Share

08 - Wrena

Cuaca pagi hari menjelang siang itu sangatlah sejuk, Wonu bahkan sempat berkata bahwa ini pertamakalinya Jakarta memiliki cuaca sesejuk ini, bahkan jauh lebih sejuk dibandingkan Bandung. Walaupun upayanya membuka topik tetaplah gagal karena Jane sama sekali tak bersuara sedangkan Cuna kini sibuk menghabiskan susu kedelai untuk terus dia konsumsi.

Setelah pernyataan Cuna bahwa dia merasa ingin terus mencoba menyantap manusia, gadis itu juga dengan cepat mengambil susu kedelai dan beberapa kacang untuk dia konsumsi. Dia dengan cepat membuat Jane tenang karena dia yakin gadis itu sudah cukup frustasi atas kematian Nira dan pembunuhan yang baru saja dia lakukan.

Wonu juga tak ingin membahas lebih perihal apa yang baru saja mereka lewati karena dia tahu bahwa Jane masih sangatlah terluka akan hal itu. Dia tahu bahwa gadis itu memerlukan waktu untuk meluruskan isi pikirannya seperti saat dia pertama kali membunuh ayahnya sendiri. Pemuda itu malah tak begitu mengerti mengapa Cuna terlihat santai bahkan setelah dia tanpa sengaja menyantap darah tersebut.

Mereka akhirnya sampai di rest area tempat di mana ada pom bensin berada. Pemuda itu membiarkan kedua gadis tersebut sibuk dengan pikirannnya sendiri sedangkan dia memilih untuk pergi ke tanah kosong di ujung rest area setelah memeriksa keadaan, juga setelah mendapatkan cangkul.

Wonu sedikit heran karena tempat itu begitu sepi dan tak ada satupun mayat disana, dia juga sudah memeriksa ke berbagai bagian namun tak menemukan mahluk sejenis zombie ataupun kanibal, di sana bahkan tak ada jejak bekas tornado.

Namun tanpa ingin berpikir banyak, pemuda itu akhirnya memilih untuk mulai menggali dan membuat kuburan untuk Nira.

Setidaknya mereka harus membuat perpisahan yang layak untuk Nira selagi mereka bisa. Dia tak ingin asal meninggalkan seseorang seperti saat mereka meninggalkan Hanbin, dia tak ingin kematian yang sudah terjadi dengan tragis juga harus mereka tambah dengan perpisahan yang tak kalah miris.

Pemuda itu baru saja menyelesaikan setengah pekerjaan menggalinya ketika Cuna datang bersama Jane dengan mobil ke ujung tempat itu, Jane keluar lebih dahulu dan pergi ke bagasi untuk melihat Nira.

“Butuh bantuan?” tegur Cuna menatap Wonu yang kini sudah benar-benar berkeringat.

Pemuda itu menghentikan pekerjaannya sejenak dan memerhatikan Cuna serta Jane yang kini sudah berganti baju, “Apa kalian mandi juga?” tanyanya asal dan dibalas anggukan santai oleh Cuna, pemuda itu menghela napas mendengar balasan tersebut.

“Ada masjid dan di kamar mandinya banyak air, jadi kita mandi.” Cuna membalas dengan santai, “Mandilah setelah kita selesai menguburkan Nira.”

Wonu tak membalas dan kembali menggali sedangkan Cuna kini hanya memerhatikannya sambil tetap menyesap susu kedelainya yang baru. Jane memerhatikan kedua orang itu setelah melihat Nira, dia mendudukan diri di kap mobil sambil menatap kedua kawannya itu dalam diam.

Ini baru beberapa jam setelah matahari terbit namun dia sudah mengalami hal sebanyak ini, padahal semalam dia juga baru bilang pada Wonu bahwa dia takkan sanggup dengan kehilangan, sekalipun dia tahu dia bisa bertahan di dunia yang cukup biadap seperti ini.

Rasanya dia ingin tertawa melampiaskan rasa marahnya. Dia tak mengerti mengapa harus Hanbin dan Nira yang pergi duluan padahal kedua orang itu adalah orang yang paling paham bagaimana cara menghadapi kondisi seperti ini, sekalipun gampang panik, keduanya tetaplah tahu cara agar mereka bisa tetap bertahan dengan mental yang sehat.

