Share

Sosok Awan Dalam Mimpi

31 Januari 2011

Kusapa pagi ini dengan senyum ragu

Jelas karena ada pikir sebelum lelapku

Tentang punggung itu, tentang rasa yang ragu

Awanku,

Ingatan yang sama masih berputar tanpa cela

Bagian itu jua rinci aku ingat

Yang kupandang sebelum kujelangwaktu senja

Masih rasa untuk sosok yang sama

Awanku,

Selalu seperti ini pada akhirnya

Dengan begini caraku untuk tahu

Mengenalmu, untuk tidak melupakanmu

Sajakku masih bercerita untuk objek yang sama

Kamu.

Bianka gagal menyadari bahwa seseorang tengah seksama mengawasinya sedari tadi. Tepat di belakangnya. Mematung. Perlahan Pandu memperkecil jaraknya dari objek pandang. Hingga berada tepat disampingnya.

Fokus Bianka pun pecah. Oleh bau yang sudah tidak asing. Tepat disampingnya, Pandu berdiri. Sosok tegap itu mengenakan sweater abu-abu dengan kerah turtle neck. Jelas, dia memang bukan itik buruk rupa. Tapi Bianka tidak menganggapnya lebih dari seorang kakak.

Untuk beberapa detik pandangan mereka terkunci. Bianka yang memangku bendanya dengan jemari yang sejenak berhenti beradu dan Pandu yang perlahan mengambil ancang untuk duduk disampingnya.

“Mong, apa tempat ini mengingatkanmu akan sesuatu?” Dia mengalihkan pandangannya ke depan untuk mempertanyakan perihal itu. Bianka yang hening sedari tadi tersenyum dengan anggukan kecil. Meskipun dia tidak berniat untuk menjelaskan tentang itu lebih jauh.

“Kalau begitu sama, bagiku tempat ini terlalu banyak kenangan. Dan kenangan indah justru akan 100 kali lebih menyakitkan untuk diingat ulang, oleh karena itu aku menghindari tempat yang membuatku teringat tentangnya.” Pandu menghela nafas dan melihat gumpalan awan yang berarak tanpa muara.

Kalimat itu terlontar dari mulut Pandu sambil tertunduk, entah menangis atau menahan tangis. Tapi satu hal yang pasti, hatinya terasa sedikit ngilu mengingatnya. Seolah-olah kenangan itu kembali berputar tanpa diperintah dipikirannya. Kenangan tentang hari-hari yang terlalui bersama seseorang yang saat ini berada disampingnya sebelum kecelakaan maut itu terjadi.

“Tapi bagiku berbeda, Kak Bong, ingatanku yang terbatas justru satu-satunya cara untuk mengembalikan kenanganku. Dan kamu tidak akan pernah mengerti.” Bianka menyahut pernyataan Pandu dengan tendensi yang berbeda. Karena kakak batu.

Sekelumit perihal yang selama dua tahun  mengganggu namun bak candu baginya. Kata-katanya tidak secara lugas dapat diterjemahkan oleh pemuda jangkung di depannya. Untuk cerita yang mana dan tentang siapa pemeran utama dalam cerita itu. Nyatanya masih tetap misterius.

Dua isi kepala yang secara tersirat mengutarakan pikiran dalam ambiguitas itu kini sama-sama membatu. Kaku dan beku, diam dan tanpa kata. Seperti dua ideologi yang gagal untuk saling bertemu. Pada akhirnya Pandu memilih untuk tidak menjadi batu. Seperti biasanya dia menghadapi situasi seperti saat ini, mencoba memecah kebekuan.

“Rupanya begitu bagimu, ingatan itu tampaknya bernilai begitu tinggi hingga kamu enggan melupakannya, bukan begitu, Mong? ah, dasar perempuan! Terlalu melonkolis dan suka mendramatisir keadaan. Pantas saja mereka cepat keriput.”

