Setelah mereka sampai, Wonu dengan cepat mengatakan pada tiga gadis itu untuk tetap berjaga di mobil sedangkan dia pergi sendiri ke dalam rumah untuk melihat keadaan. Dari pemandangan jalan kompleks perumahannya, dia tak melihat banyak kerusakan, dan juga mahluk sejenis zombie hingga dia pikir mungkin saja wilayah ini sedikit lebih aman dibandingkan hotel tempat mereka kabur tadi.
Pemuda itu membuka pintu rumahnya dengan perlahan, meja kaca di ruang tamu itu sudah pecah, lemari kecil yang menyimpan beberapa piala dan boneka-boneka kecil milik adiknya juga sudah rubuh. Dia yakin gempa sebelumnya cukuplah parah karena telah menghancurkan bagian dalam rumahnya seperti ini, Wonu lalu memilih mengambil tiang panjang tempat dia biasa meletakkan topi, dan menggenggamnya untuk berjaga-jaga.
Dia mendengar suara yang sedikit berisik dari arah kamar orang tuanya. Pemuda itu memilih berjalan secara perlahan, dia juga tak ingin memanggil nama orang tuanya mengingat bahwa mungkin saja rumah ini tak seaman yang dia pikirkan.
Memasuki ruangan tengah dimana ada tv dan meja pantri yang membatasi bagian tengah ruangan ke dapur, Wonu menatap sekelilingnya yang sepi. Tak ada suara isakan adik kecilnya, tak ada suara yang bisa dia kenali kecuali suara berisik seperti sebuah kunyahan yang berasal dari kamar orang tuanya.
Wonu menelan salivanya tanpa sadar. Pemuda itu dengan perlahan memasuki kamar kedua orang tuanya, dia mencoba menguatkan genggamannya pada tongkat, dan tanpa sadar menahan napas ketika melihat setengah tubuh adiknya –bagian pinggung hingga kaki, yang terbaring di dekat pintu masuk kamar itu, dan sengah tubuhnya lagi … sudah tak ada.
Dia menutup mulutnya sendiri menahan diri untuk tak muntah ketika melihat usus-usus tubuh yang berantakkan itu lengkap dengan aliran darah di sekitarnya. Dia bahkan sudah tak bisa menemukan kepala adiknya lagi, tak jauh di depan tubuh adiknya yang tinggal setengah itu, ada seseorang yang sedang bertumpu lutut, membelakanginya.
Fokus Wonu teralih pada apa yang sedang dinikmati oleh sosok yang memunggunginya itu. Tubuh tersebut, daster berwarna biru terang yang tadi pagi digunakan ibunya saat membuatkannya sarapan, kini sudah penuh akan bercak darah, juga cincin yang menghiasi jari-jari wanita itu … Wonu jelas sangat mengenali siapa yang sedang terbaring tak berdaya tersebut.
Tak ada suara ketakutan disana, dia hanya bisa mendengar suara geraman kecil dan kunyahan menjijikkan yang berasal dari sosok yang masih memunggunginya itu. Perlahan, Wonu memerhatikan satu-satunya punggung yang masih tak menyadari keberadaannya, punggung milik seseorang yang sangat dia kenali, tangan sosok itu bahkan tak berhenti meremas dan menyantap daging-daging yang dia ambil dari perut ibu Wonu.
Pemuda itu menggigit bibirnya dengan keras bersamaan dengan dirinya yang mengangkat tongkat di tangannya tinggi-tinggi. Tanpa bersuara, tanpa aba-aba, pemuda itu langsung memukulkan tongkat tersebut pada sosok itu hingga membuatnya terhempas jatuh menghantam kasur milik orangtuanya.
Wonu menghela napas dengan kasar, bagian tengah tubuh ibunya sudah benar-benar bolong, dia bisa melihat organ dalam tubuh ibunya itu juga wajah ibunya yang mati bahkan tanpa menutup mata. Pemuda itu lalu menoleh menatap sosok yang dia yakini adalah ayahnya sendiri.
Sosok itu sudah berubah, darah itu masih memenuhi sekitar mulut dan pipinya, bola mata ayahnya itu berubah menjadi warna biru keunguan, dengan bagian hitamnya yang berubah warna menjadi merah. Wonu sudah tak tahu apa lagi yang dia rasakan, namun emosinya yang memuncak membuatnya langsung mendekat ke arah ayahnya itu.
