Share

BAB 4

Sore ini Rianti sudah bisa dinyatakan pulang oleh dokter. Tak lupa pula dirinya segera berpamitan pada dokter Gilang. 

“Terima kasih Pak, sudah baik pada Rianti selama di rumah sakit.” Meskipun masih dalam keadaan pucat Kedua lesung pipinya menambah kecantikannya saat tersenyum. 

“Sudah seharusnya...aku memperhatikanmu selama di sini Rianti! Karena, diriku yang berkendara kurang hati-hati sehingga aku mencelakakanmu,” ucap dokter Gilang.

“Ow ya Pak Dok! Kami permisi dulu.” Rianti dan Ibunya segera keluar dari ruangan bersiap untuk pulang. 

“Kalian mau naik apa pulang ke rumah?” tanya Dokter Gilang. 

“Ka-kami mau... naik taksi saja Pak,” jawab Rianti

“Aku antar ya! Kalau sore begini taksi sudah jarang ada yang lewat, takutnya kalian keburu malam” bujuk Gilang. 

“Tapi Pak..., 

“Tak usah malu, ingat kamu sampai begini karena aku yang berkendara kurang hati-hati. Jadi, kuharap kamu tidak menolak permintaanku.” Kali ini Gilang tak mau dengar alasan dari Rianti lagi. 

“Iya sudah kalau begitu. Rianti cuma takut  merepotkan Pak Dokter nantinya.” 

Beberapa saat kemudian mobil Dokter Gilang sudah parkir di depan rumah sakit. Rianti yang di suruh menunggu di depan segera bersiap masuk. 

Pada saat bersamaan, pasien baru datang bersiap memasuki ruang IGD. Rianti yang menyempatkan diri melirik ke samping  melihat ke arah pasien dan keluarganya yang baru datang itu. 

Benar saja, kali ini yang jadi pasien adalah Mas Rustam. Ternyata...dia tak main-main dengan perkataannya. Bu Melati Ibunya Rustam juga ada di sana mengantar Rustam yang sudah dibaringkan dan bersiap masuk ke ruang IGD. 

Mata Rianti terbelalak melihat sosok Rustam yang bersimbah darah di lengannya dan sekujur tubuhnya membiru hampir saja tak dikenalinya.

Dirinya spontan teriak dengan menyebut nama Rustam. 

“Rustam!” Bu Melati segera menoleh ke asal suara. 

Benar saja matanya yang terbelalak melihat sosok Rianti dan Ibunya berdiri di sana. Dirinya hendak memajukan langkahnya untuk mengantarkan Rustam masuk ke ruang IGD. Namun, kali ini tangannya di pegang kuat oleh Ibu agar tak bertindak semaunya. 

“Rianti, hentikan langkahmu! Kamu bukan siapa-siapa di keluarga itu.” Sejenak Rianti tersadar kembali oleh kata-kata Ibu Rustam dirinya yang sudah terlanjur dihina olehnya. 

“Rianti, ayo masuk!” Dari dalam mobil Gilang berseru memanggil namanya. 

“I-iya Pak!” Di langkahkan kakinya masuk ke dalam mobil tanpa memperdulikan Rustam dan Ibunya yang melihat ke arahnya

Selama di perjalanan pulang Rianti terlihat lebih banyak diam. Begitu juga dengan Gilang yang lebih pilih fokus menyetir. 

“Belok kiri ya Pak Dokter!” Ibu yang mencoba membuka suara di keheningan tersebut. 

“I-iya Bu,” jawabnya. 

Beberapa saat kemudian tibalah di sebuah gang sempit menuju rumah Rianti. 

“Pak Dokter, kami... Turun di sini, saja. Karena mobil tidak bisa masuk ke dalam,” jelas Rianti. 

“Oke, Tapi aku tetap mengantar kalian dengan jalan kaki.” 

Rianti dan Ibunya saling berhadapan mendengar jawaban dokter Gilang. Sekitar sepuluh menit mereka jalan kaki di gang sempit. 

Kini mereka sudah tiba di rumah Rianti. Rumah yang lumayan kecil namun rapi dan bersih. 

“Kita sudah sampai Pak! Ayo masuk!” ajak Rianti. 

Dokter Gilang melepas sepatunya dan masuk ke rumah Rianti. Kali ini mereka duduk melantai karena di rumah Rianti tak ada kursi. 

“Oh ya Nak Gilang, bolehkah menunggu sebentar? Ibu mau masak dulu. Nanti Nak Gilang makan di sini ya,” ucap Ibu dengan ramah. 

“Boleh sekali Bu, kebetulan aku...lagi lapar!” Dipegangnya perutnya yang mulai mengempis. 

Rianti yang malu-malu hanya bisa tersenyum melihat tingkah dokter Gilang. Setelah melihat Ibu masuk ke dalam mereka mulai pembicaraan. 

“Rianti, boleh tau kesibukan kamu setiap hari apa?” tanya Gilang. 

