Suasana mendadak sunyi setelah gempa itu berakhir. Tak ada lagi suara keributan dari orang-orang yang panik berlarian ataupun suara barang-barang yang berjatuhan, Nira mengangkat kepalanya sambil melirik sekelilingnya yang kini masih tak bereaksi.
Mereka pingsan? Pikirnya menatap keempat orang yang ada di sekitarnya.
Gadis itu tanpa sadar menyentuh tangan Wonu lalu berpindah pada Jane, senyuman tipisnya terukir tipis saat menyadari bahwa tubuh mereka masih hangat, mereka belum mati.
“Seseorang … anakku …”
Nira membulatkan matanya tanpa sadar ketika mendengar suara kecil yang disambung dengan suara langkah terseret, “Anakku … tolonglah ….” Gadis itu menutup kedua telinganya dan kembali menundukkan kepala, tak ingin mendengar lagi hal-hal seperti itu dan membuat kepalanya memutarkan berbagai adegan mengerikan yang sering dia lihat di film-film.
“Seseorang … to—AKH!”
Nira meremas surainya sendiri mencoba meredam suara itu. Tadi gempa, lalu sekarang suara jeritan seseorang yang kemungkinan sudah terbunuh. Tak ada jejak suara benda-benda jatuh atau hal-hal yang mungkin bisa membunuh orang itu karena efek musibah, kepala Nira terus memikirkan segala hal di luar akal mengingat gempa ini juga jarang sekali terjadi di Jakarta.
Ini juga bukan gempa yang sama seperti gempa yang biasa terjadi di Jogja beberapa pekan lalu.
“Sudah berhenti?” gumam Jane mengangkat kepala.
“Sepertinya,” balas Wonu yang kini masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. “Apa kau mendengar suara orang teriak tadi?”
“Tidak, siapa?” tanya Jane menatap pemuda itu. “Apa Jawa memang sesering ini terkena gempa? Mengerikan.”
“Tidak, ini pertamakalinya.” Pemuda itu menatap Jane yang kini sedikit merangkak untuk keluar dari meja, “Kau ingin kemana?”
“Keluar, mengecek keadaan.” Gadis itu melirik Wonu, “Kau ingin tetap disini?”
“Jangan sekarang!” ujar Nira dengan jeritan tertahannya, gadis itu lalu menutup mulutnya sendiri sambil menatap takut kedua temannya itu, “Gak aman, ada monster.”
Jane terkekeh sinis mendengar ucapan Nira, “Imajinasimu liar sekali untuk ukuran penulis fiksi remaja?” sindirnya. “Tak mungkin ada mons—“ Kalimat gadis itu terputus karena tindakkan tiba-tiba Cuna yang langsung berdiri setelah menggeser pelindung meja di belakangnya.
“Tempat ini lebih hancur dari apa yang kuduga.” gumam Cuna tanpa sadar. Jane dan Wonu sudah siap untuk berdiri, namun telapak tangan Cuna yang ada di hadapan mereka memberi kode untuk tetap menahan diri, melarang mereka untuk ikut berdiri.
“Aku tak yakin juga minusku bertambah hanya karena selamat dari gempa, tapi …” Gadis itu mengambil ponselnya dan menyalakan senter yang ada disana, lalu mengarahkan pada sesuatu yang dia lihat. “Atau apa yang Nira bilang memang benar?”
“ZOMBIE?!” heboh seseorang yang ada di belakang Cuna tiba-tiba saja berdiri, Hanbin membulatkan matanya tak percaya. “Wah! Apa minuman terakhir kita diberi ramuan tertentu? Harusnya ini ilusi.”
Wonu yang tak tahan dengan rasa penasarannya akhirnya mengabaikan peringatan Cuna dan ikut berdiri dari tempatnya bersembunyi, pemuda yang memang terbiasa menulis kisah-kisah mengerikan itu menyeringai tanpa sadar. “Jika memang zombie, harusnya ini akan menarik.”