Tangannya dengan cepat menusukkan ujung tongkat itu ke mata sang ayah, setelah itu mengulanginya lagi ke arah leher, dada, hingga perut. “AAKKHH! Mengapa?!” teriaknya kesal menghujani tubuh ayahnya itu dengan berbagai tusukan. “Aku tau kau membenci ibu tapi tidak seperti ini juga caramu membunuhnya dan membunuh Wanda!” emosinya terus menusuki ayahnya itu.
Dia tahu semuanya, dia sadar bagaimana ayahnya sudah tak betah dengan ibunya lagi, rumah yang tak pernah damai karena perkelahian mereka berdua. Namun dia juga tak pernah menyangka bahwa ayahnya berani melakukan hal sekeji ini di dalam situasi yang sudah menggila. Dia sungguh tak paham dengan pak tua yang tak pernah mengggunakan otaknya itu.
“Wonu! Berhenti!” jerit seseorang menahan tangan Wonu, membuat pemuda itu sadar bahwa sejak tadi dia sudah menghancurkan ayahnya sendiri.
Matanya masih memerah dengan air mata yang tak kunjung berhenti menetes, pemuda itu menatap Cuna yang kini masih menahan lengannya agar berhenti menghancurkan tubuh ayahnya.
“Ayo ambil persediaan makanan dan pergi,” ajak gadis itu tanpa ingin menanyakan apa yang terjadi pada Wonu.
Dia jelas sudah memahami semuanya, dari dua mayat yang tubuhnya sudah tak utuh lagi, dari Wonu yang mengamuk dan membunuh sosok di hadapan mereka. Cuna jelas sudah memahami keadaan tanpa membutuhkan penjelasan lagi.
Pemuda itu menghela napas kasar, dia lalu melepaskan tangan Cuna yang sejak tadi menahan lengannya sambil gemetaran lalu mengusap wajahnya sendiri. “Ya, kau benar.” Wonu melirik wajah ayahnya yang sudah hancur sebelum akhirnya beranjak pergi dari kamar itu menuju kamarnya. “Aku akan ambil tas, kau siapkan saja apa yang perlu kita bawa di dapur.”
“Okey,” balas Cuna langsung beranjak pergi.
Gadis itu mengeluarkan segala hal yang ada di dalam kulkas milik keluarga Wonu, lalu memeriksa beberapa rak di dapur dan mengambili isinya. Tak lama dengan itu, Wonu datang dan tanpa suara memasuki segala hal yang sudah Cuna letakkan di meja ke dalam tasnya, pemuda itu tak banyak bicara, dia juga sama sekali tak melirik kamar keluarganya lagi karena dia tak ingin mengingat apa yang baru saja dia alami.
Dia benar-benar mencoba fokus untuk apa yang sedang dia kerjakan sekarang, sampai akhirnya mereka selesai dan langsung beranjak pergi.
Cuna memberi kode pada Nira dan Jane yang menatap mereka dengan khawatir agar tak menanyakan apapun pada Wonu. Pemuda itu duduk di samping Nira yang berada di kursi kemudi, sedangkan Cuna duduk di samping Jane seperti sebelumnya. Mereka sudah memasukan semuanya ke dalam bagasi, dan tanpa banyak bertanya pun Nira langsung menyalakan mesin mobilnya lalu pergi dari sana.
“Dibandingkan zombie, sepertinya apa yang ada disini lebih berbahaya,” gumam Wonu sambil menyandarkan kepalanya pada kursi mobil. “Apa yang Jane dan Cuna lihat sebelumnya benar, aku tak tahu itu apa, tapi mereka memakan manusia dengan sangat lahap seakan mereka sedang kelaparan.”
Ketiga gadis itu masih membisu sedangkan Wonu mengedipkan matanya dengan sangat lemas sebelum akhirnya kembali membuka informasi baru pada ketiga teman barunya tersebut. “Di dalam tadi, ayahku memakan adikku dan ibuku.”
Nira menutup mulutnya tanpa sadar untuk menahan keterkejutannya sendiri sedangkan Jane membulatkan mata tak percaya mendengar hal itu, gadis itu bahkan menoleh menatap Cuna untuk meminta konfirmasi lebih, dan Cuna hanya mengangguk kecil memahami maksud tatapan Jane.
“Dan aku … membunuh bajingan itu,” tutup Wonu dengan datar.
Mereka terdiam cukup lama setelah mendengar pernyataan Wonu perihal dia yang membunuh ayahnya sendiri. Tak ada yang bisa disalahkan disini, mereka bahkan tak tahu lagi harus bersikap seperti apa atas pernyataan Wonu karena begitu banyak hal yang terjadi hari ini.
