Jam dinding Hawai Bar menunjukkan waktu delapan malam. Prabu tiba di sana lebih dulu. Sekitar sepuluh menit ia duduk, lantas segera menghubungi temannya kembali menanyakan keberadaan mereka. Tak lama menunggu sekitar tujuh menit, Alvaro dan Denias turun dari taxi. Mereka berdua memasuki Bar tersebut dan Prabu yang melihat segera melambaikan tangan kepada dua sahabatnya itu untuk memberikan tanda tempat nongkrongnya. Mereka berdua kemudian menuju ke tempat Prabu duduk.
“Lo berdua lagi balas dendam sama gue ya!” sindir Prabu kepada kedua sahabatnya yang telat datang. Sama halnya saat Prabu telat datang di perhelatan tadi pagi.
“Makanya, lain kali jangan mulai dulu. Tumbenan lo kalau urusan alkohol nomor satu lo!” jawab Denias yang balik menyindir.
Alvaro melerai perdebatan kecil mereka dan meminta Prabu segera menyiapkan pesanan.
“Hei, you two! kalian ini dosen tapi sekali ribut kaya anak SD. Oke Prab, sebelum kita mendengar permintaan maaf dari lo, beernya siapkan dahulu dong.” pinta Alvaro kepada Prabu.
Prabu pun menuruti perkataan Alvaro karena dia yang tertua di geng tersebut. Prabu memanggil seorang pramusaji dan memesan tiga gelas beer porsi "Big" serta camilan kentang goreng sekalian bill pembayaran. Tak lama menunggu, pramusaji akhirnya membawakan pesanan mereka. Prabu kemudian mengeluarkan kartu ATM-nya dan memperlihatkan kepada kedua sahabatnya bahwa ia yang membayar semua pesanannya. Hal itu disambut dengan tepuk tangan oleh Denias yang kegirangan.
Pembayaran beres, beberapa saat setelah pramusaji itu pergi, Denias dan Alvaro kemudian menagih permintaan maaf dari Prabu. Sambil menghela napas, ia pun akhirnya melakukan hal tersebut di hadapan keduanya.
“Oke, guys. Right here … ummm Hawai Bar yang nuansa syahdu ini jadi saksi,“ ucap Prabu yang terbata-bata.
“I’m Prabu Bagaskara, meminta maaf to all my bestfriends atas kesalahan saya yang telat saat acara tadi pagi. And once again, thank you karena sudah membantuku terhindar dari hukuman Mr. Abimana. I love you guys. Gue bersyukur kalian selalu bersamaku. Thank you so much. Sebagai permintaan maaf dan terima kasihku atas kedua sahabatku ini, segelas beer ini ku persembahkan kepada kalian. Cheers!” kata Prabu sambil mengangkat gelasnya.
Rayuan Prabu akhirnya berbuah manis, Denias dan Alvaro pun luluh dengan kata-kata Prabu dan menyorakinya.
“Lagian lo kenapa tumben tuh telat? Biasanya, lo tuh disiplin banget soal waktu!” tanya Alvaro yang heran. Prabu yang akan menjawab Alvaro, tiba-tiba dipotong oleh Denias.
“Stop!” potong Denias.
“Napa lo?” Tanya Alvaro kepada Denias.
“Sebelum lo jawab, lebih baik kita minum dulu. Biar semakin akrab. Cheers!” sorak Denias kepada kedua temannya.
Mereka bertiga mengangkat gelas dan bersulang. Mereka bersama-sama minum beer di gelas masing-masing.
“Oh damn, ini beer terbaik! Permintaan maaf lo diterima Prab.” sahut Denias.
Akhirnya mereka meletakkan gelasnya masing-masing. Denias pun mempersilahkan Prabu untuk melanjutkan ceritanya kembali. Prabu menceritakan kronologinya ia bisa terlambat. Ia pun menceritakan kejadian dimana ia hampir menabrak ibu-ibu yang merupakan peserta pelatihan di kampus. Bahkan, ada orang yang lebih memilih membela wanita tua itu dibandingkan dirinya, padahal wanita tua itu yang salah karena berjalan di jalan yang khusus untuk dosen.