Celoteh itu terlontar sekenanya dari mulut yang terlalu spontan. Sindiran itu jelas terlalu mengeneralisir. Memang, itu semata-mata untuk mencairkan kebekuan. Bukan karena penyakit hati sehingga mengalami sedikit disfungsi untuk merasa peka, tapi begitulah caranya membentuk pencitraan tentang dirinya di depan Bianka. Sedikit kolokan dan sekenanya atau berkomentar sinis.

Sama spontannya Bianka menanggapi satir sekenanya itu. Meskipun sebagian pernyataan itu benar. Tentang dirinya yang idealis dan melankolis, tapi tetap saja berkaitan tentang harga diri sejuta umat perempuan lainnya, pernyataan  itu sangat tidak berlandasan dan dangkal.

“Pernyataanmu tadi sangat mudah disanggah, Kak, lebih baik menjadi melankolis dan idealis kan, daripada tidak punya hati dan dangkal. Bisa saja aku bilang semua lelaki itu dangkal dan tidak punya hati. Tapi pernyataan seperti itu terlalu menge-ne-ra-li-sir!” Dengan ketus Bianka menekankan kata ‘generalisir’ dan melontarkan satir personal.

“Jadi menurutmu aku bodoh, begitu?” Pandu sekonyong-konyong menyahut dan disambut anggukan mantap serta juluran lidah dari Bianka. Terlihat betul dari raut Bianka yang begitu puas dan merasa menang.

“Cara berpikirmu itu yang terlalu rumit dan bertele-tele, bukan aku yang dangkal, tahu apa kamu tentang ‘generalisir’? Pasti sembarangan mengutip. Nah, berarti kamu sama dangkalnya.”

Perang sanggahan antara mereka berdua nyatanya tidak selesai begitu saja. Dua kepala batu yang secara ajaib masih bertemu. Bertemu untuk beradu dan saling menyanggah. Bianka tidak dengan entengnya menerima sanggahan itu. Jelas, karena kata dangkal terlalu dangkal untuk pikiran yang sama sekali tidak dangkal.

 “Hanya orang dangkal yang menyimpulkan orang lain dangkal! Tapi berarti benar kan kakak dangkal?” Bianka nyinyir menyindir.

“Bukan begitu, ah, sudahlah! Percuma berdebat denganmu.” Pemuda bermata segaris itu menyudahi meski dalam batinnya geram juga. Tapi untuk Bianka, dia tidak pernah merasa keberatan untuk mengalah.

“Mong, seandainya kamu tahu, sosok yang selalu ingin aku lihat. Setiap membuka mata hanya satu hal yang aku minta, suatu saat nanti hatimu akan menjadi milikku. Perlahan tapi pasti. Dan tidak ada pria lain lagi selain aku.” Letupan dalam hati itu ditujukan untuk paras ayu disampingnya; yang saat itu kembali bergelut dengan dunianya, gadis itu dengan bendanya dan jari yang saling beradu.

Yang sebenarnya dirasakan Bianka cukup membuat hatinya merasa terusik. Sekelebat dia menoleh pada sosok disampingnya, yang meskipun dijulukinya batu namun diam-diam dia merasa nyaman dengan kehadirannya. Mungkin diam memang lebih baik untuk mereka.

“Kenapa kakak selalu mengalah? Meskipun menjengkelkan, tapi kakak selalu mengalah, harusnya jika mampu mempertahankan hal yang menurut kakak benar, lakukan saja. Jangan hanya karena lawan kakak seorang perempuan lantas mengalah,” Begitu tiba-tiba Bianka mengurai kalimat panjang, kepalanya tertunduk dengan jemari memainkan rerumputan. Mungkin dia merasa bersalah.

Pandu yang sedari tadi diam sontak mengubah posisinya, tepat menghadap Bianka. Dia menatapnya, bukan mata, tapi sosok seluruhnya di depannya yang kini sedang tertunduk. Lantas tersenyum sengit.