Wonu hanya menyandarkan kepalanya pada kursi sambil memejamkan mata, kepalanya terasa sangat penuh, dia sudah tak tahu bagaimana cara mendeskripsikan perasaannya sendiri, marah, kecewa, muak, kesal, semuanya tercampur menjadi satu namun di sisi lain juga dia merasa sangat lega setelah membunuh ayahnya sendiri.
Apa memang aku sejahat ini ya? pikirnya tanpa sadar.
Nira yang ada di samping Wonu hanya melirik pemuda itu dalam diam, salah satu tangannya tanpa sadar mengusap lembut pucuk kepala pemuda itu dan langsung menariknya kembali ketika Wonu membuka mata.
“A—aku hanya ingin melakukannya,” ucap gadis itu gugup, “Apapun itu, kau tak perlu memikirkannya. Seperti yang kau bilang sebelumnya, dunia seperti ini membuat kita bisa bebas, takkan ada hukuman moral ataupun formal atas apapun yang telah kau lakukan, tak perlu merasa berdosa.”
Wonu menoleh menatap gadis itu tak percaya, seringainya terbentuk dengan tipis saat melihat wajah Nira yang berpura-pura fokus mengemudi dan berlagak tak menyadari keberadaannya. “Pendapat yang bagus,” balas pemuda itu dan kembali menatap ke jalanan di hadapan mereka. “Terima kasih.”
Gadis itu tak membalas kalimat Wonu, kepalanya mencoba untuk fokus mengemudi sedangkan dua gadis di belakang Nira sibuk dengan urusannya masing-masing. Cuna sedang menatap keluar jendela sedangkan Jane menatap kebelakang, memerhatikan sejauh mana mobil ini membawa mereka menjauh dari rumah Wonu.
Jane pikir mereka akan selamat setelah sampai di rumah Wonu, atau setidaknya mereka menemukan orang lain agar mereka bisa tahu cara untuk menyelamatkan diri, tapi nyatanya mereka harus pergi lagi.
Dunia seperti ini memang selalu memaksa mereka untuk bisa berdiri dengan kaki mereka sendiri.
“Kemana kita akan pergi?” buka Nira setelah mereka keluar dari kompleks perumahan Wonu.
“Ke timur,” balas Cuna tanpa sadar.
Wonu dan Jane sama sekali tak membalas namun Nira memilih mencoba mengikuti jalan yang sebelumnya telah mereka lewati, “Ke luar kota?” tanya Nira memastikan.
Cuna mengangguk santai. “Tornado sebelumnya berjalan lurus ke arah timur, biasanya mereka bergerak ke sembarang arah dan terkadang bisa tiba-tiba mengubah arahnya, tapi yang tadi kita lihat, tornado itu bertahan cukup lama dan hanya berjalan lurus ke timur. Aku tak tahu apa tujuan dari semua ini, namun jika kita mengikuti arah tornado itu, kita pasti menemukan informasi baru, lagipula … aku tak yakin bertahan disini akan membuat kita aman.”
Jane terdiam mendengar hal itu, tanpa sadar juga menyetujui apa yang Cuna sarankan. “Setidaknya kita perlu tahu apa yang sebenanarnya sedang terjadi,” lanjut Cuna tak mendapatkan balasan apapun dari teman-temannya.
Jane mengeluarkan ponselnya dan membuka benda pipih itu, seperti apa yang mereka duga. Seluruh sinyal telah terputus, kemungkinan besar juga listrik telah mati, jelas saja tak ada berita ataupun hal-hal yang dapat membantu mereka mendapatkan informasi lebih. Gadis itu lalu kembali mengantongi ponselnya dan menoleh ke belakang untuk sekedar mengecek keadaan.
Dia meneguk salivanya tanpa sadar, matanya menangkap pusaran angin yang turun dari awan menuju ke daratan. Pusaran itu memang berada cukup jauh dari tempat mereka berada, namun melihat kecepatan pusaran itu terbentuk, dia sama sekali tak bisa menahan kegugupannya sendiri.
“Kita punya masalah baru,” gumam Jane tanpa sadar, Cuna ikut menoleh ke belakang untuk melihat apa yang Jane maksud, mata gadis itu membulat sempurna bersamaan dengan Jane yang kini berteriak. “TORNADO ITU DATANG LAGI! AYO CEPAT!” jeritnya langsung membuat Nira menancapkan gas dengan panik.
