Share

Chapter 3

SOMEONE

"Kau takkan pernah tahu bila seseorang yang kau temui hari ini bisa menjadi orang yang sangat penting dalam hidupmu suatu saat nanti."

✈✈✈

Andin mengunjungi perpustakaan sekolah yang identik dengan interior klasik. Hanya Andin sendiri. Tidak ditemani Meysa dan Putri. Dia menginginkan ketenangan ketika membaca buku.

Andin menyukai karya sastra fiksi. Maka tak mengherankan bila dia sering ke sini selama proses pembelajaran belum intensif.

Saat ini Andin duduk di sudut ruang. Dia begitu larut membaca Dealova, novel karya Dira Nuranindya yang banyak diminati remaja bahkan orang dewasa.

Tanpa Andin ketahui seseorang memandanginya dari jauh. Dia bersandar di rak buku dengan kedua tangan melipat. Bibirnya membentuk suatu lekukan tipis.

Suasana perpustakaan begitu tenang. Inilah yang membuat Andin betah berlama-lama di sini. Kombinasi zat kimia volatil melebur dengan udara sekitar membuat siapa saja kecanduan menciumnya, tak terkecuali Andin.

"Din, lo baca apa?" tanya Putri baru saja tiba bersama Meysa.

Andin mendesis. Jari telunjuknya melekat di depan bibir. "Jangan ribut, nanti dimarahin Ibu Perpus." Andin belum tahu nama guru pengelola perpustakaan.

Putri refleks menutup mulutnya. Lalu pandangannya mengedar ke penjuru ruang. "Ibunya dimana?"

Andin memandangi sekitarnya. "Nggak tau. Pokoknya tadi ada."

Beberapa tumpukan buku menarik perhatian Meysa. "Kira-kira kapan ya buku dibagiin."

"Keknya hari ini. Bisa juga besok," kira Putri, "yang penting lo bawa terus kantong kresek."

Putri merogoh saku roknya mengeluarkan kantong hitam berukuran besar. "Gue bawa terus setiap hari."

Meysa menanggapi dengan anggukan. Dia berpaling menghadap Andin. "Din, ayo ke kantin," ajaknya.

"Iya, Din. Gue udah laper banget ini," timpal Putri.

"Bentar." Andin berdiri di tempatnya. "Gue ngembaliin buku dulu."

Andin menyusuri salah satu rak buku. Pada rak itu tersusun rapi bermacam buku fiksi. Dia menaruh buku itu ke tempat semula, yaitu di rak paling atas. Karena letaknya tinggi Andin harus menjinjit agar bisa mencapainya.

Dari ekor mata Andin menangkap seseorang tengah memperhatikannya. Namun ketika dia berpaling ke sana, cowok berpostur tinggi itu bergegas pergi membelakanginya. Itu siapa?

Andin memiringkan kepala. Bingung. Dia tak dapat menebak identitas orang tersebut.

✈✈✈

Suasana kantin saat ini lebih ramai dari biasanya. Berhubung proses pembelajaran belum berjalan maksimal, kebanyakan peserta didik memilih kantin sebagai tempat peristirahatan. Semua lapak jualan pun dipenuhi antrian 

Andin dan Meysa terlihat pasrah mengantri di lapak bakso untuk menuruti permintaan Putri. Temannya itu bersikeras memilih bakso untuk santapan siang hari. Seperti wanita hamil yang mengidam.

"Kang, pesen bakso tiga," pesan Putri. Dia mengetahui panggilan akrab penjual itu dari beberapa orang yang memesan sebelumnya.

"Siap. Pakai bakso nggak?"

Ketiganya sontak terdiam. Berusaha mencerna ucapan lelaki berbadan gempal itu.

Bahar menutup mulutnya. Dia telah salah berucap. "Maksud Akang pakai tetelan nggak?"

"Iya."

Mereka kini melangkah beriringan menuju meja di sudut kantin. Dari sekian banyaknya meja di sini, hanya meja itulah yang kosong.

"Aduh," ringis Andin mengusap bahu kirinya. Dia tak sengaja bersinggungan bahu dengan seseorang.

Andin refleks menengok sang pelaku. Kepalanya terpaksa mendongak karena orang itu berpostur tinggi. "Maaf," tutur seseorang pemilik downturned eyes.

