Share

Bab 5 - Kali Kedua

Author: Ekayaki
last update Last Updated: 2022-06-12 19:00:58

Semua peserta berhamburan di kampus Pandawa. Mereka memanfaatkan momen untuk berfoto bersama, ada yang selfie bahkan bersantai sambil menikmati pemandangan di kampus tersebut. Tak terasa, jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Semua handphone peserta berbunyi secara sahut menyaut yang menandakan bahwa mereka harus memasuki nomor ruangan yang di instruksikan. Mereka pun akhirnya satu per satu berpisah. Termasuk Ulma dan Aku. Tapi, kami hanya bersebelahan kelas saja.

"Eka, aku di gedung Sadewa lantai 3F. Kamu dapat dimana?" tanya Ulma.

"Aku dapat di gedung Sadewa lantai 3E." jawabku.

Kami berdua kegirangan karena mereka bisa bersama walau hanya berpisah beberapa jam di ruang terpisah. Ulma sempat menyayangkan tidak bisa satu kelas denganku karena tidak bisa ngobrol lebih lama. Aku menenangkan Ulma agar menerima keputusaan yang sudah ditetapkan.

Sesampainya di gedung Sadewa lantai 3, kami berdua berpisah. Ulma masuk ke kelas F, dan Aku memasuki kelas E yang dimana terdapat 4 barisan meja panjang. Saat memasuki ruangan itu, Aku duduk di meja nomor 3 yang berisikan 4 bangku. Semakin lama, ruangan itu menjadi penuh. Dugaanku bahwa 3 orang yang duduk di meja ini  merupakan orang-orang yang akan menjadi rekan satu timku nanti.

Tak butuh waktu lama, tiga orang mulai memasuki ruangan itu. Orang pertama yang masuk adalah seorang laki-laki memakai jas almamater kampus, terkesan seperti wajah mahasiswa. Kedua adalah laki-laki paruh baya, rambutnya sudah terlihat 10% rambutnya berwarna putih memakai kacamata, berpakaian batik, sepertinya dari pihak Kementerian. Satunya lagi, pria muda kisaran umur mendekati 30 tahun, gagah, tinggi, tipe kulit light beige, berjalannya bak model yang membuat seisi ruangan terpana, kecuali Akuyang sibuk mengeluarkan buku catatan dan pulpen yang entah terselip dimana.

Laki-laki yang memakai jas almamater itu membuka acara dan memperkenalkan diri. Ia bernama Nadeo. Mahasiswa semester 6 di Universitas Pandawa. Selama pelatihan, ia bertugas membantu secara teknis dan menjadi MC (biar irit anggaran). Dilanjutkan ia mempersilahkan dua pria disebelahnya untuk memperkenalkan diri.

Pria paruh baya atau biasa dipanggil dengan Pak Nofal. Ia menjelaskan secara singkat mengenai riwayat hidupnya serta menjelaskan prosedur selama menjalani proyek ini. Dimana, nantinya Pak Noval akan bergantian dengan pria yang di sebelahnya untuk membimbing peserta bisa menghasilkan modul yang kreatif, menarik tetapi pesannya tersampaikan. Setiap kelas, akan dibimbing oleh satu orang dinas dan satu orang dosen jurusan Desain Komunikasi Visual dari universitas terbaik di Indonesia dan salah satunya dari Universitas Pandawa.

Aku pun akhirnya menemukan bolpen yang terselip di dalam tas. Saat giliran pria yang terakhir akan memperkenalkan diri, tiba-tiba pandanganku terhalang oleh ibu-ibu di depan yang sedang mencari posisi memotret untuk membuat stories media sosial mereka.

"Duh, ganteng banget si. Kalau bisa jadi mantuku." kata Ibu pertama.

"Foto dulu, lumayan biar heboh grup chat. Bisa ku kenalin ke anak-anakku." kata Ibu kedua.

Pria terakhir mulai memperkenalkan dirinya.

