"Tidak perlu risau. Tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah terbiasa dengan semuanya."
***
Teresa sedang duduk, mengawasi seseorang. Perempuan itu duduk di pojokan. Dia sedang berada di satu club malam yang dingin-tempat di mana orang-orang sedang berpesta pora tanpa menyadari sudah jam berapa saat ini. Teresa melihat ponsel yang ada di genggaman tangannya. Sudah jam 12 malam tepat. Seharusnya dia pergi dari sini namun hati kecilnya menyuruh untuk menetap di sini. Pandangannya masih menatap lurus ke arah depan-ke seorang laki-laki yang sedang merenung sendirian dengan minuman alkohol di tangannya.
"Ling yuk ikutan ke sana," ajak Nita. Beling menoleh padanya dengan wajah lelah namun dia hanya diam. Bibir itu seperti engan membalas ucapannya. "Masa kita ke sini tapi lo gak seneng-seneng sih?"
"Ling. Lo kenapa?" tangan perempuan itu sudah berada di pundaknya. Beling meliriknya dan menyingkirkannya dengan halus. "Ling?"
"Nggak lo aja."
"Tapi Ling-"
"Udah berapa kali Papa sama Mama bilang sama kamu Raskal. Jangan berkelahi di sekolah. Kamu cari keributan di sana-sini. Bikin ulah terus. Papa sama Mama dipanggil terus sama guru BK kamu. Apa kamu gak malu Raskal?!"Pemuda dengan seragam sekolah putih abu-abu sedikit terkena noda merah darah yang sedang duduk tegap di sofa dengan pandangan sedikit merunduk ke karpet itu sedang disidang kedua orangtuanya.Ia memegang dan menggerak-gerakkan rahangnya yang terasa sakit. Keadaannya saat ini babak belur, namun tidak terlalu parah. Ia masih ingat kemenangannya saat ia berhasil mengalahkan lawannya. Tentu saja kalau ia tidak menang, harga dirinya akan jatuh.Bara, ayahnya menghela napas. Begitu juga dengan Vina, ibunya. Ia hanya bisa diam melihat kemarahan suaminya."Udah kelas 12 tapi kelakuan kamu kaya anak kecil," ucap ayahnya kontan membuat Raskal menatapnya. Ayahnya sedang memunggunginya. Ia masih lengkap dengan pakaian kantornya. Berjas hitam eksekutif. S
Pada hari, jam, menit dan detik yang sama. Seorang cewek berambut cokelat buatan dan berwajah oval itu sedang tidur terlentang di kasurnya. Matanya yang beriris hitam menatap pada langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Kepalanya kini menoleh ke sebelah kanan dan melihat vape ada di dekat bantalnya. Kini tangannya terulur untuk mengambil vape itu dan langsung menghisapnya. Ia mengembuskannya sehingga mendadak kamarnya dipenuhi asap. DOR DOR DOR! "Teresa buka pintunya!" Suara teriakan dibarengi dengan gedoran pintu itu terdengar kesal dan semakin menjadi-jadi. "Teresa buka pintunya!" Suara gedoran itu semakin kuat dan keras. Siapa pun yang mendengarnya pasti tau kalau gedoran itu berasal dari orang yang sedang marah. "Pasti kamu kan yang mecahin kaca di kamar Papa sama nyuri kartu kredit di laci kamar?" Teresa menguap dan melirik pintu kamarnya. Pintu itu sudah sering diganti karena sering dirusak Theo, ayahnya. Tentu saja akibat gedoran-gedoran da
Upacara bendera.Dua kata yang merupakan salah satu kewajiban seorang siswa untuk mentaatinya. Suka tidak suka. Mau tidak mau. Rela tidak rela mereka harus bangun pagi untuk mengikuti upacara bendera. Makanya sebagian murid membenci hari senin karenanya. Selain kembali beraktivitas seperti biasa setelah libur sehari kemarin, mereka harus bangun pagi-pagi agar tidak terlambat ke sekolah dan juga agar tidak terlambat mengikuti upacara bendera."Mati gue! Mati kena omel Bu Is lagi."Cewek itu berdiri di seberang jalan sambil melihat gerbang sekolahnya yang sudah tertutup. Ada juga para siswa yang sedang duduk-duduk di bawah palang sekolahnya dengan wajah pasrah padahal mereka sudah lengkap dengan seragam sekolah dan topi abu-abu yang berlambang Tut Wuri Handayani itu. Sudah pasti mereka juga sama terlambat datang ke sekolah sepertinya.Cewek berseragam ketat dan juga berambut cokelat pekat itu akhirnya menyebrangi jalanan yang padat oleh kendaraan-kendaraan
