Pagi yang sangat cerah, secerah senyuman manis dari si kembar Aluna dan Alena Pricillia. Kedua gadis itu tampak tengah sibuk mengemas semua barang-barangnya. Mereka berdua menata rapi pakaian-pakaian mereka dan menatanya ke dalam koper.
Terlihat begitu jelas raut bahagia terpancar dari muka Aluna dan Alena. Selesai mengemas barang-barang, mereka segera bersiap untuk berangkat menuju bandara.
"Aku tidak sabar ingin segera terbang!" ujar Aluna berseri-seri.
"Aku pun sama, tak sabar ingin segera sampai di Indonesia," sambung Alena.
"Apa kau sudah memberitahu pada Tante Nita, kalau kita terbang hari ini?" tanya Aluna.
Alena menggelengkan kepalanya, "aku belum memberitahu Tante Nita. Aku pikir, kita beri kejutan saja pada Tante!"
"Ah, benar juga!" sahut Aluna.
"Baiklah, aku sudah selesai. Tinggal kita siap-siap berangkat," Alena menutup kopernya.
'Eh, apa Bagas dan Revan akan mengantar kita?" Aluna mengangkat kopernya dari ranjang dan menariknya menuju belakang pintu.
"Kemarin mereka sendiri yang menawarkan diri untuk mengantar!" balas Alena.
Beberapa saat setelah itu, bell rumah berbunyi nyaring berkali-kali. Buru-buru Aluna membukakan pintu dan nampaklah wajah ganteng dua sosok pemuda, Revan dan Bagas.
"Aku kira kalian tak jadi mengantar kami berdua ke bandara," ujar Alena dari dalam.
"Gak mungkinlah kita biarin pacar kita pulang tanpa di kawal sampai bandara," sahut Bagas.
"Ya udah, kalau gitu tolong dong angkati koper kita!" seru Aluna.
Revan melangkah mendekati Aluna, "dimana kopermu?" tanyanya.
"Ada di kamar, kalian bisa bantuin kita kan membawa koper-koper kita keluar!"
Revan dan Bagas melangkah masuk ke dalam kamar.
"Luuunn!!" teriak Revan, "kopermu yang mana?" imbuhnya bertanya.
"Yang warna tosca!" teriak Aluna membalas.
"Berarti koper yang berwarna biru dongker ini punya Lena!" teriak Bagas.
"Iyaaa, itu punyaku! Tolong ya bawain ke depan!" balas Alena.
"Oke!"
Keempat pemuda dan pemudi itu segera meninggalkan rumah yang selama ini di tempati oleh si kembar. Aluna dan Alena memang menyewa sebuah rumah yang tak begitu besar setelah sebelumnya mereka tinggal di asrama kampus mereka, tapi ketika masuk semester 5, mereka berdua memutuskan untuk menyewa sebuah rumah kecil yang tak jauh dari kampus mereka.
Setelah si kembar berpamitan dan menyerahkan kunci rumah pada si pemilik rumah, si kembar beserta Revan dan Bagas segera meluncur ke Airport.
Sesampainya mereka berempat di Airport, tak lupa mereka berempat saling berpamitan. Revan dan Bagas harus segera kembali ke kampus, sedangkan si kembar harus menunggu sekitar 1 jam lagi.
"Kita berdua tak bisa berlama-lama di bandara," ujar Bagas.
"Benar sekali, hari ini aku ada jadwal kelas!" sambung Revan.
"Tidak apa-apa, kalian pergilah!" Aluna tersenyum.
"Toh, sebentar lagi kita akan terbang," imbuh Alena.
"Oke sampai ketemu nanti di Indonesia!" Bagas dan Revan melangkah mundur sambil melambaikan tangannya.
"Kita akan kabari kalian nanti setelah mendarat sampai di Indonesia!" teriak Aluna.
"Jaga hati, ya!" sambung Alena berteriak dan melambaikan tangannya pada Bagas.