“Aku... aku lagi cari-cari kerja yang pas Pak,” jawab Rianti seraya merapikan jilbabnya. 

“Sebelumnya sudah pernah kerja di mana?” 

“Rianti...kerja di salah satu kantor pemerintahan yang ada di sini pak. Tapi, sudah berhenti karena jarak dari rumah ke sana lumayan jauh,” jelas Rianti dengan polos. 

“Sudah lama berhenti kerja?” 

“Belum Pak, Kira-kira dua mingguan.”  

Kini obrolan mereka semakin akrab dan serius saja. Beberapa saat kemudian Ibu Rianti memotong pembicaraan mereka. 

“Nak Gilang, Rianti, ayo masuk ke dalam! Kita makan sama-sama,” ajak Ibu. 

Rianti dan Gilang segera menyusul Ibu ke dapur. Tampak di atas meja sudah berbagai makanan yang dihidangkan. Layaknya ada tamu besar yang akan datang. 

Ada jamur tumis, ikan asin sambal terasi, gulai kambing, dan kari ayam terhidang di atas meja. 

“Gulai kambing dan kari ayam dari mana Bu? Tumben Ibu masak sebanyak ini?” tanya Rianti sekedar membuka pembicaraan mereka. 

“Tadi ada tetangga yang kasih, karena ada acara hajatan katanya.” Sambil memasukkan makanan di mulutnya. 

Gilang dengan lahap memakan hidangan yang ada. Kali ini dirinya makin terlihat akrab dengan keluarga kecil tersebut. 

“Bu aku... Boleh tambah ikan asin dan nasi lagi ya?” tanya Gilang. 

“Boleh pak!” Rianti menjawab sambil melirik Ibu yang sibuk menggigit daging ayam yang susah terpotong. 

Tiba- tiba gigi palsu Ibu terjatuh karena terlalu memaksa untuk mengunyah makanan tersebut. 

Kali ini Gilang dan Rianti yang melihat kejadian itu semakin tertawa lucu melihat tingkah Ibunya. 

“Wah kalian menertawakan Ibu, akhirnya Ibu jadi malu.” Diambilnya piring bekas makannya dan membawanya ke belakang. 

“ Loh Bu, kenapa sudah berhenti? Makanan Ibu masih tersisa di piring” 

“Sudahlah , selera makan Ibu hilang karena gigi palsu.” 

Gilang dan Rianti yang mendengar perkataan Ibu tiba-tiba tertawa lagi karena merasa semakin lucu. 

“Maaf ya Bu, karena kami Ibu jadi malu.” 

Dokter Gilang menyudahi makanannya dan mencuci tangannya. Beberapa saat kemudian terdengar suara azan magrib. 

“Bu, Gilang boleh numpang salat di sini gak?” 

“Oh, boleh sekali.” Sambil membereskan piring bekas makan yang ada di atas meja. 

Kini mereka bertiga melakukan salat bersama di pimpin oleh Gilang. 

Setelah selesai melakukan salat magrib, Gilang segera pamit pulang. 

Beberapa saat kemudian Gilang  mengirim pesan ke Rianti di aplikasi hijaunya 

“Rianti, aku sudah sampai.” 

Rianti yang melihat pesan dari Dokter Gilang merasa heran dengan pesan masuknya. 

“Perasaan tadi tak ada yang tanya dia sudah sampai atau belum,” batinnya dalam hati. 

Dina yang masih merasa sakit di bagian kepala hanya mengabaikan pesan dari Gilang. 

Sementara dari seberang sana Gilang berharap balasan pesan dari Rianti. 

Sekitar setengah jam ditunggunya  balasan pesan dari Rianti. Namun pesannya yang sudah terlihat centang biru tersebut belum mendapat respon.  

Tanpa menunggu lama lagi, Gilang menelepon Rianti. Melihat layar ponsel tertera nama Dokter Gilang segera diangkat telepon tersebut. 

“Assalamualaikum , lagi apa?” tanya Gilang dari seberang sana. 

“Wa’alaikumussalam, Pak Dokter! Nih, lagi mau ganti perban di siku yang luka!” Sambil sesekali di kompresnya dengan air hangat. 

“Kok, pesan dariku tak dibalas Nti?” 

“Oh itu, aku... aku lagi sibuk Pak. Jadi Rianti lambat membalasnya.” 

“Tidak apa ! Nanti setelah kamu kompres luka dan ganti perban jangan lupa cepat tidur ya,” ucap Gilang 

“I-iya Pak,”

“Oke kalau begitu kusudahi dulu ya. Selamat beristirahat Rianti.” 

“Iya Pak, terima kasih!” jawab Rianti. 

Beberapa hari ini Rianti mulai berusaha melupakan Rustam. Meskipun sulit baginya tapi, pekerjaan Ibu lebih penting dipertahankan dari lelaki yang bersamanya kurang lebih tiga belas tahun itu. 

Setelah mengganti perbannya, Rianti pun terlelap. 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status