Share

Chapter 4

LOVE LETTER

"Terkesan klasik namun sangat berkelas, itulah surat cinta."

✈✈✈

Andin duduk di sofa empuk dengan kaki terlentang. Meminum secangkir teh hangat untuk menetralisir hawa dingin di sekitarnya. Lalu Andin berpaling ke jendela bening di sampingnya. Begitu derasnya hujan di malam hari.

Ria tersenyum memandangnya. Andin pasti tengah menunggu kehadiran Syafril. Ralat. Dia tengah menunggu muffin kesukaannya.

"Ayah lama banget pulangnya," gerutu Andin disusul ekspresi cemberut.

Ria mengelus kepalanya. "Di luar lagi hujan. Bisa bahaya kalo Ayah bawa mobil ngebut."

Andin mengangguk paham. "Iya juga."

Dia kembali memperhatikan tv tabung di depannya. Menyaksikan sinetron Liontin, sinetron yang tengah naik daun. 

Andin bergegas menuju ruang depan setelah mendengar gerbang terbuka. Mengintip sesuatu di luar sana dari balik jendela. Sebuah mobil sedan berwarna hitam terparkir di perkarangan rumahnya.

Lantas Andin tersenyum. Dia sangat tahu siapa pemilik mobil itu. Seseorang pun keluar dari sana membawa tas kerjanya juga paper bag mini.

"Ayah," sambut Andin memeluknya.

Syafril tersenyum melihat anaknya begitu antusias. "Tumben nungguin Ayah," goda Syafril.

"Andin nggak nungguin Ayah." Dia mengambil paper bag di tangan Syafril. "Tapi Andin nungguin ini."

Dari ruang tengah Ria menahan tawa mendengar ucapannya. Andin benar-benar anak yang polos. Syafril langsung mencubit pipinya gemas.

"Sakit, Yah," erang Andin menjauhkan tangannya.

Andin berlari kecil ke tempat semula. Mencari perlindungan pada Ria bila Syafril marah. Namun Syafril tak terlalu menitik beratkan hal itu. Dia menanggapinya biasa.

Ketiganya kini duduk di sofa. Menikmati makanan ringan dan secangkir air hangat sambil menonton tv.

Andin tergemap menikmati muffin cokelat. Dia takjub akan cita rasa makanan itu. "Muffin ini enak banget, Yah," puji Andin, "Ayah beli dimana?"

"Tokonya di perempatan jalan sini." Syafril menunjuk arah barat daya jika ditakar dengan kompas. "Deket kok dari rumah. Pemiliknya juga...." Syafril menggantung ucapannya karena Ria menatap tajam.

"Juga?"

"Juga ramah," elaknya.

Andin tertawa melihat tingkahnya. Syafril pasti ingin memuji pemilik toko itu. Namun dia urungkan mengingat Ria sosok pencemburu. 

Melalui tulisan di paper bag, Andin dapat mengetahui nama toko kue itu. Lily's Bakery.

✈✈✈

Sekolah telah menetapkan hari ini untuk pembagian buku. Masing-masing perwakilan kelas wajib mendatangi perpustakaan untuk mendata temannya juga mengambil buku yang akan diberikan.

Andin telah meminta Meysa untuk menyimpan bukunya ke dalam kantong kresek yang sudah dia siapkan. Sementara Andin menghabiskan waktunya di perpustakaan untuk membaca kelanjutan kisah Dealova.

Beberapa orang baru saja mendatangi perpustakaan. Mereka perwakilan dari salah satu kelas sepuluh. 

Seseorang memperhatikan Andin dari jauh. Dia tersenyum cukup lama. Andin tak menyadari keberadaannya karena dia begitu larut membaca buku.

Dia sempat membaca judul buku yang dipegang Andin. Kemudian dia melenggang pergi tatkala kelasnya selesai berurusan di sini.

Andin memandang sekilas di sampingnya. Satu lukisan pemandangan desa terpajang di sana. Dia pun menutup bukunya dan fokus memandangi lukisan itu.

"Banyak yang bilang itu lukisan wali kelas kita," celetuk seseorang membuat Andin terjaga.

Andin berbalik. Mendapati seorang cowok yang dia kenal. "Arya."

Arya tersenyum. Dia mengambil kursi dan duduk di sampingnya.

"Wali kelas?"

"Iya, Bu Siti. Lo nggak tau?"

Andin menggeleng. Dia tidak mengetahui apapun tentang kelasnya.

"Lo kemarin lagi di sini."

"Iya," jawab Andin singkat. Dia kembali berkutik pada buku.

Arya menopang dagunya memandangi Andin. "Udah nyampe mana lo baca?"

"Pertengahan." Andin tak menatapnya. Dia fokus membaca buku.

"Ceritanya seru, kan?"

"Iya."

Arya dapat mengerti usai melihat responsnya. Andin tak ingin diganggu ketika membaca.

Arya berdiri di tempatnya hendak berpergian. "Nanti lo ke kelas, ya. Kita mau data kegiatan ekstrakurikuler."

"Iya."

Andin berpikir bila Arya telah pergi jauh. Butuh waktu cukup lama untuknya menimbangkan suatu hal.

Andin pun melirik ke arahnya. Namun tak seperti yang dia pikirkan, Arya justru masih berada di sini. Cowok itu berdiri di depan pintu dan memperhatikannya.

Iya, Andin ketahuan mencuri pandang. Itu sungguh memalukan. Andin refleks menunduk pura-pura membaca buku.