“What, lho mau nabrak old lady?” tanya Denias.
“Ya gak lah, jelas-jelas gue gak salah. Gue lewat di jalur dosen. Ibu itu yang salah! Seenaknya dia lewat jalanan yang bukan miliknya. Sudah jelas-jelas ada papan rambu disana.” jawab Prabu dengan emosi. Ia pun akhirnya menenggak minuman beernya lagi dan menyisakan setengah gelas.
“Ya kamu maklumin aja, Ibu itu mungkin baru pertama kali ke kampus kita. Wajarlah kalau dia tidak tahu.” sanjung Alvaro.
Namun, Denias tidak bisa menerima jawaban dari Alvaro karena kampus mereka bekerja sudah disediakan papan rambu. Bahkan, setiap orang yang baru masuk ke Universitas Pandawa pasti diberikan road map untuk mempermudah mereka agar tidak salah jalan. Alasan diberikan hal tersebut karena pegawai dan pengajar di sana rata-rata mengendarai kendaraan sport yang melaju dengan kecepatan tinggi.
“Var, apa yang lo bilang barusan itu sama seperti orang yang membela wanita tua itu. Gila! Gue diceramahin! Seorang Prabu Bagaskara yang keren ini diceramahin sama cewek yang selevel aja gak sama gue! Bisa-bisanya gue disamaain dengan kerjaan dia sebagai guru. Anjir! “ ucap Prabu yang meluapkan kekesalannya.
“Dan parahnya lagi, dia masuk ke tim desain gue. Otomatis gue selama sebulan ketemu terus lihat mukanya dia. Lihat mukanya aja gue sudah muak!” kata Prabu yang marah kemudian menenggak minumannya lagi hingga sampai menyisakan beer seukuran jempolnya.
Denias dan Alvaro akhirnya terdiam. Mereka mengerti bahwa Prabu sedang emosi. Karena ada yang berani menceramahi dia, bahkan menyamakan status pekerjaannya terlebih dari nilai gajinya pun berbeda. Prabu meyakini bahwa dua orang wanita tadi sedang menjebaknya agar bisa mendapatkan uang dengan cepat. Denias yang sudah mulai tidak tahan dengan amarah Prabu, akhirnya mengalihkan topik dengan menanyakan keberadaan Syifa, istri Alvaro. Sayangnya, Syifa tidak bisa ikut karena dia ada seminar internasional di Singapura selama seminggu dan tidak boleh dihubungi agar Syifa bisa fokus belajar psikologi. Mengingat pemintaan dari Syifa, ia menjadi sedih karena ia kangen sekali mendengar suara dari Syifa, istrinya.
“Syifa … kenapa kamu tega, aku gak boleh menghubungimu selama seminggu? I miss her so much.” keluh Alvaro yang kangen berat dengan Syifa.
“Oh … my man, ada yang sedang kangen kasih sayang istrinya. Ayo kita tos lagi gelasnya sebagai rasa support kita terhadap Alvaro. Cheers!” kata Denias kemudian mereka bertiga bersulang lagi dan menenggak minuman tersebut.
Rasa kesedihan Alvaro semakin bertambah saat acara live music di Bar tersebut. Kebetulan ada penyanyi yang menyanyikan lagu LDR milik Raisa. Alvaro pun akhirnya hanyut dalam lagunya dan meluapkan kesedihannya sambil merengek memanggil nama Syifa. Denias dan Prabu yang panik karena pelanggan di sana melirik mereka, akhirnya mereka memutuskan pindah tempat ke Cosmo Club yang tak jauh dari Hawai Bar. Tujuannya agar tangisan Alvaro tidak terdengar oleh orang lain, sehingga membutuhkan tempat yang ramai dan bising. Prabu kemudian membawa Alvaro dan Denias dengan mobilnya menuju ke Cosmo Club.
