Aiptu Anang mengelilingi rumah pak Hadi. Dia seperti mempunyai firasat buruk di rumah itu. Saat kakinya melangkah menuju belakang rumah, kedua lubang hidungnya menangkap bau. Aiptu Anang terus menelusurinya hingga bau tersebut benar-benar menusuk hidungnya.
"Bau apa ini?"
"Pak Anang, Anda dimana?" teriak Revan.
"Aku disini, Van!" Aiptu Anang berteriak menyahut teriakan Revan.
Revan berlari menghampiri Aiptu Anang yang berdiri di belakang rumah pak Hadi. Aluna pun menyusul keduanya.
Dia berhenti sejenak, mendadak hidungnya menangkap sesuatu yang sangat menyengat.
"Bau apa ini?" ucap Aluna sambil menutup hidungnya, "kenapa baunya sangat menyengat sekali!"
"Kau juga menciumnya, Lun?" ujar Revan.
"Tentu saja, baunya sampai sini!" tegas Aluna.
"Aku pikir ada yang aneh dengan rumah pak Hadi!" tutur Aiptu Anang.
Rumah keluarga Hadi sangat ramai. Para tetangga berdatangan untuk melihat langsung. Aluna pun masih tidak menyangka akan kejadian tersebut. Walaupun Aluna termasuk baru mengenal pak Hadi, tapi pria itu adalah pria yang sangat baik. Ada kerusakan di rumah mereka pun hanya pak Hadi yang membantu mereka. Kenapa mereka harus dibunuh? Apa karena pak Hadi dan keluarga mengetahui sesuatu tentang kejadian pembunuhan Saraswati, jadi dengan menyingkirkan pak Hadi dan keluarganya, pelaku akan aman. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Lalu apa motiv dari ini semua? Itulah tugas polisi untuk memecahkan kasus ini. Empat korban sekaligus ditemukan dalam satu lokasi. Semua tidak menyangka kepergian keluarga Hadi sangat tragis. Para tetangga pun tidak menyangka kalau terjadi pembunuhan. Semua begitu tampak rapi, sehingga orang tidak ada yang tahu. Atau mungkin karena jarak rumah ke rumah agak begitu jauh? Tapi semua sudah berlalu. Keluarga yang dikenal sang
Revan menatap air yang cepat terserap di lantai. Dia terlihat aneh dengan keadaan itu. Bagaimana mungkin? Batinnya. Revan terus menerus memperhatikannya. Air tumpahan dari botol tersebut dengan begitu cepat meresap ke dalam. Seperti memang ada cela dibaliknya. Kemudian Revan menggetok lantai tersebut, membandingkan dengan lantai lainnya yang jaraknya tak begitu jauh dari tempatnya jongkok. "Lun! Coba lihat ini!" panggil Revan. Aluna segera menghampiri Revan. "Apa ini?" tanya Aluna. "Sangat aneh!" "Atau jangan-jangan!?" Keduanya langsung saling pandang. Entah mereka memikirkan hal yang sama atau tidak. "Kau sependapat denganku 'kan, Lun?" Revan menatap Aluna. "Emm, aku sependapat. Mungkin memang ada sesuatu di bawah sana!" balas Aluna. "Biar aku periksa!" Revan meraba-raba lantai tersebut
Beberapa hari sebelumnya, "Bagaimana keadaan Alena?!" tanya tante Nita yang terlihat sangat khawatir. Tante Nita yang mendengarkan kabar berita tentang kecelakaan salah satu keponakannya langsung mengambil keputusan untuk pulang, padahal kerjaannya belum selesai. "Bagaimana ini bisa terjadi?" Tante Nita terlihat sangat shock. "Ma-maaf Tante, aku tidak bisa menjaga Alena!" balas Aluna. "Ini bukan kesalahanmu, Lun. Semua sudah jalan-Nya. Tante cuma shock, bagaimana ini bisa terjadi. Tante pikir kalian berdua!" Tante Nita berjalan mendekati Aluna dan memeluknya. Pintu ruangan terbuka, sosok pemuda dengan seragam lengkap memasuki ruangan. Sosok pemuda yang tak lain adalah Dokter yang merawat Alena dan Bagas. "Selamat siang, Nyonya!" sapa Dokter Rama. "Siang, Dok. Bagaimana keadaan mereka berdua?" tanya tante Nita. "An
Hari itu Aiptu Anang, Revan, dan Aluna mendatangi alamat rumah yang tertera di belakang foto. Sesampai di tempat tujuan justru rumah tersebut kosong. Tak terlihat ada kehidupan sama sekali di rumah tersebut. Tak jauh dari rumah tersebut, ada sebuah warung kecil yang hanya dihuni oleh seorang pria tua. Aluna, Revan, dan Aiptu Anang akhirnya mampir ke warung tersebut untuk bertanya tentang rumah yang berdiri tak jauh dari warung itu. Si pemilik warung mempersilahkan ketiganya untuk duduk, tak lama setelah itu pria tua kembali ke depan dengan sebuah nampan di tangannya. "Silahkan diminum, hanya sekedar air putih, tapi air ini bisa menghapus dahaga. Bapak lihat Nona ini kehausan." "Ah, terima kasih, Pak!" ucap Aluna. "Maaf sebelumnya, dengan Bapak—" "Pak Amir!" sela pria tua tersebut. "Pak Amir. Saya Anang dan yang duduk di samping Saya adalah Revan. Se
