Share

BAB 3

Segera kubaringkan tubuhku untuk beristirahat kembali. Tangisan yang tak bisa kutahan akhirnya pecah juga.

Beberapa saat kemudian Ibu datang masuk ke kamar di tempat aku dirawat. Di peluknya diriku disusul tangisannya.

“ Bu, Rianti tidak apa-apa! Sudah, Ibu tenang saja, Dokter Gilang sudah membawaku kemari untuk mendapatkan perawatan lebih.” Kubalas pelukan Ibu dengan hangat.

“Sudah Ibu bilang padamu kan, kamu tak usah ikut campur masalah Ibu dan orang tua Rustam. Ibu juga masih bisa cari pekerjaan lain jika mereka sudah tak mau menerima Ibu lagi.” Tangan Ibu yang lemah segera melepaskan pelukannya.

“ Bu, Siapa yang mau terima Ibu kerja kalau sudah tua? Rianti mohon bertahanlah sampai Rianti mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menghidupi kebutuhan keluarga kita!” bujukku pada Ibu.

“Jadi, Ibu ada harapan untuk kerja kembali jadi buruh cuci pada Bu Melati?” tanya Ibu padaku.

“ I- Iya, Bu. Rianti berusaha yang terbaik untuk keluarga kita. Aku juga sudah berjanji untuk putus dengan Mas Rustam agar Ibu bisa bekerja di sana lagi.”

“Rianti, maaf ya! Hubunganmu harus kandas karena Ibu.” Dihapumya air mata yang jatuh membasahi pipi.

“ Ini bukan salah Ibu, ini hanya takdir yang harus kita jalani. Rianti Janji, tahun ini Rianti harus menjadi seorang PNS agar tak di pandang sebelah mata lagi pada keluarga Mas Rustam!” Kupeluk lagi tubuh wanita yang membesarkanku yang makin hari makin mengecil.

Keesokan harinya sesuai dugaanku Mas Rustam balik dari Jakarta. Kepulangannya tanpa diketahui oleh Keluarganya. Sementara diriku masih dirawat di rumah sakit, akibat benturan keras aspal yang kena di kepalaku.

“ Bu, Rustam pulang! Bu, buka pintunya,” teriak Rustam dari luar rumah.

Beberapa saat kemudian, Ibu Haji Melati membuka pintunya. Dirinya tampak kaget melihat kepulangan putranya yang secara tiba-tiba tanpa memberikan kabar terlebih dahulu.

“ kenapa pulang tak bilang dulu pada kami Tam? Kan bisa di jemput di bandara,” ujar Bu Melati yang berdiri di hadapan putranya.

“Rustam Kangen sama Ibu. Oh ya Bu, ibunya Rianti Mana?” Sambil melihat sekeliling rumahnya tak ada sosok buruh cuci andalan keluarga tersebut.

“Kenapa kamu mau cari Ibu dari orang miskin tersebut. Apakah kamu masih mencintai anaknya?” Keningnya mengkerut.

“Justru aku bersyukur kalau Ibu sudah tahu semuanya! Ibu sudah tahu sifat Rianti yang sebenarnya dan tak perlu seleksi calon mantu lagi,” ucap Rustam meyakinkan Ibunya.

“Hentikan, Tam! Aku tak ingin kamu menjalin hubungan lagi dengan Rianti si gadis miskin itu. Kamu harus menikahi wanita yang bisa diandalkan di keluarga kami,” ucap Ibu Mas Rustam dengan serakah.

“Bu, apa lagi yang Ibu cari semua ada pada diri Rianti! Dia cantik, putih, tinggi, pintar, yang pastinya dia rajin. Aku yakin dia pasti menantu idaman Ibu.” Sambil membawa barang-barangnya masuk ke dalam kamar.

“ Rustam, Ibu bilang hentikan! Sampai kapan pun Ibu tak sudi kamu menikahi dengan Rianti. Jodohmu sudah Ibu pilihkan dengan sepupu dari Ayahmu.“ Dengan wajahnya yang penuh amarah Ibunya harus mengatakan Itu pada Rustam.

“ Oh, jadi Ibu tetap berpihak pada pilihan sendiri tanpa peduli perasaan Rustam! Baiklah, Ibu akan melihatnya nanti apa yang terjadi dengan Rustam.” Dirinya berbalik menghadap Ibunya kemudian segera masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya.

Kini dirinya yang baru sampai dari Jakarta harus mendengar celoteh Ibunya yang tak sepikiran dengannya.

Lagi-lagi dirinya harus kecewa mendengar perkataan yang keluar langsung dari mulut Ibunya.

Beberapa saat kemudian dirinya keluar dari kamar dan mendekati Ibunya yang sedang asyik menonton Televisi.

“Bu, Rustam pamit! Mohon jangan cari Rustam lagi.” Disalami tangan Ibunya kemudian berlalu keluar entah pergi ke mana tujuannya.

“Kamu mau pergi ke mana lagi, Tam? Bukankah dirimu baru sampai?” Ibunya makin heran melihat tingkah anaknya yang sulit diatur.

“Aku mau pergi jauh, Bu! Berharap kedepannya Ibu lebih dewasa dalam memilih calon mantu!” Dibukanya pintu mobil kemudian bersiap untuk melaju.

