Home / Romansa / 180 Derajat / 2.Dipanggil Berdua

Share

2.Dipanggil Berdua

last update Last Updated: 2021-08-19 00:41:49

"WOI RASKAL!"

Raskal yang baru saja masuk ke dalam kelas langsung disambut heboh oleh ketiga temannya. Mereka sedang duduk santai di belakang dan bersender di dinding. Ketiga lelaki itu sedang mengipasi wajah mereka dengan buku tulis masing-masing. Guratan-guratan merah tampak jelas di dahi mereka. Keringat juga mengalir di lehernya.

"Gila lu Gan," kata Douglas. "Jam berapa nih?" tanyanya sambil melihat jam dinding bulat hijau yang ada di atas papan tulis. "Udah jam sembilan habis upacara lo baru dateng. Memang-memang."

"Time is money, Bro!"

"Ter-ba-ik," timpal Gathenk mengikuti logat salah satu tokoh film kartun negara sebelah. "Pasti lo manjat lagi ya Kal?" tanyanya yang duduk di sebelah Douglas.

"Itu lo tau Thenk," kata Raskal lalu duduk di depan ketiganya. Cowok itu menyisir rambutnya dengan asal.

"Emang Bu Is gak marah Kal?" tanya Verrel. "Tuh guru tau lo telat?"

"Tau," kata Raskal biasa. "Ya dia marahlah. Sampe teriak-teriak tadi. Orang gue sama Teresa ketangkep basah manjat lagi," katanya.

"Teresa?" beo Douglas langsung menegakkan badannya. "Serius sama Teresa Kal?" tanyanya lagi membuat Raskal mengangguk.

"Lo kalau udah cewek aja cepet," kata Raskal. "Mata lo udah ijo noh kaya liat duit," katanya lagi membuat Douglas terkekeh.

"Tau tuh Douglas. Gue kesel banget. Dari tadi ribut banget pas baris di belakang godain adik kelas 11. Mana gue yang dimarahin Pak Ahmad lagi. Kan sialan ya," kata Verrel.

"Ya elah Rel. Gue kan udah minta maaf. Lagian tadi bukan gue aja. Gathenk juga tuh," katanya lagi sambil melirik Gathenk.

"Kok gue?"

"Ya lo juga."

"Gue aja terus. Gue aja. Gue selalu salah."

"Cepet amat lo baper."

"Ribut lo bertiga," kata Raskal.

"Gila nih kelas udah kaya sauna aja!" kata Douglas sambil melirik dua AC yang ada di dalam kelasnya. Tangannya masih bergerak untuk mengipasi wajahnya sementara Gathenk membuka seragam sekolahnya dan mulai mengipasi dirinya.

"Bayar SPP aja mahal tapi AC gak pernah hidup!"

Gathenk, cowok warnet alias pencinta game online akut. Sering bolos karena tidak bisa lepas dari game online yang sudah merupakan separuh jiwanya. Ia terbiasa tidur di warnet dan juga mojok di kelas dengan laptopnya. Biasanya mungkin anak lelaki nonton yang aneh-aneh apalagi saat mojok namun Gathenk akan lebih memilih bermain game-nya.

Verrel, cowok yang terlihat mungkin lebih berwibawa dari keduanya. Hal itu mungkin karena ia anak seorang pejabat. Meski begitu, Verrel sama nakalnya dengan Duoglas, Gathenk dan Raskal. Berteman dengan mereka bertiga membuat Verrel merasa beruntung karena ketiga kawannya itu merupakan pentolan sekolah yang sangat disegani di SMA Nusantara.

Terutama Raskal yang namanya sangat tersohor. Itu semua karena laki-laki itu sangat aktif pada tawuran dan berbagai petarungan dengan murid-murid sekolah lain. Semua sekolah yang ada di kawasan dekat sekolahnya sudah pernah ia jajah. Maka tidak heran Douglas pun takluk padanya padahal dulu mereka saling bermusuhan karena beda angkatan.

"Eh diluar yok, panes banget gue gak tahan," kata Gathenk.

"Nah ide bagus tuh Thenk mumpung belum ada guru," kata Verrel.

"Eeeh, mantan senior. Awas lo didenger sama guru-guru. Bahaya Glas," kata Gathenk.