✈✈✈

Meysa melirik seseorang di sampingnya. Cukup lama orang itu menatap kertas di tangannya.

"Din, lo mau ikut ekstrakulikuler apa?" Meysa menyinggung siku Andin.

"Mungkin... seni lukis," jawabnya ragu.

Meysa mengangguk. Lalu dia menatap langit-langit kelas. "Gue bingung mau ikut apa."

"Gimana seni tari?" usul Andin.

Cukup lama Meysa menggantungnya. "Lo bener, Din. Gue ikut seni tari." Meysa menulis yang dia ucapkan di atas kertas.

Andin beralih melihat Arya berdiri di barisan terdepan. Dia sibuk meminta kertas ekstrakurikuler untuk diberikan pada wali kelas.

Arya adalah ketua kelas IPA-4. Pemilihan struktur kelas berlangsung saat tak ada Andin. Dia baru mengetahuinya hari ini.

Kini Arya berdiri di depan bangkunya. Dia tersenyum singkat melihat Andin membuang wajah. Hal itu sengaja Andin lakukan untuk menutup rasa malunya. "Kertas kalian," pinta Arya menengadah tangannya.

Andin dan Meysa menaruh kertas di tangannya. Cukup lama Arya melihat kertas milik Andin. Arya menyempatkan diri untuk tersenyum meski terkesan samar. Lalu dia bergilir mendatangi bangku selanjutnya.

"Din, kita ke kelas Putri, yuk?"

"Iya." Andin mengangguk pelan.

Meysa memegang pergelangan tangan Andin dan menuntunnya keluar kelas. Bertepatan Putri yang baru saja keluar dari kelasnya.

"Andin, Meysa," pekik Putri. Dia berlari kecil menghampiri mereka.

Seseorang berdiri di ambang pintu kelas dengan kedua tangan melipat. Dia menilik sosok Andin. Senyum samar dia tampakkan meski Andin tak melihatnya. Andin. Dia baru mengetahui namanya.

"Kalian ikut ekstrakulikuler apa?"

"Andin seni lukis, kalo gue seni tari," jelas Meysa, "lo ikut apa?"

"Tata boga."

"Lo bisa masak?"

"Jelas dong. Lo kira gue Andin yang nggak bisa masak," sindir Putri disusul canda tawa.

Andin memanyunkan bibir. Tak ada hasrat untuk menimpali dengan hal serupa. Andin memutar pupilnya. Mendapati seseorang berdiri di depan kelas yang sedang melihatnya.

Dia tampak kikuk. Seperti kepergok mencuri di Pasar Senen. Sangat mencurigakan. Usai mengalihkan pandangan dia langsung masuk ke kelas.

Andin menatap kosong tempat itu. Memori otaknya terpaksa memutar kembali untuk mengingat suatu hal.

Putri dan Meysa menyadari Andin yang berdiam saja. Bukan karena marah, melainkan sibuk melamun.

"Din, lo liat apa?" Putri memegang bahunya. Dia dan Meysa berpaling mengikuti pandangan Andin.

"Ah... nggak," jawabnya gugup.

Andin masih melihat ke sana. Berharap orang itu muncul kembali untuk menuntaskan rasa penasarannya. Bukannya dia yang ketemu di kantin?

✈✈✈

Pembagian buku kemarin menjadi tanda dimulainya proses pembelajaran. Hal ini menjadi kerugian untuk Andin. Dia tak dapat lagi mengunjungi perpustakaan sembarang waktu.

Paling tidak Andin dapat berkunjung di jam istirahat meski waktunya terbilang singkat. Statusnya sebagai peserta didik baru belum bisa meminjam buku di perpustakaan. Kelalaian pengurus menyiapkan kartu pinjaman menjadi penyebabnya.

Andin menyusuri rak buku yang biasa dia lewati. Satu per satu buku dia tilik. Dia tengah mencari buku yang sering dibacanya. Buku itu terletak di tempat yang berbeda dari kemarin, yaitu di rak bawah. Andin senang karena tak perlu lagi berjinjit untuk mengambilnya.

Andin melihat surat putih terselip di dalamnya. Dia mengambil surat itu dan menaruh kembali buku di rak. Titik fokusnya kini pada sebuah surat.

Andin duduk di salah satu kursi sambil memandangi surat. Dia bimbang. Apakah dia harus membacanya ataukah tidak. Andin pun membulatkan pilihannya untuk membuka isi surat itu.

...

Surat ini khusus untuk Andin

Kalau kamu bukan Andin, tolong biarkan surat ini di buku.

Halo, Andin.

Satu-satunya siswi tercantik di Bakti Nusa. 

Aku yakin kamu bukanlah manusia. Karena kecantikanmu bagai seorang peri.

Ku kira kamu hanya ada di dunia fantasi. Lalu kamu menunjukkan bukti padaku bahwa kamu nyata.

Kamu, seorang peri tanpa sayap.

Kamu tampak dekat, tapi sangat sulit untuk ku gapai.

Maka izinkanlah aku

Untuk memandangimu dari jauh

...

Andin tersenyum. Senyuman khasnya begitu lama melekat di sana. Ternyata surat itu ditujukan untuknya.

Dia fokus memperhatikan tulisan pada kertas. Tulisannya tampak tak asing. Segera Andin mengeluarkan secarik kertas dari saku roknya. Kertas yang dia temukan di UKS. 

Andin menyandingkan kertas dan surat itu. Dia meniliknya serius. Tulisan keduanya terlihat sama persis. Andin menarik kesimpulan bila kertas dan surat itu ditulis orang yang sama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status