Hari itu Aiptu Anang, Revan, dan Aluna mendatangi alamat rumah yang tertera di belakang foto. Sesampai di tempat tujuan justru rumah tersebut kosong. Tak terlihat ada kehidupan sama sekali di rumah tersebut.
Tak jauh dari rumah tersebut, ada sebuah warung kecil yang hanya dihuni oleh seorang pria tua. Aluna, Revan, dan Aiptu Anang akhirnya mampir ke warung tersebut untuk bertanya tentang rumah yang berdiri tak jauh dari warung itu.
Si pemilik warung mempersilahkan ketiganya untuk duduk, tak lama setelah itu pria tua kembali ke depan dengan sebuah nampan di tangannya.
"Silahkan diminum, hanya sekedar air putih, tapi air ini bisa menghapus dahaga. Bapak lihat Nona ini kehausan."
"Ah, terima kasih, Pak!" ucap Aluna.
"Maaf sebelumnya, dengan Bapak—"
"Pak Amir!" sela pria tua tersebut.
"Pak Amir. Saya Anang dan yang duduk di samping Saya adalah Revan. Se
Setelah proses pemakaman jenazah pak Hadi dan keluarganya, pak Amir masih tinggal di rumah si kembar untuk beberapa hari ke depan. Aiptu Anang yang akan mengantar pulang Pak Amir, karena setelah acara pemakaman itu, Aiptu Anang sibuk dengan beberapa laporan dari anak buahnya, sehingga dia belum bisa mengantar Pak Amir pulang ke rumahnya. Sore itu pak Amir terlihat santai duduk di ruang depan dengan Revan. Keduanya terlihat asyik berbincang-bincang. Pak Amir merasa sangat senang saat Revan mengajaknya main catur di ruang depan. "Apa pak Amir merokok?" tanya Revan. "Tidak, Nak!" jawab pak Amir singkat. "Kalau begitu, pak Amir tidak minum kopi?" tebak Revan. "Betul sekali. Bapak sudah lama berhenti minum kopi karena darah tinggi Bapak," jelas pak Amir. "Darah tinggi? Kenapa pak Amir tidak tinggal dengan anak bapak. Padahal rumahnya bersebelahan dengan rumah pak Amir?" Aluna berlutut dan menaruh secangkir teh hangat di depan pak Amir.
Misteri yang belum terungkap membuatnya harus terus mencari fakta agar bisa mengungkap semuanya. Berbagai upaya terus dilakukan oleh mereka bertiga. Sementara pelaku utama kasus pembunuhan terdahulu belum terungkap, kini muncul kasus-kasus baru yang mau tidak mau harus ditelusuri dan dikuak. Di samping itu, ada dua tubuh yang masih terbaring koma di rumah sakit. Tentu saja membuat Aluna, Revan, dan Anang harus lebih extra bekerja keras. Namun, tidak segampang yang mereka pikirkan. Mereka belum mengetahui apa yang akan terjadi dikemudian hari. Malam kian merambat, akan tetapi keempat orang yang tengah duduk di ruang tengah semakin terlibat pembicaraan yang serius. Pak Amir yang ingin mengutarakan sesuatu, akhirnya mengurungkan niatnya. Namun, dengan keyakinan Aluna membuat pak Amir menceritakannya. Semua kaget ketika mendengarkan pengakuan pak Amir, bahwa istrinya dibunuh oleh anaknya yang bernama Handoko. Yang
Aluna melangkahkan kakinya menapaki lantai rumah sakit. Kali ini Aluna datang ke rumah sakit tanpa Revan. Revan sendiri sedang menemani Aiptu Anang ke suatu tempat. Aluna berjalan dengan pandangan kosong. Entah sedang memikirkan apa dia? Tiba-tiba, Aluna dikejutkan dengan sebuah bola yang menggelinding tepat menyentuh kakinya. Aluna menundukkan kepalanya. "Bola? Bola milik siapa ini?" kata Aluna mengambil bola tersebut dan menyebarkan pandangannya ke sekitar. "Tidak ada siapa-siapa," beonya. Aluna celingak-celinguk mencari sesuatu. Namun, pandangannya berhenti pada sebuah obyek. Aluna melihat seorang anak kecil. Anak laki-laki kecil itu tersenyum pada Aluna. Lantas, dia pun membalas senyumannya. Aluna melangkahkan kakinya mendekati. Tepat di depan anak kecil itu, Aluna berjongkok agar menyejajarkan dirinya dengan anak laki-laki itu. "Apa ini bola milikmu?" tanya Alun