“Hei, siapa yang bilang aku mengalah. Bagiku kamu tetap gadis dangkal, tanpa bicarapun tidak akan mengubah fakta itu, haha.” Celetuknya dengan posisi yang masih sama. Sosok itu pada akhirnya menengadahkan kepalanya, jemarinya kini dikunci menjulur kedepan lututnya yang tertekuk. Saat itu dia mendapati dua pasang mata tengah mengawasinya. Bianka hanya bisa tersenyum dan tersipu.

“Mong, kenapa tempat ini begitu spesial bagimu?” Pertanyaan yang terlontar itu spontan membuat raut wajah Bianka berubah kaku dan kembali tertunduk. Pertanyaan yang membawa jeda dan dorongan dari dalam diri Bianka.

 Dia ingin berbagi hal yang mengusiknya setiap hari selama ini kepada Pandu. Tapi haruskah? Apa dengan begitu akan membuatnya merasa lebih baik? Pada akhirnya hati dan pikirannya berkehendak sama.

“Sejak kejadian 2 tahun lalu, aku sering bermimpi aneh, di dalam mimpi itu ada seorang anak kecil dengan wajah sendu dan terkadang menangis di tempat ini. Aneh, tapi aku merasa ada kedekatan batin, sangat dekat, seolah-olah kita telah lama saling mengenal. Hingga suatu hari aku menemukan foto seseorang di dalam buku; seperti buku harian di gudang. Foto itu terjatuh dari dalamnya dan saat aku melihat sosok yang ada dalam foto itu, dia sangat mirip dengan anak kecil yang sering aku lihat dalam mimpi. Entah kenapa, ini aneh, tapi jantungku selalu berdebar setiap kali melihat wajah itu. Dan sejak pertama kali kakak mangajakku ke tempat ini, aku merasa sangat familiar, karena tempat ini sangat mirip dengan tempat anak kecil yang sering muncul dalam mimpiku.”

Bianka mengakhiri kalimat panjangnya dan memecah pandangannya sedari tadi pada awan dalam arti harfiah. Bianka tidak menyebutkan nama sosok bernama "Awan" yang juga hadir dalam alam bawah sadarnya itu saat dia dalam keadaan kritis.

“Jadi itu alasannya? Kamu membuatku penasaran tentang ‘anak kecil’ itu.” Pandu menghela nafas panjang, pikirannya terlalu lamban untuk memberi tanggapan atas cerita yang diutarakan Bianka sesaat lalu. Tapi seketika ingatannya berputar kembali kepada kejadian naas itu; dan Pandu berusaha untuk menguncinya rapat-rapat.

“Sejak saat itu dan hingga detik ini, aku yakin, sosok dalam foto itu pasti adalah soulmate-ku.  Foto itu semacam petunjuk untuk mencari tahu siapa dia sebenarnya.” Pandangan Bianka menerawang kosong ke arah langit. Begitu antusias dan lugu.

Come on! Get a life, Mong! You don’t life in fairtale movies. Who is on earth still believe in soulmate other than you?” Kak bong tersenyum menyeringai, dibenaknya bagaimana bisa gadis berusia 20 tahun memiliki pikiran se-naive itu.

Terlihat jelas guratan di wajah Bianka yang menahan kesal. Tapi bagaimanapun juga yang dikatakan oleh Pandu tidak sepenuhnya salah atau terkesan menghakiminya. Selama dua tahun kebelakang Bianka membuat hidupnya seolah-seolah seperti dalam cerita bergenre mellow fantasi; jika memang bisa disebut demikian.

Menginjak sore hari, saat awan mulai samar terlihat kedua lakon itu beranjak dari tempat semula. Tempat yang tidak lebih dari 100 meter dari kediaman keduanya. Mereka tampak harmonis dari belakang, tawa menyeruak dikeduanya. Entah apa yang mereka tertawakan, tapi setidaknya tawa itu meregang otot yang menegang sedari tadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status