Dia lalu mengambil serpuhan kayu yang cukup panjang, setelah itu mengambil ponsel di tangan Cuna dan mengarahkan cahaya tipis dari senter di ponsel itu pada sosok yang berjalan gontai tak jauh di hadapan mereka, lalu memotretnya agar bisa melihat bentuk yang lebih jelas dari mahluk tersebut. Cuna membulatkan matanya tak percaya, Hanbin kehilangan kata-katanya sedangkan Wonu tersenyum menyadari bahwa dia bisa melihat hal seperti ini dengan nyata.
Itu manusia, harusnya, pikir Wonu.
Dia tak sepenuhnya seperti zombie sekalipun cara berjalannya sedikit gontai dan pincang, rambutnya tak begitu rontok dan malah sangatlah panjang hingga menyentuh lutut, mata sosok itu berwarna biru gelap dengan iris mata yang berwarna putih, ada beberapa luka cakar di tangan dan kakinya serta suaranya tak begitu jelas sampai Wonu pikir, mungkin saja itu bukan zombie.
Pemuda itu memilih melangkah mendekat. Jane dan Nira keluar dari persembunyian mereka dan berdiri di samping Cuna sedangkan Hanbin mengikuti Wonu dari belakang. Dengan langkah santai, Wonu mencoba menyentuh mahluk itu dan dengan cepat menghempaskan kepalanya hingga lepas menggunakan kayu saat mahluk tersebut mencoba menerjangnya.
“Ini cuma satu kan ya?” tanya pemuda itu mengabaikan raut wajah kaget keempat orang di sekitarnya itu.
“KO-KOK ANDA SANTAI SEKALI?!” heboh Jane langsung membuat Cuna membekap mulut Jane. Menahan gadis itu agar tak berteriak lebih banyak agar tak menarik banyak perhatian.
“Jangan teriak, mereka bisa aja bereksi berlebihan sama suara.” Cuna memperingati.
Namun gadis itu jelas terlambat. Beberapa orang yang terluka karena reruntuhan bangunan, serta suara berisik dari luar ruangan yang memperjelas akan adanya hal besar yang akan datang. Nira membulatkan matanya tak percaya ketika mahluk-mahluk itu menerjang masuk melewati pintu masuk aula hotel dan langsung mengejar mereka.
“CEPAT LARI!” heboh Jane langsung memimpin pelarian tersebut.
“KAU YANG MEMBUAT MEREKA DATANG BRENGSEK!” kesal Wonu tanpa sadar.
Mahluk yang mengejar mereka tak begitu banyak, dari baju dan tingkah mereka juga, Jane tahu bahwa mahluk tersebut tidak berasal dari acara yang tadi mereka ikuti. Semua orang yang ada di ruangan itu sepertinya mati, beberapa terluka, ataupun berhasil kabur. Jika mahluk tadi benar-benar zombie, mungkin mereka hanya bisa saling menularkan melalui gigitan ataupun sentuhan seperti di film-film, lari mahluk itu juga tak begitu kencang dan jumlahnya tak banyak. Jika dia tahu jalan keluar, mereka pasti bisa lolos dari sini.
Mereka berlari memasuki ruangan tunggu yang biasa digunakan para pemilik acara, Jane membulatkan matanya ketika Hanbin membalapnya dan memimpin pelarian, namun gadis itu tak memiliki pilihan lain karena dia sendiri pun tak tahu jalan agar mereka bisa keluar dari aula tersebut.
“Kau tahu tempat ini?” tegur gadis itu mencoba mencapai Hanbin.
“Makanya jangan mengurung diri di kamar!” kesal Hanbin melirik ke belakang, memerhatikan ketiga kawannya yang mulai menyusul. “Ada dapur di dekat sini yang cukup dekat dengan basement, tapi aku tak yakin tempat itu aman.”
“Tak ada tempat aman! Cepatlah!” heboh Jane memaksanya untuk lebih cepat berpikir agar mereka bisa melewati sekumpulan mahluk aneh itu.
“Kesini!” gertak pemuda itu menarik Jane untuk masuk ke salah satu ruangan, dia lalu memukul mahluk lain yang ada di dalam sana dengan kursi yang dia temukan bersamaan dengan Jane yang baru saja masuk ke ruangan itu.
