Share

Meet Someone (5)

Author: Yoshifa
last update Huling Na-update: 2021-04-18 12:15:49

"Awas!" Kendaraan berhenti seketika kala perempuan yang sedang memegangi makanan ringan itu berteriak. Jajanan keripik singkongnya tumpah mengotori bawah jok mobil. Aku pun tersentak kaget, kukira kendaraan ini menabrak seseorang atau hewan. Namun, ternyata orang lain yang melakukannya. Dari arah berlawanan kurang lebih tiga meter dari sini, tampak seorang anak lelaki terserempet mobil bak.

Aku dan Angel bergegas keluar dari mobil, menghampiri bocah malang yang mencoba bangun dari posisi tersungkurnya tadi. Dilihatnya betis juga telapak tangan berdarah itu, cepat-cepat kuambil kotak P3K yang tersimpan di bagasi mobil, sementara perempuan yang sempat panik itu berusaha menenangkan dan memastikan bahwa anak lelaki tersebut baik-baik saja.

Sangat disayangkan, penyerempet bermobil bak itu melarikan diri dengan melajukan kendarannya semakin ugal-ugalan tanpa bertanggung jawab atas perbuatannya. Selepas mengambil kotak obat, aku mengambil alkohol, obat merah, serta kapas untuk mengobati lukanya.

"Adek namanya siapa? Mau ke mana?" tanyaku di sela-sela mengobati luka bagian telapak tangannya.

"Z-zaki, mau jual buah mangga," jawabnya terbata-terbata. Sontak, pandangan kami beralih ke sebuah keranjang rotan berukuran sedang berisi banyak buah ditempeli karton bertuliskan harga jualnya.

Badan kecilnya mampu membawa beban berat ini? Giliran perempuan berambut tipis dan panjang itu bertanya mengenai lokasi berjualannya. Rupanya, Zaki berjualan keliling kampung hingga pasar yang tempatnya cukup jauh dari rumah. Dirinya mulai berjualan dari pukul delapan pagi sampai buahnya terjual habis.

Lukanya selesai diobati, aku mengajak Angel berbicara empat mata. Mengusulkan agar kami berdua membantu anak lelaki berpakaian lusuh itu berjualan. Dia pun akhirnya setuju atas permintaan tersebut. Selain hal itu, aku juga mengusulkan agar hari ini menginap di hotel yang terletak tak jauh dari desa ini karena telah memesan dua kamar saat perjalanan tadi.

Enggan merepotkan warga sekitar seperti kemarin, lebih baik memesan tempat walaupun memakan biaya lebih banyak. Untungnya, tarif penginapan yang kupesan ini tidak terlalu menghabiskan banyak uang untuk target tiga hari menginap. Kegiatan berdiskusi pun selesai, kami menghampiri Zaki yang baru saja selesai menyusun kembali beberapa buah berkulit hijau itu ke keranjang.

"Zaki, kita bantuin kamu jualan, ya? Tapi sekarang, kamu ikut dulu kita ke mobil. Kita jualan keliling, habis itu jalan-jalan dulu beli makanan," bujuk Angel sembari mengusap-usap rambut gondrongnya.

Terlihat, raut wajahnya cemas dan meragukan ajakan Angel barusan. Lantas, aku angkat bicara menjelaskan bahwa kami berdua bukanlah orang yang berniat jahat. Akhirnya dia berkenan dengan ajakan itu, tak lupa kutawari es krim di toko terdekat supaya dirinya semakin percaya kami adalah orang baik-baik.

*****

Selama di perjalanan, kulihat Zaki amat senang dan nyaman duduk di mobil ini. Udara dingin yang keluar dari AC memicu rasa sejuk serta segar di tubuhnya. Mobilku sudah tersimpan di area parkir gedung penginapan bertingkat tiga itu. Selanjutnya, kami memulai perjalanan, berjalan dari arah hotel menuju pasar sembari mempromosikan kepada orang-orang yang ditemui.

