Share

Chapter 5

HOPE

"Semua orang pasti memiliki harapan. Namun tak semua harapan bisa berwujud nyata."

✈✈✈

Kegiatan ekstrakurikuler SMA Bakti Nusa selalu diselenggarakan setiap hari sabtu. Usai mengikuti kegiatan belajar, para peserta didik berpencar menuju ekstrakurikuler masing-masing. Mulai dari bidang olahraga, seni, dan lainnya.

Andin telah menetapkan pilihannya untuk mengikuti kegiatan seni lukis yang dipandu oleh wali kelasnya sendiri, Siti. 

Kisaran peserta didik yang mengikuti ekstrakurikuler ini sebanyak 35 peserta yang terdiri dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas. Semuanya tergabung menjadi satu kesatuan.

Saat ini mereka tengah berkumpul di ruang seni. Memegangi sebuah kanvas dan alat lukis, mereka begitu khusyuk mendengarkan petuah yang disampaikan Siti.

Ruangan seni sekolah belum cukup memadai. Beberapa kursi yang ada tak dapat menampung seluruh anggota. Mau tak mau sebagian anggota duduk di kursi dan sebagian lagi duduk di lantai. Jangan lupakan senioritas masih kental di sini. Kalian pasti dapat menebak siapa saja yang tempat duduknya berlapis keramik, sudah pasti para junior.

Pasang mata Andin menilik penampilan wanita berumur seperempat abad itu. Mengenakan kemeja putih dengan balutan syal corak macan, belum pula rambut yang dicepol sebesar punuk unta. Tak mengherankan lagi bila dia dijuluki 'Guru Nyentrik' di Bakti Nusa.

Pada pertemuan pertama ini, Siti menyuruh anggotanya membuat satu lukisan bertema alam. Mereka diperbolehkan untuk keluar dari ruangan ini dan mencari objek yang sempurna untuk dilukis.

Andin tahu tempat mana yang wajib dia tuju untuk memuaskan hasrat melukisnya. Dia pun mendatangi perpustakaan seorang diri. Mengingat sosok Andin yang introvert, Andin belum bisa bergaul dengan teman satu ekstrakurikulernya dalam waktu singkat.

Mengapa di perpustakaan? Bukankah harusnya dia melukis alam? Kalian tidak tahu betapa sempurnanya pohon angsana bila dilihat dari jendela perpustakaan. Memiliki khas bunga berwarna kuning, angsana menunjukkan letak keindahannya.

Andin duduk di tempat biasa dia membaca buku. Dia duduk di sana sambil mengamati angsana. Beberapa detik kemudian dia beralih melihat kanvas dan menuangkan imajinasinya dalam bentuk lukisan indah.

Andin begitu larut melukis hingga dia tak sadar bila seseorang berdiri di belakangnya. Cowok itu berdiri cukup lama memandangi lukisannya.

"Cantik," pujinya.

Spontan Andin berpaling padanya. Seorang cowok mengenakan kaos hitam dan bawahan celana sekolah. "Arya."

Arya menarik kursi dan duduk di sampingnya. Dia melihat Andin yang sedari tadi memperhatikannya dengan wajah bingung.

"Lo nggak eskul?"

"Eskul."

"Terus kenapa di sini?"

"Gue mau lihat lo melukis sebentar."

Andin melihat pupil hitamnya membesar. Kontak mata kedua insan itu bertaut cukup lama hingga Andin berpaling melihat kanvasnya dan melanjutkan aktivitas melukis.

Arya masih di sana. Satu tangan menopang wajahnya menghadap Andin. Bila harus jujur, sebenarnya Andin cukup risih ketika seseorang terus memandangnya. Apalagi jika orang itu adalah Arya.

"Kelihatannya warna hijau ini kurang gelep." Arya menunjuk salah satu bagian lukisannya.

Andin menoleh. Menatap tegun monolid eyes Arya.

"Maaf, ya. Gue nggak bermaksud...."

"Makasih," balasnya langsung menambahkan pewarnaan yang diusul Arya.

Seulas senyum Arya tampakkan meski terkesan samar. Dia senang karena Andin menerima usulannya dengan baik. 