"Bodo amat gue," ujarnya cuek. "Emangnya di sekolah ini yang berani sama gue siapa? Gue hajar nanti."

"Gue," kata Raskal polos.

"Ya nggak lo juga kali Kal! Yang lain gitu selain kalian. Lo kan atasan gue. Ah gimana sih," katanya.

Raskal hanya bergumam mendengarnya.

Douglas, cowok badan gede tukang bantai adik kelas yang lemah. Sebenarnya Douglas adalah senior mereka karena cowok itu tidak naik selama 1 kali saat kelas 11. Kalau sudah melihat ia berada di lorong kelas 10 dan 11 maka sudah pasti ia sedang melancarkan aksinya untuk memalak uang jajan para adik kelas. Kesan pertama bertemu Douglas mungkin cowok itu terlihat menyeramkan, tidak mau berbaur dengan teman-temannya, sombong dan juga penentang segala peraturan sekolah yang terlalu ketat. Namun sebenarnya laki-laki itu adalah orang yang ramah-pada orang-orang tertentu.

Keempatnya mulai berjalan keluar kelas namun ketika seorang murid lelaki melewati mereka, keempatnya berhenti dan memandangnya yang langsung duduk di bangku yang letaknya tepat berada di meja guru.

Raskal mendekatinya dan berdiri di depan meja cowok itu dengan kedua tangan memegang ujung meja. "Eh, Erwin," panggilnya membuat Erwin mendongak dan menatap Raskal. Sekarang Raskal terlihat sedang menatapnya dengan tatapan itu. Tatapan yang kerap kali membuat Erwin merasa dirinya menciut dan takut.

Erwin berdehem. "Kenapa Kal?" tanyanya meski sekarang ia sudah takut setengah mati melihat wajah Raskal.

Tiga minggu yang lalu Raskal marah besar padanya dan melempar kursi kelas pada Erwin karena tidak mau menuruti perkataannya. Meski tidak kena, namun tetap saja bayangan tentang itu berbekas di kepalanya yang membuat Erwin masih takut bukan main pada Raskal. Selama satu kelas dengan Raskal, Erwin tau cowok itu memang memiliki sifat yang pemaksa. Apa yang ia inginkan harus ia dapatkan. Ia selalu berkuasa penuh pada orang-orang yang tunduk padanya.

"Gue belum piket. Bisa lo piket sekarang?"

"Gue?"tanya Erwin.

"Enggak tapi Bapak lo," kata Raskal. "Yaiyalah lo! Emang siapa lagi?" bentakan Raskal membuat Erwin makin menciut di tempatnya.

"Buruan sebelum gue marah lagi," katanya membuat Erwin langsung berdiri. Tanpa menatap Raskal, cowok itu berjalan cepat menuju ke pojok belakang untuk mengambil sapu.

"Nyapu yang bersih," ujar Raskal. "Eh Ilo gue udah piket ya," katanya pada Ilo yang hanya diam di tempat duduknya. Cowok yang mejabat sebagai ketua kelas itu hanya mengehela napasnya ketika melihat Raskal dan ketiga temannya keluar kelas diiringin gelak tawa bahagia.

Bahagia di atas penderitaan orang lain.

 ******

"Teresa lo kok baru dateng? Kirain gue lo bolos," suara cewek imut itu terdengar. Ia berlari menuju ke Teresa yang baru saja masuk ke dalam kelas. Teresa melihat Varra dan Rivka berjalan menuju padanya.

"Lo telat lagi Sa?" tanya Rivka.

"Lo tuh gimana sih Riv. Yaiyalah gue telat. Gak liat apa?"

Rivka cengengesan. "Ya gue kan bertanya. Apa salahnya?"

"Udah ah gue mau masuk kelas."

"Eh lo kok bisa telat?" tanya Varra. "Pasti lo kemarin clubbing ya makanya telat?"

"Kaya yang lo bilang Ra."

"Gue selalu tau lo kan?"

"Hm."

"Dah ah gue mau ke kelas. Bahaya kalau Bu Is sampe liat gue. Gue lagi jadi buronan tuh guru BK sekarang."

"Emang tuh guru tau lo telat?"

"Tau banget," katanya. "Sialnya lagi gue sama Raskal ketauan telat bareng."