Cuaca siang ini begitu terik, panasnya matahari seperti tak segan menyengat apa saja yang ada di permukaan bumi. Kasihan melihat Zaki berpeluh keringat seperti itu, kuberikan topi oranye yang sempat dikenakan tadi. Meskipun mungkin sedikit bau karena dua bulan tidak dicuci, tapi penting bagi bocah ini agar rambut gondrongnya tidak ikut hangus dilalap panasnya matahari.

"Teh, mau beli mangga? Lima buah sepuluh ribu." Zaki menawarkan pada seorang wanita berbadan gemuk yang tengah duduk di depan minimarket seraya memainkan ponsel.

Wanita itu mengalihkan fokusnya, menatap satu per satu dari kami bertiga. Kemudian, dia mengangguk, tangannya dimasukkan ke kantong celana merah yang dipakai, mengambil uang pas dengan harga. Aku turut senang, begitu pun bocah kurus yang tengah menata buah ke dalam kantong plastik hitam itu.

"Em, tapi saya boleh foto dulu sama Mas ininya, 'kan?" Wanita itu menunjuk ke arahku.

Mana bisa menolak, dia sudah menggeser posisi Angel yang sebelumnya berada di sisiku. Wanita itu mengarahkan gawainya dari atas, memantulkan kedua wajah di kamera. Orang di sisiku ini tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang tidak rapi, sementara wajah ini hanya menampakkan senyum manis. Satu jepretan tidak cukup, dia mengambil foto sampai lima kali.

"Wah, makasih banyak, lho, Mas. Ih, udah ganteng, senyumnya bikin meleleh, semoga anak saya ketular gantengnya, ya." Wanita ini mengelus-elus perutnya yang terlihat sedikit membuncit. Rupanya, dia ibu hamil. Selepas itu, kami bertiga mengucap terima kasih dan berpamitan.

"Kang Jen, gimana kalau kita pencar aja. Tapi jangan jauh-jauh juga, biar dagangannya cepet laku," usul Angel menghentikkan langkah tepat di depan kios kecil. Benar juga idenya, akan semakin cepat dagangan laku dan habis. Setelah itu, melanjutkan aktivitas lain yang tak kalah penting juga seru.

Kami memutuskan untuk mempromosikan dagangan sendiri-sendiri, tetapi tetap saling memperhatikan supaya tidak kehilangan jejak. Membawa dua buah mangga sebagai bentuk menarik minat pembeli. Tidak ada banyak orang di sekitaran tempatku berjualan, sulit juga.

Hingga bertemulah diriku dengan seorang Bapak-bapak penjaja mi ayam gerobak. Ditawarkannya mangga yang sejak tadi masih menempel di kepalan kedua telapak tangan besar ini, Si Bapak malah menolak. Entahlah, aku pun sama sekali belum terampil dalam menjual atau mempromosikan dagangan. Ini, adalah pertama kalinya.

"Di rumah, Bapak ada istri dan anak? Siapa tau istri sama anaknya pengen gitu dibelikan buah, Pak," bujukku pada pria yang tengah duduk dan agak memalingkan wajahnya.

"Saya cuma ada uang dua puluh ribu, dagangan saya belum laku banyak. Apa cukup buat beli itu?" Pernyataan itu sangat menohok, bagai belati menusuk organ hati. Nampaknya, aku seperti meminta pada orang yang meminta pula.

"Tidak apa-apa, Pak. Harganya cuma lima ribu, kok." Setidaknya, nilai rupiah sebesar itu tidak terlalu membebankan pria berkulit gelap tersebut. Dia setuju dan mau membeli dagangan Zaki, kuhampiri anak itu yang posisinya beberapa meter dari tempat berdagang Bapak ini.

Lagi-lagi, kedua sudut bibir bocah laki-laki ini ditarik oleh kebahagiaan. Dengan langkah tergesa-gesa, kami mengobrol ringan sembari tertawa kecil. Sampai di penjual mi ayam tadi, Zaki meletakan keranjangnya di atas bata dan memasukan lima buah ke dalam kantong. Sang pembeli dengan ikhlas memberi selembar uang pas, ucapan terima kasih pun kami lontarkan sebelum lanjut berjualan.

