Share

03 - Getaran

Jane menatap telapak tangannya sendiri yang sejak tadi tak berhenti bergetar. Dia tahu dia masih merasakan bekas getaran gempa itu, bayangan mereka dikejar-kejar oleh mahluk seperti zombie hingga kematian Hanbin yang ada di depan matanya, semuanya masih tercetak jelas di dalam kepalanya. Dia masih sangat ingin menganggap semua ini hanyalah mimpi buruk, tapi melihat bagaimana tangannya tak berhenti bergetar, menyadari bahwa respon tubuhnya bahkan sudah tak bisa menahan ketakutannya sendiri.

Dia tahu semua ini adalah realita.

Terlebih setelah mereka berhasil keluar dan melihat keadaan yang ada, semua ini benar-benar membuatnya tak bisa berkata-kata.

Gadis itu menggenggam lengannya sendiri mencoba menahan tubuhnya agar berhenti bergetar, sebelum akhirnya memerhatikan Wonu yang kini menyetir membawa mobil mereka menembus jalanan rusak Jakarta.

“Kita akan kemana?” tanya Jane memerhatikan Wonu yang sedang memberikan sekotak tisu pada Nira, gadis itu masih menangis sejak tadi.

“Rumahku,” balas satu-satunya pemuda di dalam mobil itu. “Kalian semua berasal dari luar kota, kan? Hanya aku yang tinggal di sini, dan setidaknya kita harus temukan tempat aman dulu sebelum membentuk rencana yang lain.” Mata Wonu terfokus pada jalanan kota yang benar-benar hancur akibat tornado, sejak tadi dia mencoba mencari jalan aman agar mereka tetap bisa berada di dalam mobil dan sampai dengan cepat. “Walaupun aku juga tak yakin ada tempat aman di kota ini.”

Semua orang terdiam mendengar balasan panjang Wonu. Apa yang pemuda itu ucapkan memang benar adanya, terlebih mereka juga tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Gempa, munculnya mahluk seperti zombie, hingga tornado yang baru saja menjauh dari tempat mereka sudah cukup mengejutkan. Keempat orang itu tak tahu lagi apa yang akan mereka lakukan jika hal yang lebih dari ini akan terjadi.

Cuna sendiri masih mencoba mengatur napasnya, sama seperti Jane, gadis itu menggenggam lengannya sendiri sambil mencoba menenangkan dirinya agar tak lagi merasa takut ataupun panik. Dia tahu itu adalah respon yang wajar dari tubuhnya mengingat segala hal yang baru saja mereka lalui, tapi tetap saja dia harus mencoba lebih tenang, agar dia bisa berpikir dengan benar, agar setidaknya … dia tahu apa yang harus mereka lakukan setelah ini.

“Aku sudah tak bisa membayangkan hal-hal buruk yang lebih dari ini,” buka Nira sambil mencoba menghentikan isakkannya. “Jika ini adalah mimpi, aku ingin segera bangun. Jika bukan, kupikir bunuh diri adalah pilihan terbaik untuk saat ini. Aku takkan sanggup hidup di dunia seperti ini.”

“Nira …” gumam Jane miris tanpa sadar, sedangkan Cuna hanya diam menatap gadis yang duduk di samping Wonu itu.

“Kau tak boleh berbicara seperti itu, Nira …” Wonu ikut membuka suara, seringai tipisnya terbentuk tanpa sadar. “Ini mungkin terdengar gila, tapi kau tahu? Dunia seperti ini akan membebaskan kita untuk membunuh siapapun, hukum moral yang negara ataupun lingkungan buat sudah tak berlaku lagi, kita bebas melakukan apapun. Bahkan tanpa harus menyematkan kata ‘atas nama kemanusiaan’ ck, sejujurnya aku membenci alasan sok mulia itu.”

Nira menatap pemuda itu dengan kesal, “Kau seakan sedang mengharapkan bahwa dunia seperti ini menjadi kenyataan Wonu, apa kau memang seingin itu mencoba membunuh sesuatu?”

“Aku selalu ingin mencoba membunuh sesuatu jika saja membunuh itu tak dilarang dan tak dosa,” balas pemuda itu cuek. Pemuda itu lalu mengangkat satu tangannya, memperlihatkan pada Nira respon tubuhnya yang sama seperti gadis itu. “Lihat, tanganku juga gemetaran. Aku menahan panikku, hingga tubuhku masih bergetar sampai detik ini. Tapi jujur saja … aku pernah mengharapkan dunia seperti ini ada, hingga rasanya aku tak begitu takut untuk menghadapinya.”