Aluna masih teringat dengan anak kecil yang dia lihat di rumah sakit. Kini dia dan Revan sudah pulang ke rumah. Tante Nita dan mang Dadang yang sekarang giliran menjaga Alena dan Bagas. Walaupun Aluna tidur di rumah, tapi tetap saja dia tidak tenang. Pasalnya rumah yang dihuni oleh Aluna juga masih menyisakan misteri yang belum terpecahkan. Menyesal pun percuma, Aluna hanya bisa menerima keadaan. Jikalau dia meminta untuk pindah pun tidak bisa. Aluna duduk terbengong di ruang depan. Revan yang melintas pun mendekati Aluna. Pemuda itu langsung duduk disebelahnya. Revan yang saat itu membawa sebuah botol air mineral. "Kau mau minum? Sepertinya kau terlihat sangat dehidrasi." Revan menyodorkan botol air mineral tersebut. "Aku tidak haus!" tolak Aluna. "Jangan terlalu banyak dipikirkan, nanti justru kau yang akan jatuh sakit. Aku tahu kau sudah tidak betah di sini, tapi
Malam semakin merambat menyelimuti ibukota. Hawa dingin memenuhi seisi ruang kamar tersebut. Aluna mulai tampak meringkuk kedinginan. Revan pun menyelimuti tubuh Aluna dengan selimut dan dia pun menyusul Aluna tidur. Tidak ada kejadian yang aneh malam itu. Aluna dan Revan tidur sangat nyenyak sampai pagi kembali menyapa. Aluna menggeliat pelan, sesaat setelah sebuah sinar menyentuh kulitnya. Masih dengan keadaan kesadaran yang belum pulih, Aluna membuka matanya. "Sudah pagi, ya?" Aluna menggeliat pelan. "Di mana Revan?" Aluna bangkit dari baringnya dan menoleh kanan-kiri menyebarkan pandangannya ke seluruh ruangan, tapi dia tidak menemukan Revan. Aluna menurunkan kedua kakinya dan dia berjalan menuju kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, Aluna keluar dengan balutan handuk di kepalanya. Revan masuk membawa sebuah bungkusan dan melihat Aluna tampak bengong di depan jendela.
Aluna dan Revan tampak mencari sesuatu di sekitar. Suasana tampak begitu hening, mereka tidak menemukan apa-apa. Keduanya hanya saling pandang. "Kau yakin tadi melihatnya, Van?" tanya Aluna. "Aku benar-benar melihatnya masuk menembus pintu!" sahut Revan. Mereka berdua masih sibuk menyapu seluruh ruangan homestay. "Kenapa tiba-tiba aku merinding. Jangan-jangan anak kecil itu, anak kecil yang sama dengan yang aku lihat di rumah sakit." "Serius?" Revan menatap Aluna. "Aku semakin pusing dengan semua ini. Kapan akan berakhir?" lirih Aluna tiba-tiba menitihkan air matanya. Revan pun ikut merasakan hal itu, karena pemuda itu sudah ikut terjerumus. Revan pun ikut dibayangi dengan hal-hal gaib. Revan mendekati Aluna yang masih duduk di atas ranjang. Revan duduk di sisi ranjang dan membelai surai hitam Aluna. "Sabar dulu, ya. Insh
Hari belum mulai malam, tapi rumah sakit yang dikunjungi Aluna dan Revan tampak begitu horor. Suasana tampak mencekam. Dari terpaan angin di tempat parkir yang membuat bulu kuduk merinding dan rumah sakit yang tampak sepi seperti kuburan saat itu. Sebuah tangan mencengkram pundak Aluna dan Revan. Hal itu membuat keduanya menjerit seketika. "Eh, non Aluna ... den Revan." Tangan tersebut mengguncang-guncang pundak keduanya. Sayup-sayup Aluna mendengarkan sesuatu di tengah-tengah guncangan pundaknya. Ketika Aluna menoleh ke belakang, gadis itu tampak kaget. Lalu Aluna mengguncangkan tangan Revan. "Van ... Van ... Revan!" teriak Aluna. Revan langsung menoleh ke arah Aluna, lalu keduanya menoleh ke belakang. "Mamang!" pekik Aluna dan Revan ketika melihat sosok pria berdiri di belakang mereka dengan keadaan bingung. Mang Dadang bingung melihat Revan dan Aluna yang tampak k
HAPPY READINGKamar mayat adalah satu kalimat yang mungkin membuat orang yang mendengarkannya akan bergidik ngeri, apalagi jika orang tersebut masuk dalam kategori penakut.Istilah untuk kamar mayat adalah tempat berkumpulnya jenazah-jenazah yang telah meninggal baik karena kecelakaan ataupun yang meninggal di rumah sakit karena sakit.Kalau kata orang-orang kamar mayat angker karena banyak arwah yang tidak diterima oleh sang pemberi hidup. Makanya arwah-arwah itu bergentayangan bahkan ada yang berdiam menetap di suatu tempat karena sudah menjadi tempat favoritnya. Apalagi kamar mayat di rumah sakit sudah pasti menjadi tempat yang paling menakutkan.Malam itu Aluna, Revan, dan mang Dadang menginap di rumah sakit. Ketika sedang asik berbincang-bincang, tiba-tiba Revan merasa lapar. Perutnya berbunyi nyaring membuat Aluna dan mang Dadang tertawa."Keadaan sedang seriu