"Zaki!" Angel memanggil dari arah berlawanan, dia melambai-lambaikan tangan seolah memberi isyarat bahwa ada calon pembeli.

Lebih dari tiga jam dihabiskan untuk mencari pundi-pundi rupiah. Berjalan memikul beribu asa bukan hanya di sekitaran desa ataupun pasar, lebih dari dua tempat kami kunjungi. Tidak banyak yang didapat, tetapi cukup guna memenuhi kebutuhan diri juga keluarga.

Tak terasa, waktu berlalu cepat. Syukurlah, bawaannya kali ini hanya tinggal keranjang rotan tanpa isi. Kini, kami bertiga sedang melepas penat di depan warung makan. Mendinginkan badan dengan bantuan topi yang digerakkan menimbulkan angin.

"Kita makan, ayo!" ajakku bersemangat meraih pergelangan tangan kecil Zaki. Dia hanya mengangguk kecil, lantas kami mengisi perut di warung sederhana ini.

----TBC----

💖

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • 21 Days in Sukabumi   Terungkap (20B)

    Kediaman Angel terletak paling bawah di antara rumah lainnya, kalau dideskripsikan, desain rumahnya terkesan sederhana. Pagar dengan tinggi sebatas pinggang orang dewasa serta rerumputan hijau menghiasi pelataran.Seorang perempuan berambut panjang yang tengah menapih beras di teras kaget dengan kedatangan Angel. Mereka mirip sekali, hanya perbedaan tinggi badan dan bentuk alis yang menyiratkan jika mereka adalah kembar."Pulang bawa calon, tuh?" tanyanya melirik ke arahku."Apaan, sih! Bukan, mana bapak sama ibu?""Di dalem. Eh, Kang, mari masuk!" Dia mempersilakan.Angel berlalu menuju dapur bersama saudarinya, sedangkan aku duduk di ruang tamu dengan perasaan waswas. Terlalu banyak peristiwa tak mengenakkan hati hingga seperti ini, belum lagi hal negatif yang akan datang nanti. Lamunanku terbuyarkan ketika Angel bersama orang tuanya datang menghampiri, segera kusalami mereka berdu

  • 21 Days in Sukabumi   Pulang (20A)

    Usai puas bersuka ria di atas bukit, kami lantas berkeliling area sawah. Angel nyaris berlumuran lumpur dan merusak padi-padi yang masih segar, kakinya terpeleset. Beruntung aku sigap menahan agar dia tak jatuh. Dasar gadis kampung ini, banyak tingkah jika sudah berada di alam bebas. Kulihat, ada sekitar empat orang-orangan sawah di sini hingga ujung sana. Agaknya karena tempatnya luas, jadi agar memudahkan mengusir gerombolan burung yang hinggap. Angel merasa capek, kami pun beristirahat di samping saung dengan beberapa orang berada di sana. Kupandangi sekitar, ternyata lebih estetis juga pemandangannya. Kamera yang berada di dalam tas diambilnya, kemudian mengambil gambar dari bagian sebelah kanan dulu, berlanjut ke tengah, lalu ... kuarahkan kamera itu ke wajah Angel yang tengah melamun. Yah! Pose menatap lurus ke depan dengan beberapa helai rambut pendeknya terbawa angin, itu cukup bagus. Aku tersenyum menatap cantiknya---oh, apa dia juga tida

  • 21 Days in Sukabumi   Dinotice! (19B)

    Ayunan dengan desain kursi kayu yang menambah estetika tempat wisata sederhana in, menjadi tempat duduk kami sekarang. Aku dan Angel mengakhiri perdebatan dengan saling bermaafan, tak lupa aku memperingatkan agar dirinya tidak lagi mengakrabkan diri dengan orang asing, terlebih pria. "Berarti, sama kamu juga nggak boleh deket-deket?" tanya gadis itu yang kuyakini dia sendiri tahu jawabannya. "Nggak boleh, kamu harusnya nempel-nempel kalau sama saya." Aku menjawab sembari mesem-mesem, penasaran melihat reaksinya. "Dih, ngapain juga kayak gitu?! Sana jauhan!" suruhnya, lantas kutanggapi dengan tawa membuat pengunjung lain mengalihkan perhatian. "Ngomong-ngomong, temen kamu yang ganteng itu, siapa?" "Penasaran, ya? Ngapain juga kamu cari yang ganteng di luaran sana, sedangkan saya yang nggak kalah ganteng ada di deket kamu?" Kira-kira, hatinya meleleh atau tidak? Jantungnya masih aman, kan? Kulihat ekspresi perempuan ini

