"EH GLAS! Sumpeh lo udah mesen rujak berapa kali? Itu cabe. Astaga," Gathenk geleng-geleng kepala, benar-benar heran ketika melihat Douglas yang membawa sepiring rujak di tangan kanannya.
Douglas berjalan untuk duduk di depannya dengan mulut kepedasan lalu cowok itu mengambil minuman esnya yang ada di atas meja. Wajahnya pun sudah merah merambat hingga telinga dan lehernya. Kalau di keadaan seperti ini Douglas tidak terlihat seperti sosok Kakak kelas yang harus ditakuti seperti dulu tetapi lebih mirip sosok teman yang sebaya dengan mereka. Itu mungkin karena kini mereka terbiasa bersama.
"Itu cabe berapa Glas?" tanya Raskal keheranan. "Kuat banget lo sama pedes."
"Yang namanya cowok itu harus kuat sama yang namanya pedes. Ini baru pedes cabe. Gimana sama pedesnya omongan istri lo nanti?" tanyanya Douglas, masih menahan pedas di bibirnya.
"Ntar kalau perut lo kenapa-napa baru ngeluh-ngeluh. Baru nyesel," kata Verrel yang sedang mengaduk-ngaduk es tehnya dengan sedotan. "Tumben ya Warpeng sepi," katanya lagi.
Raskal menyadari hal itu. Warpeng biasanya di jam segini ramai. Bahkan ramainya bisa mengalahkan pasar. Tapi sepertinya pemikiran Raskal terlalu berlebihan. Namun sekarang di Warpeng cuman ada sekitar sepuluh orang di Warpeng. Itu pun sebagian dari mereka sudah selesai makan gado-gado.
Di Warpeng atau 'Warung Pengkol' memang terkenal dengan cita rasa gado-gadonya. Tempat ini bisa menjadi tempat di mana murid-murid SMA Nusantara yang dominan laki-laki tukang rusuh di sekolah atau tukang bolos kumpul dan makan sambil mengajak pacar mereka. Bahkan ada yang menjadikan tempat ini sebagai tempat untuk saling bertemu dengan mereka yang memiliki pacar beda sekolah.
"Thenk pesenin gue gado-gado gih," suruh Verrel pada Gathenk ia mengeluarkan dompet cokelatnya dan memberikan Gathenk uang lima puluh ribu. "Beli krupuk juga."
"Enak aja lo! Pesen sana sendiri."
"Yah Thenk lo begitu banget lo sama gue. Gue udah PW nih," kata Verrel. "Pesenin kenapa dah."
"PW pala lo peyang! Kagak-kagak. Lo aja sana. Gue juga udah PW."
"Tai."
Douglas melotot pada Verrel karena ia sedang mengunyah.
"Sorry-sorry deh," kata Verrel geli. "Kebayang lo ya?" seringainya membuat Douglas langsung cegukan dan itu langsung disambut tawa Verrel.
"Sialan banget lo. Gue lagi makan lo ngomong tai-tai," kata Douglas lalu meminum minuman esnya. "Hampir aja tuh batu cabe masuk ke tenggorokan gue," ujarnya lagi dengan wajah kesal.
"Yee salah gue apa? Orang gue kan refleks ngomong gitu."
"Woi-woi liat ke sana," suruh Douglas. Sontak saja Raskal, Verrel, dan Gathenk menoleh dan di depan sekolah ada dua orang yang sedang tarik-tarikan. Lebih tepatnya Teresa mencoba menjauh dari Beling. Mereka menghalangi jalan menuju ke sekolah. Apalagi motor Beling berada di depan mobil Teresa.
"Si Beling. Udah mantan masih aja dikejar-kejar," ujar Gathenk. "Gak move on. Move on dia."
"Bego si mutusin Teresa," kata Douglas.
"Emang Beling masih suka sama Teresa?"
Douglas mengangkat bahunya ketika mendengar pertanyaan Raskal.
"Tapi kalau kelakuannya kaya gitu sih gue rasa masih," ucap Verrel.
"Orangnya udah nggak suka masih aja dipaksa-paksa." Gathenk melihat Raskal meminum es-nya lalu menaruh uang sambil berdiri.
"Eh Kal lo mau kemana?"
"Mau ngambil motor di basement," katanya jutek. Raskal menyebrang jalanan. Cowok itu menuju ke arah Teresa dan Beling yang membuat ketiga temannya tau kalau Raskal tidak hanya akan mengambil motornya ke basement sekolah.
"Kalau mau pacaran jangan di tengah jalan," sindir Raskal. "Sana cari tempat sepi."
Teresa menatap tajam cowok itu.
"Oh ya Sa. Jangan lupa kerja kelompok kita."
Raskal sengaja.
Teresa tau kalau Raskal sengaja berkata demikian di depan Beling.
Dan sekarang Beling menampilkan wajah
bingungnya. "Maksud lo apa?" tanya Beling terdengar
marah pada Raskal.
"Tanya aja sendiri sama Teresa."