"WOI RASKAL!" Raskal yang baru saja masuk ke dalam kelas langsung disambut heboh oleh ketiga temannya. Mereka sedang duduk santai di belakang dan bersender di dinding. Ketiga lelaki itu sedang mengipasi wajah mereka dengan buku tulis masing-masing. Guratan-guratan merah tampak jelas di dahi mereka. Keringat juga mengalir di lehernya. "Gila lu Gan," kata Douglas. "Jam berapa nih?" tanyanya sambil melihat jam dinding bulat hijau yang ada di atas papan tulis. "Udah jam sembilan habis upacara lo baru dateng. Memang-memang." "Time is money, Bro!" "Ter-ba-ik," timpal Gathenk mengikuti logat salah satu tokoh film kartun negara sebelah. "Pasti lo manjat lagi ya Kal?" tanyanya yang duduk di sebelah Douglas. "Itu lo tau Thenk," kata Raskal lalu duduk di depan ketiganya. Cowok itu menyisir rambutnya dengan asal. "Emang Bu Is gak marah Kal?" tanya Verrel. "Tuh guru tau lo telat?" "Tau," kata Raskal biasa. "Ya dia marahlah. Sampe teriak-ter
BRAK. Suara gebrakan meja itu membuat keduanya tersentak kaget. "Jadi katakan kenapa kalian terlambat dan manjat tembok belakang sekolah? Kalian tau itu melanggar peraturan sekolah!" Keduanya yang diomeli oleh kepala sekolah wanita mereka hanya diam. Baik Raskal dan Teresa sama-sama tidak mengeluarkan suara. Mereka seperti dijebak. Di depan mereka ada tiga orang yang lebih tua dari mereka. Dua guru BK dan kepala sekolah. Bu Is dan Pak Ahmad berdiri di samping kepala sekolah mereka yang sedang duduk di kursi. "Bu kita cuman terlambat. Lagian lebih baik terlambat ke sekolah daripada bolos," kata Raskal yang sedang duduk santai seperti ia duduk di warpeng. Warung pengkol sekolah yang merupakan tempat tongkrongan bagi murid-murid tipe seperti Raskal. "Diem kamu! Saya belum nyuruh kalian ngomong!" Raskal akhirnya diam. Ia melirik Teresa yang sedang sibuk meniup-niup poni panjangnya ke atas. Kebiasaan yang sudah Raskal hafal. Oh buka
"Eh muka lo kenapa kusut gitu Kal?" tanya Douglas ketika Raskal berjalan menuju ke arah pertigaan koridor kelas X dan XI. Ada 3 alasan mengapa teman-temannya berdiam di sini. YANG PERTAMA, mereka di sini mau MALAK uang jajan adik kelas dengan embel-embel senior. YANG KEDUA, mau CAPER ke adik kelas. YANG KETIGA, males ke kantin karena sedang ramai. Lagi pula, siapa yang tidak takut dengan badan besar Douglas? Baru saja mereka, alias adik kelas yang keluar dari kelas itu hendak menuju ke kantin, mereka langsung mengambil jalur pintas agar tidak melewati Douglas, Verrel, dan Gathenk. Sebagian dari mereka pun memilih masuk kembali ke dalam kelas. Benar-benar payah, pikir Raskal. "Lo kaya habis kena kurang point dari Pak Ahmad," kata Gathenk. "50 apa 100 Kal?" tanyanya. "Berisik lo Babi," kata Raskal spontan. "Gue bukan Babi," gerutu Gathenk. "Ngejawab lagi lo!" seru Raskal tiba-tiba galak. "Berantem-berantem aja lo berdua," Verrel
"Jadi lo gak mau cerita gitu Sa?" Perkataan Varra membuat Teresa yang sedari tadi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan mengintip dari sela-sela jarinya. Mereka bertiga sedang berada di kantin dan duduk di satu meja panjang. Letak meja itu ada di dekat pedagang yang sedang melayani banyak murid yang berebutan membeli nasi. Rivka menatap Teresa dengan alis mengerut, bertanya-tanya. Ada apa dengannya. Varra yang ditatap Rivka pun hanya mengendikan bahunya, tidak tau. Ia benar-benar tidak tau kan? Dan juga Teresa sedari tadi tidak mau berbicara sejak masuk ke dalam kelas. Setelah keluar dari ruang kepala sekolah tentunya. Merasa didiamkan meski ditatap oleh Teresa membuat Varra kembali bertanya, "Kalau gitu lo lo pada gak mau makan nih? Kita ke sini mau makan kan? Gue udah laper," keluh Varra. "Gue mau beli siomay. Lo berdua gak makan?" Teresa merasa mood makannya hilang hari ini. Gimana bisa ia makan kalau pikirannya melayang-layang pada kejadian
Saat ini Teresa sedang berjalan di koridor dan selama jam istirahat di hari ini, ia tidak akan ke kantin lagi. Tidak dengan Beling dan kedua temannya, Saka dan Yogi. Ia bahkan tidak memberitahu Rivka dan Varra. Sedikit lagi ia sampai di kelasnya namun seseorang menarik sebelah tangannya. "What the-" Raskal langsung menarik Teresa ke kamar mandi yang ada di dekat sana. Tidak kasar namun itu terlalu terburu-buru dan Teresa hanya bisa melihat sebentar wajah Raskal karena cowok itu sudah berbalik badan dan menariknya masuk ke dalam kamar mandi. Setelah Raskal melepaskan tarikannya, ia langsung mendengar teriakan Teresa. "LO TUH APA-APAAN SIH?!" Raskal menjauh, refleks. "Jangan teriak-teriak bego. Ntar dikiranya gue ngapa-ngapain lo." "Terus ngapain lo ngajak gue ke sini?!" kalimat itu keluar begitu lancar dari mulut Teresa tak lupa dengan nada galaknya. "Udah gue bilang jangan teriak-teriak. Dengerin gue dulu." "Apa?" kata