Share

Episode 6

Sudah menjadi kewajibannya atau mungkin menjadi kebiasaannya, Abi selalu memandang ke arah kamar Elana. Jika lampu kamar Elana masih menyala, ia tidak akan masuk kedalam kamarnya, begitu juga sebaliknya, jika lampu kamar Elana sudah mati, barulah ia akan masuk ke kamar dan beristirahat. 

Ada yang berbeda malam ini, lampu kamar Elana masih menyala padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Bayangan Elana masih terlihat jelas dibalik tirai tipis berwarna putih, tidak ada pergerakan hanya duduk, dan diam sejak tadi. 

Abi ingin memastikan keadaan Elana, ponsel sudah berada di tangannya dan akan mengirim pesan. Namun jika ia mengirim Elana pesan dan bertanya, tentu saja Elana akan tau  selama ini Abi selalu memperhatikannya. Tapi jika ia tidak bertanya, rasa penasaran dan khawatir yang kini dirasakannya sungguh mengganggu. 

Abi berpikir, mencari cara lain agar kebiasaannya tidak disadari Elana. Ia segera masuk kedalam kamar, tidak berapa lama ia kembali keluar dan terbatuk-batuk dengan sangat kencang. 

Satu kali, dua kali, bahkan sampai tiga kali, Abi terbatuk dengan sangat kencang, namun belum ada respon. Tindakannya kurang berhasil, namun baru saja ia hendak melakukan hal konyol lainnya tiba-tiba jendela terbuka. 

Abi segera melirik, dan kali ini berhasil. Elana membuka jendela kamarnya, melongok ke arah Abi.

"Kamu kenapa? Sakit?" Elana setengah berteriak dari jendela kamarnya. Abi segera mengangguk, satu tangannya terangkat dan satu lagi memegangi perutnya. 

"Kamu baik-baik saja?" 

Kali ini Abi sengaja tidak mengangguk, membuat Elana terlihat cemas. Elana kembali menutup jendela kamar, samar-samar terlihat gadis itu menjauh dari jendela. Abi tersenyum senang, setidaknya aktingnya kali ini berhasil memancing Elana keluar. 

Hanya butuh waktu kurang dari dua menit, Elana sampai di depan kamar Abi. Ia membawa beberapa minuman dan obat-obatan khusus masuk angin. Elana mengira Abi masuk angin, karena lelaki itu mengendarai motor tanpa menggunakan jaket. 

"Minum ini, biar mualnya gak makin parah." Elana menyodorkan satu botol kecil minuman pereda mual. 

"Terimakasih," Abi menerima botol pemberian Elana, dan langsung meminumnya. Sebenarnya ia tidak memerlukan obat seperti itu, karena sebenarnya ia baik-baik saja. Tapi tidak ada salahnya juga menerima pemberian Elana, anggap saja untuk menyempurnakan aktingnya. 

"Obat herbal ini bisa meredakan mual karena masuk angin. Kamu pasti masuk angin." 

"Sepertinya begitu," 

Elana nampak khawatir, membuat Abi merasa bersalah karena sudah membuatnya datang dengan membawa beberapa obat-obatan. 

"Aku baik-baik saja, sebaiknya kamu istirahat. Ini sudah jam satu pagi," 

Melihat kondisi Elana seperti sedang tidak baik-baik saja, membuat Abi menyesal. Wajah Elana tampak murung dengan mata sembab dan merah. 

"Kenapa kamu selalu bersikap baik padaku? Apa karena pekerjaan? Kalau begitu jika kamu tidak dibayar dan tidak bekerja padaku lagi, kamu akan bersikap jahat, seperti orang lain?" 

Abi mengerjap, ia tidak mengerti maksud ucapan Elana. 

"Semua orang yang mendekatiku hanya karena uang. Apa kamu termasuk salah satu diantaranya?" 

"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu." 

"Kamu hanya perlu jawab iya atau tidak!" 

Sepertinya Elana benar-benar sedang dalam kondisi tertekan, berbicara dengan nada tinggi dan bergetar, seolah ia menahan sesak di dadanya. 