Beling menoleh pada Teresa. "Apa?" tanya Teresa ketus.
"Kerja kelompok?" tanya Beling. Suaranya penuh rasa tidak suka.
"Kenapa emangnya?"
"Sa-"
"Udah deh jangan ganggu gue. Gue mau pulang." Teresa berjalan masuk ke dalam mobilnya. Dengan sengaja ia menekan klakson mobilnya dan suara klakson itu terdengar panjang sehingga membuat orang-orang melihat ke arah mereka.
Beling yang melihat itu akhirnya melirik Raskal. Namun dengan songongnya Raskal menaikan sebelah alisnya. Beling memundurkan motornya dari depan mobil Teresa lalu Teresa langsung menekan pedalnya dan pergi dari sana dengan kecepatan yang terbilang lumayan untuk seorang perempuan.
Raskal bersiul untuk menuju ke sekolah namun Beling menarik seragam sekolahnya.
"Ntar malem. Berani nggak lo?"
"Lo ngomong sama siapa?"
Rasanya Beling ingin menonjok cowok yang ada di hadapannya ini.
Namun dia tidak mau bunuh diri karena ada Douglas yang sedang duduk di Warpeng dan menyaksikan mereka.
"Menurut lo gue ngomong sama siapa? Jangan jadi banci lo."
"Oke. Di mana?"
"Ntar malem trek-trekan di jalur biasa. Awas sampe lo nggak dateng."
Raskal mengangguk, santai. "Ada lagi?"
"Nggak. Itu aja."
Raskal akhirnya meninggalkan Beling, menuju ke basement sekolah. Ketika ia turun, ia berjalan menuju ke arah motornya namun langkah kakinya terhenti begitu melihat sebuah tepat mading yang sudah berdebu. Raskal akhirnya menuju ke sana dan mengurungkan niatnya untuk mengambil motor. Sebenarnya tidak ada yang menarik cuman Raskal ingin melihatnya saja. Namun ketika matanya tertuju pada kertas merah kecil yang tertempel di paling bawah manding membuatnya berjongkok untuk melihat tulisan itu.
Udah lama ya gak ketemu. Kakak apa kabar?
Sa cuman mau bilang kalau Sa sayang banget sama Kakak.
Kalau nggak ada Kakak, Sa nggak bakalan bisa kaya sekarang.
Sa maunya Kakak pulang tapi Sa tau kalau itu nggak mungkin.
Hati-hati ya. Maafin kalau Sa banyak salah sama Kakak.
Maaf Sa belum bisa jadi adik yang baik.
-Sa.
Raskal melihat tanggal, bulan dan tahun yang ada di atas mading. Tulisan ini sudah dibuat 2 tahun lalu. Itu artinya saat masa-masa Raskal masih belum mengerti tentang kehidupan anak SMA. Saat itu ia masih kelas X. Raskal berdiri. Sa? Nggak mungkin Teresa. Cewek itu, jangankan membuat tulisan untuk di mading. Buat PR aja jarang.
"Tidak perlu risau. Tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah terbiasa dengan semuanya."***Teresa sedang duduk, mengawasi seseorang. Perempuan itu duduk di pojokan. Dia sedang berada di satu club malam yang dingin-tempat di mana orang-orang sedang berpesta pora tanpa menyadari sudah jam berapa saat ini. Teresa melihat ponsel yang ada di genggaman tangannya. Sudah jam 12 malam tepat. Seharusnya dia pergi dari sini namun hati kecilnya menyuruh untuk menetap di sini. Pandangannya masih menatap lurus ke arah depan-ke seorang laki-laki yang sedang merenung sendirian dengan minuman alkohol di tangannya."Ling yuk ikutan ke sana," ajak Nita. Beling menoleh padanya dengan wajah lelah namun dia hanya diam. Bibir itu seperti engan membalas ucapannya. "Masa kita ke sini tapi lo gak seneng-seneng sih?""Ling. Lo kenapa?" tangan perempuan itu sudah berada di pundaknya. Beling meliriknya dan menyingkirkannya dengan halus. "Ling?""Nggak lo aja.""Tapi Ling-"
"Di sekitarku selalu ada banyak orang. Namun mereka tidak pernah peduli padaku. Aku selalu saja merasa sendiri dan akhirnya terlupa lagi."***Raskal yang baru saja dari kantin melihat Teresa berjalan linglung di koridor. Cowok itu akhirnya menuju ke Teresa, berjalan di sampingnya. Mengamati perempuan itu. Teresa sedang melamun tapi kakinya terus melangkah. Bahkan ia tidak menyadari kehadiran Raskal di sebelahnya."Sa?" perempuan itu seperti terkejut kecil dan mengarahkan matanya pada Raskal. "Kepentok tembok ntar baru tau rasa. Jalan tuh jangan melamun.""B aja sih.""Gue ada LKS Fisikanya Verrel. Udah isi banyak. Jadi ntar pas ke basecamp kita tinggal belajar aja.""Curang dong?""Curang gimana?""Ya itu minjem LKS temen lo.""Kita kan bisa belajar dari sana.""Tapi tetep aja keles. Sama aja kita nyontek.""Trus lo maunya apa?" Raskal berhenti hingga Teresa ikut berhenti. "Trus lo maunya kita belajar mati