"Perkenalkan, saya Prabu Bagaskara. Bisa Anda panggil saya Prabu. Usia 29 tahun. Saya dosen Universitas Pandawa mengajar program studi Desain Komunikasi Visual di sini. Salam kenal semuanya, saya harap ilmu saya bisa membantu kalian semua." Prabu yang memperkenalkan dirinya.

Sontak membuat perempuan di sana heboh reaksinya, lagi-lagi kecuali diriku. Hanya bisa kaget melihat reaksi heboh ibu-ibu satu ruangan. Hanya saja, aku seperti pernah mendengar nama Prabu baru-baru ini tetapi tidak ingat dimana.

Nadeo pun menjelaskan bahwa setelah acara pembukaan selesai, berikutnya adalah menentukan kelompok kerjanya. Dan benar saja dugaanku, bahwa akan masuk ke kelompok 3 karena penentuan kelompok berdasarkan meja yang di tempati dan ketua kelompoknya berdasarkan siapa yang di barisannya duduk di kursi yang terdapat tali hijau. Untungnya aku tidak melihat adanya pita warna hijau di kursinku. Hah ... syukurlah. Dan ternyata yang dapat di barisanku adalah bapak-bapak. 

Agenda berikutnya adalah sesi perkenalan peserta pelatihan dengan menyebutkan nama dan asal kotanya saja dengan cara berdiri. Satu per satu mulai memperkenalkan diri. Sampailah tiba giliranku.

"Halo semua, saya Eka Febrina. Bisa panggil saya Eka. Asal dari kota Kendal. Terima kasih." Eka memperkenalkan diri.

Namun, saat menghadap ke depan, mataku terbelalak. Kaget, karena tak disangka Aku bertemu lagi dengan orang yang songong di jalan kampus tadi pagi, dan kebetulan juga pria itu juga terkejut melihatku juga.

"Bu Eka, silahkan duduk Bu. Selanjutnya!" sahut Nadeo yang membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk dan perlahan duduk di kursi. Sesekali curi-curi pandang ke depan melihat wajah pria itu untuk meyakinkannya dengan orang di kejadian tadi pagi. Kemudian ku mencoba mengingat lagi, Aku sepertinya pernah mendengar nama Prabu. Setelah berusaha mengingat, ternyata terlintas memori saat Aku dan laki-laki itu berdebat, datanglah Pak Satpam dan berbincang kepada pria itu.

"Mas Prabu, segera ke Balairung gih, Pak Menteri mau datang." kata Pak Satpam yang akhirnya handphonenya berdering dan pria itu mengangkat panggilan tersebut.

Aku pun syok dan kaget ternyata orang yang tadi pagi berdebat dengannya gara-gara hampir menabrak Bu Sri adalah Pak Prabu, yang saat ini di depanku. Ini merupakan pertemuan kali keduanya dalam satu hari. Dan saat ini juga Prabu mengawasiku dengan tatapan sangar wajahnya, seolah-olah ia memiliki dendam karena dipermalukan di depan jalan tadi. Harapku semoga selama pelatihan satu bulan ini tidak terjadi hal yang aneh-aneh yang menimpa diriku.

Perkenalan pun selesai. Nadeo membacakan agenda pada hari senin depan dan membawa peralatan apa saja. Selama satu bulan, mereka diberi jatah libur hari minggu agar bisa menikmati dan bersantai di Jakarta.

Sebelum Nadeo menutup pertemuan, Prabu menyela.

"Ada yang penting lagi!" Prabu menyela. Semua terdiam.

"Maaf Nadeo, saya potong karena ini menyangkut kegiatan kedepannya. Namanya dosen, pasti ada aturan yang harus dibuat untuk menunjang kuliahnya," pinta Prabu kepada Nadeo yang dijawab dengan anggukan Nadeo.

