Upacara bendera.
Dua kata yang merupakan salah satu kewajiban seorang siswa untuk mentaatinya. Suka tidak suka. Mau tidak mau. Rela tidak rela mereka harus bangun pagi untuk mengikuti upacara bendera. Makanya sebagian murid membenci hari senin karenanya. Selain kembali beraktivitas seperti biasa setelah libur sehari kemarin, mereka harus bangun pagi-pagi agar tidak terlambat ke sekolah dan juga agar tidak terlambat mengikuti upacara bendera.
"Mati gue! Mati kena omel Bu Is lagi."
Cewek itu berdiri di seberang jalan sambil melihat gerbang sekolahnya yang sudah tertutup. Ada juga para siswa yang sedang duduk-duduk di bawah palang sekolahnya dengan wajah pasrah padahal mereka sudah lengkap dengan seragam sekolah dan topi abu-abu yang berlambang Tut Wuri Handayani itu. Sudah pasti mereka juga sama terlambat datang ke sekolah sepertinya.
Cewek berseragam ketat dan juga berambut cokelat pekat itu akhirnya menyebrangi jalanan yang padat oleh kendaraan-kendaraan dan berlari menuju ke belakang sekolahnya. Ketika ia hampir sampai, seorang cowok berjalan di sampingnya dengan tergesa-gesa sambil memasang kancing seragamnya.
"Terlambat lagi?" tanyanya membuat Teresa membuang wajah ke tembok sekolah. "Udah gak usah sok gak denger. Gue cuman tanya," katanya membuat Teresa menoleh pada laki-laki itu.
"Udah tau nanya."
"Tadi kan gue bilang gue cuman tanya. Makanya kalau punya telinga tuh dipasang jangan dipajang."
"Berisik banget lo. Cowok juga."
"Siapa bilang gue cewek?"
"Lo kan tadi."
"Terus emangnya lo cewek? Kelakuan aja udah kaya cowok."
"Bisa diem nggak lo?"
Keduanya akhirnya diam, sama-sama sibuk dengan diri sendiri. Suara petugas upacara pun terdengar dari pengeras suara yang mengatakan bahwa pemimpin upacara dapat meninggalkan lapangan upacara.
"Lo mau manjat lagi?" tanya laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya ketika mereka sampai pada tembok sekolah yang tidak berisi pecahan botol kaca di bagian atasnya. Tentu saja pecahan botol kaca itu untuk menghindari anak-anak seperti mereka agar tidak bisa bebas manjat keluar masuk sekolah.
"Kalau lo udah tau jawabannya jangan nanya lagi!"
"Galak banget sih."
"Berisik tau gak?" Teresa mengambil ancang-ancang untuk manjat. Laki-laki itu mengamati Teresa yang membuat Teresa menoleh padanya.
"Ngapain lo liat-liat?" tanya Teresa galak. Tentu saja cewek itu takut laki-laki mengintip rok yang sedang ia pakai. Meski menggunakan celana pendek di dalamnya, tetap saja rasanya hal itu tidak pantas. Teresa sadar roknya terlalu pendek bahkan sudah sering kena gunting guru-guru. Makanya ia membeli rok baru dan mengecilkannya hingga pendek kembali.
"Gue kan punya mata. Emangnya gak boleh liat?" tanyanya dengan santai. Ia sudah berpakaian sekolah yang lengkap, meski tidak rapi.
"Gak bolehlah! Gila lo.'
"Siapa elo bilang gak boleh?"
"Ya gak boleh! Jauh-jauh sana."
"Lo aja yang jauh-jauh," jawab laki-laki itu santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya. Agaknya Teresa perlu melepas sepatunya dan melemparnya sekarang juga ke kepala laki-laki itu.
Tapi dengan posisinya saat ini, itu sangat mustahil.
"Cepetan lo! Jauh-jauh sana."
"Kenapa gue harus jauh-jauh? Lama banget lo. Buruan sebelum Bu Is liat. Tuh guru bisa kumat lagi cerewetnya. Males gue dengernya."
