“Nusa Cania Nitasa ...” Cuna melirik Hindia yang kini memanggilnya, menyebut nama lengkapnya sekalipun dia tak pernah yakin bahwa dia pernah memberitahukan nama lengkapnya pada wanita elok bergaun hitam itu atau tidak. “Aku menyukainya.”
Mata gadis itu akhirnya bertemu langsung dengan netra merah milik Hindia. Tatapan wanita itu terasa hangat untuknya, senyuman tipis yang Hindia berikan padanya membuat Cuna tanpa sadar bisa bernapas dengan sangat lega sekalipun tubuh kecilnya masih digenggam oleh Dewiana.
“Dia akan menangis jika kau membunuh dua kawannya itu, dan aku ...” Cuna membeku ketika menyadari ada sebuah tangan tipis yang menggenggam tangannya di dalam cengkraman Dewiana. Perlahan ... genggaman itu melebar ke seluruh tubuhnya, seakan sedang memdekapnya, memeluknya dengan sangat hangat. “... tak suka melihatnya menangis.”
Tepat saat kalimat itu berakhir, Cuna baru menyadari bahwa kini dia sudah berpindah ke temp
“Mayoritas manusia disini hanya akan berubah menjadi Abdi Regar, atau mati dan menjadi pati.” Regar menatap iris mata Nika ketika mengucapkan kalimat itu. “Jika ada yang tak ingin menjadi abdiku, dan bertukar darah denganmu. Bunuh dia.” Nika mengangguk dengan polos, membiarkan mata kosongnya menatap netra Regar yang kini menunjukkan warna kuning gelap. “Jika ada wrena lain dengan ciri laki-laki, memiliki gigi kelinci yang sedikit menonjol, bermata sipit, dan suka melempari jalanan menggunakan api. Jangan bunuh dia, atau kau yang akan mati.” Gadis itu mengangguk lagi mendengar peringatan Regar. Pemuda itu menarik senyuman miring, ibu jari dan jari telunjuknya yang sejak tadi mencengkram lembut rahang Nika kini dia tarik ke atas, membuat ibu jarinya bisa menyentuh pipi Nika dan mengusapnya dengan sangat pelan. “Katakan, kau akan mengikuti perintahku.” “Aku akan mengikuti perintahmu, Regar.” “
“Kau gadis yang penurut,” gumam pemuda itu dengan nada rendahnya. “Aku menyukaimu.” Nika tak membalas kalimat itu dengan apapun, gadis itu hanya menatap Regar dengan sorot mata kosongnya. Pemuda itu menatap sekelilingnya yang dipenuhi mayat prajurit berserakan, dia lalu memusatkan pandangannya pada atap bangunan keraton yang kini sudah cukup rusak sambil bergumam pelan. “Aku tahu kalian ada di sana sejak awal.” “Ups!” “Oups!” balas dua suara secara bersamaan, setelahnya ketukan keras terdengar sebanyak dua kali dan disusuli dengan teriakan keras. “Akh! Berhenti memukul! Kita sudah ketahuan!” “Kalian bukan manusia,” lanjut Regar tanpa sadar. “Kenapa kalian tak membantuku menghancurkan mereka?” Kedua orang itu beranjak berdiri tepat di atas atap bangunan keraton itu sambil berkacak pinggang, tanpa sadar membuat Regar tahu bahwa kedua orang itu bukanlah wrena dari tempatnya melainkan manusia yang berubah menjadi wrena.
Regar menatap punggung kedua wrena baru yang sedang dia kejar. Tawa masih tak lepas dari keduanya, mereka tak terlihat murung seperti kebanyakan manusia yang berubah menjadi wrena demi bertahan hidup, keduanya malah terlihat begitu menikmati perubahan mereka hingga mereka bisa bertransformasi menjadi sesuatu yang tak biasa. Pemuda itu sedikit penasaran dengan seberapa banyak manusia yang mereka makan demi bertahan hidup, atau mungkin saja, mereka sejak awal tak memakan manusia untuk bertahan hidup, melainkan untuk bersenang-senang. Fisik kedua orang itu terlihat begitu kuat, lompatan mereka untuk terus menjauh dari Regar membuat pemuda itu sadar bahwa dua orang tersebut bukanlah wrena biasa. “Seharusnya kau tak perlu merasa heran dengan manusia berhati iblis seperti mereka,” pikir Regar tanpa sadar. Pemuda itu memperkuat tekanan pada kakinya untuk melompat lebih jauh dan langsung menendang salah satu di antara mereka hingga jatuh dan menghanta
