Suara gemuruh dari langit diikuti petir yang menyambar membuat suasana di sekitar tambah mencekam. Seorang pria berambut merah terang nampak tergeletak di atas rerumputan dengan lubang di perutnya. Darah tidak kunjung mengering dan malah mengalir semakin deras.
"Inilah akhir kisahmu, Kesatria Luke! Kematian akan segera menjemputmu!" seru Naga emas generasi kedua.
Luke, kesatria pemburu naga emas itu masih terus berusaha bangkit. Namun rupanya petir yang kuat kini diarahkan tepat ke tubuh pria tersebut. Hingga kesatria terakhir dalam sejarah pemburu naga emas Rumania itu kehilangan nyawanya.
Tidak ... masih belum. Aku harus membunuh naga lemah itu!
Luke langsung membuka matanya lebar-lebar. Kini ia berada di tempat yang gelap sendirian. Ia menoleh ke segala arah dengan wajah bingung. Hingga setitik cahaya datang menghampirinya.
"Wahai kesatria yang penuh penyesalan. Mengapa Anda menolak untuk pergi ke alam sana?"
Luke mengerutkan dahinya. "Siapa? Siapa yang berbicara?"
"Saya ada di sini, Kesatria."
Luke mundur beberapa langkah dari cahaya tersebut. Ia menarik pedang lusuhnya yang terbawa sampai mati. Lalu ia mencoba untuk menghunuskan pedang itu ke arah cahaya.
"Mengapa aku bisa berada di sini?! Aku harus membunuh naga itu!" seru Luke.
"Anda terlalu lemah untuk melakukannya, Kesatria."
"Beraninya kamu meremehkanku! Aku adalah Kesatria terakhir di Rumania, Luke Ganendra! Tidak ada Naga yang bisa lolos dari pedangku! Akulah yang terkuat!"
Tiba-tiba saja cahaya yang semula kecil, kini mulai membesar hingga membuat pandangan Luke terhalang. Ia terjatuh, menutup matanya dengan kedua tangan.
Sial, silau sekali!
"Kesatria Luke Ganendra. Karena tingkah Anda yang tidak sopan, saya akan memberikan hukuman."
"Berhenti bicara omong kosong!" seru Luke.
"Di dunia seberang ada lebih banyak orang seperti Anda. Maka dari itu saya akan mengirim Anda ke tempat ke sana, agar Anda bisa sedikit merasa rendah diri."
Cahaya itu semakin menyebar ke seluruh tempat. Suhu di sekitar berubah menjadi panas hingga membuat Luke merasa terbakar. Tiba-tiba saja ...
Bugh!
Sebuah pukulan telak mengenai rahangnya. Luke langsung tersungkur. Untuk pertama kalinya ia dipukul sekuat ini. Perlahan ia membuka matanya yang sedari tadi terpejam.
Tubuhnya menegang begitu pandangannya mulai jelas. Kini di hadapannya, terlihat pemandangan yang begitu asing. Kereta besi tanpa kuda, istana tinggi di mana-mana, dan ... orang-orang yang terlihat seperti dukun dengan rambut pirang.
"Sial, tempat apa ini?" gumam Luke.
"Wah! Sepertinya kepalanya sedikit bermasalah. Kau memukulnya terlalu keras, Bran!"
Pria yang berdiri paling depan itu kembali melayangkan pukulan ke arahnya. Luke tersenyum miring, ia sangat ahli dalam menghindari pukulan lurus seperti itu. Ia hanya perlu edikit memiringkan kepalanya, kemudian ...
Bugh!
Pukulan itu tetap mengenainya.
~~~
"Tuan Joan, mengapa wajah Anda berantakan seperti ini?"
Luke mengerutkan dahinya saat melihat wanita tua yang menyambutnya begitu turun dari mobil. Terutama dengan nama itu, sangat mengganggunya.
"Siapa itu Joan?" gumam Luke nyaris tanpa suara.
Wanita itu mulai meraba-raba luka di sekitar wajahnya. Namun Luke sama sekali tidak bergerak, rasanya sudah lama tidak dikhawatirkan seperti ini.
"Ayo masuk, Tuan Joan."
Begitu memasuki lorong panjang, Luke terus mengerutkan dahinya. Pandangannya ke segala arah memandangi dinding mewah berlapis banyaknya gambar aneh.
"Siapa orang-orang ini? Apa mereka pahlawan? Mengapa wajah mereka dilukis seperti ini?" tanya Luke.
Wanita tua itu berhenti, lalu ia berbalik dengan wajah cemas. Perlahan ia mendekat sembari menempelkan punggung tangannya di dahi Luke.
"Apa Tuan terluka di sekitar kepala?"
