Share

09 - The First Snow

Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai ke Bandung, rest area sebelumnya sudah membawa mereka pergi cukup jauh dari Jakarta dan kini mereka akhirnya sampai ke pembuka jalanan yang mulai memperlihatkan beberapa bangunan –tanda bahwa mereka sudah dekat dengan kota itu. Ketiganya terdiam, masih tak yakin dengan apa yang mereka lihat bersama, entah itu adalah kenyataan atau mereka hanya sedang berhalusinasi.

“Apa … itu salju?” buka Jane pada akhirnya menyuarakan keraguannya sendiri.

Wonu yang sejak tadi memegang kendali kemudi masih tak menjawab, cukup tak percaya dengan apa yang Jane katakan sekalipun dia juga melihatnya.

Kumpulan salju itu turun dengan pelan layaknya sebuah kapas-kapas kecil yang berjatuhan. Perlahan juga jalanan yang mereka lewati mulai memperlihatkan tumpukkan-tumpukkan salju yang memenuhi pinggiran jalan dan bangunan.

“Apa benar salju?” balas Wonu ikut bertanya.

Cuna yang duduk di belakang masih terdiam. Penglihatannya terasa aneh, dia juga melihat apa yang teman-temannya saksikan, namun sama halnya seperti Jane dan Wonu, sangat sulit baginya untuk mempercayai hal itu. Cuna menyentuhkan ujung jarinya pada kaca jendela sambil memerhatikan pemandangan di luar jendela mobil itu, merasakan dingin yang mulai menjalar di permukaan kulitnya serta angin-angin kencang yang mulai bisa dia lihat sedang menghantam dedaunan di luar sana, rasa penasaran gadis itu perlahan mulai memuncak.

“Jangan buka jendela!” ucap Wonu cepat memperingati Cuna yang tanpa sadar ingin membuka jendela untuk mengetahui secara langsung hal itu. “Kita tak tahu apa yang akan terjadi jika salju-salju itu masuk.”

Mereka terdiam. Semakin dalam mereka masuk ke kota itu, hujan salju perlahan semakin deras sekalipun tak menganggu penglihatan mereka. Ketiganya masih tak bersuara, mencoba mencerna apa yang terjadi di sekitar mereka walaupun hasilnya masihlah nihil.

“Kota ini sepi sekali,” gumam Cuna tanpa sadar. “Sejujurnya jika salju itu berbahaya, itu takkan berpengaruh padaku sebab aku Wrena, bukan manusia.”

“Mereka hanya bilang bahwa Wrena bisa bertahan dari tornado Cuna, bukan yang lain.” Wonu kembali membalas membuat Cuna terdiam, “Untuk sekarang kita perhatikan keadaan sekitar saja dulu. Kota ini sangat aneh jika terlalu sepi.”

Jane mengangguk membenarkan hal itu sambil terus memerhatikan sekeliling mereka. Bangunan-bangunan di sekitar mereka seakan tak memiliki penghuni, toko-toko tertutup dengan tak menunjukkan sedikitpun kehidupan manusia di dalamnya, seluruh rumah tertutup rapat. Bandung terlihat sangat sepi, tak ada bekas tornado, tak ada mayat-mayat yang berserakan, tak ada pati atau bahkan manusia yang berkeliaran.

Kota itu seakan sudah mati.

“Ayo ke mall.”

“Hah?!” tanya Jane dan Wonu bersamaan ketika mendengar ajakan Cuna.

Gadis itu terkekeh kecil mendengar balasan heran kedua kawannya itu, “Kubilang, ayo ke mall.”

“Aku tahu!” kesal Wonu tanpa sadar, “Apa maksud kalimatmu itu?”

“Jika memang tak ada orang ataupun tak ada bekas bencana, semuanya bisa kita lihat dari keadaan mall.” Gadis itu kembali menatap sekelilingnya, “Aku akan memastikan tempat itu aman dulu agar kalian bisa keluar dari mobil.”

“Belum ten—“

“Aku tahu,” potong Cuna cepat membalas ucapan Wonu yang bahkan belum selesai, “Tubuh Wrena ini bisa menyembuhkan dirinya sendiri sekalipun masih lambat, kupikir aku akan bertambah kuat tergantung seberapa banyak manusia atau Wrena lain yang bisa kumakan.”

“Kau berniat terus memakan manusia?” tanya Jane pada akhirnya.

Cuna menggeleng kecil, “Sejak awal aku tak mencicipi manusia Jane, darah yang tak sengaja kurasakan itu adalah darah Wrena.”

Mereka terdiam. Apa yang Cuna katakan memang benar, gadis itu bukan mencicipi manusia melainkan Wrena. Anak kecil itu bukanlah manusia lagi sebab sejak awal dia sudah menjadi Wrena ketika mereka menyelamatkannya.

“Kekuatan anak itu tersalur padaku,” lanjut Cuna sambil memerhatikan telapak tangannya sendiri. “Kupikir, jika aku memakan Wrena lain, maka aku akan mendapatkan kekuatan mereka juga.”

Cuna mengangkat bahu tak acuh sambil tersenyum miring menatap kedua kawannya itu, “Tenang saja, aku takkan memakan kalian kok. Kalian kan mahluk lemah.”

“Setan!” kesal Jane bersamaan dengan Wonu yang tersenyum miring, Cuna terkekeh kecil mendengar balasan gadis itu.

Mengabaikan suara tawa Cuna, gadis itu kembali menatap sekelilingnya. Jane mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi, sebab Wrena itu bilang bahwa Jawa telah ditaklukkan, namun rasanya sangat aneh melihat Bandung dalam keadaan aman.