Mereka pun masuk ke Cosmo Club, tiga botol alkohol disajikan di meja. Mereka akhirnya menengguk minuman keras lagi. Suara bass yang menggelegar dari racikan DJ Potato yang terkenal itu membuat semua orang di sana menari dan meloncat dengan riuhnya.
“Sedih banget, biasanya hari Sabtu gini libur kerja malah disuruh berangkat ke kampus. Tapi kita gak boleh menyia-nyiakan weekend malam ini. Puas-puasin malam ini. Wohoooo….” sorak Denias kepada kedua temannya itu. Mereka pun akhirnya tos minuman mereka dan menenggak bersamaan.
Selama berjam-jam di dalam Cosmo Club, Denias mulai melancarkan aksinya saat ia melihat wanita-wanita cantik dan badan yang aduhai sedang menari. Ia pun akhirnya membawa botol minumannya dan menuju ke tempat para wanita itu. Prabu lebih memilih menemani Alvaro minum, selain itu juga menjaganya karena diantara mereka bertiga yang paling gampang tumbang saat mabuk adalah Alvaro. Alvaro sudah menghabiskan dua botol, kemudian ia memanggil pramusaji untuk memberinya sebotol Vodka. Prabu melarangnya karena Alvaro sudah sangat mabuk. Ia meminta pramusaji itu membawakan satu botol alkohol lagi. Dengan melanturnya, Alvaro menanyakan hal-hal aneh kepada Prabu.
“Prab, lo yakin gak mau nikah? Nikah itu menyenangkan loh. Gue sedih kalau lo gak menikah Prab, kasihan banget hidupmu.” ujar Alvaro yang melantur.
“Hei hei, lo mabuk nih. Dah gak usah ngelantur.” Prabu yang mencoba menenangkan sahabatnya yang mabuk.
“Prab, gue bilang gini karena gue merasakan sendiri efeknya. Selama ini gue gak pernah se-absurd ini. Ketika lo menikah dengan orang yang benar-benar mencintai lo, lo bakal bahagia karena ada sensasi yang tak terduga.” Omongan Alvaro membuat Prabu heran.
“Maksud lo sensasi hubungan suami istri?” sindir Prabu yang akhirnya membuat Alvaro was-was akan omongannya dan berusaha mengklarifikasi apa yang ia maksud.
“Bu… bukan itu saja! I mean … lo ada yang ngurus gitu. Jadi, lo gak bakal capek mengurus rumah dan entah mengapa masalah itu jadi simple aja. Percaya deh sama gue.” Alvaro yang mencoba mengklarifikasi pernyataannya kepada Prabu.
“Jujurly, setelah lo putus dari Ninda, lo agak berubah Prab. Lo dulu orang yang ceria, but setelah Ninda pergi, lo sekarang sensi kalau ada cewek yang mendekati lo. Gue khawatir sama lo. Prab,” ungkap Alvaro menambahkan kekhawatirannya akan masa depan Prabu.
“Come on, buka hatimu lagi. Biar sahabatmu ini gak sedih.” pinta Alvaro sambil menatap Prabu.
“Iya, nanti kalau sudah ketemu kandidat yang cocok ya! Thanks udah khawatir sama gue.” jawab santai Prabu sambil menenggak minumannya lagi.
“Gue yakin, suatu saat lo punya wanita yang tulus cinta sama lo, peduli dan menyayangi lo dan pastinya lebih baik dari Ninda.” ucap Alvaro sambil menepuk pundak temannya yang jomblo itu.
Setelah meneguk beberapa saat, Denias datang dengan membawa dua wanita incaran dipelukannya. Denias mengatakan kepada Prabu ada teman wanitanya yang ingin berkenalan dengan Prabu. Alvaro mencolek Prabu, agar memanfaatkan waktu yang ada untuk membuka hatinya kembali dan mencari pengganti Ninda. Prabu dengan senyumnya, akhirnya menuruti permintaan sahabatnya. Dirangkulah wanita seksi itu dan mereka meneguk minuman bersama. Denias pun girang.