Luke menggeleng cepat. "Hanya perutku sedikit berlubang. Tapi aku baik-baik saja."
Wanita itu sontak membulatkan kedua matanya mendengar ucapan Luke. Secepat mungkin ia menarik tangan Luke menuju ke sebuah ruangan yang tidak jauh dari tempat tersebut. Nampak seorang gadis berambut pirang tengah menatap dirinya di cermin. Namun aktivitas gadis itu harus terhenti saat pintu kamarnya dibuka dari luar.
"Saya tidak mengizinkan kamu untuk masuk, Suster Elle!" seru gadis tersebut.
Wanita tua itu menggigit bibir bawahnya. Lalu ia mendorong punggung Luke agar berdiri satu langkah di depannya.
"Kalau sudah tahu fisikmu lemah, lebih baik jangan berkelahi, Joan!" tukas gadis tersebut sembari menatap Luke tajam.
Luke menaikkan sebelah alisnya, lalu menoleh ke arah Elle. "Siapa perempuan menyebalkan yang terlihat seperti penyihir itu?"
Elle langsung membulatkan kedua matanya. "Maaf Nona Caroline! Sepertinya kepala Tuan Joan sedikit terpukul saat berkelahi."
Secepat mungkin Elle berjinjit dan membisikkan sesuatu pada Luke. "Nona Caroline adalah tunangan Anda! Jangan menyebutnya penyihir!"
"Tinggalkan kami berdua, Suster Elle!" titah Caroline sembari bangun dari tempat duduknya.
Setelah kepergian Elle, Caroline baru mulai melangkahkan kakinya. Ia berjalan ke arah Luke yang nampak seperti orang bingung. Sebelah kaki Caroline bergerak menendang tulang kering pria tersebut cukup keras.
"Awh!"
Luke meringis hingga jatuh terduduk. Kedua tangannya kini memeluk erat tulang kering yang ditendang oleh Caroline.
"Benar, seperti itu. Rakyat jelata sepertimu harusnya berlutut saat bicara denganku!" kata Caroline diikuti senyum miringnya.
Luke menengadahkan kepalanya. Kini ia bisa melihat dengan jelas gadis yang ada di hadapannya. Walaupun cantik, namun sikap angkuh dan cara bicaranya sangat menjengkelkan. Rasanya Luke ingin sekali mengajarkannya sopan santun.
Tak!
Kini dahinya yang harus mendapat sentilan keras. Luke kembali meringis, rasanya sangat panas dan nyeri.
"Mengapa kau melakukan itu?!" protes Luke.
Caroline membulatkan matanya. "Tentu saja karena kau berani menatap mataku!"
Luke mengerutkan dahinya. "Memangnya kenapa? Apa tidak boleh menatap kekasih?"
Plak!
Luke membulatkan matanya sembari mengusap pipi sebelah kanan yang menjadi sasaran dari telapak tangan lembut tersebut.
"Jangan bermimpi jadi kekasihku! Setelah Kak Bran berhasil membangun perusahaannya sendiri, aku akan mencampakkanmu!"
Luke mematung di tempatnya.
Aku ... mau dicampakkan?
Luke merasa sangat terkejut. Selama ini tidak ada yang bisa mencampakkannya. Semua gadis ingin menjadi kekasihnya. Ia sampai tidak sadar saat Caroline sudah pergi meninggalkannya di tempat tersebut.
"Tempat sialan macam apa ini?" gumam Luke.
Luke memejamkan kedua matanya dengan tangan terkepal kuat. "Kalau begini, aku jadi tidak tahan ingin memukul wajah cantiknya!"
Tiba-tiba saja setitik cahaya yang pernah ditemuinya itu muncul. Perlahan mendekat hingga berada tepat di depan Luke.
"Selesaikan semua tugasnya, maka Anda bisa kembali ke tempat tinggal asal Anda."
Luke menatap cahaya itu dengan mata berbinar. Ia tersenyum penuh semangat. "Berapa banyak tugasnya?"
"Hanya 100 tugas saja. Untuk awalan, Anda hanya perlu terus menahan Nona Caroline agar tidak mencampakkan Anda."
Perlahan senyum di wajah Luke pudar. Ia tertawa, namun air matanya menetes. Ia mulai menarik napas dalam-dalam.
"Cabut saja nyawaku, Tuhan!" teriak Luke sekuat tenaga.