“Aku juga memikirkan hal itu,” balas Cuna akhirnya membuka suara.

Nira menoleh ke belakang menatap Cuna tak percaya, “Astaga! Aku tahu kau penulis horror terkenal itu tapi aku sama sekali tak tahu kau punya pikiran segila Wonu, Cuna!” kesal gadis itu membuat Jane tertawa.

Dia tak tahu apa yang lucu, tapi entah mengapa dia sangat ingin tertawa melihat reaksi Nira atas pernyataan Cuna dan Wonu. Sebab baginya, keinginan seperti itu sudah biasa bagi mereka yang sering sekali menulis kisah-kisah tragis, entah karena mereka memiliki imajinasi yang terlalu gila … atau terlalu naif.

“Aku juga pernah memikirkannya Ra, kupikir dunia seperti ini akan mengasikkan jika aku hidup di dalamnya.” Jane akhirnya ikut menambahi komentar Wonu.

Nira menghela napas dengan kasar mendengar hal itu, dia lalu kembali menatap ke depan dan memerhatikan kehancuran jalanan yang mereka lewati. “Imajinasi penulis seperti kalian itu memang mengerikan,” gumamnya tanpa sadar, “Aku takkan bisa bertahan di dunia seperti ini, kematian Hanbin bahkan masih sangat membekas di benakku dan itu benar-benar membuatku takut. Melihat kematian orang-orang di hadapanku, itu … menakutkan. Kupikir tak lama setelah ini aku akan gila jika aku tak bisa menghadapi rasa takutku sendiri.”

“Tapi kau tak bisa mati begitu saja dan kalah tanpa kisah, Nira. Setiap kehidupan itu ada karena kita layak mendapatkannya, jangan menyerah hanya karena hal kecil.”

“Hal kecil?” tanya Nira menatap pemuda di sampingnya itu dengan kesal, “Apa semua ini hal kecil? Bencana separah ini?!”

Cuna menghela napas mendengar Nira menaikkan nada suaranya beberapa oktaf, dia yakin gadis itu sedang sangat marah sekarang. “Aku tahu ini gila Nira …” gadis itu berujar dengan tenang, “Jika kau tak bisa bertahan hidup demi mempertahankan sesuatu yang kau sayangi, setidaknya jangan mati dulu sebelum kau berhasil menghancurkan hal yang kau benci,” tutup Cuna membuat Nira terperangah.

Gadis itu masih terdiam mendengar kalimat tersebut. Tiba-tiba saja wajah seseorang yang sangat dia benci terlintas di kepalanya dan itu membuatnya menahan diri untuk tak mengamuk. “Simple-nya, jika kau tak bisa membunuh atas nama kebaikan, maka jadilah pendosa untuk menghabisi segala hal. Iya bukan?” tanyanya dibenarkan oleh Cuna, sedangkan Wonu dan Jane tersenyum mendengar hal itu.

Nira menatap sekelilingnya, memang aneh berada disekitar orang-orang yang punya pemikiran segila mereka bertiga. Tapi Cuna tahu bahwa mungkin dia masih tetap menjadi waras jika teman-temannya seperti ini, mungkin saja … dia juga bisa hidup lebih lama untuk membalaskan rasa kecewanya.

“Apa masih jauh?” tanya Cuna menatap sekelilingnya.

“Sebentar lagi, tidak jauh dari ini kok.”

Jane terdiam, sedangkan Cuna juga masih membeku menyaksikan apa yang baru saja mereka lewati.

“Ini … benar-benar bukan mimpi kan?” gumam Jane yang sejak tadi mengikuti arah pandangan Cuna. Gadis yang mendengar ucapan Jane itu masih saja terdiam, masih mencoba mencerna apa yang baru saja mereka lihat.

“Apa? Kalian kenapa?” tanya Nira menoleh ke belakang, mencoba melihat apa yang Jane dan Cuna saksikan namun gadis itu tak dapat melihatnya. “Kalian menemukan apa?”

Hwek! Fuck! Aku mual!” kesal Jane menutup mulutnya sendiri.

Nira masih menatap Jane tak paham, sedangkan Wonu hanya melirik Cuna dari kaca sepion. Pemuda yang memegang kemudi itu lantas mengangkat alis, seakan mempertanyakan apa yang mereka lihat ketika Cuna akhirnya memutar kepala dan menatapnya.