“Wow, hari ini gue terharu. Akhirnya, kita bertiga sudah punya pasangan semua. Mari kita bersulang buat merayakannya.” sahut Denias yang kegirangan. Mereka semua bersulang dan menikmati malam yang seru itu.
Pesta pun berakhir pada pukul satu pagi. Prabu memesankan taxi untuk kedua wanita seksi itu agar pulang dengan selamat dan menghindari menambah masalah karena Alvaro yang sudah mulai sempoyongan. Denias merengek karena ia ingin mengantarkan wanita satu malamnya itu. Prabu tetap acuh dan segera meminta sopir itu pergi. Prabu akhirnya memboyong Denias dan Alvaro yang sudah dibatas kewajaran orang mabuk. Alvaro sudah tak sadarkan diri, sedangkan Denias yang sudah mabuk berat dan mengomel terus. Ia pun membawa keduanya ke apartemennya.
Alvaro dan Denias akhirnya tergeletak di kamar cadangan Prabu. Prabu kemudian pergi mandi untuk menurunkan kadar alkohol di dalam tubuhnya. Selama mandi, ia merenung karena tersadar dari omongan Alvaro. Ia mengakui setelah putus dari Ninda, sikapnya berubah menjadi dingin dan setelah itu tidak ada satu wanita yang menarik baginya, kecuali Ninda. Ia bergumam apakah ia masih mencintai Ninda? Akan tetapi jika mengingat kejadian itu, Prabu merasa sakit hati kepadanya karena selama ini cintanya bertepuk sebelah tangan. Prabu tidak tahu bagaimana perasaannya apakah ia harus memaafkan Ninda atau tidak.
Weekend terakhir sudah terlewati, hari pelatihan pertama pun tiba. Semua rombongan yang saat hari sabtu kemarin kembali menapaki halaman Universitas Pandawa, bedanya mereka tidak ke Balairung lagi. Jika dilihat, nampak sekilas seperti anak kampus yang berangkat kuliah di gedung. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, beberapa orang mulai memasuki ruangan masing-masing termasuk Aku. Di dalam gedung Sadewa ruangan 3E, Aku berdo’a agar selama pelatihan nanti berjalan lancar, tidak terjadi masalah dan tidak membuat kesalahan kepada Pak Prabu. Tak lama, tim desain yang satu kelompok denganku datang. Kami akhirnya berkenalan. Pertama, yang menjadi ketua kelompok tiga bernama Pak Emil dari Bandung, berikutnya yang umurnya tak jauh dari Pak Emil adalah Bu Zeva yang berasal dari Palangkaraya, dan yang terakhir ia guru yang paling muda di kelompok bernama Bu Nafis yang berasal dari Makasar. Mereka pun sempat berbincang dan bercanda, walau di lubuk hatiku di hantui rasa was-was akan pelatihan hari pe
Setelah introspeksi tiga kesalahannya di waktu lalu, ditambah masih ada 25 hari aku masih bertempur di kampus tersebut dan tahu bahwa perjalanan ini bakal lebih berat. Dengan mengucapkan basmalah, aku merapikan jilbab, kemudian melangkahkan kaki keluar dari pagar kos untuk siap mengahadapi sisa waktu di Universitas Pandawa. Pelatihan hari keempat dimulai. Seperti biasa, kampus penuh dengan para peserta pelatihan proyek. Ulma yang berada di parkiran motor menungguku di atas joknya. Tak lama ada suara memanggilnya dari kejauhan. “Ulma!” teriakku. Ulma berbalik dan menghampiri. “Eka, are you ready today?” tanya Ulma yang penuh semangat, karena temannya itu sedang berusaha bangkit agar tidak insecure lagi. Hal itu ku jawab dengan teriakan “iya” secara lantang sembari mengepalkan kedua tangan. Akhirnya, kami berdua menuju ke lantai 3 gedung Sadewa, tempat pelatihan kami. Kebersamaan tersebut akhirnya berhenti saat di ruangan 3E, dimana tempat tersebut merupakan ruangan pelatihanku. Kami