Sudah satu minggu sejak Luke tersesat di dunia yang asing ini. Ia mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan. Hanya saja ia masih belum bisa menerima satu hal.Tubuhnya.Luke mematung sembari memandangi tubuhnya yang kurus seperti hewan kelaparan. Otot kekar dan perut 6 kotak yang semula menjadi ciri khasnya, kini sudah menghilang."Apa yang harus ku lakukan pada orang ini? Tubuhnya seperti mayat hidup," gumam Luke.Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. Luke berbalik dan mendapati sosok Caroline yang sudah mendelik. Gadis itu melempar pakaian yang ada di tangannya ke arah Luke."Beraninya kau telanjang di depanku!" jerit Caroline.Luke mengerutkan dahinya. Ia melirik ke arah tubuh telanjangnya. Lalu ia mulai mendekati gadis itu."Memangnya kau belum pernah melihat tubuhku? Kita 'kan sudah bertunangan."Sebelah tangan Luke mulai bergerak menyentuh rambut gadis tersebut. Mata sendunya menatap lurus ke arah daun kering yang menempel di sana. Secepat mungkin Caroline mundur hingga tubuhnya
Luke kembali memasuki ruangan yang beberapa detik ditinggalkannya. Begitu tiba di dalam, ia langsung dihadiahi tatapan penuh kebencian, terutama dari Bran."Untuk apa kau datang ke sini lagi?" tanya Bran.Luke menaikkan sebelah alisnya. "Aku tunangan Caroline. Apa kau butuh alasan lain mengapa aku ada di sini?"Caroline sontak bangun dari tempat duduknya. "Cukup, Joan! Jangan buat keributan!"Akhirnya Luke menuruti ucapan gadis itu dan duduk di kursinya. Ia menatap tajam ke arah Bran. Pria itu nampak sudah sangat akrab dengan kedua orang tua Caroline. Berbeda jauh dengan dirinya.Tiba-tiba saja saat Luke hendak mengambil gelas miliknya, Bran dengan sengaja menyenggol gelas tersebut hingga jatuh ke lantai. Pecahan gelas berserakan ke mana-mana. Viola, ibu Caroline, terlihat sangat marah."Cepat bereskan kekacauan yang kau buat! Dasar orang miskin!" bentak Viola.Luke mengerutkan dahinya. Ia hendak membuka mulutnya, namun melihat tatapan merendahkan dari semua orang, membuatnya memilih
"Baru surat pertama saja sudah gagal."Luke hanya cemberut sambil memijat kakinya. Cahaya itu sedari tadi terus berputar di kamarnya sembari mengulang kalimat yang sama."Sulit sekali berlari di tubuh yang hanya ada tulang tanpa daging!" kata Luke tidak mau kalah."Waktu untuk tugas ini hanya 3 hari. Jika pada hari ketiga Anda tidak berhasil, maka Anda akan mendapat hukuman."Mata Luke langsung membulat. "Sejak kapan ada waktunya? Aku tidak melihat ada—"Ucapan Luke terhenti saat kertas yang ada di dalam lemarinya itu melayang, lalu berhenti tepat di depan matanya."Perhatikan baik-baik di sudut kiri surat ini. Ada waktunya, bukan?"Luke mendecih dengan wajah kesal. Bisa-bisanya ia tidak melihat hal tersebut. Padahal itu salah satu yang paling penting."Menyebalkan!" kata Luke sembari mengusap wajahnya dengan kasar.Luke mengintip keluar jendela. Langit malam nampak cerah. Sorot matanya menajam, secepat mungkin ia kembali mengganti pakaian dan mengenakan sepatu."Anda mau pergi ke man
Luke tersenyum begitu cerah. Padahal saat ini pipinya terluka parah karena tertancap belati. Caroline yang sedang berkunjung sampai terlihat bingung. "Apa kau sangat senang karena bertambah jelek?" kata Caroline. Luke tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Caroline dengan senyum yang tidak kunjung luntur. "Berhenti menatapku seperti itu!" seru Caroline sembari melangkan pukulan di bahu Luke. "Aku senang kamu baik-baik saja," kata Luke. Caroline membulatkan matanya. "Jangan berani menggunakan kata kamu padaku! Kita tidak sedekat itu!" Luke menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Itu 'kan cuma kata-kata." "Kau harus bicara formal padaku!" Luke hanya mengangguk saja. Pandangannya kembali menoleh ke arah jendela untuk menikmati cahaya senja. Entah berapa lama ia tidak sadarkan diri. Begitu bangun, waktu sudah sore. "Kau sudah makan, Joan?" tanya Caroline. Luke menoleh, lalu menggeleng. "Memangnya kenapa?" Caroline menunjuk makanan yang ada di meja rumah sakit. "Suster Elle memba
