Share

8. Bertahan

Sebagian hati Teresa membenci rumahnya sendiri. Itu benar. Jika ada pepatah bilang kalau rumahku adalah istanaku. Maka bagi Teresa: rumahku adalah nerakaku. Cewek itu masuk ke dalam rumahnya. Rumah ini. Dulunya terasa hangat dan nyaman namun kini seluruh rasa itu telah hilang. Lenyap begitu saja. Tidak ada rasa hangat yang dulu melingkupi mereka. Sekarang yang ada hanya kekacauan. Semuanya terasa datar. Hambar.

Suara piring dipecahkan membuat refleks Teresa mundur. Lalu disusul suara panci jatuh ke lantai dan itu menimbulkan bunyi yang sangat tidak enak didengar.

"OH! JADI KAMU GITU MAS?! SAMA SI YULIA LAGI?! KAMU TIDUR DI RUMAH DIA? IYAKAN?!"

Teresa mundur. Badannya membentur pelan daun pintu rumahnya. Hampir setiap hari ia mendengar keributan ini.

"Kamu jangan teriak-teriak Thea! Saya lagi

capek."

"CAPEK APANYA? CAPEK APA KAMU? KAMU AJA SERING BOLOS NGANTOR!"

"Thea!"

"Apa?! Kamu mau nyangkal lagi?!"

"Atau kamu mau mukul lagi?"

"Thea tolong. Apa gak cukup masalah Teddy? Jangan ditambah-tambah lagi."

"TEDDY UDAH MENINGGAL! DAN KAMU YANG NAMBAH-NAMBAH MASALAH! ITU SEMUA GARA-GARA KAMU NGANGKAT ANAK SIALAN ITU!"

"Thea!"

"APA?! KAMU PIKIR AKU GAK CAPEK MAS?"

"Thea cukup Thea."

"CUKUP KAMU BILANG?! SEJAK KAMU NGANTOR DI SANA. KAMU BERUBAH TAU MAS! AKU JUGA CAPEK!"

"THEA!"

"APA?! MAU NYANGKAL APA LAGI KAMU?!"

Suara pukulan membuat Teresa memejamkan matanya. Setelah itu hening. Teresa tak mendengar apa-apa lagi. Kepalanya terasa pusing. Namun kali ini memang benar-benar hening setelah teriakan-teriakan itu. Teresa membuka matanya dengan perlahan. Ia masih belum berani menolong. Masih belum berani membela. Bagai patung. Ia hanya diam di tempat tanpa melakukan apa-apa.

"Kamu cuman bisanya mukul aja! Tapi tetep aku nggak bakalan diem!"

"Halah udahlah! Lama-lama saya capek juga!"

Teresa melihat Ayahnya, Theo berjalan keluar dari dapur. Theo kaget dengan kehadiran Teresa di rumah namun pria itu hanya menatapnya sekejap saja dan akhirnya tetap berjalan menuju keluar rumah-meninggalkan rumah yang dulu selalu memberikannya kenyaman. Meninggalkan rumah yang selalu menjadi tempat mereka berteduh dari sinar matahari dan hujan. Meninggalkan rumah yang sudah ditempati Teresa sejak kecil, sejak ia belum bisa merangkak dan berjalan.

Kadang kala di saat Teresa sendiri, ia memikirkan banyak hal dan merindukan suasana rumahnya yang dulu. Kenyamannya. Keamannya. Dan kegilaannya. Dulu di rumah ini, saat ada Teddy, rasanya begitu nyaman. Penuh canda dan tawa. Tak terhitung sudah berapa kali Teddy melakukan hal itu dengan mudah.

Namun setelah Teddy pergi, rumah ini terasa begitu hampa. Rumah ini seperti kehilangan penopangnya karena itu. Tidak ada lagi canda. Tidak ada lagi tawa. Dan tidak ada lagi senyuman yang mampu membuat Teresa merasa terlindungi olehnya. Tidak ada lagi Abang yang akan menjaganya dan cemas dengan keadaannya yang belum pulang atau bermain terlalu lama di rumah teman. Semuanya telah berlalu menjadi kenangan yang tidak akan pernah Teresa lupakan dalam hidupnya. Kita tidak akan pernah sadar bahwa waktu bisa berjalan secepat yang tidak kita duga.

Suara pecahan kembali terdengar yang membuat Teresa tersadar dari lamunannya dan berjalan dengan buru-buru menuju ke arah dapur. Keadaan dapur: hancur. Ia melihat Mamanya duduk di lantai dengan pecahan-pecahan kaca piring yang ada di dekatnya.

"Ma," panggil Teresa dengan suara lembut membuat Thea menatapnya. Teresa berjongkok di depannya dan menyingkirkan sedikit pecahan-pecahan itu. "Ma jangan na-"

"Mau ngapain kamu?!" Teresa tersentak mendengar itu. "Gak usah deket-deket!"

"Ma tapi-"

"Apa?! Sana-sana ke kamar kamu! Nggak usah urusin saya!"

"Ma jangan kaya gini."