"Din," panggilnya.

Andin tak menoleh. Matanya fokus menilik lukisannya.

"Kalau Dealova udah tayang kita nonton sama-sama, yuk?"

Spontan Andin tergemap. Bahkan tangannya yang memegang kuas pun tak bergerak sama sekali. Seakan menjadi manekin dadakan.

Hanya mengandalkan ekor mata Andin dapat meliriknya. Dia tak berani untuk melihat langsung.

Arya beranjak memandangi tubuh mungil Andin. "Gak perlu jawab sekarang, lo bisa jawabnya nanti. Filmnya juga masih lama tayang," pungkasnya tersenyum.

Andin baru berani meliriknya usai dia melangkah pergi. Manik matanya fokus memperhatikan punggung lebar Arya dengan sorotan teduh.

Tangannya menyuluk saku dan mengeluarkan dua kertas putih. Kertas itu selalu dia bawa kapanpun dan dimanapun. Andin memandangi kertas itu cukup lama.

Tuhan, bolehkah aku berharap jika surat ini dikirim olehnya... 

✈✈✈

Andin memicingkan mata melihat dua siswi berdiri di bawah gapura sekolah. Dia dapat mengenali meski terlihat dari sudut belakang. Mereka adalah teman masa kecilnya, Meysa dan Putri.

Mereka selalu pulang bersama melewati gang yang biasa Andin lewati. Bila kelas Putri keluar duluan, dia akan menunggu Meysa dan Andin. Begitupun sebaliknya.

"Maaf lama. Gue nyimpen kanvas dulu di ruang seni," jelas Andin baru saja tiba.

"Iya, Din." Putri mengangguk.

"Din, lo mau ikut kita, nggak?" ajak Meysa memegang pergelangannya.

"Kemana?"

"Ke Perpustakaan Daerah."

"Mau ngapain?"

"Putri mau ngerjain tugas Bahasa Indonesia."

Mengingat saat itu teknologi belum terlalu canggih dan sebagian orang belum memiliki ponsel untuk akses internet, kebanyakan para siswa mengunjungi perpustakaan atau warung internet untuk mengerjakan tugas.

"Keknya nggak, Sya. Gue mau langsung pulang. Ibu udah nungguin di rumah," kilahnya. Padahal alasan sebenarnya ingin menikmati waktu sendiri.

Mereka pun saling melambai dan berpisah jalan. Meysa dan Putri menaiki angkot menuju perpustakaan, sementara Andin menuju rumahnya. Kali ini dia merubah rute melewati jalan besar. Dia bermaksud untuk mampir ke toko kue yang pernah dikunjungi Syafril.

Wewangian roti menyambut kedatangan Andin. Harum semerbak roti yang baru selesai dibuat berkombinasi dengan udara di sekitar. Membuat indra penciuman bertindak egois dan memaksa diri untuk berlama di sini.

Andin menyusuri tiap etalase dan menilik apa saja yang terpajang di sana. Lalu pupilnya fokus pada barisan kue pastri bermacam warna di etalase belakang. Kue pastri atau yang dikenal muffin adalah kue kesukaan Andin dari kecil.

Andin mengedarkan pandangnya ke penjuru ruang. Mencari seorang bercelemek cream, ciri khas pelayan toko ini.

Pelayan itu membungkus kue pastri permintaan Andin--yang notabene berwarna cokelat--dalam paper bag berlogo Lily's Bakery sebagai identitas toko.

Kini Andin berdiri di depan kasir untuk melakukan transaksi. Sekilas dia berpaling ke samping, mengamati keadaan luar dari kaca tembus pandang. Saat ini terjadi hujan susulan.

Andin menghela napas panjang. Dia tak dapat melakukan apapun selain menunggu hujan reda. Dia menghampiri kursi depan dan mendudukinya. Memandangi derasnya hujan membasahi permukaan bumi.

Beberapa kali Andin memperhatikan objek yang melingkar di pergelangan tangannya. Mungkin sudah sepuluh menit dia menunggu.

Dilihatnya kembali keadaan dari balik kaca. Hujan sudah mereda. Segera Andin mengemasi barangnya dan bergegas meninggalkan tempat ini.