Kedua gadis itu lalu menarik koper mereka untuk segera check-in. Untung sekali bawaan mereka berdua tak banyak. Mereka berdua sudah mengirimkan beberapa barang-barang mereka melalui paket dan sekarang mereka berdua hanya membawa koper. Mereka berdua pun menunggu tak jauh dari gate.
***
Penerbangan kurang lebih 17 jam, keduanya sudah duduk manis di dalam pesawat. Pesawat pun sudah take-off mengangkasa terbang ke udara menembus birunya langit yang menghampar luas seluas samudera.
Si kembar nampak duduk bersebelahan. Aluna yang duduk dekat jendela pun menatap hamparan awan. Terbesit dalam pikirannya sebuah pertanyaan, lalu dia menoleh ke arah saudara kembarnya. Alena nampak sedang asyik membaca buku. Aluna mengulurkan tangannya menepuk lengan Alena, gadis itu menoleh.
"Apa?" respon Alena.
"Aku sedang memikirkan sesuatu. Apa nanti kita akan tinggal di rumah Tante Nita?" Aluna merasa tak enak.
"Mungkin!" sahut Alena singkat, lalu kembali lagi membaca bukunya.
Aluna kembali menyandarkan kepalanya pada sofa, matanya menatap gumpalan-gumpalan putih di luar jendela pesawat. Dia kembali menarik napas panjang.
"Aku berharap, aku bisa segera mendapatkan pekerjaan. Jadi, kita bisa menyewa rumah dengan ukuran kecil dan tak perlu lagi tinggal di rumah Tante Nita!" Aluna kembali menoleh ke arah Alena.
"Aku pun juga berpikir seperti itu. Semoga setelah kita sampai nanti, kita tak perlu berlama-lama tinggal di rumah Tante Nita!" ujar Alena. Aluna pun mengangguk.
"Untuk sementara waktu kita akan tinggal di rumah Tante Nita sampai kita mendapatkan pekerjaan," sahut Aluna memposisikan tubuhnya dengan benar di sofa. "Aku ingin tidur sebentar!" Aluna memejamkan mata.
"Tidurlah. Perjalanan kita masih jauh!" balas Alena mengangkat bukunya dan kembali membaca.
***
Setibanya di Indonesia, keduanya langsung duduk untuk beristirahat. Perjalanan yang cukup panjang, pasti membuat tubuh mereka lelah.
"Pantatku pegal!" gerutuk Alena. Aluna tertawa pelan.
"Sama dong. Nikmati saja, Len!" sahut Aluna.
"Ini yakin, kita tidak memberi kabar Tante Nita?" tanya Alena menatap layar ponselnya.
"Tak perlu! Kita akan memberi Tante Nita kejutan," balas Aluna.
"Terus kita?"
"Tunggu dulu lah disini. Kita sudah kebanyakan duduk, apalagi aku pun sudah merasa lapar!" Aluna memegangi perutnya.
"Kita cari makan dulu, yuk!" ajak Alena. "Perutku juga sudah keroncongan."
Si kembar melangkah beriringan sambil menarik koper mereka masing-masing keluar dari areal bandara. Mereka segera mencari restoran terdekat.
"Itu ada rumah makan padang!" seru Alena menunjuk sebuah rumah makan di seberang jalan.
"Ayo kita kesana!" sahut Aluna menarik tangan Alena.
Masuklah mereka ke rumah makan padang. Keduanya memilih bangku yang berada dekat wastafel. Mereka menaruh koper berjajar, segeralah mereka mengambil piring yang sudah disediakan. Seperti biasa Aluna mengambil rendang Ayam, sedangkan Alena lebih memilih rendang daging sapi.
"Lama sudah aku tak menyantap masakan padang," Alena begitu sangat menikmatinya.
"Benar sekali, walaupun di Belanda ada yang menjual nasi padang pun rasanya sangat beda!" ucap Aluna.
"Tetap Indonesia no.1!" sahut Alena. "Eh Lun, apa kau sudah memberi kabar pada Revan?" tanyanya.