Beberapa detik setelahnya, Cuna, Nira, dan Wonu berhasil masuk. Mereka lalu dengan cepat menutup ruangan itu dan menahannya dengan berbagai meja dan kursi, sedangkan Hanbin dan Jane memilih untuk menghabisi tiga mahluk aneh yang ada di dalam sana, beruntung dapur menyediakan banyak benda tajam, dan mereka bisa menggunakannya.
“Gila!” keluh Jane setelah berhasil menghancurkan salah satu kepala dari mahluk berseragam koki tersebut. “Jadi benar-benar zombie?”
“Anggaplah begitu,” ujar Cuna sambil mendudukan diri di salah satu meja.
Nira masih mengatur napasnya sedangkan Wonu mengitari ruangan itu untuk memeriksa keadaan, berharap tak ada mahluk aneh lain yang tiba-tiba bisa saja menyerang mereka. Hanbin kini memilih bersandar pada tumpukkan meja yang sedang menahan pintu masuk mereka, agar mahluk-mahluk itu tak menerobos masuk.
“Apa kalian tahu akan hal ini?” Keempat orang itu menatap Hanbin tak paham, “Kalian tahu aku suka menulis fiksi sejarah bukan? Ada banyak sejarah dan mitos di dunia yang jarang sekali bisa dipecahkan, tapi dari beberapa mitos itu, ada juga mitos yang dengan sengaja dijaga oleh pemerintah agar tak terbongkar ke seluruh dunia.”
“Apa maksudmu?” tanya Jane tak mengerti.
“Di Indonesia, ada satu mitos yang setiap kali kau mencoba untuk mengisahkan itu ke internet. Situsnya pasti akan langsung dihapus oleh pihak pemerintah.” Hanbin menatap sekelilingnya, “Kita punya waktu bukan, aku perlu menyampaikan ini secepat mungkin. Bisa saja ini memang penting.”
“Langsung saja, Hanbin.” Wonu mendudukan diri di samping Cuna yang sejak tadi masih terdiam, sedangkan Nira dan Jane memilih untuk menyimak ucapan pemuda itu.
“Mitos itu tentang ras yang dilenyapkan 200 tahun yang lalu. Mereka adalah ras iblis yang bisa membuka gerbang ilusi milik mahluk-mahluk tak kasat mata, jika mereka berhasil melakukan itu. Maka manusia akan kembali hidup di nerakanya, ras itu bernama Wr—“
Hanbin membulatkan matanya tak percaya. Mulutnya memuntahkan darah, kepalanya tanpa sadar menunduk dan menatap jari-jari berlapis tulang yang tajam, dengan kulit keriput berwarna coklat kebiruan, yang menembus dadanya. “Ni … ra, per … gi!” lirihnya menatap wajah Nira yang terciprat darahnya, gadis itu masih menatapnya dengan mata membulat kaget bersama air mata yang sudah jatuh menyusuri pipi.
“NIRA!” panggil Wonu menepuk keras bahu Nira, membuat gadis itu tersadar. “Ayo pergi!”
“Ta—tapi Hanbin!” cicitnya masih menahan diri untuk tak beranjak pergi.
“Dia tak bisa selamat!” ucap pemuda itu lalu dengan paksa menarik Nira agar pergi bersamanya dan dua gadis yang lain.
Cuna memimpin pelarian itu, membawa mereka menyusuri dapur tersebut dan sampai ke pintu keluar. Gadis itu masih tak bisa mempercayainya, dia pikir mahluk itu hanya bisa mengejar dan lari mereka juga tak cepat, tapi tanpa dia sangka, mahluk itu juga memiliki tangan yang tajam, tangan itu bahkan bisa menembus tumpukkan meja berbahan kayu yang tadi mereka susun.
“Basement! Ayo!” ujar Wonu melewati Cuna.
Gadis itu membulatkan mata tak percaya, “Kemana Nira—“ jeritnya tertahan karena kepalanya lebih dulu menoleh ke belakang, dan mendapati Nira yang berlari dengan Jane.
