Luke kembali memasuki ruangan yang beberapa detik ditinggalkannya. Begitu tiba di dalam, ia langsung dihadiahi tatapan penuh kebencian, terutama dari Bran.
"Untuk apa kau datang ke sini lagi?" tanya Bran.
Luke menaikkan sebelah alisnya. "Aku tunangan Caroline. Apa kau butuh alasan lain mengapa aku ada di sini?"
Caroline sontak bangun dari tempat duduknya. "Cukup, Joan! Jangan buat keributan!"
Akhirnya Luke menuruti ucapan gadis itu dan duduk di kursinya. Ia menatap tajam ke arah Bran. Pria itu nampak sudah sangat akrab dengan kedua orang tua Caroline. Berbeda jauh dengan dirinya.
Tiba-tiba saja saat Luke hendak mengambil gelas miliknya, Bran dengan sengaja menyenggol gelas tersebut hingga jatuh ke lantai. Pecahan gelas berserakan ke mana-mana. Viola, ibu Caroline, terlihat sangat marah.
"Cepat bereskan kekacauan yang kau buat! Dasar orang miskin!" bentak Viola.
Luke mengerutkan dahinya. Ia hendak membuka mulutnya, namun melihat tatapan merendahkan dari semua orang, membuatnya memilih bungkam. Ia langsung berjongkok dan mulai merapikan pecahan gelas tersebut.
"Beruntung saja orang sepertimu bisa menjadi tunangan Caroline. Ah, maksudnya, tunangan sementara!" ujar Viola.
"Tunangan sementara?" gumam Luke sembari melirik ke arah Caroline.
Gadis itu bungkam dan memilih untuk melanjutkan makannya. Ia nampak tidak peduli dengan apa yang dilakukan ketiga orang itu pada tunangannya.
"Haha ... Bagaimana rasanya, Ksatria Luke?"
Luke sontak menoleh saat mendengar suara tepat di telinganya. Namun tidak ada siapa pun selain Caroline yang nampak acuh.
"Dahulu, Anda juga pernah membuat seorang pelayan membersihkan pecahan kaca akibat perbuatan Anda. Masih ingatkah?"
Luke memejamkan kedua matanya. Ingatannya tentang kejadian itu mulai menajam. Pria tua, pelayan di sebuah rumah makan itu harus membersihkan pecahan kaca akibat ulahnya yang membuang cermin ke lantai.
"Sekarang, Anda akan membayar semua dosa satu per satu. Nikmati saja, Ksatria Luke."
"Lambat!"
Luke langsung membuka matanya dan melihat Caroline yang sudah berjongkok di depannya. Gadis itu ikut membersihkan pecahan kaca yang tersisa.
"Jika sudah selesai, ikut aku ke ruang baca!" kata Caroline sembari melangkah pergi.
"Caroline! Acara makan malamnya belum selesai, 'kan?" seru Bran.
Caroline nampaknya tidak mendengar. Sebab gadis itu terus melangkah pergi dan menghilang di balik pintu.
~~~
Duk!
Luke meringis saat lututnya ditendang oleh Caroline. Gadis itu nampaknya sangat senang melakukan kekerasan padanya.
"Kenapa lagi?" tanya Luke dengan wajah bingung.
"Apa kau tidak bisa diam saja? Kenapa sejak saat itu kau berubah? Kau selalu melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah kau lakukan!" oceh Caroline sembari mengguncang bahu Luke.
Luke mengerutkan dahinya. "Kau lebih suka aku menjadi pecundang?"
"Ya! Aku lebih suka kau yang pecundang!" seru Caroline.
Luke terdiam mematung di tempatnya. Sementara Caroline bergegas pergi dari ruang baca meninggalkan pria itu sendiri. Luke dengan seribu pertanyaan di kepalanya terlihat sangat menyedihkan.
"Sebenarnya kenapa dia lebih suka pecundang? Apa tipenya memang seperti itu?" gumam Luke.
"Anda hanya belum tau, Ksatria Luke."
Luke menoleh ke arah suara tersebut. Sekarang ia bisa melihat cahaya yang perlahan menghampirinya.
"Apa yang belum aku ketahui?" tanya Luke.
"Banyak sekali. Tentang alasan mereka bertunangan, mengapa orang tua Caroline membenci Joan, siapa sosok Joan, dan mengapa pria buruk itu seperti menyimpan dendam pada Joan."