Namun Hanbin mati, Nira juga mati, dia telah membunuhnya, Cuna kini sudah menjadi Wrena karena ulahnya juga. Jane mengigit bibirnya lagi tanpa sadar, lalu menatap punggung kedua orang itu dengan sorot rasa bersalah.

“Maaf …” cicitnya pelan membuat Cuna dan Wonu terdiam. “Nira mati karenaku.” Wonu menghela napas mendengar hal itu, “Cuna juga berpotensi menjadi kanibal karenaku.”

Cuna tak membalas hal itu sedangkan Wonu memilih berjalan melewati Jane, lalu pergi ke belakang mobil dan membuka bagasi setelah itu mengangkat Nira keluar. Keduanya sama sekali tak berniat membalas permintaan maaf Jane.

“Kita dikejar oleh zombie saat itu juga karenaku, hingga akhirnya Hanbin mati.”

“Menyesal takkan mengubah apapun Jane,” tegur Wonu santai sambil meletakkan Nira ke dalam lubang kuburan itu dengan pelan lalu mulai menguburnya. “Seperti apa yang Nira katakan saat itu, di dunia seperti ini … kita telah bebas. Kau tak perlu merasa berdosa untuk sesuatu yang memang perlu kau lakukan demi bertahan hidup,” ucapnya pelan. “Jika kau merasa bersalah, jadilah lebih kuat dan lebih baik dari sebelumnya. Bertahanlah lebih lama untuk kita semua.”

Cuna menoleh kebelakang dan tersenyum tipis pada Jane, “Kau tahu bahwa aku tak pernah mempermasalahkan hal itu Jane, itu bukan salahmu.”

Jane tak membalas kalimat itu, namun memilih untuk mendekat ke arah mereka dan membantu menguburkan Nira. Hal itu membuat Cuna dan Wonu merasa tenang karena gadis tersebut kembali pada suasana hatinya yang biasa, setidaknya mereka tak perlu mengkhawatirkan Jane dengan berlebihan lagi.

“Terima kasih,” gumam gadis itu sambil menancapkan ranting di ujung gundukan tanah tersebut. “Untuk kalian berdua juga,” lanjutnya tanpa menoleh ke arah Cuna dan Wonu.

Jane akhirnya memilih untuk mengisi bahan bakar mobil tersebut selagi Wonu pergi untuk membersihkan diri, sedangkan Cuna kini memilih masuk ke dalam minimarket rest area itu untuk kembali mengumpulkan makanan.

Dia sudah menghabiskan nyaris setengah dari persediaan makanan mereka demi menghentikan rasa panas dan lapar yang dia rasakan karena efek menyantap darah. Dia pikir mungkin itu adalah efek awal untuk orang-orang yang menjadi kanibal hingga mereka berakhir menjadi sangat rakus dan tak bisa terkontrol.

Walaupun efek kacang-kacangan itu cukup lambat untuk meredakan keinginannya menyantap daging manusia, namun setidaknya dia berhasil menahan itu dan kini dia sudah tak menginginkannya lagi. Biasanya dia bukanlah orang yang tahan mengunyah makanan begitu lama, namun tadi dia benar-benar menghabiskan waktu nyaris 3 jam hanya untuk mempersibuk mulutnya sendiri memakan kacang-kacangan dan meminum susu kedelai.

Gadis itu bersyukur bahwa minimarket itu menyediakan cukup banyak makanan dan minuman berbahan dasar kacang, sehingga dia bisa mengisi ulang kekosongan bahan makanan yang tadi dia habiskan.

Cuna keluar dari minimarket tersebut bersamaan dengan Wonu yang baru saja keluar dari kamar mandi, sedangkan Jane kini duduk bersandar pada mobil setelah mengisi ulang bahan bakar kendaraan. Gadis itu lalu memanggil Wonu dan Cuna untuk bergegas ke arahnya dan menonton berita baru yang ada di tv umum di rest area tersebut.

Keduanya membeku melihat apa yang Jane temukan.

TV itu menampilkan siaran dari seseorang yang benar-benar tak mereka kenali. Sosok itu memiliki taring yang mencuat keluar dari gigi bagian bawahnya, ada dua kuping kucing berwarna hitam pekat sisi kepalanya, sedangkan matanya memiliki dua warna yang berbeda –merah dan ungu.

Sosok itu menyeringai, membiarkan ekornya yang terbentuk dari kumpulan tulang tipis tergoyang lembut ke kanan dan ke kiri.