Entah harus merasa lega atau sebaliknya, tapi dia memilih bersyukur karena Nira masih bisa berlari bersama mereka. Walaupun Hanbin …, Cuna dengan cepat menggeleng keras mencoba mengabaikan rasa nyeri di hatinya.
Ini bukan saatnya, ini bukan waktunya! batin gadis itu mencoba menguatkan dirinya.
Dia harus kembali mengingat apa yang Hanbin katakan, dia harus yakin bahwa pemuda itu memang mengatakan kebenaran dan dia harus mencaritahunya lebih jauh. Mungkin saja ras yang Hanbin maksud adalah ras yang membuka semua kekacauan ini, mungkin saja semua yang ada disini sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari, mungkin saja mereka memang sedang menjadi tumbal untuk menentukan perubahan di masa depan.
“Jane! Ke basement!” teriak Cuna memberikan informasi pada Jane dan Nira, ketika dia sudah sampai di pintu keluar lorong itu.
Beruntungnya gempa tadi tak menghancurkan basement dan tak banyak juga orang yang berada di sini sehingga dia juga tak harus menghadapi mahluk aneh lagi. Tak lama setelah gadis itu menginjakkan kaki di basement dan membantu Jane serta Nira untuk menutup pintu keluar tersebut, mereka akhirnya langsung disambut oleh Wonu yang kini sudah berada di dalam mobilnya.
Dengan cepat ketiga gadis itu langsung menghampiri Wonu dan masuk ke dalam mobil tersebut. Tanpa menunggu ketiganya memasang sabuk pengaman, Wonu dengan cepat menancapkan gasnya dan menabrak asal berbagai mahluk aneh agar mereka bisa keluar dari tempat itu.
Wonu berusaha keras untuk tetap fokus mengemudi selama matanya menangkap pemandangan baru di luar hotel. Nira menutup mulutnya sendiri dan kembali menangis, Jane dan Cuna tak bisa lagi berkata-kata. Semua yang mereka lihat bukanlah mimpi, pelarian mereka, kematian Hanbin, gempa yang terjadi beberapa waktu yang lalu, semuanya adalah kenyataan, semua itu bukanlah sebatas imajinasi liar mereka saja.
Jalanan kota rata dengan mobil-mobil yang terhempas ke atap dan dinding bangunan, berbagai bagian tubuh yang tercecer dan darah yang menghiasi pemandangan mereka telah membuktikan semuanya. Tempat ini benar-benar jauh dari kata baik-baik saja.
Tanpa sadar Jane menoleh ke belakang, matanya membulat sempurna mendapati tornado berwarna hitam pekat yang berjalan menjauh dari tempat mereka dan membawa berbagai hal bersamanya.
“Tadi itu … bukan gempa,” lirih Jane tanpa sadar. “Kita baru saja lolos dari sebuah tornado.”