“Ada anak kecil tadi di pinggir jalan …” Gadis itu menelan salivanya tanpa sadar ketika ingin melanjutkan kalimatnya, “Dia sedang … memakan tangan korban yang tubuhnya sudah hancur karena tertimbun bangunan.”

Dua detik, tiga detik, Wonu dan Nira masih terdiam mencoba mencerna apa yang Cuna katakan. Hingga akhirnya pemuda itu dengan cepat menginjak rem membuat Cuna dan Jane hampir jatuh, serta Nira yang sudah menghantupkan kepalanya di pada mobil.

“Bangs—“

Fuck! Memakan?!”

“MAAF!”

Jane dan Nira mengumpat bersamaan dengan Wonu yang langsung meminta maaf setelah tiba-tiba menghentikan mobil. Pemuda itu lalu kembali menjalankan mobilnya sambil menghela napas dengan kasar, dia lalu melirik Jane yang masih menatapnya dengan kesal, juga Nira yang masih memegangi kepalanya kesakitan.

“Maaf … ah, sial. Apa yang tadi kau katakan? Cuna?”

“Anak kecil itu, dengan mulut yang sudah penuh akan bercak darah, sedang memakan tangang manusia, tangan korban yang tubuhnya sudah hancur karena tertimpa bangunan.” Jane menggantikan Cuna untuk menjelaskan apa yang mereka lihat, “Hwek! Aku bahkan tak ingin membayangkannya, menjijikkan! Kenapa dengan anak kecil tadi?” kesalnya lagi.

“Mau melihatnya?” tawar Wonu.

“JANGAN!” teriak Jane dan Nira bersamaan.

“Jangan sekarang, lebih baik kita fokus pada tujuan awal kita dulu.” Cuna ikut memberi saran.

Wonu terdiam cukup lama melihat reaksi ketiga kawannya itu, dia lalu melirik sepion mobil untuk mencari keberadaan anak kecil itu namun dia sama sekali tak menemukannya. “Ok, anggaplah kalian hanya berhalusinasi karena aku tak melihat hal itu dengan mata kepalaku sendiri,” ucapnya membuat kesimpulannya sendiri. “Sebentar lagi kita sampai kok, kalian tetaplah di mobil dan aku akan masuk sendiri nanti.”

“Hah?” tanya Jane membalas pemuda itu dengan kesal.

“Dengar, lebih mudah jika kalian tetap menjaga mobil. Siapa yang bisa membawa mobil disini?” tanya pemuda itu dibalas Nira dan Cuna dengan acungan tangan, sedangkan Jane hanya menyandarkan punggungnya pada kursi mobil. “Okey, Cuna nanti memegang kemudi. Aku akan masuk sendiri, biarkan pintu terbuka ok?”

“Kenapa tak berdua saja?” kali ini Nira yang membuka tanya.

“Karena akan merepotkan, aku hanya akan masuk untuk mengecek keadaan. Jika keadaan baik, maka kalian akan kuajak masuk bersama, jika tidak aku hanya mengambil makanan dan kembali pergi dengan cepat. Aku tak ingin ada kematian lagi, ok?” ucapnya membuat Nira terdiam, sedangkan Jane dan Cuna mengangguk pelan memahami rencana Wonu.

Nira sama sekali tak membalas perintah Wonu, gadis itu lebih memilih untuk memerhatikan jalanan ketika mereka akhirnya memasuki kawasan perumahan. Dia menatap sekeliling tempat itu yang cukup hancur, namun dibandingkan jalanan pusat kota yang tadi mereka lewati, ini tak separah sebelumnya. Mungkin saja, disini masih banyak orang yang selamat.

Gadis itu tak ingin memikirkan Hanbin sekalipun isi kepalanya masih dipenuhi oleh ekspresi Hanbin yang mati tertusuk di hadapannya, entah mengapa pemuda itu bisa terlihat tenang, tidak terlihat takut ataupun kesakitan, Nira masih bisa mendengar suara Hanbin yang menyuruhnya lari sekalipun dia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Dia masih ingat bagaimana Hanbin masih mencoba menahan pintu itu sekalipun dia sedang mendekati ajalnya sendiri. Dia masih ingat semua kejadian itu dengan sangat jelas, kepanikannya, air mata, rasa kagetnya, suara, hingga bau kekacauan di hotel itu, dia masih sangatlah ingat dengan semua itu.

Mobil Wonu akhirnya berhenti di depan rumahnya. Tempat itu masih terlihat utuh sekalipun ada beberapa retakan di sekitar dindingnya, di sekitar mereka tak begitu banyak mayat ataupun mahluk yang mirip dengan zombie hingga dia pikir mungkin saja wilayah ini masih tergolong aman.