Tak lupa pula dirinya menghubungi Rianti untuk bertemu di tempat pertama kali mereka jadian dan memutuskan untuk memulai pacaran.

“Rianti, Aku lagi berada di tempat pertama kali kita bertemu. Jika masih sayang padaku kemarilah melihatku untuk terakhir kalinya!” Dikirimnya pesan ke Rianti melalui aplikasi hijaunya.

Tak lupa pula dirinya mengirimkan foto dan racun tikus yang sudah di bawanya.

Rianti yang kaget dan tak bisa berbuat apa melihat kondisinya masih sangat terlalu lemah untuk menyusulnya di sana. Dirinya segera mencari cara agar kelakuan Rustam bisa dihentikan.

Karena, dirinya sangat mengenali diri Rustam yang keras kepala. Kini dirinya hanya bisa menghubungi adik Rustam untuk memberikan kabar itu.

“Assalamualaikum, Jingga ini aku Rianti!” kusapa wanita yang berstatus adik dari Mas Rustam tersebut.

Wa’alaikumussalamsalam, eh ada si wanita miskin rupanya! Kenapa mau duit?” jawabnya dengan sok arogan.

Sejenak kuberusaha menahan emosinya agar tetap stabil. Bukan mauku menjadi hidup miskin terhina seperti ini, namun takdir memilihku.

“Kali ini aku terpaksa menghubungi kamu Jing! Aku juga tak mau berhubungan dengan Mas Rustam lagi,” jelasku mencoba meyakinkan Hingga adik Mas Rustam.

“Ya, memang seharusnya seperti itu! Dan semestinya kamu budayakan sadar diri dari dulu.” tukas Jingga dari seberang sana.

“Jing, kali ini aku serius! Mas Rustam ingin melakukan sesuatu! Aku sebagai orang yang sangat kenal baik dengan dirinya sudah tahu benar dengan sifat Mas Rustam dia tak pernah main-main dalam bertindak.”

“Maksud kamu apa wanita miskin ha?” Lagi-lagi kalimat hinaan yang aku dapatkan.

“Mas Rustam ingin bunuh diri, karena Ibumu tak merestui hubungan kami. Jika kamu tak percaya aku akan mengirimkan pesan Mas Rustam untukku padamu,” aku tetap berusaha meyakinkannya agar percaya

“Aku tak percaya, Mas Rustam lagi di Jakarta!”

“Jingga, kumohon kali ini kamu harus percaya padaku!” Kumatikan teleponnya kemudian segera mengirimkan bukti pesan Mas Rustam ke Jingga.

Jingga yang masih kurang percaya dengan kepulangan Kakaknya segera menelepon Ibunya.

“Bu, Mas Rustam balik dari Jakarta ya?” tanya Jingga sekedar memastikan.

“Iya Jing, barusan Kakakmu pulang! Ada apa ya?” Tanpa menjawab pertanyaan dari Ibunya Jingga langsung mematikan teleponnya kemudian bersiap menuju ke tempat yang Rianti katakan.

Benar saja kali ini didapati tubuh kakaknya dengan denyut nadi yang mengeluarkan berdarah dan tubuh yang sudah terbaring membeku.

Diambilnya kertas selembar di tangan Kakaknya dan dibacanya.

“yang ku mau hanya Rianti" kalimat ini seketika membuat Jingga langsung mengerti. Maksud dari pesan yang ada di kertas tersebut.

Segera dirinya menelepon Ibunya kembali dan memberitahukan posisi dia sekarang dengan Kakaknya ada di mana.

Bu Haji Melati yang mendapatkan kabar tersebut segera melajukan mobilnya menuju ke tempat yang di katakan Jingga.

Tak berselang lama, dirinya sudah sampai di tempat kejadian.

Alangkah terkejutnya melihat keadaan Rustam yang sudah terbaring kaku dan di pergelangannya mengeluarkan darah dan busa dari mulutnya.

Dirinya melangkah mendekati putranya.

“Rustam! Rustam! Bangun Nak, ini Ibu. Dirinya mencoba membangunkan Rustam yang sudah tak sadarkan diri.

“Rustam! Rustam! Bangun, Ibu tak mau kamu mati tragis dengan cara seperti ini.

Melihat kondisi anaknya yang tak bangun membuka matanya Bu Melati makin menangis, sejadi-jadinya.

Kedua wanita itu berusaha memasukkan tubuh Rustam ke dalam mobil dan segera membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebih.

“Tam! Ibu mohon Nak, bertahanlah demi Ibu. Setelah ini Ibu akan menuruti semua kemauan kamu.” Isakan tangis Bu Melati semakin menggema dalam mobil tersebut.

Jingga yang memeluk kakaknya di dalam mobil segera memegang pergelangan tubuh kakaknya yang sudah semakin lemah dan banyak mengeluarkan darah. Benar saja dirinya semakin terbujur kamu.

Kini diri Rustam semakin melemah. Jingga menaruh kedua jarinya di ujung hidung Rustam seperti sudah tak bernafas lagi.

“Mas! Mohon jangan tinggalkan Jingga.” Teriakan Jingga semakin histeris.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status