“KITA AKAN KEMANA?!” heboh gadis itu sambil terus mencari jalan terbaik untuk pergi.
“Kemanapun!” balas Wonu cepat, “Kita harus menjauhi tornado itu lebih dulu!”
“Bangsat! Cepat sekali!” umpat Jane sama sekali tak bisa menutupi rasa terkejutnya.
Semakin jauh mereka menembus jalanan kota Jakarta, tornado itu juga semakin besar mengejar mereka. Nira mencoba untuk tetap fokus melewati jalanan-jalanan rusak bekas tornado sebelumnya, sedangkan Wonu yang ada di sebelahnya dengan baik mencoba mengarahkan gadis itu ke jalanan yang lebih bagus.
“I—itu kumpulan zombie?” cicit Nira tanpa sadar.
“BENTAR! MANUSIA!” jerit Wonu keras sambil menarik kemudi yang Nira gunakan hingga mereka membanting arah mobil ke tempat yang lain untuk menghindari sosok yang baru saja berlari menyebrangi jalan, --nyaris mereka tabrak.
Mobil yang mereka tumpangi itu melayang cukup jauh, hingga akhirnya menabrak tiang lampu dengan keras. Keempat orang itu terdiam dan masih mencoba mengumpulkan kesadaran mereka, Jane yang pertama kali membuka matanya dengan perlahan dan kembali menatap ke belakang menyaksikan tornado yang semakin mendekat.
Gadis itu dengan cepat membangunkan ketiga temannya sambil memukuli mereka dengan keras, “Kalian belum mati! Ayo cepat!” kesalnya mendorong Cuna agar keluar dari mobil, lalu menyeret Wonu agar keluar dari kendaraan itu. Cuna juga melakukan hal yang sama pada Nira.
“Orang yang kita tabrak tadi mana?!” panik Nira setelah kesadarannya kembali terisi penuh.
“JANGAN PIKIRKAN ORANG LAIN!” amuk Jane menatap sekelilingnya, “Kita pasti kena jika terus berlari, tornado itu sudah dekat!”
“Dia … menyeret siapapun masuk,” gumam Cuna masih memerhatikan tornado itu.
“HEY!” teriak Wonu mengalihkan perhatian ketiga gadis itu, “Masuk sini cepat!” lanjutnya menunjuk saluran pembuangan air yang baru saja dia buka tutupnya. “CEPAT!” kesalnya membuat ketiga gadis itu langsung memasuki riol besar tersebut, lalu disusul Wonu yang terakhir masuk dan langsung menutup pintu masuk saluran air tersebut.
Mereka meluncur turun ke bawah bercampur dengan air-air buangan dari berbagai saluran, hingga akhirnya sampai di pusat gorong-gorong kota.
Jane yang sampai pertama kali langsung membersihkan tubuhnya yang kotor, walaupun dia sama sekali tak bisa menghilangkan baunya. Baru saja dia ingin mengeluh karena bau mengerikan tersebut, getaran dari langit-langit gorong-gorong itu membuatnya terdiam.
“Tornado itu lewat?” gumamnya tanpa sadar.
Tak lama setelahnya Nira, Cuna, dan Wonu sampai ke hadapannya dengan keadaan yang sama. Jane menghela napas pelan setelah melihat ketiga kawannya itu berdiri.
“Harusnya ada jalan lain untuk naik kan?” tanya Jane menatap sekelilingnya.
“Apa tadi aku menabrak orang?” gumam Nira tanpa sadar.
Wonu menggeleng kecil, “Kita menghindarinya, karena itu kita menabrak tiang.”
“Persediaan makanan kita ada di mobil itu,” gumam Cuna pelan, “Tapi kita tak bisa naik lewat jalur ini, sepertinya akan sangat jauh jika kita mencari jalur yang lain untuk keluar.”
“Kita cari jalan untuk keluar dari sini saja dulu,” balas Wonu pelan, “setidaknya kita selamat dari tornado jika kita melewati jalur bawah tanah seperti ini.”