Setelah proses pemakaman jenazah pak Hadi dan keluarganya, pak Amir masih tinggal di rumah si kembar untuk beberapa hari ke depan. Aiptu Anang yang akan mengantar pulang Pak Amir, karena setelah acara pemakaman itu, Aiptu Anang sibuk dengan beberapa laporan dari anak buahnya, sehingga dia belum bisa mengantar Pak Amir pulang ke rumahnya. Sore itu pak Amir terlihat santai duduk di ruang depan dengan Revan. Keduanya terlihat asyik berbincang-bincang. Pak Amir merasa sangat senang saat Revan mengajaknya main catur di ruang depan. "Apa pak Amir merokok?" tanya Revan. "Tidak, Nak!" jawab pak Amir singkat. "Kalau begitu, pak Amir tidak minum kopi?" tebak Revan. "Betul sekali. Bapak sudah lama berhenti minum kopi karena darah tinggi Bapak," jelas pak Amir. "Darah tinggi? Kenapa pak Amir tidak tinggal dengan anak bapak. Padahal rumahnya bersebelahan dengan rumah pak Amir?" Aluna berlutut dan menaruh secangkir teh hangat di depan pak Amir.
Misteri yang belum terungkap membuatnya harus terus mencari fakta agar bisa mengungkap semuanya. Berbagai upaya terus dilakukan oleh mereka bertiga. Sementara pelaku utama kasus pembunuhan terdahulu belum terungkap, kini muncul kasus-kasus baru yang mau tidak mau harus ditelusuri dan dikuak. Di samping itu, ada dua tubuh yang masih terbaring koma di rumah sakit. Tentu saja membuat Aluna, Revan, dan Anang harus lebih extra bekerja keras. Namun, tidak segampang yang mereka pikirkan. Mereka belum mengetahui apa yang akan terjadi dikemudian hari. Malam kian merambat, akan tetapi keempat orang yang tengah duduk di ruang tengah semakin terlibat pembicaraan yang serius. Pak Amir yang ingin mengutarakan sesuatu, akhirnya mengurungkan niatnya. Namun, dengan keyakinan Aluna membuat pak Amir menceritakannya. Semua kaget ketika mendengarkan pengakuan pak Amir, bahwa istrinya dibunuh oleh anaknya yang bernama Handoko. Yang
Aluna melangkahkan kakinya menapaki lantai rumah sakit. Kali ini Aluna datang ke rumah sakit tanpa Revan. Revan sendiri sedang menemani Aiptu Anang ke suatu tempat. Aluna berjalan dengan pandangan kosong. Entah sedang memikirkan apa dia? Tiba-tiba, Aluna dikejutkan dengan sebuah bola yang menggelinding tepat menyentuh kakinya. Aluna menundukkan kepalanya. "Bola? Bola milik siapa ini?" kata Aluna mengambil bola tersebut dan menyebarkan pandangannya ke sekitar. "Tidak ada siapa-siapa," beonya. Aluna celingak-celinguk mencari sesuatu. Namun, pandangannya berhenti pada sebuah obyek. Aluna melihat seorang anak kecil. Anak laki-laki kecil itu tersenyum pada Aluna. Lantas, dia pun membalas senyumannya. Aluna melangkahkan kakinya mendekati. Tepat di depan anak kecil itu, Aluna berjongkok agar menyejajarkan dirinya dengan anak laki-laki itu. "Apa ini bola milikmu?" tanya Alun
Aluna masih teringat dengan anak kecil yang dia lihat di rumah sakit. Kini dia dan Revan sudah pulang ke rumah. Tante Nita dan mang Dadang yang sekarang giliran menjaga Alena dan Bagas. Walaupun Aluna tidur di rumah, tapi tetap saja dia tidak tenang. Pasalnya rumah yang dihuni oleh Aluna juga masih menyisakan misteri yang belum terpecahkan. Menyesal pun percuma, Aluna hanya bisa menerima keadaan. Jikalau dia meminta untuk pindah pun tidak bisa. Aluna duduk terbengong di ruang depan. Revan yang melintas pun mendekati Aluna. Pemuda itu langsung duduk disebelahnya. Revan yang saat itu membawa sebuah botol air mineral. "Kau mau minum? Sepertinya kau terlihat sangat dehidrasi." Revan menyodorkan botol air mineral tersebut. "Aku tidak haus!" tolak Aluna. "Jangan terlalu banyak dipikirkan, nanti justru kau yang akan jatuh sakit. Aku tahu kau sudah tidak betah di sini, tapi