"Ya makanya lo jauh-jauh dulu!"
"Kelamaan lo," katanya sambil mendekati Teresa. "Udah buruan. Lo mau kita dihukum? Gue sih ogah dihukum. Apalagi bareng lo."
"Menurut lo gue juga mau dihukum sama lo? Gue juga ogah."
"Cepetan bangsat," kata laki-laki itu tidak sabar membuat Teresa mendengus.
"Minggir dulu sana!"
"Astaga," katanya lalu mundur beberapa langkah. "Kalau lo mikir gue bakalan ngintip lo, gue gak bakalan ngintip. Lo aja gak sepadan sama mantan-mantan gue."
"Terus gue harus peduli?" Teresa melempar tasnya hingga jatuh ke dalam sekolah. Cewek itu manjat tembok sekolahnya dibantu sebuah kursi. Teresa lalu melompat hingga ia sudah berada di dalam sekolahnya.
Tak lama laki-laki itu menyusul. Tidak perlu waktu lama untuk ia manjat tembok sekolahnya. Mungkin sudah biasa dan terlatih melakukan aksi seperti itu. Ingat dia cowok. Beda dengan Teresa.
Sekarang para murid yang baru saja pergi dari lapangan dan berjalan di dekat koridor Lab Bahasa memperhatikan mereka sambil mengipas-ngipasi wajah mereka dengan topi. Guru-guru yang semulanya saling bercanda menoleh pada mereka berdua.
"Raskal! Teresa!"
"Mampus Bu Is," kata Teresa lalu dengan cepat-cepat menggendong tasnya.
Raskal yang ada di belakang Teresa langsung bergerak untuk mendekati perempuan itu. Sedetik kemudian Ia berdiri di depannya lalu detik berikutnya ia menarik sebelah tangan cewek itu dan mengajaknya untuk berlari bersama.
"Berhenti kalian! Berhentiiiiiii!!"
"Duh Bu gak bisa berhenti nih! Udah terlanjur!" teriak Raskal membalas teriakan Bu Is. Sementara Teresa terkejut karena laki-laki itu mengajaknya lari dan berteriak demikian.
"Raskal Dananjaya!"
"Gak bisa berhenti Bu!"
"Raskallllllll!!"
Teriakan itu menggema namun Raskal tetap menarik tangan Teresa, mengajaknya lari bersama-sama membelah lautan manusia berseragam abu-abu yang ada di koridor sekolah.
"WOI RASKAL!" Raskal yang baru saja masuk ke dalam kelas langsung disambut heboh oleh ketiga temannya. Mereka sedang duduk santai di belakang dan bersender di dinding. Ketiga lelaki itu sedang mengipasi wajah mereka dengan buku tulis masing-masing. Guratan-guratan merah tampak jelas di dahi mereka. Keringat juga mengalir di lehernya. "Gila lu Gan," kata Douglas. "Jam berapa nih?" tanyanya sambil melihat jam dinding bulat hijau yang ada di atas papan tulis. "Udah jam sembilan habis upacara lo baru dateng. Memang-memang." "Time is money, Bro!" "Ter-ba-ik," timpal Gathenk mengikuti logat salah satu tokoh film kartun negara sebelah. "Pasti lo manjat lagi ya Kal?" tanyanya yang duduk di sebelah Douglas. "Itu lo tau Thenk," kata Raskal lalu duduk di depan ketiganya. Cowok itu menyisir rambutnya dengan asal. "Emang Bu Is gak marah Kal?" tanya Verrel. "Tuh guru tau lo telat?" "Tau," kata Raskal biasa. "Ya dia marahlah. Sampe teriak-ter