"Kenapa emangnya?!" balas Thea dengan suara keras. "Seharusnya kamu yang mati bukan Teddy! Anak saya jadi meninggal gara-gara kamu. Tau?!"

"Mama Sa-"

"Nggak usah panggil saya Mama! Saya

nggak punya anak kaya kamu!" Teresa diam, membiarkan Thea meluapkan seluruh emosinya.

"Dasar anak pembawa sial!"

Teresa masih diam, menikmati seluruh caci maki yang semakin hari semakin membuka luka yang sudah menganga lebar di hatinya. Namun Teresa sama sekali tidak peduli. Perempuan rapuh itu mendekat dan sebelah tangannya terulur untuk mengusap pipi Mamanya yang berlinang air mata namun Thea menyentaknya sehingga Teresa mencobanya lagi. Tangannya sedikit bergetar menyentuh permukaan wajah Mamanya yang sedang menatapnya dengan pandangan kosong. Jenis pandangan melamun.

"Saya harus bagaimana lagi supaya Mama bisa sayang sama saya Ma?" tanya Teresa. Mata teduh itu menatapnya penuh luka. Sorot rindu itu menari-nari dan makin meliar di matanya. "Saya gak pernah minta apa-apa sama Mama. Saya tau kejadian itu pasti buat Mama tambah benci sama saya. Tapi apa gak bisa sekali aja Mama anggep saya sebagai anak Mama?" tanya Teresa sambil membersihkan air mata itu. 

Tiba-tiba saja ia teringat Teddy yang selalu mendapatkan seluruh curahan kasih sayang dari orang-orang yang ada di dekatnya. 

"Saya rela diperlakukan seperti apapun termasuk seperti binatang kalau itu bisa membuat Mama anggep saya sebagai anak Mama."

Teresa menjauhkan tangannya dan tersenyum kecil. Senyum yang hanya bisa diciptakan Teddy. Senyum yang mampu membuat Theo pulang ke rumah.

"Maafin Papa Ma. Mungkin dia lagi capek. Nanti saya telpon dia supaya pulang. Mama nggak usah khawatir."

"Bagus," kata Thea setelah lama terdiam. "Bagus kalau kamu nyadar harus ngelakuin apa."

"Kamu tau? Saya berharap kamu yang mati.

Bukan Teddy."

"Iya saya tau Ma."

"Seharusnya kamu pergi dari sini. Kamu cuman anak angkat. Seharusnya kamu sadar posisi kamu."

Teresa diam mendengarnya. Ia sudah diusir secara langsung dengan kata-kata itu. Tapi ia tidak mungkin pergi dari rumah ini. Cuman rumah ini tempat tinggalnya. Cuman rumah ini yang bisa menjadi tempatnya bersembunyi dari realitas yang ada. Teresa tidak mungkin meninggalkan Papa dan Mamanya. Teresa hanya punya mereka. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Asal-usulnya pun tidak jelas. Hal itu kembali membuatnya terpukul.

"Saya obatin luka Mama ya?" tanya Teresa mengalihkan pembicaraan ketika melihat luka kecil di dahi sebelah kiri Thea.

"Nggak usah. Saya bisa ngobatin sendiri."

Wanita itu berdiri yang membuat Teresa mendongak menatapnya lalu ikut berdiri namun tetap saja senyum penuh kesabaran itu tidak lepas dari bibirnya. Seberapa kali ia di caci. Seberapa kali ia disakiti. Seberapa kali ia diperlakukan tidak pantas. Teresa tidak akan pernah membalas. Ia masih 'tau diri' pada orang yang membesarkannya dulu meski sifat nakal yang ia miliki tidak akan pernah hilang dari Teresa.

"Seharusnya pas saya nemu kamu di teras saya buang aja kali ya di panti? Bodoh saya ngasi Theo ngangkat kamu sebagai anak."

Thea akhirnya memilih pergi meninggalkan Teresa. Teresa kemudian bersender di dinding dan menghela napas karena lagi-lagi perkataan yang keluar dari mulut Mamanya itu menyakiti hatinya. Ia mengambil handphone-nya dan mencari sebuah foto. Foto yang selalu menjadi penyemangat Teresa ketika Thea dan Theo tidak mau menyemangatinya. Mungkin Theo lupa dan Thea tidak mau peduli. Atau bisa jadi keduanya tidak peduli padanya.

Akhirnya foto itu ia lihat kembali. Fotonya dengan Teddy saat masih SD dengan seragam putih merah lengkap dengan topi upacara. Waktu itu acara 17 Agustus. Teresa terpilih sebagai pengibar bendera yang berada di samping kanan dan Teddy di sebelah kiri. Anak laki-laki itu terlihat senang sehingga mengajak Teresa berfoto saat upacara sudah selesai. Waktu itu yang memfoto mereka adalah Theo yang belum terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan.

Tapi kembali lagi pada kenyataan. Untuk yang kesekian kalinya, Teresa memilih tetap bertahan. Tetap begini dan mencoba sebisanya untuk membuat hati Thea luluh kepadanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status