Jane menatap telapak tangannya sendiri yang sejak tadi tak berhenti bergetar. Dia tahu dia masih merasakan bekas getaran gempa itu, bayangan mereka dikejar-kejar oleh mahluk seperti zombie hingga kematian Hanbin yang ada di depan matanya, semuanya masih tercetak jelas di dalam kepalanya. Dia masih sangat ingin menganggap semua ini hanyalah mimpi buruk, tapi melihat bagaimana tangannya tak berhenti bergetar, menyadari bahwa respon tubuhnya bahkan sudah tak bisa menahan ketakutannya sendiri. Dia tahu semua ini adalah realita. Terlebih setelah mereka berhasil keluar dan melihat keadaan yang ada, semua ini benar-benar membuatnya tak bisa berkata-kata. Gadis itu menggenggam lengannya sendiri mencoba menahan tubuhnya agar berhenti bergetar, sebelum akhirnya memerhatikan Wonu yang kini menyetir membawa mobil mereka menembus jalanan rusak Jakarta. “Kita akan kemana?” tanya Jane memerhatikan Wonu yang sedang memberikan sekotak tisu pada Nira, gadis itu masih m
Setelah mereka sampai, Wonu dengan cepat mengatakan pada tiga gadis itu untuk tetap berjaga di mobil sedangkan dia pergi sendiri ke dalam rumah untuk melihat keadaan. Dari pemandangan jalan kompleks perumahannya, dia tak melihat banyak kerusakan, dan juga mahluk sejenis zombie hingga dia pikir mungkin saja wilayah ini sedikit lebih aman dibandingkan hotel tempat mereka kabur tadi. Pemuda itu membuka pintu rumahnya dengan perlahan, meja kaca di ruang tamu itu sudah pecah, lemari kecil yang menyimpan beberapa piala dan boneka-boneka kecil milik adiknya juga sudah rubuh. Dia yakin gempa sebelumnya cukuplah parah karena telah menghancurkan bagian dalam rumahnya seperti ini, Wonu lalu memilih mengambil tiang panjang tempat dia biasa meletakkan topi, dan menggenggamnya untuk berjaga-jaga. Dia mendengar suara yang sedikit berisik dari arah kamar orang tuanya. Pemuda itu memilih berjalan secara perlahan, dia juga tak ingin memanggil nama orang tuanya mengingat bahwa mungkin
Satu jam lebih mereka menyusuri riol untuk menemukan jalan keluar, sampai akhirnya mereka berempat berada di bagian paling ujung gorong-gorong tersebut. Suara sungai yang mengalir deras dan cahaya tipis yang menyambut mereka membuat keempat orang itu dengan segera bersemangat untuk keluar. “Seharusnya ini sudah malam, apa ponsel kalian ada yang masih menyala?” tanya Jane menatap teman-temannya itu. Wonu dan Cuna menggeleng, sedangkan Nira kini mencari ponsel yang sudah lama dia abaikan. “Ini jam setengah 8 malam,” balas gadis itu. Mereka akhirnya berhasil keluar dari riol tersebut, walaupun tak sepekat sebelumnya, kini bau dari air pembungan itu kini tak begitu mereka cium lagi. Wonu bernapas lega tanpa sadar. “Dimana ini?” tanya Cuna. “Sepertinya daerah pinggiran kota, kita harus berhati-hati pada zombie.” Wonu membalas dan ditanggapi dengan anggukan oleh ketiga gadis itu. “Ayo naik!” ajak Jane yang akhirnya menemukan tangga agar mere
“Kau mau mencoba mengigitku?” tanyanya sambil menyerahkan lengannya pada Jane. Gadis itu membulatkan matanya tak percaya ketika mendengar penawaran Cuna, “Kau gila?” tanyanya menatap lengan Cuna yang masih mengarah ke dirinya. Cuna lalu menarik tangannya kembali sambil mengangkat bahu tak acuh, “Ini kan hanya teoriku saja, tak ada salahnya mencoba.” Jane menggeleng cepat sambil melipat tangan di depan dada, “Tidak, bahkan jika teori itu berakhir benar, aku tetap takkan mau melakukannya.” Gadis itu menoleh menatap Jane sejenak lalu kembali fokus pada jalanan di hadapannya, “Kenapa?” tanyanya. “Tidak ada alasan lebih, aku hanya merasa bahwa kanibalisme bukanlah sesuatu yang seharusnya menjadi wajar untuk manusia.” Cuna mengangguk santai, “Hanya karena prinsip ya?” gumamnya tanpa sadar, “Menurutmu, apa aku adalah tipe yang berani memakan sesama untuk bertahan hidup?” tanyanya pada Jane. “Kau tipe yang berani mencoba hany