Pemuda itu akhirnya memilih keluar dari mobil tersebut, Cuna memindahkan posisi duduknya ke bangku kemudi sedangkan Nira ikut keluar dari mobil tersebut ketika Wonu hendak masuk ke dalam rumah.

“Kau mau kemana?” tanya Jane memerhatikan Nira.

“Aku?” tanya gadis itu tanpa sadar, Wonu kini sudah benar-benar masuk ke dalam rumah tersebut. “Aku ingin bersama Wonu.”

“Nira …” tegur Cuna membuat Nira menatapnya.

Gadis itu membiarkan pintu masuk mobil bagian depan terbuka, dia lalu mendengkus malas sambil berjalan menuju pintu belakang mobil dan siap untuk membukanya. “Bercanda, aku hanya ingin duduk dengan Jane. Biar Wonu yang di depan,” ucapnya tak mendapatkan jawaban dari kedua gadis itu.

Tangan Nira masih menggenggam pintu belakang mobil itu, dia lalu menatap sekelilingnya untuk melihat-lihat keadaan sedangkan Cuna dan Jane hanya terdiam sambil sesekali melirik Wonu yang belum keluar dari rumah tersebut, tak ada suara keributan di dalam sana.

Namun Nira, gadis itu membisu. Matanya terfokus pada sosok yang berjongkok di atas atap, di ujung perumahan tersebut.

Sosok itu memiliki rambut yang panjang, dengan sayap halus berwarna hitam pekat yang memeluk tubuhnya sendiri. Nira dapat melihat tanduk yang tumbuh dengan panjang berbeda di dahi sosok tersebut, juga dengan tulang-tulang putih yang mencuat runcing keluar dari punggung tangan sosok itu.

Nira meneguk salivanya tanpa sadar, lalu berucap terbata ketika melihat mahluk tersebut menyeringai, memperlihatkan taring dan sisi bibirnya yang penuh akan darah. Dia tak bisa melihat wajah mahluk itu dengan jelas karena rambutnya yang sangat panjang itu menutupi setengah wajah mahluk tersebut.

Namun jujur saja bagi Nira … seringai itu benar-benar sangat mengerikan.

Guys, ap—ap-apa, ka—ka—“

“Nira kau kenapa?” tegur Jane tanpa sadar.

Nira mengengedipkan matanya dan detik itu juga mahluk tersebut menghilang, gadis itu membulatkan matanya tak percaya. “KA—KALIAN?! APA KALIAN LIHAT?!” paniknya menatap kedua gadis tersebut.

“Apa??!” tanya Jane ikut heboh.

“ITU! DI ATAP RUMAH UJUNG BANGUNAN! AH SIAL DIA MENGHILANG!” kesal gadis itu meremas rambutnya sendiri. “APA KALIAN BENAR-BENAR TAK MELIHATNYA?!” hebohnya lagi.

Cuna dan Jane mengikuti arah yang Nira maksud namun kedua gadis itu sama sekali tak bisa menemukan apapun, “Apa maksudmu? Tak ada apapun disa—“

“AAKHHH!” teriakan keras dari dalam rumah itu membuat ketiga gadis tersebut terdiam, lalu mengalihkan fokus mereka dengan segera.

“Itu … itu suara Wonu,” gumam Nira tanpa sadar. “Bi … biar aku saja yang ma—ma—“

“Lihat tanganmu!” dingin Cuna menghampiri Nira yang masih ada di luar mobil. “Kau masih gemetaran Nira, bahkan lebih parah dari sebelumnya!” Gadis itu akhirnya mengucapkan kalimat yang cukup panjang.

“Ambil alih kemudi, aku yang akan menghampiri Wonu.”

Cuna memaksa Nira masuk ke dalam mobil tersebut dan tanpa menutup pintunya, dia langsung pergi masuk ke dalam rumah tersebut, tak lupa membawa kayu besar yang dia temukan di depan rumah untuk berjaga-jaga.

Jane menatap Nira yang kini masih menggenggam kemudi dengan tangan gemetarannya, “Apa yang kau lihat? Nira?” tanya gadis itu, lalu matanya teralih pada Cuna yang baru saja memasuki rumah Wonu. “Apa yang—“

“Aku … melihat mahluk menyeramkan, dia bukan zombie,” gumam Nira masih mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Mahluk itu … memiliki sayap hitam di punggungnya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status