"Selama saya menjadi mentor, ada beberapa hal yang harus diperhatikan berlaku bagi semua. Yang pertama, saya saya ingin semua terlibat aktif. Kedua, kerja kelompok sangat penting, semakin banyak ide dan diskusi semakin bagus. Jika mematuhi hal tersebut, saya akan langsung berikan nilai bagus dan menjamin sertifikat cepat selesai," Aturan Prabu yang membuat semua orang diruangan terdiam.

Kemudian, ia melanjutkan perkataannya sambil memandang marah kepadaku.

"Yang terakhir, ini adalah hal yang saya tidak suka," kata Prabu mengancam.

"Pertama, saya tidak suka orang yang tidak disiplin, lelet dan stuck idenya. Kedua, saya paling benci dengan orang yang ikut campur dalam urusan saya. Saya tipe orang jika sudah benci kepada orang itu, saya tidak segan-segan membuat perhitungan dengan dia. Bisa jadi, saya tidak segan-segan mengeluarkan dari tim saya. Bahkan, saya tidak akan memberikan sertifikatnya, oh atau.." Prabu menghentikkan kalimatnya dan membuat semua orang semakin berderbar karena penasaran, termasuk Aku.

"Sertifikatnya saya robek dihadapannya." kata Prabu dengan tegas.

Semua orang didalam ruangan tersebut menelan ludahnya, walau Prabu ganteng tetapi dia killer. Tak segan kepada pesertanya yang jauh lebih senior.

"Hukum Newton 3. Dimana ada aksi, maka timbul reaksi. Isn't true, Bu Eka?" ucap Prabu yang mengarah secara otodidak kepadaku. Aku hanya terdiam dan mengangguk sambil merapatkan mulut. Prabu pun puas bisa memberikan ancaman tersebut. Nadeo mengakhiri tugasnya. Acara telah selesai.

Ulma yang keluar dari ruangannya aku tarik keluar dan meminta menemani ke pusat Informasi.

"Eka, ada apa? sampai lari-lari gini, emang ada gempa? gedungnya mau roboh?" tanya Ulma yang heran dengan sikapku.

"Ul, gawat... gawat.. bantuin aku. Nanti aku cerita pas sudah sampai ke pusat informasi saja." pintaku kepada Ulma.

Sesampainya ke tempat Informasi. Aku meminta petugas untuk pindah ke kelas lain. Namun, sekeras apapun meminta dan beralasan, tetap tidak diterima oleh petugas. Karena menghindari isu-isu yang tidak sedap, seolah-olah bisa saja aku mendapatkan hak istimewa dan itu dilarang oleh kementerian.

Akhirnya aku memilih jalan pasrah, dengan keluar dari ruang informasi. Ulma yang didepan menunggu kemudain menghampiriku menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku menceritakan secara singkat kejadian tadi pagi dan saat acara perkenalan. Ketakutanku karena Prabu mengancam jika membuatnya sampai benci, bakal dikeluarkan dari timnya. Aku tidak mau hal itu terjadi, karena bakal mengecewakan sekolah dan guru-guru yang sudah banyak membantu. Ulma pun mencoba menenangkan.

"Sudahlah Ka, gak papa kok. Kan cuman satu bulan pelatihan. Sabar aja. Kamu pasti bisa. Aku mau bantu, tapi bagaimana kalau sudah ditetapkan. Aku gak bisa merubah." kata Ulma yang beberapa dari kalimatnya pernah Aku sampaikan beberapa waktu lalu alias copy paste.

"Kamu nyindir aku?" tanyaku kepada Ulma.

