Share

02. Mencuri hati putri yang sombong

Sudah satu minggu sejak Luke tersesat di dunia yang asing ini. Ia mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan. Hanya saja ia masih belum bisa menerima satu hal.

Tubuhnya.

Luke mematung sembari memandangi tubuhnya yang kurus seperti hewan kelaparan. Otot kekar dan perut 6 kotak yang semula menjadi ciri khasnya, kini sudah menghilang.

"Apa yang harus ku lakukan pada orang ini? Tubuhnya seperti mayat hidup," gumam Luke.

Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. Luke berbalik dan mendapati sosok Caroline yang sudah mendelik. Gadis itu melempar pakaian yang ada di tangannya ke arah Luke.

"Beraninya kau telanjang di depanku!" jerit Caroline.

Luke mengerutkan dahinya. Ia melirik ke arah tubuh telanjangnya. Lalu ia mulai mendekati gadis itu.

"Memangnya kau belum pernah melihat tubuhku? Kita 'kan sudah bertunangan."

Sebelah tangan Luke mulai bergerak menyentuh rambut gadis tersebut. Mata sendunya menatap lurus ke arah daun kering yang menempel di sana. Secepat mungkin Caroline mundur hingga tubuhnya terjatuh ke belakang.

"Beraninya kau menyentuhku rakyat jelata!" seru Caroline dengan wajah memerah.

Luke menarik napas cukup panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Rupanya cukup sulit untuk bisa dekat dengan gadis tersebut. Selain tangan dan kakinya yang suka menyerang, mulutnya pun tidak kalah menyakitkan.

"Ada urusan apa kau datang ke kamarku?" tanya Luke.

"Aku hanya ingin mengingatkanmu tentang makan malam. Jangan lupa untuk memakai baju itu," ujar Caroline sembari melirik ke arah pakaian yang tergeletak di lantai.

Luke mengangguk, lalu mengambil pakaian tersebut. "Makan malam berdua?"

"Tidak. Makan malam bersama orang tuaku."

Luke menggaruk tengkuknya, ia masih belum siap jika harus berhadapan dengan orang tua gadis tersebut. Apalagi ia tidak tahu kepribadian sosok bernama Joan yang menjadi inangnya. Bagaimana jika ia melakukan kesalahan?

"Lakukan saja seperti biasa. Lagi pula orang tuaku tidak menyukaimu. Untuk apa bersikap baik?" ujar Caroline dengan sinis.

Sebelum berbalik, Caroline terdiam sejenak. Wajahnya nampak lelah, entah apa yang ada dipikirannya saat ini.

"Jangan lupa acaranya jam 8 malam."

Selepas kepergian Caroline, Luke langsung menutup pintu kamarnya. Ia menatap kemeja yang masih terbungkus plastik di tangannya. Tanda tanya besar mulai muncul.