"Raskal?" tanya Varra dan Rivka spontan bersamaan.

Teresa mengangguk. "Bikin mood gue turun banget. Tadi gak sengaja bareng lewat belakang sekolah dan kita manjat."

"Lo berdua emang gila," ungkap Rivka geleng-geleng kepala. Meski Rivka dan Varra memiliki perilaku yang hampir sama dengan Teresa namun sampai sekarang keduanya tidak pernah sampai sebegitunya. Mereka hanya berani ketika bersama Teresa.

"Gue tau itu."

"Ya udah sih jangan dipikirin," ucap Varra sambil membenarkan anak rambutnya yang terbang karena angin. "Mending kita masuk kelas aja."

Ketika ketiganya hendak masuk ke dalam kelas, belum beberapa langkah pengeras suara yang ada di sekolah mereka bersuara. Suara dari kepala sekolahnya.

Panggilan untuk Teresa Rajata dan Raskal Dananjaya agar segera datang ke ruangan saya.

"Oh shit," kata Teresa sambil menjambak pelan rambutnya yang terurai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 180 Derajat   17. Masa lalu 'mereka'

    "Tidak perlu risau. Tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah terbiasa dengan semuanya."***Teresa sedang duduk, mengawasi seseorang. Perempuan itu duduk di pojokan. Dia sedang berada di satu club malam yang dingin-tempat di mana orang-orang sedang berpesta pora tanpa menyadari sudah jam berapa saat ini. Teresa melihat ponsel yang ada di genggaman tangannya. Sudah jam 12 malam tepat. Seharusnya dia pergi dari sini namun hati kecilnya menyuruh untuk menetap di sini. Pandangannya masih menatap lurus ke arah depan-ke seorang laki-laki yang sedang merenung sendirian dengan minuman alkohol di tangannya."Ling yuk ikutan ke sana," ajak Nita. Beling menoleh padanya dengan wajah lelah namun dia hanya diam. Bibir itu seperti engan membalas ucapannya. "Masa kita ke sini tapi lo gak seneng-seneng sih?""Ling. Lo kenapa?" tangan perempuan itu sudah berada di pundaknya. Beling meliriknya dan menyingkirkannya dengan halus. "Ling?""Nggak lo aja.""Tapi Ling-"

  • 180 Derajat   16. Belajar Bersama

    "Di sekitarku selalu ada banyak orang. Namun mereka tidak pernah peduli padaku. Aku selalu saja merasa sendiri dan akhirnya terlupa lagi."***Raskal yang baru saja dari kantin melihat Teresa berjalan linglung di koridor. Cowok itu akhirnya menuju ke Teresa, berjalan di sampingnya. Mengamati perempuan itu. Teresa sedang melamun tapi kakinya terus melangkah. Bahkan ia tidak menyadari kehadiran Raskal di sebelahnya."Sa?" perempuan itu seperti terkejut kecil dan mengarahkan matanya pada Raskal. "Kepentok tembok ntar baru tau rasa. Jalan tuh jangan melamun.""B aja sih.""Gue ada LKS Fisikanya Verrel. Udah isi banyak. Jadi ntar pas ke basecamp kita tinggal belajar aja.""Curang dong?""Curang gimana?""Ya itu minjem LKS temen lo.""Kita kan bisa belajar dari sana.""Tapi tetep aja keles. Sama aja kita nyontek.""Trus lo maunya apa?" Raskal berhenti hingga Teresa ikut berhenti. "Trus lo maunya kita belajar mati

  • 180 Derajat   15. Setahun yang lalu

    "Kamu tidak harus tahu sisi gelapku. Cukup kamu ada di sampingku. Menemaniku di saat seluruh orang menjauh dan tidak menerima kehadiranku. Itu sudah lebih dari cukup."****Kelas XI. Satu tahun yang lalu."Kok kamu ngajak aku ke sini?" tanya Teresa begitu Beling menaruh tas mereka berdua di sofa merah yang ada di dalam rumah sepi ini. Rumah ini cukup luas dan bertingkat. Namun Teresa tidak tau dia sedang berada di mana. Yang jelas, rumah ini menarik baginya. Ada piring-piring cekung yang sengaja dijadikan hiasan. Dindingnya juga ada yang dari bata merah, menambah kesan sederhana yang entah kenapa terlihat begitu seni."Pengen aja," jawab Beling lalu duduk di sofa. Teresa akhirnya duduk di sebelah Beling, melihat cowok itu yang sedang memejamkan mata."Ini rumah siapa?""Rumah Om aku.""Om kamu?""Iya sayang.""Apa sih sayang-sayang," cibir Teresa membuat Beling membuka mata lalu terkekeh dengan badan yang sudah kembali d