Andin memperhatikannya sekilas beserta dua orang di belakangnya. Setelah mengangguk dia kembali menyusul Putri dan Meysa yang sudah berjalan jauh. Cowok itu masih memandang langkah mungil Andin. Senyum samar mulai menghiasi bibirnya.

Putri memasang tampang lesu. Selain menunggu datangnya pesanan, tampaknya Putri memiliki suatu keluhan yang disimpannya. "Put, lo kenapa?" tanya Andin.

Putri menghela napas panjang. Jemarinya mengetuk permukaan meja. "Gue kesel sama anak guru itu."

Dugaan Andin benar. Putri tengah mengeluhkan sesuatu. Tak mengherankan Andin dapat menghapal ekspresi temannya karena sedari kecil mereka berteman dekat.

"Siapa?" Meysa memajukan kursinya.

"Gladis."

Kini Andin mengetahui namanya. Seorang siswi yang menjadi perwakilan saat itu.

"Dia kenapa?"

"Baru beberapa hari sekolah udah banyak yang deketin dia."

"Lo iri?" tanya Meysa spontan. Andin bahkan terkejut mendengarnya.

Putri mendecak kesal. "Nggak! Gue cuma males aja di kelas pada rame nyamperin dia."

Andin dan Meysa saling melirik. Seperti ada telepati yang membuat keduanya berpikiran sama. Mereka mengetahui betul karakter Putri. Dia memang orang yang iri.

"Ini baksonya, Neng." Bahar membawa tiga mangkuk bakso yang mereka pesan.

"Makasih, Kang."

Putri pun menyudahi cerita singkatnya demi menyantap seporsi bakso. Dia terlihat sangat lapar.

Andin melirik singkat ke suatu arah. Serta-merta dia tak tenang. Merasa diawasi seseorang. Hasil liriknya mendapati seorang cowok sedang memandangnya. Itu kan cowok tadi.

Dia berdiri di depan lapak Bahar dengan kedua tangan menyuluk saku. Memandang Andin cukup lama hingga tersenyum padanya.

✈✈✈

Kembali Andin mengunjungi tempat ternyaman di sekolah usai mengisi energi di kantin, yakni perpustakaan. Andin berdiri di rak buku sambil menilik beberapa buku yang tersusun di sana. Andin lupa menaruh novel yang sempat dia baca.

Buku itu terletak di tempat berbeda namun masih di rak yang sama. Seseorang telah memindahkan buku itu. Ada orang lain yang baca.

Ketika Andin hendak mengambil buku itu sambil berjinjit, dia melihat tangan seseorang muncul dari belakangnya. Tangannya sangat panjang sehingga buku itu lebih dulu dia gapai daripada Andin.

Andin spontan berbalik. Memandangi wajah seseorang berpostur tinggi di depannya. Dia orang yang kemarin.

Cowok itu meliriknya. Tangannya mengulur menunjukkan buku itu. "Ini."

Andin menunduk sejenak melihat dua pasang kaki saling menghadap. Dia mengambil buku itu dengan lembut. "Makasih."

Dia tersenyum. Selalu begitu setiap kali Andin mengucapkannya.

"Gue Arya." Tangannya mengulur di depan Andin.

"Andin," sambutnya.

"Kita satu kelas, kan?"

Andin menjawab dengan anggukan. Dia memang tak banyak bicara dengan orang yang baru dikenalnya.

Arya melirik sampul depan buku. "Dealova," ejanya, "gue suka ceritanya."

Reaksi Andin sedikit terkejut. Baru kali ini dia menemukan cowok menyukai karya sastra.

"Gue udah baca sampai tamat."

Kesekian kalinya Andin menjawab dengan anggukan kepala.

"Beberapa bulan lagi filmnya tayang."

"Film?" Andin bingung. Dia tidak mengetahui beritanya.

"Iya. Novel ini udah dibuat filmnya. Kira-kira september nanti bakal tayang."

Andin memandangi buku di tangannya. "Gue nggak tau. Gue baru baca buku ini."

Kembali dia tersenyum pada Andin. Sedetik kemudian dia melirik benda di pergelangan tangannya. "Gue balik ke kelas, ya," pungkasnya.

"Iya."

Andin mengamati langkahnya sampai dia keluar perpustakaan. Dari sisi belakangnya tampak tak asing. Namun Andin tak terlalu memikirkan hal itu. Dia memandangi buku di tangannya cukup lama. Dealova.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status