Share

Ukiran Sajak Untuk Awan

Dua tahun kemudian..

25 Januari 2011

Ada apa dengan Awanku?

Sepertinya dia ingin menangis

Sungguh terlihat dari visualnya yang suram

Ada apa gerangan, Awanku?

Kita memang berbeda. Ya aku tahu

Tapi tidak lantas menghalangiku untuk

mendengarkan bimbangmu

Aku pun barangkali tidak membuat ringan pundakmu

Ya akupun paham

Tapi aku mendengarkanmu dengan hatiku

Jika memang kesedihan itu terasa begitu pedih

Dan jika memang kebimbangan membutakan arahmu

Aku disini. Masih di titik yang sama dan seksama

Menunggumu, melihatmu,

Dan berharap yang merisaukan hatimu cepat berlalu

Lihatlah aku, Awanku!

Dan seharusnya tidak lagi ada alasan atas sedih dan bimbangmu

Saat anak manusia meyakini cinta sejati itu nyata. Ya, nyata berdenotasi ada dengan fisik yang dapat dijamah. Sajak manis nan ritmis, mimpi yang terasa nyata teruntai bersama seseorang   yang diyakini sebagai cinta sejati bergulir dalam rentetan mental image yang begitu melenakan khayalan.

Sekalipun frase ‘cinta sejati’ itu terdengar menggelikan bagi sebagian lain yang sudah terlalu sering disakiti dan dikecewakan oleh frase itu. Tapi toh masih lebih banyak yang mempertanyakan, mencari, dan meyakini keberadaannya. Tak terkecuali Bianka.

 “Siapapun mereka yang mengatakan jatuh cinta itu indah pasti sudah kehilangan akal sehatnya.” Sosok tegap dengan suara lantang serta raut datar menepuk pundak Bianka dari belakang.

"Cinta itu merusak akal sehat. Sebaiknya hindari saja." Pandu melanjutkan perkataanya.

Pandu seolah memberikan tamparan cukup keras di pikiran Bianka bahwa menjadi realistis itu perlu, bukan hanya perlu; tapi penting. Dari sebagian banyak orang, Pandu termasuk yang mengangkap frase ‘cinta sejati’ hanya bualan. Hanya untuk orang-orang kurang kerjaan; termasuk dirinya.

Bukan tanpa alasan, hal itu karena dia tengah mengalaminya saat ini. Mencintai seseorang yang pada akhirnya membuatnya bertindak bodoh seperti saat ini. Menguntit Bianka dari belakang dan hal lain yang mungkin akan dilakukannya.

“Kak Bong! Tidak bisa ya sekali saja tidak muncul tiba-tiba dan berhenti mengatakan komentar sumbang dan tidak enak di dengar seperti tadi.” Bianka mengernyitkan dahinya, tanda keterusikan dan ketidakamanan atas keberadaan sosok itu.

Ya, pemuda yang dipanggil ‘Kak Bong’ selalu bisa membuat Bianka kembali ke alam sadar. Terjun bebas dari dunia yang dibentuknya sendiri. Dari dunia yang begitu indah dia diami di dalam kepalanya. Setidaknya Pandu memberikan kesadaran kepadanya, berapa banyak detik dan oksigen tersita dan terhirup sia-sia untuk melamun dan menulis sajak indah yang menggelikan menurut Pandu.

Sementara Pandu hanya tertawa sinis meskipun dari tatapan matanya memancarkan perasaan kasih yang coba dia sembunyikan. Diam-diam dia merasa cemburu dengan hal membuat perhatian Bianka begitu tersita. Terlebih saat melihat dia menyunggingkan senyum karena hal itu.

Apa baiknya menulis puisi-puisi untuk orang tidak jelas, Bianka. Bodoh sekali. Tapi berusaha menyimpan perasaan juga sama bodohnya.

“Lebih baik kamu terbitkan saja puisi-puisi kamu itu, Mong, setidaknya kamu bisa dapat untung dari kebiasaan tololmu itu.” Canda Pandu pada Bianka dan berlalu begitu saja dari taman belakang yang tidak jauh dari rumah mereka; yang kini tampak lengang. Meninggalkan geram dan nyinyir dibenak Bianka yang dia simpan sendiri.

