“Ya, ada apa Yeni?” tanya Luna pada Yeni yang menghubunginya melalui sambungan telepon. Hari ini, Luna mendapatkan libur dari pekerjaan utamanya di restoran, karena itulah Luna memilih untuk menghabiskan waktunya untuk belajar, mengingat jadwal wawancaranya sudah dekat. Namun, di tengah-tengah kegiatan belajarnya, ternyata Yeni menghubunginya. Tidak ada alasan bagi Luna untuk menolak telepon dari kakak tingkat yang sudah sering membantunya tersebut.
“Apa nanti malam bisa kembali datang ke hotel? Pihak hotel kembali membutuhkan pelayan tambahan,” ucap Yeni.
Luna pun otomatis teringat dengan pria bernetra biru yang memberikan kesan mendalam disaat pertama kali bertemu. Luna mengurut pelipisnya, ia takut jika dirinya akan kembali bertemu dengan sosok pria pemilik netra biru langit yang menyorot tajam. Luna takut, jika pikirannya lebih menggila daripada terakhir kali, dan lebih dari itu, Luna takut jika dirinya akan tertimpa masalah. Luna merasa berhubungan dengan pria itu bukanlah pilihan yang baik, tetapi Luna juga perlu pekerjaan tambahan. Setidaknya, hingga dirinya mendapatkan pekerjaan tetap sesuai dengan titel yang ia miliki.
“Luna? Apa kamu masih di sana?” tanya Yeni lagi memastikan jika lawan bicaranya masih berada di ujung sambungan.
Luna berdeham dan menjawab, “Ya, aku di sini.”
“Jadi bagaimana? Apa kamu bisa? Jika iya, aku akan segera mengatakannya pada atasanku. Untuk bayarannya, masih sama dengan bayaran sebelumnya,” ucap Yeni menjelaskan.
Luna mengurut pelipisnya. “Sebelum aku memutuskan, apa aku boleh bertanya satu hal dulu?” tanya Luna.
“Ya. Memangnya apa yang ingin kamu tanyakan?” tanya Yeni.
Apa penghuni kamar 444 sudah check out? Ingin sekali Luna bertanya seperti itu. Namun, Luna tersadar jika dirinya bertanya seperti itu, sudah dipastikan jika Yeni akan memberikan pertanyaan lain yang mungkin akan berujung pada Luna yang menceritakan apa yang mengganggunya. Hanya saja, karena Luna tidak terlalu dekat, dan sebenarnya tidak ingin terlalu dekat dengan siapa pun, Luna memilih untuk menyimpan apa yang akan ia tanyakan. Toh, Luna kini sudah meyakinkan diri, jika dirinya tidak akan lagi bertemu dengan sosok pria bernetra biru yang misterius itu.
“Ah, tidak. Aku hanya terpikirkan dengan pekerjaanku yang lain. Aku akan mengambil pekerjaan ini. Terima kasih karena sudah menghubungiku. Aku akan datang tepat waktu,” ucap Luna.
Sambungan telepon pun terputus, saat itulah Luna menatap buku catatannya yang terbuka di atas meja belajarnya. Entah kenapa, Luna sama sekali tidak bisa mengenyahkan sensasi serta bayang-bayang suara rendah beraksen yang membuatnya bergetar oleh sensasi yang terasa sangat asing. “Ini gila, bagaimana bisa aku terbayang-bayang hingga seperti ini? Padahal itu hanya pertemuan singkat, dan aku sendiri ia tidak akan ingat dengan apa yang ia katakan padaku,” ucap Luna pada dirinya sendiri.
Benar-benar, Luna tidak habis pikir kenapa dirinya bisa sampai seperti ini. Ia bertanya-tanya, kenapa dirinya bisa merasakan hal seperti ini? Padahal, Luna dan pria itu hanya beristeraksi beberapa saat dan itu sudah terjadi beberapa hari yang lalu. Normalnya, harusnya Luna sudah melupakannya, atau setidaknya tidak lagi terbayang dengan sosoknya dominan dan penuh dengan pesona yang sanggup menjerat siapa pun yang melihatnya dalam sekali pandang.