  • 21 Days in Sukabumi   Cogan (19A)

    "Njel, saya punya kenalan ganteng, loh." Perempuan itu melepas earphonenya dan menoleh. "Terus kenapa?" "Kamu bukannya suka sama yang ganteng-ganteng?" tanyaku meledek. "Ya, siapa sih, yang gak suka sama cowok ganteng?" Wah, suatu pujian tersembunyi untukku. Itu artinya, dia sendiri menyukaiku, kan? "Berarti kamu juga suka saya, dong?" Mendengar itu, dia mengangkat satu alis serta melengkungkan bibir. Jelas aku bukan pakar ekspresi, jadi hanya dapat menyimpulkan kalau dari ekspresinya mengatakan iya. Perbincangan kami terhenti kala mobil mulai memasuki gang desa, melewati rumah-rumah warga yang berjejer tak luput dari tanaman di halaman rumahnya. Lumayan sepi, mungkin karena pukul delapan pagi adalah waktu di mana orang-orang sibuk. Suasana pedesaan ini memang terbilang sederhana dan persis seperti beberapa tempat sebelumnya yang pernah kami kunjungi. Namun, kesederhanaan alam itulah yang m

  • 21 Days in Sukabumi   Ancaman Ibu (18B)

    "Jen, beneran aku nggak sengaja, maaf!" Angel berucap dengan raut cemas, aku tak memedulikan permintaan maafnya. Dalam hati saat ini cuma sibuk merutuk, bertanya-tanya bagaimana caranya agar meredakan rasa sakit dengan cepat?! Peristiwa menyebalkan ini bermulai ketika Angel berdiri menating kelapa tadi, dia menginjak kakinya sendiri hingga terjatuh dan kelapa itu terlempar ke arahku. Mestinya buah itu jatuh mengenai wajah, tapi aku buru-buru menghindar, sialnya malah menghantam ... organ vital. Perempuan berponi tersebut berjongkok mengusap-usap punggungku yang membungkuk; masih menahan sakit. Supaya tidak canggung dilihat orang, aku pura-pura memainkan pasir yang terkontaminasi sampah. Ah, lebih baik memunguti sampah juga. Beberapa saat setelahnya, rasa sakit itu kian mereda hanya ya sedikit masih ngilu. Aksiku memungut sampah pun menarik pengunjung lain untuk melakukannya juga. Hal tak sengaja dilakukan malah menebar dampak

  • 21 Days in Sukabumi   Insiden Kelapa (18A)

    Cepat-cepat kuhampiri Angel karena takut terjadi peristiwa serupa dengan mimpi semalam. Kulihat dirinya tengah sibuk menggunting rambut juga membuat poni, heran kenapa tiba-tiba begini? "Hei, kok potong rambut? Saking nggak ada uang, kamu pinjem gunting orang buat potong rambut sendiri? Kan bisa bilang ke saya biar ke salon, Papa saya juga titip uang buat kamu," protesku sampai tak sengaja memberi tau soal titipan itu. Bukannya mau mengorupsi uang tersebut, tapi kalau perempuan ini tahu takut akan difoya-foyakan. Maka dari itu, aku berniat mengaturnya sendiri sesuai yang dia butuhkan. "Iya-iya, ini aku lagi kepepet." Dia menjawab seraya mengelap gunting itu dengan kain atasannya. Perempuan yang kini telah 'berponi' itu menoleh ke arahku yang sedari tadi memerhatikannya, seketika tawa ini tak dapat dibendung lagi. Model rambut macam apa yang diterapkannya?! "Kamu mau jadi pelawak?!" tanyaku masih diikuti cekikikkan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status