Luke terus berjalan walau kakinya terasa hampir seperti lumpuh. Aroma itu semakin kuat dan masuk ke sebuah bar. Tanpa pikir panjang, ia langsung masuk ke tempat tersebut. Namun tiba-tiba langkahnya dipaksa berhenti oleh dua penjaga bertubuh besar yang langsung menyeretnya kembali keluar. Salah satunya menatap Luke dengan sorot tajam. "Tolong kartu identitasnya." Luke menaikkan kedua alisnya dengan bingung. "Kartu identitas? Apa semacam kartu emas saat naik level?" Dua penjaga itu saling beradu pandang dengan wajah bingung. "Bicara apa orang ini?" "Aku tidak punya kartu seperti yang kalian minta, tapi ..." Luke mendesis pelan saat bau itu mulai samar lagi. "Sial! Sepertinya mereka mau kabur!" Luke memanfaatkan tubuh kecil Joan untuk kabur melalui tengah-tengah kedua penjaga. Ia tidak peduli dengan seruan-seruan penuh ancaman. Saat ini, ia hanya ingin menangkap orang yang memotretnya. Begitu tiba di dalam bar, Luke menoleh ke sana dan ke mari seperti orang bingung. Saat kedua penja
Matahari masih enggan menampakkan diri, namun Luke sudah berada di taman. Padahal satu pun pekerja masih belum terlihat. Ia berlari kecil dengan penuh semangat. Ia menjilat ujung telunjuknya, lalu mengangkatnya ke udara."Baiklah! Arah anginnya sudah bagus! Saatnya meluncur!" seru Luke.Luke masih bersikeras ingin menyelesaikan tugasnya. Ia berusaha menyimpan seluruh oksigen di dadanya. Jika ia berhasil berlari 3 putaran hari ini, ia akan lebih cepat kembali ke dunianya."Tuan Joan!"Luke sontak menoleh sekilas tanpa menghentikan larinya. Entah mengapa ia sudah terbiasa dengan nama itu. Senyumnya langsung mengembang begitu melihat suster Elle."Suster Elle!" seru Joan."Tuan Joan! Mengapa Anda berlari di taman pagi-pagi sekali?! Anda baru pulang dari rumah sakit seminggu yang lalu!" kata Elle.Wanita itu berlari tergopoh-gopoh dan langsung menarik sebelah tangan Luke hingga terjatuh ke belakang. Untung saja Luke tidak menimpa Elle. Tiba-tiba saja cahaya datang entah dari mana. Ia memu
Luke membuka surat yang tiba hari ini. Berbeda dengan sebelumnya, amplop kali ini berwarna biru."Sepertinya benar-benar spesial ya," gumam Luke.Menjaga Caroline selama pesta dansa. Tetap berada di sampingnya!Luke tertawa pelan. "Ternyata semua surat ini sama saja, berkaitan dengan Caroline.""Benar. Karena dia adalah gambaran Anda, Tuan Kesatria.""Bagaimana bi—""Merendahkan orang lain, selalu merasa paling hebat dan sempurna, senang mengambil kebahagiaan orang, dan masih banyak lagi."Luke hanya bisa tersenyum getir saat mendengar ucapan cahaya tersebut. Mau mengelak pun tidak ada gunanya. Jika diingat kembali, memang sifatnya seperti itu.Sembari menunggu waktunya berangkat, Luke membuka ponsel yang entah sudah berapa lama tergeletak di meja. Ia tidak pernah membawanya ke mana pun.Luke mencari tahu bagaimana gaya berpakaian pria untuk pesta dansa. Setelah ketemu, ia langsung menghambur ke arah lemari pakaian.~~~Caroline melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 1 s
Luke sesekali melirik ke arah Caroline. Sejak mendengar ucapan ayahnya, gadis itu terus bungkam. Matanya menatap lurus ke tengah orang-orang yang sedang menikmati pesta. Begitu musik mulai diputar, Caroline langsung menarik tangan Luke ke tengah lingkaran dansa. "Kau tahu caranya berdansa, 'kan?" tanya Caroline. Luke menggaruk tengkuknya, ia nampak gugup. Sejujurnya ia tidak pernah berdansa sekali pun. Hanya ada satu tarian yang ia bisa, tentu saja tarian pelantikan Kesatria. "Sedikit," jawab Luke. Caroline memutar matanya dengan malas. Ia mulai meletakkan sebelah tangannya ke pundak Luke, sedangkan tangan satunya dibiarkan bergenggaman dengan Luke. Caroline seolah terhipnotis. Pandangannya tidak bisa lepas dari retina biru langit milik pria tersebut. "Aku baru tahu kalau warna matamu seterang ini." Luke menaikkan kedua alisnya dengan bingung. "Ya? Ma-mataku?" "Cepat letakkan tanganmu di pinggangku!" titah Caroline. Luke mengangguk kaku. Walau sudah sering menyentuh wanita di