Luna pun menghela napas. Ia bangkit dari duduknya dan membereskan meja belajarnya. Saat ini Luna harus segera bersiap-siap untuk berangkat ke hotel. Meskipun pesta akan berlangsung nanti malam, Luna tetap harus berada di hotel sejak siang hari. Karena Luna yang bekerja sebagai pelayan tambahan tetap saja harus membantu untuk menyiapkan pesta nanti malam.
“Ayo berpikir positif. Ayo yakin jika aku tidak akan bertemu dengan pria itu,” ucap Luna lalu segera beranjak menuju kamar mandi di rumah sepetaknya yang berada di pinggiran kota. Rumah kecil peninggalan orang tuanya yang sudah lama berpulang.
***
Luna sekali lagi memastikan cepolan rambutnya benar-benar ketat agar tidak lepas saat dirinya bekerja. Setelah itu, Luna memoleskan liptint pada bibirnya yang agak pucat. Sesudah mematiskan penampilannya pantas, Luna pun segera beranjak untuk ke luar dari ruang ganti dan melaksanakan tugas-tugas yang sudah diberikan. Luna berdeham lalu melangkah menuju aula pesta. Meskipun terlihat fokus pada pekerjaannya, dari sudut matanya Luna memperhatikan sudut-sudut aula pesta. Luna paranoid. Ia takut jika dirinya kembali bertemu dengan pria bernetra biru itu.
Namun, Luna menghela napas lega karena dirinya sama sekali tidak melihat siapa pun. Luna berusaha untuk lebih rileks dan melaksanakan tugasnya dengan fokus. Perempuan satu itu tampak memasang senyuman yang cantik. Senyuman yang sebenarnya sanggup membuat para pria yang melihatnya jatuh hati. Sayangnya, karena Luna yang selalu menutup diri untuk memulai hubungan dengan para pria, sampai saat ini pun Luna tidak pernah menjalin hubungan serius dengan pria manapun.
Tanpa terasa pesta berlanjut begitu saja tanpa ada satu pun hal yang membuat Luna terancam. Saat ini, Luna tengah menertawakan dirinya sendiri karena sudah berpikiran sangat jauh dan sampai merasa paranoid. Kini, Luna mencoba untuk berpikir jika pertemuannya dengan pria itu hanyalah pertemuan yang tidak sengaja. Tidak ada ikatan takdir di antara mereka, dan pertemuan mereka sebelumnya hanyalah takdir yang sedikit bersinggungan.
“Luna, kenapa kamu melamun?” tanya Yeni berbisik pada Luna yang sebenarnya tengah membereskan gelas-gelas kotor.
“Ah, tidak. Aku hanya merasa lelah. Kapan pesta akan berakhir?” tanya Luna.
“Sekitar setengah jam lagi. Tenanglah, kita bisa segera pulang,” ucap Yeni.
Luna mengangguk. Ia memang tidak berbohong. Saat ini dirinya sangat lelah. Rasanya, ia ingin segera pulang dan berbaring di ranjang kesayangannya. Sepertinya, Luna tidak boleh lagi mengambil pekerjaan sampingan selama mempersiapkan diri untuk wawancaranya. Luna berpikir jika dirinya pasti akan benar-benar tumbang dan melewatkan wawancara yang sudah sangat ia tunggu-tunggu. “Aku pergi dulu,” ucap Luna sembari membawa gelas-gelas kotor menuju area dapur.
Karena area dapur memiliki jalur tertutup yang terhubung dengan aula pesta, maka Luna bisa mencapai dapur lebih cepat. Ia segera meletakkan gelas di sana untuk kembali ke aula pesta. Namun, karena jalun cepat tersebut tengah digunakan oleh rekannya yang tengah membawa meja dorong berisi piring kotor, Luna pun memilih untuk mengambil jalan luar yang bebas diakses oleh siapa pun. Luna merasakan udara malam yang segar menyentuh kulit wajah dan tengkuknya yang memang tidak tertutupi oleh apa pun. Terasa nyaman bagi Luna.
“Ah, rasanya aku ingin di sini lebih lama,” ucap Luna pada dirinya sendiri, dan tentu saja tidak berharap ada suara yang menyahuti dirinya.