Akhirnya, tugas sesungguhnya datang. Tugas tersebut adalah membuat desain modul berdasarkan bab yang sudah ditentukan bersama kelompoknya. Kelompok 3 yang terdiri dari aku, Pak Emil, Bu Zeva dan Nafis mendapatkan materi "lingkaran". Kami berempat membuat grup chat lagi untuk pembahasan lebih mendetail. Sampai tak terasa, pelatihan hari itu berakhir pada jam dua sore. Kami semua diminta mengumpulkan hasil desain modulnya pada hari senin depan. Artinya, masih ada waktu tiga hari untuk mengerjakannya. Selama tiga hari, Aku dan kelompokku berkutat mendesain modul. Aku dan Pak Emil bagian desain. Sedangkan Nafis dan Bu Zeva bagian tipografi atau penulisannya. Sampailah tiba hari senin, kami semua berkumpul lagi di kelas. Di dalam sana, kami tengah sibuk mengecek persiapan yang akan ditampilkan saat presentasi nanti. Tak selang beberapa lama Prabu, Pak Nofal dan Nadeo memasuki ruangan. Semua tampak biasa saja di awal, terkecuali Prabu hari ini. Entah kenapa raut mukanya lebih seram dibandin
Esok harinya, pelatihan berjalan seperti biasa. Yang membedakan hanyalah Prabu yang absen dua hari karena mendapatkan sanksi dari kampus. Sehingga, yang mengisi materi hanyalah Pak Nofal saja. Sebelum pelatihan berakhir, Pak Nofal memberi tahu kepada peserta di ruangan 3E mengenai kehadiran Prabu yang direncanakan besok sudah bisa kembali mengajar. Semua peserta di ruangan tersebut langsung berkeluh kesah karena merasa tidak damai. Rasanya seperti akan maju ke medan tempur lagi setelah suasana damai. Salah satu peserta protes dan meminta untuk Pak Nofal saja yang mengajar karena selama absennya Prabu, pelatihan berjalan lancar. Namun, Pak Nofal tidak bisa menolak karena sudah termasuk SOP proyeknya. Update mengenai kehadiran Prabu akan dikabari nanti malam melalui chat grup. Akhirnya Nadeo dan Pak Nofal menutup kegiatan. “Aduh, besok Pak Prabu datang.” keluh Nafis “Harus beli minyak kayu putih lagi nih. Belum apa-apa malah sudah pusing lagi.” Bu Zeva kemudian mengeluarkan minyak puti
Memang benar apa kata orang. Jangan pernah sekalipun mengharapkan ekspektasi yang terlalu tinggi, karena ujung-ujungnya kalau tidak sesuai sakit juga, terlebih dengan manusia semacam Prabu Bagaskara. Inilah yang dirasakan kelompok tiga saat ini. Rasanya, harapan kami untuk acc masih panjang. Layaknya mahasiswa yang sudah capek-capek ngetik sampai bela-belain lembur dan begadang, harapan untuk acc masih belum direstui oleh semesta. Entah apa yang ada di kepala Prabu yang mengharuskan kami merevisi lagi. Setelah seharian kemarin tidak ada kabar bahkan membalas pesan dari Pak Emil pun tak digubris. Tiba-tiba esoknya grup chat kelompok tiga terdapat pesan dari Pak Emil. Ternyata saat malam hari, Prabu sempat membalas chat Pak Emil, namun beliau baru membukanya hari ini. Pak Emil Kelompok 3 Malam Pak Emil. Maaf, saya baru membalas. Silahkan besok kumpul di ruang kelas 3E pukul tujuh beserta print outnya. E-mail yang bapak kirim kemarin belum saya lihat. Terima kasih. (Balasan dari Pak Pr