Setelah memasukan anak kecil itu ke dalam mobil, Nira dengan panik langsung berlari ke dalam minimarket dan memanggil kedua orang itu, setelahnya kembali berlari untuk menghampiri Jane. Tepat di waktu ketika Nira membawa anak itu pergi, Jane dengan sekuat tenaga mencoba mencari cara agar dia tetap bisa menahan pemuda itu di hadapannya. “KAU BODOH HUH?!” kesal pemuda itu mencoba mengejar anak kecil yang Nira bawa namun Jane dengan cepat menendangnya hingga ambruk, pemuda itu menggeram kesal menatap Jane. “Kau yang bodoh! Apa maksudmu ingin membuat adikmu hidup dengan memakan daging manusia?!” “Itu satu-satunya cara agar kita semua bisa bertahan! Kau tak tahu apapun huh?!” kesalnya bangkit berdiri, mencoba menyerang Jane namun gadis itu dengan sigap menahan serangannya. “Hanya dengan memakan sesama kita bisa hidup! Mereka telah merubah berbagai indra di tubuh kita!” Jane menatap pemuda itu tak paham, “Mereka siapa?!” “WRENA! KAU
Cuaca pagi hari menjelang siang itu sangatlah sejuk, Wonu bahkan sempat berkata bahwa ini pertamakalinya Jakarta memiliki cuaca sesejuk ini, bahkan jauh lebih sejuk dibandingkan Bandung. Walaupun upayanya membuka topik tetaplah gagal karena Jane sama sekali tak bersuara sedangkan Cuna kini sibuk menghabiskan susu kedelai untuk terus dia konsumsi. Setelah pernyataan Cuna bahwa dia merasa ingin terus mencoba menyantap manusia, gadis itu juga dengan cepat mengambil susu kedelai dan beberapa kacang untuk dia konsumsi. Dia dengan cepat membuat Jane tenang karena dia yakin gadis itu sudah cukup frustasi atas kematian Nira dan pembunuhan yang baru saja dia lakukan. Wonu juga tak ingin membahas lebih perihal apa yang baru saja mereka lewati karena dia tahu bahwa Jane masih sangatlah terluka akan hal itu. Dia tahu bahwa gadis itu memerlukan waktu untuk meluruskan isi pikirannya seperti saat dia pertama kali membunuh ayahnya sendiri. Pemuda itu malah tak begitu mengerti mengap
Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai ke Bandung, rest area sebelumnya sudah membawa mereka pergi cukup jauh dari Jakarta dan kini mereka akhirnya sampai ke pembuka jalanan yang mulai memperlihatkan beberapa bangunan –tanda bahwa mereka sudah dekat dengan kota itu. Ketiganya terdiam, masih tak yakin dengan apa yang mereka lihat bersama, entah itu adalah kenyataan atau mereka hanya sedang berhalusinasi. “Apa … itu salju?” buka Jane pada akhirnya menyuarakan keraguannya sendiri. Wonu yang sejak tadi memegang kendali kemudi masih tak menjawab, cukup tak percaya dengan apa yang Jane katakan sekalipun dia juga melihatnya. Kumpulan salju itu turun dengan pelan layaknya sebuah kapas-kapas kecil yang berjatuhan. Perlahan juga jalanan yang mereka lewati mulai memperlihatkan tumpukkan-tumpukkan salju yang memenuhi pinggiran jalan dan bangunan. “Apa benar salju?” balas Wonu ikut bertanya. Cuna yang duduk di belakang masih terdia
“Masih lama?” tanya Jane ragu. Ini sudah dua jam berlalu semenjak mereka keluar dari mall dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya. Wonu sama sekali tak membalas pertanyaan Jane, dia yakin bahwa dia tidak tersesat mengingat bahwa pemuda itu sangat suka berpergian keluar kota sejak dia SMA, namun semua ini terasa begitu aneh. Hari sudah mulai sore dan matahari seakan terasa lebih cepat ketika hendak ternggelam. Pemuda itu hanya menatap sekelilingnya, dia tak merasa mereka melewati jalan yang sama, namun disisi lain juga, dia merasa bahwa mereka sejak tadi hanya berputar-putar saja. Di kursi belakang, Cuna menatap ke luar jendela memerhatikan bangunan tua yang memiliki patung gurita besar di atapnya. Dia tak begitu yakin, namun rasanya mereka sejak tadi hanya memutari pusat bangunan itu sejak dua jam yang lalu. “Rumah Gurita itu, bangunan lama ya?” tanya Cuna mengalihkan perhatian Jane dan Wonu yang sejak tadi sibuk dengan pikiran