Beberapa tahun melakukan rutinitas yang sama, menjalani hari dengan sangat cepat bahkan tanpa melakukan hal-hal yang berarti, Arta begitu mengerti bagaimana menyebalkannya ketika mata mulai mengantuk namun pikiran terus berputar meruntuki kegiatan kesehariannya yang tak berguna.Sesekali ketika hari terasa sangat lambat, ketika dia sibuk dengan dunianya dan saat melihat jam, di sana baru menunjukkan pukul dua siang, atau pun empat sore, Arta suka mensyukurinya. Dia bersyukur bahwa hari belum berakhir ketika dia disibukkan dengan kegiatan yang berguna, kegiatan yang membuatnya lupa akan segala hal yang terkadang menyerang pikirannya semalaman.Arta tak pernah suka ketika dia merasa harinya ditutup dengan hal-hal yang membosankan, dia benci melakukan rutinitas yang sama terus-menerut tanpa tahu apa gunanya.Pemuda itu suka ketika dia merasakan bahwa waktu melambat, ketika dia sadar bahwa dia menikmati segala hal yang ada di hadapannya, ketika dia tahu … bah
“Akan ada masa dimana kita —manusia— akan dipaksa untuk berevolusi, mengabaikan hati nurani kita, mengabaikan moral yang selama ini kita pegang. Akan ada masa dimana … kita dipaksa untuk memakan sesama, menghancurkan sesama kita. Menjadi egois dengan tetap berpegang teguh pada moral kemanusiaan, adalah cara tercepat untuk menjadi mangsa.“Anugra Surya Arta, penglihatan yang saya berikan padamu sejak usia 7 tahun, bukanlah hal yang bisa kau abaikan. Suatu hari nanti, kau akan bertemu dengan orang-orang yang tepat, kau akan menjadi prajurit, kau akan berdiri dengan tangguh, kau akan terus terluka, kau … mungkin akan banyak mengalami kehilangan yang pahit. “Saya tahu ini berat untuk anak seusiamu, kini kau baru menginjak usia 18 tahun. Kau seharusnya tumbuh dengan normal layaknya mayoritas remaja di daratan bumi Nusantara ini. Namun saya membatasimu, saya terus memintamu untuk melaksakan serangkai
Bagi Jane, di dalam kelompok mereka Wonu bisa dibilang sebagai pemimpin kelompok yang kompeten. Pemuda itu sangat cepat memahami segala situasi, lalu membuat keputusan tepat, dan langsung bergerak. Dia sangat tahu bagaimana cara untuk mengendalikan dirinya dan Cuna, dia tahu bagaimana cara untuk membuat mereka semua tetap miliki pikiran yang waras di dalam dunia yang sangat memuakkan ini.Semenjak Cuna berubah menjadi wrena, semenjak gadis itu sadar bahwa dia memiliki kemampuan yang lebih bagus dibandingkan Jane dan Wonu yang masih menjadi manusia, Cuna selalu menyerahkan tugas terberat untuk dirinya sendiri. Jane akan bersama Wonu, dia akan terus mengikuti perintah pemuda itu karena dia tahu bahwa Wonu mampu membantu mereka untuk selamat.Selama ini, dua orang itulah yang banyak bertugas untuk keselamatan grup mereka.Dia bahkan tak bertambah kuat sejak hari itu. Kematian Hanbin karena kecerobohannya, kematian Nira karena emosinya, dia tak mempelajari apapun se
“Kau maju, terus bush!” ucap Putra sambil memperagakkan posisi yang benar dalam meninju, “Kalo menggunakan tongkat, maka bum! Lalu dang! Setelah itu bush!” lanjutnya sambil terus memperagakkan, lengkap dengan mulutnya yang terus mengutarakan bunyi dari serangan itu. “Ngerti?”“KAGAK LAH ANJIR! YAKALI!” kesal gadis itu membuat Putra menatapnya kesal.“KAU BODOH ATAU APA?!”“KAU YANG TAK PINTAR MENJELASKAN BEGO!”“KAU SAJA YANG TAK BISA MENCERNA PENJELASANKU!”“Mereka takkan bisa berlatih bersama,” gumam Arta bersamaan dengan Citra dan Cuna yang terbahak keras melihat perkelahian Putra dan Jane.“KAU HANYA PERLU MAJU SELANGKAH DAN BUM! LALU DANG!” “GAK NGERTI PUT! JANGAN GUNAKAN BAHASA ALIENMU!”Arta menghela napas pelan lalu beranjak pergi mendekati kedua orang itu,
Cuna menatap sekelilingnya, memerhatikan beberapa bangunan besar dan sebagian spanduk yang memiliki tulisan sejenis, tentang peringatan untuk bersembunyi, menyimpan beberapa persediaan makanan jenis kacang-kacangan, dan jangan keluar kecuali terdesak. Citra memerhatikan gadis itu yang masih menatap sekelilingnya, “Tulisan besar itu? Kami membuatnya saat kekacauan terjadi kemarin.”“Di Jakarta semua orang berlomba memakan sesama karena informasi bodoh yang disebarkan oleh para Wrena melalui tv dan radio,” balas Cuna santai. “Mungkin sekarang mayoritas orang Jakarta sudah menjadi Wrena.”“Kami tak menemukan banyak Wrena disini.” Putra ikut menimpali, “Lebih banyak korban berjatuhan ataupun Pati dibandingkan Wrena, kupikir karena karakter rakyatnya juga.”“Karakter rakyatnya?” tanya Cuna tak paham.“Kau tahu sendiri, banyak orang yang lahir dan besar di Nusantara, tapi tak memiliki