BRAK. Suara gebrakan meja itu membuat keduanya tersentak kaget. "Jadi katakan kenapa kalian terlambat dan manjat tembok belakang sekolah? Kalian tau itu melanggar peraturan sekolah!" Keduanya yang diomeli oleh kepala sekolah wanita mereka hanya diam. Baik Raskal dan Teresa sama-sama tidak mengeluarkan suara. Mereka seperti dijebak. Di depan mereka ada tiga orang yang lebih tua dari mereka. Dua guru BK dan kepala sekolah. Bu Is dan Pak Ahmad berdiri di samping kepala sekolah mereka yang sedang duduk di kursi. "Bu kita cuman terlambat. Lagian lebih baik terlambat ke sekolah daripada bolos," kata Raskal yang sedang duduk santai seperti ia duduk di warpeng. Warung pengkol sekolah yang merupakan tempat tongkrongan bagi murid-murid tipe seperti Raskal. "Diem kamu! Saya belum nyuruh kalian ngomong!" Raskal akhirnya diam. Ia melirik Teresa yang sedang sibuk meniup-niup poni panjangnya ke atas. Kebiasaan yang sudah Raskal hafal. Oh buka
"Eh muka lo kenapa kusut gitu Kal?" tanya Douglas ketika Raskal berjalan menuju ke arah pertigaan koridor kelas X dan XI. Ada 3 alasan mengapa teman-temannya berdiam di sini. YANG PERTAMA, mereka di sini mau MALAK uang jajan adik kelas dengan embel-embel senior. YANG KEDUA, mau CAPER ke adik kelas. YANG KETIGA, males ke kantin karena sedang ramai. Lagi pula, siapa yang tidak takut dengan badan besar Douglas? Baru saja mereka, alias adik kelas yang keluar dari kelas itu hendak menuju ke kantin, mereka langsung mengambil jalur pintas agar tidak melewati Douglas, Verrel, dan Gathenk. Sebagian dari mereka pun memilih masuk kembali ke dalam kelas. Benar-benar payah, pikir Raskal. "Lo kaya habis kena kurang point dari Pak Ahmad," kata Gathenk. "50 apa 100 Kal?" tanyanya. "Berisik lo Babi," kata Raskal spontan. "Gue bukan Babi," gerutu Gathenk. "Ngejawab lagi lo!" seru Raskal tiba-tiba galak. "Berantem-berantem aja lo berdua," Verrel
"Jadi lo gak mau cerita gitu Sa?" Perkataan Varra membuat Teresa yang sedari tadi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan mengintip dari sela-sela jarinya. Mereka bertiga sedang berada di kantin dan duduk di satu meja panjang. Letak meja itu ada di dekat pedagang yang sedang melayani banyak murid yang berebutan membeli nasi. Rivka menatap Teresa dengan alis mengerut, bertanya-tanya. Ada apa dengannya. Varra yang ditatap Rivka pun hanya mengendikan bahunya, tidak tau. Ia benar-benar tidak tau kan? Dan juga Teresa sedari tadi tidak mau berbicara sejak masuk ke dalam kelas. Setelah keluar dari ruang kepala sekolah tentunya. Merasa didiamkan meski ditatap oleh Teresa membuat Varra kembali bertanya, "Kalau gitu lo lo pada gak mau makan nih? Kita ke sini mau makan kan? Gue udah laper," keluh Varra. "Gue mau beli siomay. Lo berdua gak makan?" Teresa merasa mood makannya hilang hari ini. Gimana bisa ia makan kalau pikirannya melayang-layang pada kejadian
Saat ini Teresa sedang berjalan di koridor dan selama jam istirahat di hari ini, ia tidak akan ke kantin lagi. Tidak dengan Beling dan kedua temannya, Saka dan Yogi. Ia bahkan tidak memberitahu Rivka dan Varra. Sedikit lagi ia sampai di kelasnya namun seseorang menarik sebelah tangannya. "What the-" Raskal langsung menarik Teresa ke kamar mandi yang ada di dekat sana. Tidak kasar namun itu terlalu terburu-buru dan Teresa hanya bisa melihat sebentar wajah Raskal karena cowok itu sudah berbalik badan dan menariknya masuk ke dalam kamar mandi. Setelah Raskal melepaskan tarikannya, ia langsung mendengar teriakan Teresa. "LO TUH APA-APAAN SIH?!" Raskal menjauh, refleks. "Jangan teriak-teriak bego. Ntar dikiranya gue ngapa-ngapain lo." "Terus ngapain lo ngajak gue ke sini?!" kalimat itu keluar begitu lancar dari mulut Teresa tak lupa dengan nada galaknya. "Udah gue bilang jangan teriak-teriak. Dengerin gue dulu." "Apa?" kata