"Apa aku juga harus mencari tahu semua itu?"
"Tentu saja!"
"Menyebalkan!"
~~~
Pagi ini Luke sudah dibuat kesal. Saat membuka lemari pakaian, ada sebuah surat melayang. Tentu saja ia tau perbuatan siapa itu. Sebab manusia biasa pasti tidak akan bisa melakukannya.
Luke segera membuka surat tersebut. Ia membacanya dengan perlahan. Hingga helaan napas panjang lolos dari mulutnya.
"Apa-apaan isi surat ini? Dia hanya memintaku berlari mengelilingi taman sebanyak 3 putaran? Mudah sekali," gumam Luke sambil melempar surat itu ke dalam lemari.
Beberapa menit kemudian ia sudah bersiap untuk pergi. Ia melingkarkan handuk di lehernya. Kemudian berlari keluar dari kamar.
"Tuan Joan! Anda mau pergi ke mana?" teriak Elle.
Luke menoleh sekilas sambil tersenyum. "Olahraga sebentar."
Elle mengerutkan dahinya. Sebagai orang yang bertugas mengurus Joan, tentu saja ia menyadari perubahan sikap pria tersebut. Joan sama sekali tidak suka berolahraga. Keluar dari kamar saja hanya saat ada undangan makan malam atau membeli makanan ringan.
Tidak hanya Elle. Petugas kebersihan dan keamanan rumah itu juga nampak terkejut.
"Permisi, Paman. Taman ada di mana ya?" tanya Luke pada seorang pria yang sedang membawa sapu.
Pria paruh baya itu menoleh, lalu mengerjapkan mata beberapa kali. "Tuan Joan mau apa?"
"Aku mau berolahraga di taman!" jawab Luke sambil tersenyum ceria.
Mata pria itu langsung melebar. "Ka-kalau begitu, Tuan Joan bisa mengikuti saya."
Luke mengangguk dan mulai mengikuti pria tersebut. Begitu sampai, matanya langsung membulat. Semua semangat yang dibawanya dari kamar sudah menghilang entah ke mana. Bagaimana tidak? Luas tamannya melebihi penginapan 500 Ksatria.
"I-ini tamannya?" tanya Luke dengan wajah pucat.
Pria itu mengangguk. "Jika Tuan lupa jalan pulang, Tuan bisa meminta pekerja lain untuk mengantar sampai depan gerbang."
"Ba-baiklah."
Setelah itu Luke mulai berlari mengelilingi taman. Padahal harusnya jika berada di tubuh asli, ia pasti bisa melakukan sampai 10 putaran. Namun di tubuh Joan, baru setengah putaran saja napasnya sudah terengah-engah.
"Sialaaaaan...!! Aku ... tidak bisa bernapas!" teriaknya dengan seluruh tenaga yang tersisa.
Walau begitu ia tetap berlari. Seluruh bagian kakinya terasa mati rasa hingga ia terjatuh tepat di tempatnya memulai. Ia baru saja mencapai satu putaran!
"BERHASIL SATU PUTARAN!!!" teriaknya dengan keras.
Tanpa Luke sadari, sejak kedatangannya ke taman, ia berhasil menarik perhatian seseorang. Ya, Caroline. Gadis itu terus mengamati Luke dari kejauhan sambil menyiram bunga tulip kesayangannya. Sebelah sudut bibirnya tertarik secara otomatis.
"Dasar orang aneh."
