahnya panjang dan mantap. Dan dugaan-dugaan gilanya terbukti salah total ketika Nichol
Last Updated: 2025-10-20