“Kamu itu batu dan batu tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Karena batu tidak menggunakan perasaannya untuk merasakan atau bahkan mungkin tidak punya.” Dengan nada sinis Bianka membalas kalimat itu yang entah didengarkannya atau tidak. Bukannya batu memang tidak berhati karena tidak bernyawa.

‘Mong’ dan begitulah Pandu memanggil Bianka. Ya, Mong dan Bong dua diksi yang secara tidak sengaja terdengar begitu serasi jika disandingkan. Mereka bukan saudara, sama sekali tidak ada ikatan darah di antara mereka berdua. Lalu kenapa mereka saling bertukar nama panggilan dengan satu sama lain? Waktu adalah jawaban paling rasional. Waktu yang menciptakan kedekatan diantara keduanya.

Masih ditempat yang sama. Bianka sedikitpun tak bergeser dari tempat yang lebih mirip miniatur bukit dibanding taman. Setidaknya dirinya tidak sendiri, dia bersama notebook mungil –sahabat tanpa katanya yang selalu menemani menggerakkan jemari diatasnya, merangkai sajak-sajak Bianka. Lagi, tidak perlu bertanya untuk siapa sajak itu dibuat.

 Aku tahu persis bagaimana rasanya, Mong. Satuhal yang kamu lupa, batu pun akan rapuh karena tetesan air hujan yang keras kepala.

Pandu mendengarkan ucapan lirih yang dilontarkan Bianka untuknya. Bianka yang menyebutnya batu. Memang benar adanya, batu pun perlahan akan rapuh dan menyerah pada air. Karena air selalu menetesi batu dan tidak kenal menyerah, hingga pada akhirnya memberikan reaksi padanya. Apalagi hati manusia yang tidak sekeras batu.

Air yang lembut dan batu yang keras. Dua hal yang saling polar, saling bertolak belakang; jelas tidak bisa dianalogikan satu sama lain. Namun pada akhirnya batu memberikan celah bagi air, bahkan airpun sebenarnya bisa jauh lebih keras daripada batu. Kekerasan tekadnya untuk melunakkan batu. Hingga batupun pada akhirnya dapat merasakan air yang ingin menjadi bagian dari dirinya; setidaknya sedikit melunakkannya.

Terlepas dari analogi tidak sinergi antara air dan batu. Waktu masih terus berjalan. Dan selama itu pula Bianka tetap di tempat yang sama. Empat jam bisa jadi begitu berarti untuk melakukan hal produktif bagi orang lain, tapi tidak bagi Bianka. Di tempat ini dirinya merasa aman dan nyaman. Dan sudah pasti bukan tanpa alasan.

Menulis puisi untuk Awan adalah arti produktif lain bagiku. Semoga dengan begitu dia akan muncul kembali dalam mimpiku.

“Hanya di tempat ini aku leluasa berada di duniaku. Dunia yang membuatku merasa bebas, tidak perlu mengkhawatirkan apa kata mereka. Mungkin hanya kata satu orang yang sedikit mengusikku, tapi aku sudah cukup tahan uji dengan keberadaannya. Dan sebelum aku lupa, aku ingin terus mengingatmu.” Seuntai senyum terukir dari bibir gadis berambut panjang dan ikal itu.

Bukan perihal yang melodramatis mengenai waktu yang tidak banyak itu. Memang terdengar dramatis. Tapi belum mendekati melodramatis. Bianka memilih diksi itu karena saat ini, persisnya apa yang dilakukan olehnya sekarang mungkin tidak lagi akan ia lakukan, saat alam sadarnya menjadi dominan kelak.

Siapapun yang melihat dirinya saat ini, pasti akan mempertanyakan. Gerangan apakah yang ada di pikiran gadis berwajah sendu di bawah pohon beringin. Dengan tatapan kosong menatap dalam pada awan, jeda beberapa menit kemudian jemarinya lincah bergumul dengan notebook-nya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status