"Baru surat pertama saja sudah gagal."Luke hanya cemberut sambil memijat kakinya. Cahaya itu sedari tadi terus berputar di kamarnya sembari mengulang kalimat yang sama."Sulit sekali berlari di tubuh yang hanya ada tulang tanpa daging!" kata Luke tidak mau kalah."Waktu untuk tugas ini hanya 3 hari. Jika pada hari ketiga Anda tidak berhasil, maka Anda akan mendapat hukuman."Mata Luke langsung membulat. "Sejak kapan ada waktunya? Aku tidak melihat ada—"Ucapan Luke terhenti saat kertas yang ada di dalam lemarinya itu melayang, lalu berhenti tepat di depan matanya."Perhatikan baik-baik di sudut kiri surat ini. Ada waktunya, bukan?"Luke mendecih dengan wajah kesal. Bisa-bisanya ia tidak melihat hal tersebut. Padahal itu salah satu yang paling penting."Menyebalkan!" kata Luke sembari mengusap wajahnya dengan kasar.Luke mengintip keluar jendela. Langit malam nampak cerah. Sorot matanya menajam, secepat mungkin ia kembali mengganti pakaian dan mengenakan sepatu."Anda mau pergi ke man
Luke tersenyum begitu cerah. Padahal saat ini pipinya terluka parah karena tertancap belati. Caroline yang sedang berkunjung sampai terlihat bingung. "Apa kau sangat senang karena bertambah jelek?" kata Caroline. Luke tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Caroline dengan senyum yang tidak kunjung luntur. "Berhenti menatapku seperti itu!" seru Caroline sembari melangkan pukulan di bahu Luke. "Aku senang kamu baik-baik saja," kata Luke. Caroline membulatkan matanya. "Jangan berani menggunakan kata kamu padaku! Kita tidak sedekat itu!" Luke menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Itu 'kan cuma kata-kata." "Kau harus bicara formal padaku!" Luke hanya mengangguk saja. Pandangannya kembali menoleh ke arah jendela untuk menikmati cahaya senja. Entah berapa lama ia tidak sadarkan diri. Begitu bangun, waktu sudah sore. "Kau sudah makan, Joan?" tanya Caroline. Luke menoleh, lalu menggeleng. "Memangnya kenapa?" Caroline menunjuk makanan yang ada di meja rumah sakit. "Suster Elle memba
Luke terus berjalan walau kakinya terasa hampir seperti lumpuh. Aroma itu semakin kuat dan masuk ke sebuah bar. Tanpa pikir panjang, ia langsung masuk ke tempat tersebut. Namun tiba-tiba langkahnya dipaksa berhenti oleh dua penjaga bertubuh besar yang langsung menyeretnya kembali keluar. Salah satunya menatap Luke dengan sorot tajam. "Tolong kartu identitasnya." Luke menaikkan kedua alisnya dengan bingung. "Kartu identitas? Apa semacam kartu emas saat naik level?" Dua penjaga itu saling beradu pandang dengan wajah bingung. "Bicara apa orang ini?" "Aku tidak punya kartu seperti yang kalian minta, tapi ..." Luke mendesis pelan saat bau itu mulai samar lagi. "Sial! Sepertinya mereka mau kabur!" Luke memanfaatkan tubuh kecil Joan untuk kabur melalui tengah-tengah kedua penjaga. Ia tidak peduli dengan seruan-seruan penuh ancaman. Saat ini, ia hanya ingin menangkap orang yang memotretnya. Begitu tiba di dalam bar, Luke menoleh ke sana dan ke mari seperti orang bingung. Saat kedua penja
Matahari masih enggan menampakkan diri, namun Luke sudah berada di taman. Padahal satu pun pekerja masih belum terlihat. Ia berlari kecil dengan penuh semangat. Ia menjilat ujung telunjuknya, lalu mengangkatnya ke udara."Baiklah! Arah anginnya sudah bagus! Saatnya meluncur!" seru Luke.Luke masih bersikeras ingin menyelesaikan tugasnya. Ia berusaha menyimpan seluruh oksigen di dadanya. Jika ia berhasil berlari 3 putaran hari ini, ia akan lebih cepat kembali ke dunianya."Tuan Joan!"Luke sontak menoleh sekilas tanpa menghentikan larinya. Entah mengapa ia sudah terbiasa dengan nama itu. Senyumnya langsung mengembang begitu melihat suster Elle."Suster Elle!" seru Joan."Tuan Joan! Mengapa Anda berlari di taman pagi-pagi sekali?! Anda baru pulang dari rumah sakit seminggu yang lalu!" kata Elle.Wanita itu berlari tergopoh-gopoh dan langsung menarik sebelah tangan Luke hingga terjatuh ke belakang. Untung saja Luke tidak menimpa Elle. Tiba-tiba saja cahaya datang entah dari mana. Ia memu