Sayangnya, harapan Luna tesebut terpatahkan. Kini, Luna merasakan embusan napas panas yang menyentuh tengkuknya yang mulus. Lalu sebuah suara yang selama ini terngiang-ngiang di kepalanya kembali terdengar mengetuk telinganya. “Halo, Manis. Kita bertemu lagi,” bisik suara rendah dengan aksen aneh itu.
Luna tidak berani menoleh. Namun ia sudah bisa membayangkan, jika pria bernetra biru itu tengah berdiri begitu dekat degan punggungnya. Saking dekatnya, saat ini saja Luna sudah bisa merasakan suhu panas tubuh pria itu yang merambat pada punggungnya. Namun, suhu panas ini sama sekali tidak membuat Luna berkeringat atau kepanasan. Ada sensasi lain yang terasa oleh Luna, dan membuat Luna bergetar oleh sensasi yang tidak ia kenal tersebut.
“Bagaimana? Apa kau masih mengingat apa yang aku peringatkan beberapa hari yang lalu? Aku sama sekali tidak main-main dengan ancamanku, Nona. Coba sebutan namaku. Jika salah, malam ini juga kita akan berbagi ranjang yang sama,” bisik suara rendah itu lagi membuat Luna tiba-tiba terserang rasa cemas dan rasa takut.
Rasa cemas tersebut rupanya membuat Luna tidak bisa berpikir realistis, yang ada Luna mengambil langkah seribu. Luna tidak peduli jika tumitnya terluka karena berlari dengan sepatu hak tinggi. Hal yang terpikirkan oleh Luna adalah, tidak akan pernah menginjakkan kakinya di hotel laknat ini lagi. Sementara itu, Dominik yang tertinggal di belakang hanya terdiam dan menatap kepergian Luna dengan tatapan dinginnya. Wajahnya yang semula tidak berekspresi kemudian dihiasi seringai tipis.
“Sayangnya, meskipun kau berlari seperti itu, kita akan tetap bertemu lagi. Aku sendiri yang akan memastikan jika kita akan bertemu lagi, Luna.”
Luna tampak begitu antusia untuk menyiapkan dirinya mengikuti wawancara di sebuah perusahaan. Sebelumnya, Luna memang sudah mengirimkan lamaran pekerjaan ke beberapa perusahaan cukup besar di kotanya. Ternyata Luna berhasil lolos tahap pertama dan mendapatkan panggilan untuk wawancara. Karena jadwal wawancara tersebut tidak berlangsung pada satu hari, Luna tentu saja memiliki kesempatan untuk hadir di ketiga wawancara. Sebab Luna sendiri yakin jika dirinya tidak akan berhasil dalam sekali percobaan dalam wawancara ini.Luna selesai bersiap dan memeriksa ponselnya yang selama beberapa hari ini ia abaikan. Luna memang sengaja mengabaikan semua pesan atau telepon yang masuk. Lebih tepatnya mengabaikan Yeni ya
Luna menjambak rambutnya sendiri, merasa kesal dengan kenyataan yang ia hadapi. Dari tiga wawancara yang ia ikuti, hanya satu yang lolos. Kabar buruknya adalah, Luna lolos di perusahaan pertama yang ia ikuti wawancaranya. Kenapa bisa Luna menyebutnya sebagai kabar buruk? Tentu saja bukan karena bidang perusahaannya, melainkan karena adanya Dominik sebagai bos besar di sana. Jelas Luna merasa keberadaan Dominik di sana sebagai ancaman. Dominik yang hadir dengan kesan misterius yang tanpa sadar membuat Luna mengambil langkah mundur.Hanya saja, Luna sama sekali tidak bisa mundur dari pekerjaan yang sudah berada di depan matanya. Karena sebelumnya, pemilik restoran sudah menghubungi Luna dan mengatakan jika d
“Karena aku sudah memastikannya, maka aku sudah mengambil keputusan. Selamat, kau diterima sebagai sekretarisku. Besok, kita pergi ke Rusia.”Luna yang mendengar hal tersebut tentu saja tidak mempercayai pendengarannya. Lebih-lebih tidak percaya dengan perlakuan seperti apa yang sudah ia terima barusan. Luna mengepalkan kedua tangannya. Hilang sudah rasa takut yang Luna rasakan pada Dominik. Perempuan itu menatap Dominik dengan tatapan penuh peringatan.