Dia pikir ketika mereka sampai di Bandung, dia akan bertemu dengan satu atau dua Wrena dan mereka akan dihabisi di kota ini. Namun rasa aman yang tiba-tiba ini benar-benar membuatnya tak nyaman, rasanya begitu aneh.

“Apa kita harus masuk ke tempat parkirnya?” tanya Wonu ketika mereka sampai di jalan masuk meuju mall, pemuda itu melirik Jane dan Cuna secara bergantian.

“Trobos pintu masuknya aja lah, kejauhan kalau pergi ke parkirannya dulu.” Cuna memberi saran membuat Jane tersenyum senang tanpa sadar.

“Iya ya? Masuk dengan mobilnya saja gimana?” tanya gadis itu.

Wonu terkekeh kecil mendengar hal itu, “Baiklah.”

Pemuda itu menabrakkan mobil mereka masuk ke dalam mall, ketiganya terdiam beberapa detik setelah pintu kaca itu rusak akibat tabrakan mobil mereka, lalu menatap sekeliling tanpa mereka sadari.

“Sepertinya memang tak ada orang,” gumam Cuna dengan cepat keluar dari mobil mereka dan menutup pintu mobil itu dengan keras. “Aku aman,” lanjut gadis itu sambil melirik Wonu yang gagal meneriakinya.

Pemuda itu menarik senyuman lurus menatap Cuna yang ada di luar mobil. Bagian dalam mall itu benar-benar terasa kosong, tak ada manusia, tak ada satupun orang yang menjaga setiap toko di sana, semua tempat terlihat rapi dan bersih, tak ada bekas kekacauan jenis apapun di sana.

Cuna memimpin langkah dengan berjalan kaki sedangkan Jane dan Wonu mengikuti gadis itu di dalam mobil. Tanpa Wonu sadari, Jane membuka jendela mobil mereka dan mengeluarkan tangannya, mencoba memastikan bahwa tempat tersebut benar-benar aman.

“Kupikir kita aman di sini untuk sementara,” gumam gadis itu membuat Wonu menoleh ke arahnya, gadis itu tersenyum tanpa dosa ketika melihat raut wajah kesal Wonu yang seakan ingin mengomelinya. “Ayo kumpulkan persediaan makanan dan banda tajam,” ucapnya dibalas Wonu dengan merotasi matanya malas lalu mengangguk pelan.

“Ya, sepertinya memang aman.” Pemuda itu berujar sambil menghentikan mobil mereka.

Ketiganya lantas lebih dulu mengambil tas yang cukup besar, lalu mengambil persediaan untuk masing-masing orang dengan rata. Setiap tas berisikan persediaan makanan, pakaian, dan senjata yang sama rata agar jika sewaktu-waktu mereka terpisah, mereka tak harus mengkhawatirkan yang lain untuk terus bertahan hidup.

“Kita takkan melepaskan tas ini bahkan ketika kita ada di mobil,” ujar Wonu dengan santai. Kedua gadis itu menatapnya tak paham membuat Wonu menghela napas pelan, “Aku tak mau kejadian tornado seperti kemarin datang lagi, dan kita harus tiba-tiba keluar dari mobil tanpa sempat membawa apapun.”

“Oh ...” balas Jane paham, Cuna terkekeh mendengar ucapan pemuda tersebut.

“Ya, kau benar. Kita memang tak boleh melepaskan tas ini sepertinya,” balas gadis itu santai.

.

.

.

“Mereka menyebutnya Banaspati.”

Wanita itu menatap sosok di hadapannya dalam diam, alisnya sedikit berkerut sedangkan kepalanya kini tertunduk, lalu menatap bola api berukuran kecil yang kini melayang di atas telapak tangannya.

“Dewi pasti akan sangat marah karena aku memberikan hal ini padamu.” Sosok itu terkekeh, lalu menatap bola api berukuran kecil yang kini ada di atas telapak tangan anak buahnya.

“Dewi akan selalu marah kok,” balas wanita itu sambil tersenyum tipis.

“Mereka menyebut Banaspati sebagai roh jahat yang memiliki ilmu hitam cukup tinggi.” Wanita itu menatap bola api tersebut sambil menyimak penjelasan tipis dari sosok di hadapannya, “Dia tak lebih dari roh yang tercipta karena sebuah ketakutan sejujurnya,” ujar sosok itu. “Semakin bersih hati lawanmu, semakin mudah dia menghabisi bola api itu. Dia memintaku untuk memberikan ini padamu, sebab sepertinya Dewi takkan bisa menggunakannya.”

“Untuk apa ini?” tanya wanita itu dengan polosnya.

“Membakar, menghancurkan, membunuh. Apa lagi memangnya?” balas sosok tersebut membuat wanita itu tertawa pelan.

“Kau tahu aku tak suka membuat sebuah keributan.”

“Kalau begitu, gunakan akalmu seperti biasa. Aku tahu kau selalu pintar memilih lawan yang menarik, Hindia.”

Wanita yang dipanggil Hindia itu hanya tersenyum tipis. Dia tahu mengapa dia mendapatkan kekuatan kecil ini, terlebih juga sepertinya mahluk berukuran bola itu terlihat lucu ketika berada di dalam genggamannya. Perlahan, mahluk tersebut merobek kecil ujung pergelangan tanggan Hindia, lalu membuat garis tipis dan perlahan menyerap masuk lewat luka gores yang cukup dalam itu. Dirinya secara langsung akhirnya menjadi bagian dari tubuh Hindia.

Sosok di hadapannya hanya memasang senyuman miring melihat Hindia yang kini mengangkat kepala dan menatapnya. “Pergilah,” balas sosok itu membuat Hindia mengangguk pelan.

“Segera dilaksanakan, Ratu.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Toto Oyot
bgus sy suka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status