"Kalau begitu, semua kebaikan yang kamu berikan padaku selama ini juga karena uang? Karena kamu bekerja disini?" 

Cairan bening itu lolos dari pelupuk mata Elana, membuat hati Abi terenyuh. Tanpa sadar ia menarik pundak Elana kedalam pelukannya, menenggelamkan wajah Elana di dadanya. 

Tangis Elana pecah, teredam dipelukan Abi. Tangisannya begitu pilu dan menyayat hati, membuat siapapun yang mendengarnya pasti akan merasa iba. 

Meski ragu, Abi menepuk pelan pundak Elana sebagai tanda ia sangat bersimpati atas kesedihannya. 

Perlahan Elana melepas pelukannya, meski tangisnya sedikit mereda, namun isak nya masih terlihat jelas. 

"Maaf, tadi aku tidak bermaksud,,"

"Aku tau, seharusnya aku minta maaf karena selalu merepotkanmu." Elana mengusap sisa air mata di pipinya,

"Aku merasa beruntung karena karena kamu bekerja padaku. Semua kebaikanmu aku anggap tulus, meski aku tidak tau kebenarannya. Terimakasih,"

 Elana tersenyum samar sebelum akhirnya ia meninggalkan Abi. 

Apa yang terjadi padanya terasa bagai mimpi, tidak nyata namun terngiang dengan jelas di benak Abi. Hanya suara detak jantung yang kian bertalu keras, deru nafas kian memburu dan persendiannya terasa lemas, yang kini dirasakannya. 

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Abi masuk kedalam kamar dan langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. 

Sesekali ia memeriksa detak jantungnya, apakah ia mengalami gangguan jantung mendadak? Rasanya seperti habis berlari ratusan kilometer, bahkan wajahnya pun ikut terasa panas.  

"Tuhan,,, apa yang terjadi padaku." Gumamnya pelan. 

Sementara itu, apa yang dirasakan Abi tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Elana. Sesampainya di kamar, ia segera mematikan lampu dan duduk termenung di pinggiran tempat tidur. 

Apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Abi, mampu membuatnya seperti tersengat listrik, melemahkan seluruh syaraf dan membuatnya terasa pusing. Pelukan hangat yang ia rasakan, lingkaran tangan kekar Abi di tubuh kecilnya, mampu mengalirkan rasa nyaman dan hangat. Ditambah lagi degup jantungnya yang kian berdebar kencang, semakin membuat Elana bingung, apa yang terjadi padanya? 

Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? 

Entahlah mereka berdua tidak tau, hanya sinar rembulan dan ribuan bintang yang menyaksikan keduanya sambil merahasiakan sesuatu yang tidak mereka ketahui. 

Sementara itu di tempat lain, dua manusia berbeda jenis kelamin, dengan tubuh sama-sama polos tanpa sehelai benang, tengah bergumul di atas kasur, setelah kegiatan panas mereka berakhir. 

"Dia benar-benar tidak curiga, setelah pertemuan tidak sengaja waktu itu?" Tanya si wanita, ia bergelayut manja di lengan si lelaki yang tengah memeriksa ponselnya. 

"Dia tidak akan berpikir sampai sejauh itu," lelaki itu mencium puncak kepala wanitanya. 

"Bahkan dia tidak akan pernah berani marah, meski tadi aku dengan sengaja mengabaikannya di pesta." 

Keduanya saling tertawa, "Dia benar-benar umpan paling bagus. Cantik, kaya, dan bodoh." 

Wanita bertubuh sexy itu, meraih ponsel dari tangan lelakinya. "Kita nikmati malam ini, jangan hanya ponsel yang kau mainkan, aku juga mau," godanya dengan suara manja di buat-buat. 

"Tentu,,, mana mungkin aku mengabaikan wanita secantik dirimu." Lelaki itu kembali menciumnya dengan penuh ghairah, mereka saling membalas ciuman satu sama lain seolah tidak ada hari esok, seolah mereka tidak bertemu bertahun-tahun lamanya, padahal mereka sering bertemu setiap hari, tanpa sepengetahuan Elana. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status