Negeri Salju, itulah julukan negeri Rusia yang dikenal oleh dunia. Rusia yang terkenal sebagai salah satu destinasi favorit para turis. Namun, memilih waktu terbaik untuk mengunjungi negeri berjuluk Negeri Salju ini adalah hal yang terasa sangat sulit bagi sebagian besar orang. Hal itu terjadi, karena musim sering datang atau pergi tidak tepat dengan prediksi kalender musim yang sudah ditetapkan oleh instansi yang memiliki wewenang.Hanya saja, bagi Luna yang tidak pernah berkunjung ke luar negeri, kapan pun waktunya itu tidak masalah. Saat ini saja, Luna terlihat begitu takjub dengan apa yang ia lihat. Karena membutuhkan waktu yang lama untuk menempuh perjalanan hingga tiba di negeri asing ini, Luna sama
Luna tampak berbeda dengan sebuah syal tipis cantik yang menghiasi lehernya. Gadis satu itu tampak sesekali membenarkan letak syal tersebut, seakan-akan dirinya sangat enggan jika syal cantik tersebut berpindah letak sedikit saja. Sepertinya, Luna tengah menyembunyikan sesuatu di balik syal yang ia gunakan tersebut. Luna mendengkus kesal, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Luna sama sekali tidak berusaha untuk menyembunyikan ekspresi kesal yang menghiasi wajah cantiknya yang membawa kecantikan gadis Nusantara yang begitu kental. Suasana hati Luna memang sangat buruk, dan ia tidak berniat untuk menyembunyikan suasana hatinya yang buruk tersebut.Luna larut dalam pekerjaannya, sesekali ia mendapatkan tel
Luna mengurut pelipisnya yang terasa begitu tegang. Ia bangkit dari posisinya dan menyadari jika ini bukanlah kamar apartemen yang disediakan oleh Dominik untuk Luna tinggali selama dirinya tinggal di Rusia. Luna memang tidak tahu dirinya ada di mana saat ini, tetapi Luna yakin jika ini adalah ruangan milik Dominik. Selain dari kemewahan yang tampak jelas di setiap sudut ruangan yang didominasi warna gelap ini, Luna juga bisa mencium aroma khas Dominik yang pekat.Luna menunduk dan menyadari jika dirinya sudah menggunakan gaun tidur asing. Ia tidak panik dan berpikir jika Dominik yang menggantikan pakaiannya. Meskipun Dominik kurang ajar, tetapi ia yakin jika CEO panas satu itu
Luna mengamati pemandangan yang berkabut dalam diam. Di tangannya ada sebuah cangkir teh hangat yang rupanya masih mengepulkan hawa panasnya. Gadis itu menghela napas. Baru saja beberapa hari dirinya berada di Rusia, dan dirinya sudah hampir mati sebanyak dua kali. Ya, selama dua kali Luna berada di tengah-tengah area yang dihujani peluru. Sungguh gila, dan hingga saat ini Luna masih merasakan tensi ketegangannya.Padahal ini sudah pagi, sudah berjam-jam lamanya kejadian itu berlalu, tetapi Luna masih merasakan aura mencekam yang membuatnya sesak. Luna menghela napas panjang. Beruntunglah karena Dominik memberikannya libur setelah dirinya melalui berbagai kejadian mengerikan tersebut. Tentu saja, siapa pun
“Jangan marah seperti itu, Luna. Jika aku menolaknya, kau malah akan berada dalam situasi yang lebih berbahaya,” bisik Dominik pada Luna saat mereka melangkah menuju ruang VIP yang memang disediakan untuk para pelanggan yang rela menghabiskan jutaan dolar hanya untuk memenuhi hasrat berjudi mereka. Menang atau kalah adalah masalah nanti. Hal yang terpenting adalah, dahaga mereka bisa terpenuhi saat itu juga.Untuk meladeni tantangan Ignor, Dominik harus mengadakan sebuah permainan kartu yang diselenggarakan di ruangan terbaik yang ia miliki. Ini bukan hanya masalah gengsi, tetapi juga masalah keamanan. Semakin terbatas ruangan, dan semakin terbatang siapa pun yang bisa berkunjung pada ruangan t