Aluna menggelengkan kepala, "belum. Kau sendiri?" tanya Aluna.
"Aku pun belum memberi kabar pada Bagas. Nanti saja setelah kita makan!"
Setelah selesai menyantapnya, mereka sedikit mengobrol untuk menunggu semua makanan yang baru mereka makan turun ke bawah.
Aluna mengambil ponsel dari dalam tasnya, lalu memainkan jemari tangannya. Dia sibuk memencet keyboard, lalu mengklik sent. Begitu pun dengan Alena, dia begitu sibuk dengan benda pipih yang dia pegang, sesekali dia menyedot es teh yang ada didepannya.
"Done!" Alena meletakkan benda pipihnya di atas nakas, lalu kembali menyedot es teh.
"Kenyang! Berasa ingin sekali meletakkan tubuh ini di atas ranjang yang empuk!" Aluna memegang pinggangnya. "Ayo ah! Kita pulang. Aku sudah ingin sekali mandi." imbuhnya.
"Sebentar aku akan membayar dulu!" Alena meraih tasnya dan segera membayar di kasir. Sedangkan kedua tangan Aluna menarik koper keluar dari rumah makan padang.
Beberapa saat setelah Alena menyusul, sebuah taksi berhenti tepat di depan Aluna. Aluna memasukkan dua koper ke dalam bagasi taksi di bantu dengan sopir taksi, kemudian dia segera masuk ke dalam taksi menyusul Alena yang sudah duduk di dalam. Taksi melaju menuju rumah Tante Nita.
***
"Aneh?" Revan dan Mang Dadang menatap Bagas. "Iya, aneh." Bagas membalas menatap ke duanya dan setelah itu kembali menatap langit-langit ruang depan. Bagas merasa selama dirinya tidur, dia merasa seperti menjadi tahanan di alam lain. Ya, Bagas dan Alena menjadi tahanan sosok misterius ber-dress merah. Bagas berdecak dan kembali menoleh ke arah Revan. "Ah, sudahlah tidak perlu dipikirkan. Aku mau istirahat dulu." Bagas memejamkan matanya. Revan kembali menatap Mang Dadang dan mengangkat bahunya. Di dalam kamar, tampak Alena duduk di atas kasur lipat. Dia memperhatikan Tante Nita yang membereskan pakaiannya dan memasukkannya ke dalam lemari. Lalu wanita itu membalikkan badannya dan berjalan mendekati Alena. "Kau bisa istirahat dulu. Aluna sedang membuatkan-mu teh hangat." Tante Nita membelai surai hitam Alena. Tidak lama setelah itu Aluna masuk ke dalam kamar dan menaruh gelas berisi te
Setelah semua berlalu hal itu lantas tidak membuat Aluna bahagia. Pasalnya Aluna belum tenang sama sekali, karena saudara kembarnya masih tertidur pulas di rumah sakit. Gadis itu mulai merindukan masa-masa bersama dengan Alena dan dia juga tidak sanggup kalau harus kehilangan Alena. Bagi Aluna, Alena adalah semangatnya. Dia adalah satu-satunya keluarga yang Aluna punya.Hari itu, Aluna masih menunggu tukang bangunan yang harus memperbaiki lantai di ruang tengah. Sebetulnya para tukang bangunan agak ketakutan mengerjakan pekerjaan tersebut. Namun pada saat itu Tante Nita, Mang Dadang, Bi Inah, dan juga Pak Kyai Khusni datang ke rumah Aluna. Pak Kyai pun mengirimkan doa untuk mereka semua agar tidak lagi bergentayangan di dunia ini.Rumah Aluna saat itu menjadi ramai karena Tante Nita dan yang lainnya memang berniat untuk menginap di rumah Aluna. Hari itu setelah mereka mengunjungi Alena dan Bagas di rumah sakit, mereka bercakap-cakap sampai