  • 180 Derajat   14. Tolong berhenti berpura - pura

    "Teresa."Teresa menoleh dan menghela napasnya ketika melihat Beling ada cukup berjarak di sebelahnya. Namun pandangan itu seperti mereka masih memiliki hubungan. Pandangan yang dulu cowok itu sering berikan tiap kali mata itu tertuju padanya. Namun ada yang ganjil. Ada sesuatu di nada suara Beling tadi. Seperti marah, namun tidak berhak. Itulah yang Teresa dengar tadi."Sa?"Teresa yang sedang berada di dalam mobilnya keluar lalu menutup pintu mobilnya dan dengan sengaja memainkan handphone-nya. Mengabaikan Beling. Kemarin Raskal membawa mobilnya pulang tanpa lecet sedikitpun."Sa kamu nggak denger?""Teresa!"Beling maju dan menghalangi jalan Teresa membuat cewek itu tetap menghindar. Akhirnya Beling mencekal pergelangan tangan perempuan itu sehingga pandangan Teresa yang tadinya tertuju pada handphone-nya jadi teralihkan pada Beling."Ngapain lagi sih lo?""Semalem kamu ke mana?""Urusan lo banget gitu?""Sa, t

  • 180 Derajat   13. Peduli?

    "Lo nyuri uang Papa lo cuman buat beliin temen-temen lo baju baru, Sa?" Raskal bertanya lalu menatap ke arah depan. Mereka sedang berada di sebuah warung makan dekat rumah Teresa. Perempuan yang ada di hadapannya ini hanya tertunduk, bagai tak berdaya. Raskal memikirkan banyak hal. Seperti. Kenapa Teresa harus mencuri? Kenapa perempuan ini terlalu 'nakal' untuk murid SMA pada umumnya. Bukankah itu terlalu. Mencuri. Kenapa gak minta aja? "Kenapa lo nggak minta aja uang sama Papa lo?" tanyanya. "Gue nggak percaya lo bisa ngelakuin itu." Raskal masih belum bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya macam-macam. Banyak sekali pertanyaan yang mulai meletup di kepalanya. "Gue cuman pake dikit, kok. Enam juta." "Cuman buat beliin Rivka sama Varra baju? Enam juta? Lo gila." "Selain itu uangnya lo pake apa lagi?" "Jangan-jangan semalem. Pas di club. Lo juga pake uang itu buat minum?" Raskal menggeleng tak percaya. Sungguh, dalam imajinasinya. Di

  • 180 Derajat   12. Mereka Bertengkar lagi

    "Jadi, lo bisa jelasin kenapa gue di rumah lo?" tanya Teresa. "Maksud gue kenapa harus elo gitu?" Raskal sedang duduk di sofa. Menyulut rokoknya di asbak. Teresa memandangnya jengkel karena sejak tadi yang dilakukan cowok itu hanya duduk dan diam sambil mengisap sebatang rokok. Benda berapi di ujungnya serta mengeluarkan asap itu sangat mengganggu pernapasannya. "Kalau lo gak jawab-jawab pertanyaan gue. Gue mau pulang. Kunci mobil gue mana?" Teresa menengadahkan tangannya pada Raskal namun cowok itu bergeming di tempatnya. Hal itu membuat Teresa menggaruk kepalanya, kesal. "Raskal lo denger gak sih?!" "Lo gak bakalan bisa pergi dari rumah gue. Gerbang rumah udah gue kunci." Teresa memandang gerbang rumah Raskal. Gerbang besar dan kokoh itu memang tertutup tanpa celah sedikitpun. "Gue mau tanya sama lo." mata Raskal menyisir rambutnya dengan tangan kiri. "Lo sama Beling masih pacaran?" "Kenapa lo nanya-nanya gitu?" Teresa merasa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status