“Halo … untuk kalian yang selamat, maka selamat datang.

“Kalian pasti sangat kuat karena berhasil melewati berbagai tornado dan masih waras menjadi manusia.

“Untuk kalian yang masih buta dan tak tahu apapun, aku akan mengabarkan pada kalian bahwa menjadi manusia takkan bisa membuat kalian bertahan hidup.

“Tornado itu akan selalu datang, setiap 1-3 jam sekali dengan jangkauan 175-300 km/jam, dan lebar yang bisa mencapai satu kilometer. Kalian, para manusia akan berubah menjadi Pati jika kalian terkena tornado itu, jiwa kalian akan menghilang dan menyisakan tubuh yang berjalan mengikuti rasa lapar yang menyiksa, tubuh kalian akan terkoyak habis selama dua sampai tiga hari lalu akhirnya mati.

“Jika kalian ingin tetap bertahan hidup, maka jadilah seperti kita. Para Wrena, kalian hanya perlu memakan sesama kalian, menjadi kanibal.” Sosok itu mengangkat alisnya sambil tersenyum miring, berlagak meremehkan. “Menjadi Wrena akan membuat kalian bisa bertahan dari efek tornado dan takkan menjadi Pati, fisik kalian akan berkali-kali lipat lebih kuat, dan kalian bisa hidup lebih lama, tergantung berapa banyak manusia yang sudah kalian konsumsi.

“Namun jika kalian tetap bertahan menjadi manusia, maka …” Pemuda itu merentangkan tangannya sambil tersenyum manis, “Selamat datang! Para mangsa menyegarkan!

“Tak ada tempat aman, Jawa telah dikalahkan dalam sehari. Pilihan kalian hanyalah menjadi Wrena untuk bertahan hidup, atau tetap menjadi manusia dan siap dijadikan mangsa. Silahkan memilih … sebab pesta ini, baru akan dimulai.”

Seringai lebar itu menjadi penutup dari berita sekilas yang membuat ketiga orang tersebut membeku. Jane kini mengerti maksud dari kalimat yang pagi lalu disampaikan oleh sosok yang telah dia bunuh.

Cuna menatap tangannya sendiri yang tadi memiliki bekas cakaran dari anak kecil tersebut, namun luka itu sudah sembuh dan menghilang, dia akhirnya memahami apa yang Wrena tadi maksud.

Sedangkan Wonu kini tak bisa berkata-kata lagi, Wrena tadi berkata bahwa Jawa bukanlah tempat yang aman sedangkan sangat mustahil bagi mereka pergi keluar pulau jawa seperti kalimantan ataupun sumatra dalam keadaan seperti ini.

“Tak ada tempat aman di Jawa,” gumam Wonu tanpa sadar. “Lalu kemana kita akan pergi?”

Mereka terdiam cukup lama setelah mendengar pertanyaan itu. Bahkan informasi tersebut juga sangatlah ambigu bagi mereka dan hanya membuat lebih banyak pertanyaan yang membingungkan.

“Bali,” cicit Cuna pelan sambil mengigit kuku ibu jarinya. “Mereka hanya bilang bahwa Jawa sudah kalah, mungkin bagian barat pulau Jawa telah mereka kuasai, tapi tidak dengan pulau lain.” Gadis itu mengangkat kepala menatap kedua kawannya itu, “Setidaknya kita bisa mencapai Bali bersama sambil terus mencari informasi tentang semua ini, Wrena tadi tak memberitahu kita bahwa manusia bisa mengonsumsi kacang-kacangan dan mungkin saja itu adalah salah satu dari tujuan mereka. Setidaknya informasi itu sangat penting, kita hanya perlu bertahan lebih lama, mengumpulkan informasi lebih banyak dan mengambil keputusan terbaik sesuai dengan apa yang sudah kita dapatan.”

Cuna lalu tersenyum lebar setelah mengatakan semua itu, “Bukankah ini menjadi lebih menarik? Setidaknya kita akan tahu akhir sejarah ini akan pergi ke mana jika kita tetap bertahan hidup.”

Jane menatap gadis itu dengan heran sambil melipat tangan di depan dada, “Bukan kah kau adalah orang yang semalam berkata sudah siap mati dan menganggap dunia ini membosankan?”

“Hehe, aku tahu ini gila. Tapi kupikir kekacauan ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar, aku ingin melihat sejauh apa mereka bisa mengejutkan orang gila sepertiku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status