Luke membuka surat yang tiba hari ini. Berbeda dengan sebelumnya, amplop kali ini berwarna biru."Sepertinya benar-benar spesial ya," gumam Luke.Menjaga Caroline selama pesta dansa. Tetap berada di sampingnya!Luke tertawa pelan. "Ternyata semua surat ini sama saja, berkaitan dengan Caroline.""Benar. Karena dia adalah gambaran Anda, Tuan Kesatria.""Bagaimana bi—""Merendahkan orang lain, selalu merasa paling hebat dan sempurna, senang mengambil kebahagiaan orang, dan masih banyak lagi."Luke hanya bisa tersenyum getir saat mendengar ucapan cahaya tersebut. Mau mengelak pun tidak ada gunanya. Jika diingat kembali, memang sifatnya seperti itu.Sembari menunggu waktunya berangkat, Luke membuka ponsel yang entah sudah berapa lama tergeletak di meja. Ia tidak pernah membawanya ke mana pun.Luke mencari tahu bagaimana gaya berpakaian pria untuk pesta dansa. Setelah ketemu, ia langsung menghambur ke arah lemari pakaian.~~~Caroline melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 1 s
Luke sesekali melirik ke arah Caroline. Sejak mendengar ucapan ayahnya, gadis itu terus bungkam. Matanya menatap lurus ke tengah orang-orang yang sedang menikmati pesta. Begitu musik mulai diputar, Caroline langsung menarik tangan Luke ke tengah lingkaran dansa. "Kau tahu caranya berdansa, 'kan?" tanya Caroline. Luke menggaruk tengkuknya, ia nampak gugup. Sejujurnya ia tidak pernah berdansa sekali pun. Hanya ada satu tarian yang ia bisa, tentu saja tarian pelantikan Kesatria. "Sedikit," jawab Luke. Caroline memutar matanya dengan malas. Ia mulai meletakkan sebelah tangannya ke pundak Luke, sedangkan tangan satunya dibiarkan bergenggaman dengan Luke. Caroline seolah terhipnotis. Pandangannya tidak bisa lepas dari retina biru langit milik pria tersebut. "Aku baru tahu kalau warna matamu seterang ini." Luke menaikkan kedua alisnya dengan bingung. "Ya? Ma-mataku?" "Cepat letakkan tanganmu di pinggangku!" titah Caroline. Luke mengangguk kaku. Walau sudah sering menyentuh wanita di
Caroline menoleh ke sekelilingnya. Entah sejak kapan ia kehilangan sosok Bran. Padahal sedari tadi, ia ingat sekali sedang bergandengan tangan. Ia ingin keluar dari kerumunan, tapi jalannya seolah tertutup."Bran?!" serunya.Tidak ada sahutan, yang terdengar hanya suara alunan musik dan hiruk pikuk orang-orang berbincang di sekitar. Caroline menelan ludahnya dengan kasar. Ia bisa melihat meja kue lewat celah keramaian, namun ... tidak ada Joan di sana."Joan!!" teriaknya.Tiba-tiba saja pergelangan tangannya dicengkram dari belakang. Ia ditarik paksa menuju ke pintu keluar samping bangunan tersebut."Siapa kalian?!" jerit Caroline sembari meronta.Pria berjas cokelat yang kini berdiri di depannya hanya diam. Sampai akhirnya ia membekap wajah Caroline dengan kain beralkohol. Tidak perlu menunggu lama, Caroline pun tidak sadarkan diri."Bawa ke mobil."~~~Luke membasahi bibir bagian bawahnya. Ia melirik ke sekitar, suasananya begitu tenang. Pasti tidak akan ada orang yang datang ke tem
Kedua mata Luke melebar. Dadanya terasa sangat sesak dan kepalanya berputar. Apalagi saat Ciel terus menjilat darahnya yang menempel di pisau. "Hentikan!" seru Luke. Ciel tersenyum miring. Ia menarik kerah kemeja Luke hingga mengikis jarak mereka. Dalam jarak sedekat itu, Luke bisa bisikan dari gadis tersebut. "Mau menjemput ayahmu sekarang?" tanya Ciel. Pandangan Luke mulai tidak fokus. Ia memegangi kepalanya yang terasa seperti ditusuk jarum. Secepat mungkin ia mendorong tubuh Ciel. Sepertinya tubuh Joan bereaksi hanya dengan mendengar Ciel yang mengungkit kematian ayahnya. Luke berusaha keras untuk mengambil alih tubuhnya, namun tiba-tiba ... Jleb! Luke meringis saat pisau lipat milik Ciel sudah menancap di perutnya. Rasa nyeri berhasil membuatnya mulai lunglai dan jatuh terduduk. Sebelah tangannya memegang gagang pisau sambil sesekali menariknya. "Siaaal! Sakit sekali!" jeritnya. Ciel menatap Luke dengan tatapan sedih, namun bibirnya melengkung sempurna. Gadis itu benar-be