"Kamu tidak harus tahu sisi gelapku. Cukup kamu ada di sampingku. Menemaniku di saat seluruh orang menjauh dan tidak menerima kehadiranku. Itu sudah lebih dari cukup."****Kelas XI. Satu tahun yang lalu."Kok kamu ngajak aku ke sini?" tanya Teresa begitu Beling menaruh tas mereka berdua di sofa merah yang ada di dalam rumah sepi ini. Rumah ini cukup luas dan bertingkat. Namun Teresa tidak tau dia sedang berada di mana. Yang jelas, rumah ini menarik baginya. Ada piring-piring cekung yang sengaja dijadikan hiasan. Dindingnya juga ada yang dari bata merah, menambah kesan sederhana yang entah kenapa terlihat begitu seni."Pengen aja," jawab Beling lalu duduk di sofa. Teresa akhirnya duduk di sebelah Beling, melihat cowok itu yang sedang memejamkan mata."Ini rumah siapa?""Rumah Om aku.""Om kamu?""Iya sayang.""Apa sih sayang-sayang," cibir Teresa membuat Beling membuka mata lalu terkekeh dengan badan yang sudah kembali d
"Teresa."Teresa menoleh dan menghela napasnya ketika melihat Beling ada cukup berjarak di sebelahnya. Namun pandangan itu seperti mereka masih memiliki hubungan. Pandangan yang dulu cowok itu sering berikan tiap kali mata itu tertuju padanya. Namun ada yang ganjil. Ada sesuatu di nada suara Beling tadi. Seperti marah, namun tidak berhak. Itulah yang Teresa dengar tadi."Sa?"Teresa yang sedang berada di dalam mobilnya keluar lalu menutup pintu mobilnya dan dengan sengaja memainkan handphone-nya. Mengabaikan Beling. Kemarin Raskal membawa mobilnya pulang tanpa lecet sedikitpun."Sa kamu nggak denger?""Teresa!"Beling maju dan menghalangi jalan Teresa membuat cewek itu tetap menghindar. Akhirnya Beling mencekal pergelangan tangan perempuan itu sehingga pandangan Teresa yang tadinya tertuju pada handphone-nya jadi teralihkan pada Beling."Ngapain lagi sih lo?""Semalem kamu ke mana?""Urusan lo banget gitu?""Sa, t
"Lo nyuri uang Papa lo cuman buat beliin temen-temen lo baju baru, Sa?" Raskal bertanya lalu menatap ke arah depan. Mereka sedang berada di sebuah warung makan dekat rumah Teresa. Perempuan yang ada di hadapannya ini hanya tertunduk, bagai tak berdaya. Raskal memikirkan banyak hal. Seperti. Kenapa Teresa harus mencuri? Kenapa perempuan ini terlalu 'nakal' untuk murid SMA pada umumnya. Bukankah itu terlalu. Mencuri. Kenapa gak minta aja? "Kenapa lo nggak minta aja uang sama Papa lo?" tanyanya. "Gue nggak percaya lo bisa ngelakuin itu." Raskal masih belum bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya macam-macam. Banyak sekali pertanyaan yang mulai meletup di kepalanya. "Gue cuman pake dikit, kok. Enam juta." "Cuman buat beliin Rivka sama Varra baju? Enam juta? Lo gila." "Selain itu uangnya lo pake apa lagi?" "Jangan-jangan semalem. Pas di club. Lo juga pake uang itu buat minum?" Raskal menggeleng tak percaya. Sungguh, dalam imajinasinya. Di
"Jadi, lo bisa jelasin kenapa gue di rumah lo?" tanya Teresa. "Maksud gue kenapa harus elo gitu?" Raskal sedang duduk di sofa. Menyulut rokoknya di asbak. Teresa memandangnya jengkel karena sejak tadi yang dilakukan cowok itu hanya duduk dan diam sambil mengisap sebatang rokok. Benda berapi di ujungnya serta mengeluarkan asap itu sangat mengganggu pernapasannya. "Kalau lo gak jawab-jawab pertanyaan gue. Gue mau pulang. Kunci mobil gue mana?" Teresa menengadahkan tangannya pada Raskal namun cowok itu bergeming di tempatnya. Hal itu membuat Teresa menggaruk kepalanya, kesal. "Raskal lo denger gak sih?!" "Lo gak bakalan bisa pergi dari rumah gue. Gerbang rumah udah gue kunci." Teresa memandang gerbang rumah Raskal. Gerbang besar dan kokoh itu memang tertutup tanpa celah sedikitpun. "Gue mau tanya sama lo." mata Raskal menyisir rambutnya dengan tangan kiri. "Lo sama Beling masih pacaran?" "Kenapa lo nanya-nanya gitu?" Teresa merasa