Ulma pun tertawa dan mencoba menenangkanku bahwa hal itu pasti akan segera dilupakan karena manusia cepat sekali dengan lupa. Kami berdua akhirnya pulang karena hari semakin sore. Sesampainya di Kost Tiara, Aku mulai memikirkan strategi agar tidak didepak oleh dosen sombong, Prabu Bagaskara.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 100 Hari Bilang Sayang   Bab 50 - Tak Tahu Diri

    Setelah satu jam berurusan dengan Bank, akhirnya hutang Ibuku lunas ! Tak lama Paman Yanto menghubungiku. Kebetulan ia berada di bank daerahnya. Ia begitu kaget bahwa aku bisa mengembalikan uang seratus juta kepadanya. Tak lama percakapan kami dipotong oleh Eyang yang merebut ponselku. Nada bicaranya mulai berubah kepada anak kesayangannya. Tak lama, panggilan pun ditutup.“Bagaimana Eyang, sudah puas kan?” tanyaku dengan culas.Eyang hanya terdiam, kemudian pertikaian kami dihentikan oleh Kakek. Akhirnya kami pulang bersama.Sesampainya di rumah, aku menyuruh Reza untuk membawa Ibu ke kamarnya karena butuh istirahat. Ia kemudian menuntun Ibu ke kamarnya. Kemudian, kakek menghentikanku dan mengajakku bicara.Di ruang tamu, Kakek dan Eyang duduk berhadapan denganku.“Bagaimana kamu bisa mendapatkan uang sebesar itu ?” Tanya kakek yang begitu tak percaya.Aku terdiam awalnya, tapi Eyang masih saja berpikir negatif tentangku.“Kamu gak mungkin kerja bareng om-om kan? Tahu gak mas, itu te

  • 100 Hari Bilang Sayang   Bab 49 - Pertaruhan

    Aku benar-benar bisa gila. Seumur hidupku baru kali ini aku melihat nominal sembilan digit ini di dalam rekeningku. Paling maksimal saja cuma tujuh digit saja. Tak pernah lebih dari itu. Harus ku apakan semua uang ini. Karena terlalu banyak berpikir, tukang ojek yang aku pesan memintaku untuk segera membayarnya karena ia akan lanjut mengambil orderan. "Baik Pak, maaf sebentar lagi ya," balasku.Ia pun menuruti. Aku mulai menjernihkan pikiranku. Dan segera mengatur anggaran yang harus dikeluarkan. Manakah yang anggaran yang paling urgensi dulu. Setelah aku pertimbangkan."Bayar biaya rumah sakit, setelahnya melunasi hutang Ibuku dahulu. Sip!" Kemudian aku mengambil uang sebesar satu juta untuk keperluan Ibuku selama di Rumah sakit. Setelah itu, membayar segala administrasinya secara kontan."SERRRR .... KLEKK" bunyi ATM yang melakukan transaksi. Uang lembaran seratus ribu keluar dari mulut mesin itu. Setelah ku rasa nominalnya sudah benar, aku kemudian keluar dan membayar tagihan oje

  • 100 Hari Bilang Sayang   Bab 48 - Signed

    Matanya mengeluarkan aura yang sangat tajam. Kali ini ia tidak boleh ada kata GAGAL, agar bisa mempertahankan warisan dari Nyonya Mirna. Kali ini aku terjebak oleh permainannya. Ia sudah mengetahui apa yang menjadi kelemahanku saat ini yaitu Ibuku. "Kalau aku jadi kau, aku tak terima jika hal itu terjadi pada keluargaku. Walau yang menghina adalah kerabat terdekatku. Solusi dariku adalah pisahkan Ibumu dari Eyangmu. Kita lihat apakah ia mampu bertahan dan buat dia semakin jera karena menyesal melakukan tindakan bodoh itu!" desaknya. Tak lama, ia menyodorkan surat yang sudah diberi meterai dan nama terangku. "Don't waste the time! gunakan kesempatan emasmu ini!" ucapnya dengan seringai. Aku mulai melihat sekilas surat kontrak itu. Kemudian menghela napas. "Satu tahun ?" tanyaku. "Kata dokter, usia nenek bertahan satu tahun lagi. Kemungkinan bisa panjang, bisa juga tidak." jelasnya. Satu tahun, aku harus hidup dengannya dengan penuh sandiwara kemudian setelah ditinggal Nyonya Mirn