Sejenak Andin berdiri di depan pintu toko. Tangannya menengadah ke depan. Bukan untuk mengemis, dia sedang mengukur kecepatan jatuhnya air hujan.

Bulir hujan yang jatuh berdiameter kecil, sama seperti kemarin pagi. Andin terdiam sejenak memikirkan suatu hal. Mungkin tak apa bila Andin menerobos derasnya rintik. Hal semacam ini tak mampu membuatnya deman. Pikirnya.

Saat Andin hendak melangkah pergi, seseorang memegang pergelangan tangannya dari belakang. Andin tak langsung berpaling padanya. Lebih dulu dia melihat sebuah payung hitam menutupi atas kepalanya.

"Tunggu," ungkapnya.

Andin mendapati seorang cowok yang pernah dia temui di kantin. Cowok itu mengenakan seragam sekolah sepertinya.

Andin melirik pergelangannya. Tangan cowok itu masih berada di sana. Beberapa detik kemudian dia melepasnya. Gugup. "Maaf."

Andin masih memandanginya. Dia tidak tahu apakah itu bulir keringat atau air hujan yang mengumpul di keningnya.

"Iya, gapapa."

Tangan cowok itu menengadah. Mengukur diameter hujan seperti yang Andin lakukan tadi. "Masih rintik, Din."

Andin mendongak. Mencari sinar mentari yang terselimuti awan gelap. "Iya, gue tau."

Cowok itu tersenyum memandangnya. Wajah berseri Andin begitu indah dilihat sedekat ini. "Rumah lo di sekitar sini?"

Andin mengangguk. Dia tak melihat wajah cowok itu sekalipun. Matanya fokus melihat jalan raya.

"Dimana?"

"Jalan Anggrek." Andin menunjuk arah kanan.

"Rumah gue juga di jalan Anggrek. Mau barengan? Muat untuk satu penumpang lagi." Cowok itu menggeser payungnya, lebih dominan pada Andin.

Andin terdiam. Cukup lama dia menggantung ajakan cowok itu. "Iya."

Derap langkah kaki berpadu gemercik air hujan, menciptakan harmonisasi yang memecahkan keheningan. Meski memiliki postur tinggi berbeda, keduanya dapat berjalan seirama. Mungkin saja cowok itu menyejajarkan langkahnya atau Andin bisa melangkah besar.

Mereka sama-sama berhenti di depan pagar besi yang cukup tinggi. Salah seorang sibuk memperhatikan sudut rumah bertingkat dua ini. "Ini rumah lo?"

"Iya." Andin mengangguk. "Makasih udah nganterin."

Cowok itu kembali menahan tangan Andin saat dia hendak keluar dari perlindungan payung. "Jangan keluar," amanatnya, "gue anterin sampe teras depan."

Andin menarik diri ke posisi semula, yaitu di dalam perlindungan payung. Badannya terasa hangat karena tak sengaja bersentuhan dengan lawan jenis. Permukaan payung yang tak begitu luas membuat Andin harus lebih dekat dengannya.

Sesuai dengan ucapannya, cowok itu benar mengantar Andin sampai teras rumah. Sejenak matanya beralih melihat perkarangan depan. Sebuah kolam tertata di tengah rerumputan hijau berhasil memikat matanya.

"Makasih," tutur Andin.

Cowok itu menolehnya. Otot sekitar bibirnya menarik hingga membentuk lengkungan tipis. "Dirga. Nama gue Dirga."

"Makasih, Dirga." Andin mengulanginya dengan menyebut nama cowok itu.

Dirga tersenyum kala Andin menyebut namanya. Dia tampak senang. Lalu Dirga melirik benda bulat melingkari pergelangan kirinya. Sudah waktunya dia pulang.

"Gue pulang, Din," pungkasnya melambaikan tangan.

"Iya." Andin mengangguk pelan.

Andin masih berdiri di sana. Manik matanya masih fokus memperhatikan seseorang berjalan menuju pagar rumah. Tak lama dia berbalik menghadap Andin dan tersenyum mungil. "Sampai bertemu lagi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status