Satu jam lebih mereka menyusuri riol untuk menemukan jalan keluar, sampai akhirnya mereka berempat berada di bagian paling ujung gorong-gorong tersebut. Suara sungai yang mengalir deras dan cahaya tipis yang menyambut mereka membuat keempat orang itu dengan segera bersemangat untuk keluar. “Seharusnya ini sudah malam, apa ponsel kalian ada yang masih menyala?” tanya Jane menatap teman-temannya itu. Wonu dan Cuna menggeleng, sedangkan Nira kini mencari ponsel yang sudah lama dia abaikan. “Ini jam setengah 8 malam,” balas gadis itu. Mereka akhirnya berhasil keluar dari riol tersebut, walaupun tak sepekat sebelumnya, kini bau dari air pembungan itu kini tak begitu mereka cium lagi. Wonu bernapas lega tanpa sadar. “Dimana ini?” tanya Cuna. “Sepertinya daerah pinggiran kota, kita harus berhati-hati pada zombie.” Wonu membalas dan ditanggapi dengan anggukan oleh ketiga gadis itu. “Ayo naik!” ajak Jane yang akhirnya menemukan tangga agar mere
“Kau mau mencoba mengigitku?” tanyanya sambil menyerahkan lengannya pada Jane. Gadis itu membulatkan matanya tak percaya ketika mendengar penawaran Cuna, “Kau gila?” tanyanya menatap lengan Cuna yang masih mengarah ke dirinya. Cuna lalu menarik tangannya kembali sambil mengangkat bahu tak acuh, “Ini kan hanya teoriku saja, tak ada salahnya mencoba.” Jane menggeleng cepat sambil melipat tangan di depan dada, “Tidak, bahkan jika teori itu berakhir benar, aku tetap takkan mau melakukannya.” Gadis itu menoleh menatap Jane sejenak lalu kembali fokus pada jalanan di hadapannya, “Kenapa?” tanyanya. “Tidak ada alasan lebih, aku hanya merasa bahwa kanibalisme bukanlah sesuatu yang seharusnya menjadi wajar untuk manusia.” Cuna mengangguk santai, “Hanya karena prinsip ya?” gumamnya tanpa sadar, “Menurutmu, apa aku adalah tipe yang berani memakan sesama untuk bertahan hidup?” tanyanya pada Jane. “Kau tipe yang berani mencoba hany
Setelah memasukan anak kecil itu ke dalam mobil, Nira dengan panik langsung berlari ke dalam minimarket dan memanggil kedua orang itu, setelahnya kembali berlari untuk menghampiri Jane. Tepat di waktu ketika Nira membawa anak itu pergi, Jane dengan sekuat tenaga mencoba mencari cara agar dia tetap bisa menahan pemuda itu di hadapannya. “KAU BODOH HUH?!” kesal pemuda itu mencoba mengejar anak kecil yang Nira bawa namun Jane dengan cepat menendangnya hingga ambruk, pemuda itu menggeram kesal menatap Jane. “Kau yang bodoh! Apa maksudmu ingin membuat adikmu hidup dengan memakan daging manusia?!” “Itu satu-satunya cara agar kita semua bisa bertahan! Kau tak tahu apapun huh?!” kesalnya bangkit berdiri, mencoba menyerang Jane namun gadis itu dengan sigap menahan serangannya. “Hanya dengan memakan sesama kita bisa hidup! Mereka telah merubah berbagai indra di tubuh kita!” Jane menatap pemuda itu tak paham, “Mereka siapa?!” “WRENA! KAU
Cuaca pagi hari menjelang siang itu sangatlah sejuk, Wonu bahkan sempat berkata bahwa ini pertamakalinya Jakarta memiliki cuaca sesejuk ini, bahkan jauh lebih sejuk dibandingkan Bandung. Walaupun upayanya membuka topik tetaplah gagal karena Jane sama sekali tak bersuara sedangkan Cuna kini sibuk menghabiskan susu kedelai untuk terus dia konsumsi. Setelah pernyataan Cuna bahwa dia merasa ingin terus mencoba menyantap manusia, gadis itu juga dengan cepat mengambil susu kedelai dan beberapa kacang untuk dia konsumsi. Dia dengan cepat membuat Jane tenang karena dia yakin gadis itu sudah cukup frustasi atas kematian Nira dan pembunuhan yang baru saja dia lakukan. Wonu juga tak ingin membahas lebih perihal apa yang baru saja mereka lewati karena dia tahu bahwa Jane masih sangatlah terluka akan hal itu. Dia tahu bahwa gadis itu memerlukan waktu untuk meluruskan isi pikirannya seperti saat dia pertama kali membunuh ayahnya sendiri. Pemuda itu malah tak begitu mengerti mengap
Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai ke Bandung, rest area sebelumnya sudah membawa mereka pergi cukup jauh dari Jakarta dan kini mereka akhirnya sampai ke pembuka jalanan yang mulai memperlihatkan beberapa bangunan –tanda bahwa mereka sudah dekat dengan kota itu. Ketiganya terdiam, masih tak yakin dengan apa yang mereka lihat bersama, entah itu adalah kenyataan atau mereka hanya sedang berhalusinasi. “Apa … itu salju?” buka Jane pada akhirnya menyuarakan keraguannya sendiri. Wonu yang sejak tadi memegang kendali kemudi masih tak menjawab, cukup tak percaya dengan apa yang Jane katakan sekalipun dia juga melihatnya. Kumpulan salju itu turun dengan pelan layaknya sebuah kapas-kapas kecil yang berjatuhan. Perlahan juga jalanan yang mereka lewati mulai memperlihatkan tumpukkan-tumpukkan salju yang memenuhi pinggiran jalan dan bangunan. “Apa benar salju?” balas Wonu ikut bertanya. Cuna yang duduk di belakang masih terdia
“Masih lama?” tanya Jane ragu. Ini sudah dua jam berlalu semenjak mereka keluar dari mall dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya. Wonu sama sekali tak membalas pertanyaan Jane, dia yakin bahwa dia tidak tersesat mengingat bahwa pemuda itu sangat suka berpergian keluar kota sejak dia SMA, namun semua ini terasa begitu aneh. Hari sudah mulai sore dan matahari seakan terasa lebih cepat ketika hendak ternggelam. Pemuda itu hanya menatap sekelilingnya, dia tak merasa mereka melewati jalan yang sama, namun disisi lain juga, dia merasa bahwa mereka sejak tadi hanya berputar-putar saja. Di kursi belakang, Cuna menatap ke luar jendela memerhatikan bangunan tua yang memiliki patung gurita besar di atapnya. Dia tak begitu yakin, namun rasanya mereka sejak tadi hanya memutari pusat bangunan itu sejak dua jam yang lalu. “Rumah Gurita itu, bangunan lama ya?” tanya Cuna mengalihkan perhatian Jane dan Wonu yang sejak tadi sibuk dengan pikiran
Setelah kepergian Cuna menuju rumah gurita itu, Jane dan Wonu benar-benar disibukkan dengan berbagai tornado yang muncul di banyak tempat. Jane bertugas untuk melihat segala bahaya di berbagai arah, sedangkan Wonu terfokus pada kendali mobil agar mereka bisa terus melarikan diri. “Lebih baik menjadi Wrena dibandingkan Pati, sumpah!” kesal Wonu tanpa sadar. “Kita bisa saling gigit jika ingin menjadi wrena,” balas Jane masih dengan raut wajah seriusnya. Wonu terkekeh pelan mendengar hal itu, mereka lantas memutar haluan menyadari ada pusaran angin yang perlahan mulai membentuk tornado di hadapan mereka. “Pati!” jerit Jane cepat namun Wonu sama sekali tak menahan diri untuk menabrak sekumpulan manusia tak berjiwa itu. Apapun itu mereka harus selamat, lagi pula Pati takkan berbahaya selama mereka tak tiba-tiba menyerang Wonu dan Jane menggunakan tangan tajam mereka. “Arah jam 2, kosong!” ucap Jane cepat membuat Wonu kembali membanting stir.
Ketika kau terbiasa menikmati film ataupun cerita-cerita bertema horror maupun thriller, kau mungkin sudah sangat terbiasa dengan berbagai adegan sadis yang ada di dalam sana. Tak peduli seberapa menyeramkan rupa para mahluk yang datang, tak peduli seberapa sadis adegan yang sedang berputar, kau akan tetap menganggap itu hal biasa ―atau mungkin menyenangkan― karena kau tahu bahwa semua itu tak nyata, dan itu takkan membuatmu benar-benar ketakutan. Namun saat adegan itu berada di depan matamu. Ketika kau bisa mendengar suara jeritan itu dengan jelas, ketika kau bisa melihat sendiri bagaimana tubuh itu diremas, dirobek menjadi dua bagian, dikoyak, dan dihancurkan. Ketika kau benar-benar bisa melihat bagaimana rupa mengerikan itu sedang menyeringai saat menikmati daging segarnya, ketika kau dapat melihat dengan jelas bagaimana tangan itu habis tertelan masuk ke dalam mulutnya. Kau mungkin akan mendapatkan rasa baru yang berbeda, reaksi tubuhmu menunjukkan bahwa