"EH GLAS! Sumpeh lo udah mesen rujak berapa kali? Itu cabe. Astaga," Gathenk geleng-geleng kepala, benar-benar heran ketika melihat Douglas yang membawa sepiring rujak di tangan kanannya.Douglas berjalan untuk duduk di depannya dengan mulut kepedasan lalu cowok itu mengambil minuman esnya yang ada di atas meja. Wajahnya pun sudah merah merambat hingga telinga dan lehernya. Kalau di keadaan seperti ini Douglas tidak terlihat seperti sosok Kakak kelas yang harus ditakuti seperti dulu tetapi lebih mirip sosok teman yang sebaya dengan mereka. Itu mungkin karena kini mereka terbiasa bersama."Itu cabe berapa Glas?" tanya Raskal keheranan. "Kuat banget lo sama pedes.""Yang namanya cowok itu harus kuat sama yang namanya pedes. Ini baru pedes cabe. Gimana sama pedesnya omongan istri lo nanti?" tanyanya Douglas, masih menahan pedas di bibirnya."Ntar kalau perut lo kenapa-napa baru ngeluh-ngeluh. Baru nyesel," kata Verrel yang sedang mengaduk-ngaduk es tehnya de
Sebagian hati Teresa membenci rumahnya sendiri. Itu benar. Jika ada pepatah bilang kalau rumahku adalah istanaku. Maka bagi Teresa: rumahku adalah nerakaku. Cewek itu masuk ke dalam rumahnya. Rumah ini. Dulunya terasa hangat dan nyaman namun kini seluruh rasa itu telah hilang. Lenyap begitu saja. Tidak ada rasa hangat yang dulu melingkupi mereka. Sekarang yang ada hanya kekacauan. Semuanya terasa datar. Hambar. Suara piring dipecahkan membuat refleks Teresa mundur. Lalu disusul suara panci jatuh ke lantai dan itu menimbulkan bunyi yang sangat tidak enak didengar. "OH! JADI KAMU GITU MAS?! SAMA SI YULIA LAGI?! KAMU TIDUR DI RUMAH DIA? IYAKAN?!" Teresa mundur. Badannya membentur pelan daun pintu rumahnya. Hampir setiap hari ia mendengar keributan ini. "Kamu jangan teriak-teriak Thea! Saya lagicapek." "CAPEK APANYA? CAPEK APA KAMU? KAMU AJA SERING BOLOS NGANTOR!" "Thea!""Apa?! Kamu mau nyangkal lagi?!""Atau kamu mau mukul lagi
Hari ini trek-trekan batal. Ada polisi di sana.Chat itu masuk sekitar 5 detik yang lalu ke handphone Raskal setelah cowok itu membersihkan badannya. Sejam yang lalu Raskal baru saja pulang dari ngumpul-ngumpul bersama teman-temannya. Chat itu dikirim oleh Beling. Ada polisi? Berarti di tempat itu sudah tidak aman untuk trek-trekan. Memang, tempat itu sudah lama menjadi incaran para polisi. Bahkan ada yang pernah diciduk langsung. Verrel Bramantyo: Kal hari ini trek-trekan batal. Beling ada PC lo? Raskal Dananjaya: Ada barusan. Verrel Bramantyo: Gue bosen di rumah. Temenin gue ke club gimana? Raskal terdiam melihat chat Verrel. Club malam? Boleh juga. Lagian Raskal memang malas di rumah. Ia juga malas mengerjakan PR-nya. PR bisa besok pagi ia buat di sekolah secara kebut-kebutan. Kebiasaan rutin yang tidak akan pernah hilang dari Raskal. Murid memang selalu begitu. PR kadang kala dijadikan pekerjaan sekolah. Verrel Bramantyo