Orang tuanya tidak menyukai orang ini? Lalu mengapa mereka bertunangan?

~~~

Luke berusaha keras untuk menyempurnakan penampilannya. Kurang dari sepuluh menit lagi waktu menunjukkan pukul 8 malam. Namun kemeja itu sama sekali tidak pantas di tubuhnya. Ia terlihat seperti robot karena ukurannya yang terlalu besar.

"Sial. Kalau ada, aku lebih memilih pakaian perang," gumam Luke seraya melepas pakaiannya.

Akhirnya pilihan Luke jatuh pada kaus polos berwarna hitam dan celana bahan dengan warna senada. Hanya pakaian ini yang bisa nyaman untuk saat ini.

Tepat pukul 8 malam, Luke sudah berada di luar ruangan tersebut. Rambutnya disisir ke belakang, tidak ada kacamata bulat yang menjadi identitas Joan selama ini.

Begitu tiba di depan ruangan dengan dibantu Elle, Luke terdiam sejenak. Ia menoleh ke arah wanita di sampingnya yang nampak pucat. Kedua sudut bibirnya ditarik penuh paksa.

"Bagaimana penampilanku?" tanya Luke.

Elle menunduk lalu mengangguk. "Anda tampak berbeda."

"Berbeda? Apa mak—"

Ucapan Luke terhenti saat pintu di depannya terbuka. Nampak Caroline yang berdiri di sana. Gadis itu mematung, matanya menatap Luke dari ujung kepala hingga kaki.

"Jo-Joan?"

Luke menaikkan sebelah alisnya. Senyumnya mulai merekah lebar. "Ya? Apa kau merasa terpesona?"

"Kau seperti pengemis."

Mendengar ucapan Caroline, senyum Luke langsung luntur. Padahal ia sudah berusaha sebisa mungkin agar terlihat tampan. Namun ia harus tetap berdiri tegak seperti pria sejati.

Luke dengan percaya diri langsung masuk ke ruangan tersebut. Seperti bagian lain, ruangan ini juga nampak sangat mewah. Berlian seolah sudah menjadi khasnya bangunan tersebut.

"Selamat malam, Ayah dan Ibu," sapa Luke sembari duduk di kursi yang kosong.

"Joan! Ganti bajumu dulu!" seru Caroline yang langsung menarik sebelah tangan pria tersebut.

Tiba-tiba saja wanita yang mengenakan chartweel hat itu tertawa. Namun pandangannya begitu merendahkan.

"Selera priamu memang buruk, Carol," ujar wanita tersebut.

Luke terdiam, ia melempar tatapannya pada Caroline. Gadis itu menunduk tanpa mengatakan apa pun. Padahal biasanya gadis itu selalu punya seribu bahasa yang menyakitkan.

"Duduk saja, Carol. Lagi pula kami tidak akan lama," ujar Ayahnya dengan dingin.

Caroline mengangguk patuh. Ia duduk di samping Luke yang masih nampak bingung. Apalagi saat orang tua Caroline terus menatapnya dengan sorot tajam.

"Sebentar lagi Bran datang," ujar Ibu Caroline sembari meminum air yang ada di depannya.

Luke yang mulai merasa tidak nyaman, berusaha untuk mencairkan suasana. Ia mendeham pelan, lalu mengambil gelasnya yang berisi sirup. Ia mengangkat gelas itu tinggi-tinggi seraya tersenyum.

"Bagaimana kalau bersulang?" tanya Luke.

Caroline menggigit bibir bawahnya. Ia merasa sangat takut, apalagi saat tangan ibunya mulai terkepal.

"Baiklah. Mari bersulang untuk pertunangan kalian," ujar ayah Caroline seraya tersenyum tipis.

Caroline dan ibunya sontak menoleh bersamaan ke arah pria tersebut. Sedangkan Luke mulai merasa ada sedikit celah untuknya.

"Bersulang!" seru Luke dengan ceria.

Selepas itu, keadaan mulai sedikit membaik. Wajah kaku ayah Caroline juga berubah ramah. Hanya saja ibunya masih belum menunjukkan respon baik.

"Sebenarnya apa yang ada dipikiranmu, Carol? Mengapa kamu memilih pria ini untuk menjadi tunanganmu?" tanya ibunya, sesekali ia melirik Luke dengan sinis.

"Benar juga," Ayahnya menambahkan. "Bukankah kamu menyukai Bran? Mengapa kamu lebih memilih Joan?"

Caroline mendelik, ia menggeleng cepat dengan wajah panik. Apalagi saat matanya bertemu dengan mata Luke yang seakan mengharapkan banyak jawaban.

"I-itu ... aku—"

"Pasti karena seleranya buruk," potong ibunya. "Kalau seleranya bagus, pasti dia lebih memilih pengusaha kaya, bukan anak yatim piatu miskin seperti Joan."

Luke menelan ludahnya dengan kasar. Mungkin ini yang dimaksud cahaya tentang orang sombong. Ia juga pernah melakukan hal serupa pada wanita dari kalangan bawah. Apa ini saatnya ia mendapat karma?

"Tentu saja karena Joan tampan dan mandiri," jawab Caroline seadanya.

Luke dibuat mendelik oleh jawaban Caroline. Namun secara alami, kedua sudut bibirnya melengkung. Ia cukup senang mendapat pujian seperti itu, walaupun ditujukan pada Joan.

"Halo semuanya."

Luke melebarkan kedua matanya. Ia tidak menyangka kalau sosok yang dibicarakan sedari tadi adalah orang yang memukulinya. Luke langsung bangun, tanpa banyak bicara ia melayangkan pukulan ke wajah pria tersebut.

"Beraninya kau muncul di depanku, bocah brengsek!" seru Luke.

Bran menaikkan sebelah alisnya. Ia diam saja tanpa melakukan perlawanan. Sebab keadaannya saat ini sangat menguntungkan. Kedua orang tua Caroline tengah menatap Luke dengan tajam.

"Ternyata kamu suka pria yang ganas, Carol," ujar ibunya diiringi senyuman sinis.

Luke langsung tersadar. Ia mundur satu langkah lalu menoleh ke arah Caroline. Ia mengangkat kedua tangan, sebelum akhirnya pergi dari tempat tersebut.

"Bodoh sekali. Mengapa aku malah membuat keributan di sana?" gumam Luke sembari mengusap wajahnya.

"Joan!"

Luke berbalik, ia bisa melihat Caroline yang setengah berlari ke arahnya. Ia tersenyum tipis, namun detik berikutnya, senyum itu pudar. Sebab Caroline melayangkan tamparan ke wajahnya.

"Mengapa kau melakukan hal aneh, Joan?! Tidak biasanya kau seperti ini!" kata Caroline dengan suara meninggi.

Luke menelan ludahnya kasar. "Memangnya, aku itu terlihat seperti apa biasanya? Seperti pecundang?"

Caroline mengerutkan dahinya. "Ka-kau ... menyebalkan! Kau berubah, Joan!"

Sebelum pergi, Caroline menyempatkan diri untuk menendang tulang kering Luke. Sedangkan pria itu hanya bisa diam dengan sebelah tangan terkepal kuat.

Aku tidak bersalah! batin Luke.

"Tidak, tidak. Tentu saja Anda bersalah, Ksatria."

Luke langsung menoleh ke arah suara tersebut. Nampak cahaya menyebalkan yang mulai menghampirinya.

"Cepat minta maaf padanya. Gadis itu salah satu kunci yang bisa membuat Anda lebih mudah menyelesaikan semua tugas," kata cahaya tersebut.

Luke mengerutkan dahinya. "Omong kosong macam apa itu? Bagaimana bisa orang sombong seperti itu menjadi kunci kehidupan seseorang?"

"Semuanya bisa terjadi karena cinta, Ksatria. Saat seseorang sudah merasakan cinta, sifat buruknya perlahan akan menghilang."

"Tidak! Mustahil bisa seperti itu!" kata Luke sembari menggeleng berulang kali.

"Coba saja. Dekati dia dan curi hatinya," bisik cahaya itu sebelum menghilang.

Mata Luke langsung melotot. Ia terkekeh pelan sembari berbalik. Ia bisa melihat pintu ruangan yang baru saja tertutup.

"Dari pada mencuri hatinya, pasti lebih mudah mencuri jantung naga!" kata Luke diiringi tawa kecilnya.

"Tapi ... mungkin akan ku coba."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status