  • 100 Hari Bilang Sayang   Bab 47 - Kerjasama

    Aku menceritakan apa yang terjadi setelah Reza menanyakan hasilnya. Ibu mendengar, langsung menangis sesenggukan. Dipeluklah ia oleh Reza dan berusaha menenangkan. Baru kali ini aku melihat mata Reza yang berkaca-kaca. Mungkin, sebagai anak laki-lakai berpikir bahwa sudah saatnya dia harus memikul beban keluarga juga. Lalu, bagaimana dengan kuliahnya? Walaupun sudah dibantu dengan biaya Bidikmisi, tapi sama saja belum cukup untuk membantu orangtuanya itu. Hatiku semakin tersayat mengingat sebagai anak pertama dan perempuan. Sempat ada rasa sesal karena tak bisa berbuat banyak. Di satu sisi, aku ingin membantu ekonomi keluarga, tapi pekerjaan sebagi guru honorer tak bisa membantu apa-apa kepada keluargaku.Ibu setelah menjalani perawatan kemudian tertidur pulas. Terlihat wajahnya yang sudah lelah itu. Belum juga pasti kepikiran perkataan nenek tadi. Di lantai, Reza juga tertidur pulas. Tak lama, seorang perawat masuk untuk pengecekan pasien. Setelahnya, ia memanggilku dan meminta untuk

  • 100 Hari Bilang Sayang   Bab 46 - Menunggu

    Keesokan harinya, Ulma bangun dari tidur nyenyaknya. Kebetulan juga ia mau menunaikan salat subuh berjama’ah di mushola penginapan tersebut. Sembari memakai mukena, tak lupa ia mengecek sesuatu. Dengan harapan, ia bisa bertemu dengan Denias. Tak lama, adzan subuh berkumandang. Inilah saatnya Ulma beraksi. Ia keluar dari kamarnya dan tak lupa menguncinya. Setelahnya, ia berjalan menuju ke mushola, sesekali ia memantau sekitar untuk melihat batang hidung dosen idolanya itu. Sesampainya di depan mushola, ia beberapa kali menunggu kehadiran Denias. Tapi, tak kunjung muncul juga. Sampai akhirnya, Tuti yang datang lebih dahulu di masjid, menengok kelakuan Ulma yang tak kunjung masuk masjid. Ia pun meninggalkan sajadahnya dan menghampiri Ulma. “Duh, dari tadi gak nongol-nongol ya. Di dalam juga gak ada, apa dia salat sendiri?” gumam Ulma. Tuti kemudian berada di belakangnya, dan mendengar omongan darinya. Melihat temannya sedang risau, sebuah kaplokan kencang dari Tutut terhempas di punggu

  • 100 Hari Bilang Sayang   Bab 45 - Masalah yang Tak Kunjung Berakhir

    Prabu masih tak percaya mengenai kampus yang memperlakukannya seperti ini. Lantas, Alvaro pun menyanggahnya dengan melihatkan bukti berupa surat keterangan dari kampusnya secara resmi di hadapan Prabu. Terlebih, ia juga sudah mengkonfirmasi dengan sang ketua program studi, Pak Abimana dan dikonfirmasi bahwa benar ia tidak masuk dalam daftar dosen pendamping PKM tahun ini. Prabu mengeluarkan kekecewaannya karena ia tak dianggap, padahal beberapa tahun silam ia meloloskan beberapa tim-nya bahkan hampir semuanya lolos. Denias menenangkannya, dengan alasan mungkin kampus ingin adanya pembaruan. Sehingga, mau tidak mau kampus harus meregulasi semua timnya. Ia juga menambahkan, bahwa dosen pendamping yang tahun lalu yang meloloskan selain Prabu juga tidak diikutkan. Dengan begitu, Prabu merasa setidaknya ia tak sendiri. Ia pun bernapas lega. Sayangnya, berita lebih buruknya adalah besok subuh mereka harus pulang lebih awal karena mereka berdua wajib hadir dalam rapat dengan dosen pendamping

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status