Sekian lama kasus pembunuhan wanita muda yang dikenal memiliki banyak kekayaan peninggalan dari keluarga besarnya ini ditutup karena tidak menemukan titik terang. Namun sekarang titik terang tersebut sudah mulai muncul.Dentingan suara musik yang dihasilkan dari kotak musik membuat Handoko gelisah dan panik. Dua bola matanya berjelalatan melihat ke seluruh ruang tengah tersebut. Dia merasakan ada dua pasang mata sedang mengawasi dirinya. Lalu sekelebat bayangan melintas di sisi kanannya. Handoko membalikkan badannya, namun dia tidak mendapatkan apapun. Bayangan itu pergi entah ke mana. Lalu Handoko dibuat kaget lagi, karena sebuah sentuhan lembut di tangannya. Dia pun dengan cepat mengibaskan-nya dan lagi dia tidak menemukan siapapun di ruang itu. Gadis yang duduk terikat di depannya tidak sadarkan diri, sedangkan pemuda yang Handoko pukul dengan sekop pasir masih pingsan.Lalu siapa dia?Berkali-kali Handoko dibu
Hanya butuh satu petunjuk lagi untuk membuka gembok terakhir misteri-misteri yang mereka alami. Semakin hari semakin terbuka titik terangnya. Aluna pun berharap dia akan datang lagi menemui dirinya di dalam mimpi ataupun mungkin dengan petunjuk lainnya.Kejadian di Soul Cafe kemarin juga diceritakannya pada Aiptu Anang. Pelan-pelan mereka semua bergerak untuk memancing sang target. Siapa lagi kalau pelaku pembunuhan yang pernah terjadi di rumah tersebut."Bagaimana kita akan memancing dia?" tanya Aluna. "Sedangkan aku belum menemukan petunjuk lagi," imbuhnya."Kalau menurut feeling-ku, petunjuk itu akan segera dia tunjukan," sambung Revan."Lalu bagaimana dengan halaman belakang?""Urusan halaman belakang, kita akan mengerjakannya pelan-pelan. Anggap saja kita sedang berenang sambil minum air, betul tidak, Van?" ujar Aiptu Anang."Yups, betul sekali. Kita
Tante Nita duduk termenung di taman rumahnya. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Sesekali dia menyeruput teh hangat buatan Bi Inah.Menghela napas panjang saat dia teringat kejadian itu. Di mana dia bertemu dengan Saras sahabatnya dan di tidak menyangka jika hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Saras.Flashback on,Soul Cafe, Jakarta, 29 Maret 2018."Selamat siang Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pramusaji."Saya sudah booking tempat atas nama Saras," jawab Nita ramah."Oh, Nona Nita, ya. Anda sudah ditunggu Nona Saras." Pramusaji itu menunjuk tempat duduk paling ujung dan di sana telah duduk seorang wanita dengan dress warna merah."Terima kasih ya Mbak." Nita melangkah dengan senyuman yang merekah di bibirnya. Dia langsung duduk di depan Saras.
Teror masih terus terjadi di rumah Handoko. Pria berkumis tersebut selalu dibuat spot jantung. Berbeda dengan teror yang di alami oleh Revan atau Aluna. Mereka datang hanya bermaksud untuk meminta tolong, akan tetapi tetap saja cara mereka yang muncul tiba-tiba dengar wujud yang menakutkan membuat orang-orang kaget dan spot jantung. Hal itu juga dirasakan oleh Haris. Pria tampan dan juga masih ada ikatan saudara dengan Handoko, serta beberapa kasus yang belum terungkap. Membuat namanya ikut terseret, karena beberapa hari yang lalu ada seorang Polisi yang datang ke rumahnya. Namun demikian tidak ada bukti yang mengarah pada Haris. Haris yang malam itu duduk termenung diam menatap sebuah foto yang ada di dalam dompetnya. Foto sosok seorang wanita yang pastinya adalah wanita pujaan hatinya. Yang akan dipersuntingnya menjadi istri, akan tetapi semua pupus. Di rabanya foto tersebut, terlihat dia sangat sedih akan kepergianny