Kelompok tiga dari kelas 3E kembali ke rutinitas semula, yaitu bimbingan. Tepat di depan ruangan Prabu kami berkumpul lagi. Kenapa? Revisi! Lelah? Pasti! Setiap pagi kami absen hadir terlebih dahulu dibandingkan penghuni yang lain, terkecuali Satpam dan office boy. Anggap saja, lagi nostaligia bimbingan skripsi. Tak lama, Prabu datang dan mempersilahkan kami masuk ke ruangan. Aku yang akan masuk, diberhentikan oleh Pak Emil. Aku dan yang lainnya menoleh satu sama lain. “Bu Eka, anda sakit?” tanya Pak Emil yang khawatir karena aku terlihat pucat. Aku menggelengkan kepala yang artinya baik-baik saja. “Haduh, pasti kamu lelah. Ayo kita semua temani Bu Eka. Cuzzz ….” perintah Pak Emil. Bu Zeva dan Nafis menyanggupi dan memasuki ruangan Prabu. Setelah Prabu menarik kursi duduknya, aku menyodorkan kertas yang sudah ia print lagi. Kertas yang disobek oleh Prabu malam kemarin, tidak ia tunjukkan. Prabu merasa tak enak hati padanya karena sudah sarkas kepadanya. Karena egonya yang terlalu
Prabu kembali ke rutinitas semula. Kali ini, ia ke kampus membawa motor kesayangannya. Saat memasuki ruangan dosen, ia dicegat oleh Alvaro dan Denias yang sudah menunggu di ruangannya. “Good morning Prabu,” sapa Denias. “Kenapa lo berdua?” tanya Prabu keheranan dengan tingkah kedua rekan kerjanya itu. “We need to talk, seriously, now!” ajak Alvaro dengan ekspresi seriusnya. Prabu mengenduskan napas, kemudian memasuki ruangannya dan duduk di kursi kerjanya sambil menyalakan komputernya. Pagi-pagi sudah mengajak berbicara serius. “Right now,I can’t ….” tolak Prabu dengan manjanya. “No, no … ini menyangkut perdamaian dan hubungan TRIO PAD di masa depan.” ucap Denias. Prabu memejamkan mata sambil menyenderkan kepala di kedua tanggannya. Karena saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal pribadi di kampus. Ia mengatakan akan terlihat tidak etis di antara civitas akademik dan dianggap tidak bekerja secara professional. “Tonight at Sky Lounge, 10 pm, how?” balas Prabu. “Ha
Prabu tengah sibuk menuliskan sesuatu di kertas. Tak lama, ia meletakkan pulpennya. Pak Emil, Bu Zeva dan Nafis langsung mengambil napas secara bersamaan. Bersiap-siap untuk menerima perintah dari Prabu. “Apakah ini sudah maksimal tidak bisa diubah lagi?” tanya Prabu. “Sudah tidak bisa Pak,” jawab Pak Emil dengan senyum pemaksaannya. Demi disahkan oleh Prabu. Prabu kemudian mengusap dahinya. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Sebenarnya, ia sudah capek menghadapi beberapa peserta yang selalu mendapat revisi darinya, tapi dia menuntut kesempurnaan. Belum lagi urusan dengan mahasiswanya yang minta bimbingan tugasnya. “Oke tidak mengapa. Ini sudah jauh lebih baik. Sebelum saya sahkan, mohon untuk meningkatkan lagi warnanya. Ini masih terlalu pucat, dan juga beberapa font tolong dilihat proporsinya ya. Kita lanjutkan besok lagi. Siang ini saya harus pergi karena ada acara keluarga.” Prabu menyerahkan kembali hasil pekerjaan mereka. Pak Emil kemudian mengangguk. Saat mereka berbalik da